Pagi itu suasana sidang cukup ramai, sidang penentuan vonis hukuman si Bukan Maling Biasa.
Si maling duduk didepan penegak hukum dengan tenang. Sesekali menunduk, mungkin berpura-pura menyesal. Pakaiannya dan penampilannya begitu rapi tidak menunjukkan dia seorang maling. Ya memang dia bukan maling biasa.
Tetapi sama kejinya. Maling istimewa ini sama halnya dengan maling biasa, maling ayam, maling jemuran. Para penegak hukum membacakan vonis hukuman, Si Maling istimewa mulai komat kamit mulutnya, mungkin pura-pura berdoa. Sekejap ia mendadak alim, lupa kalau dirinya dulunya lalim.
Penegak hukum mengetuk palu. Semua orang berteriak berseru, gembira dan protes menjadi satu. Si maling istimewa menunduk malu. Sekalinya maling tetap lah maling. Tidak ada kata istimewa untuk itu. Penegak hukum tampak tersenyum sinis. Hukuman mati untuk sang Maling Istimewa mengembalikan Ia menjadi Manusia Biasa.
Tapi semua itu hanya ilusi. Si Maling Istimewa masih bisa pergi ke Bali. Walau statusnya mendekam di balik jeruji. Para penegak hukum pura pura menghukum. Ah, apa jadinya nasib bangsa ini kalau Bukan Maling Biasa masih berleha-leha sedangkan yang menjadi korban adalah Rakyat jelata?
Si bukan maling biasa ini juga rakyat jelata, dulunya. Tapi sekarang ia tidak mau mengakui statusnya. Ia memilih menjadi istimewa membuat surga dunianya sendiri. Tapi menciptakan neraka abadi pada hari akhir nanti.
-Doddy Rakhmat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar