Senin, 31 Agustus 2015

Tidak Ada Penulis Yang Kaya

Judul di atas memang ada benarnya. Beberapa penulis sudah menuturkan perihal yang sama di tulisan pernah yang saya baca.

Jika diibaratkan sebuah pabrik, penulis menciptakan sendiri bahan baku utama apa yang nanti ia akan bagi ke orang-orang.  Keuntungan dari kontrak penerbitan, hak cipta untuk dijadikan film, atau event-event baik secara on maupun off air tidak membuat seorang Penulis menjadi milyarder. Tidak. Lantas mengapa masih banyak orang yang mau menulis?  Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan suara-suara dalam pikiran. Mengubahnya menjadi sebuah cerita yang tumbuh dalam diri orang lain. Mereka bahagia, ada yang mau membaca dan tergerak karenanya.

Penulis bisa dikatakan berhasil menjadi orang yang disiplin, mengakui kesalahan serta memperbaikinya. Mengapa demikian? Menulis sebuah buku tentunya memiliki tujuan akhir. Yaitu naskah selesai dan pesan yang disampaikan dapat diterima oleh pembaca. Selanjutnya naskah mentah itu diajukan ke penerbitan. Tentunya para editor bekerja keras menyeleksi naskah yang masuk kemudian akan mulai menyunting naskah yang terpilih. Disitulah tenggat waktu ditetapkan, para penulis harus disiplin menyelesaikan revisi. Lalu, mereka harus 'nrimo' naskah awal mereka dicorat-coret. Beberapa bagian di buang, di ganti, dipadatkan. Namun pada akhirnya semua proses itu akan menghasilkan sebuah buku yang matang dan berkualitas.

"Royaltinya berapa sih?"

Pertanyaan ini sering muncul di lingkungan sekitar penulis. Royalti yang ditetapkan dalam sebuah kontrak penerbitan bisa sampai 15 persen dari hasil penjualan buku. Jika harga tersebut Rp 40.000 maka royaltinya berkisar Rp 5.000- Rp 6.000. Jadi ibarat berjualan seorang penulis tentunya senang jika buku mereka dibeli karena menghargai proses dan jerih payahnya. Menyambung tinta pena ke karya selanjutnya.

Bersyukur jika buku kita bisa menjadi best seller. Tentunya keuntungan secara moril dan materiil akan diperoleh. Terlepas dari itu semua, pada dasarnya menulis tujuan utamanya bukanlah memperkaya diri dengan harta namun memperkaya diri dengan ilmu.

Bagaimana menikmati kehidupan kemudian menuliskannya ke dalam deretan huruf. Menjadikannya kenangan paling indah di kehidupan. Meninggalkan sesuatu yang abadi demi orang banyak. Sesuatu yang abadi itu ialah tulisan. Ia akan selalu hidup dalam apa yang ia tuliskan.

*Doddy Rakhmat
Penulis buku Sebuah Pintu Yang Menunggu Jawaban.
www.doddyrakhmat.com

Minggu, 30 Agustus 2015

Orang Asing (Episode 1 serial Ode dan Ara)

Ara, tunggu di halaman rumah. Aku akan menjemputmu sebentar lagi.
Aku mengirimkan pesan singkat kepada sahabatku yang tinggal di seberang jalan. Hai perkenalkan namaku Ode. Menyebutnya seperti huruf e dalam kata 'dengan'.  Aku menunggu di depan rumah Ara. Ia muncul dari balik pintu. Menemuiku penu riang seperti biasa.
"Angin hari ini kamu namai siapa De?" 
Aku bergumam, "Kemenangan. Giliranku, embun pagi kali ini kau sebut apa?"
"Rindu yang basah."
Ara menaiki sadel di belakang sepeda. Ia mengenakan topi rajutan berwarna biru muda. Senyum dua jarinya masih sama, tak berubah. 
"Hei, jadi berangkat atau tidak?" Ara menepuk pundak, mengagetkanku. 
"Eh, iya iya." Sahutku gelagapan. Bergegas mengayuh sepeda. Kayuhan pertama cukup berat. Aku menyeletuk,
"Makan apa sih Ra, rasanya makin hari makin berat."
"Ah masa sih... Aku kan sudah diet Ode." Ara menggerutu. 
"Diet gak minum kali ya, hehehhe." lalu Ara memukul pundakku. Kami menyusuri jalan komplek yang lengang. Hanya ada opa Afdi di perempatan jalan. Memotongi bonsai di halaman rumahnya. Seperti biasa kami berteriak memanggil seraya melambai tangan ke arahnya. Opa Afdi hanya menggeleng.  
"Kita kemana De? Cafe biasanya?" 
"Nggak lah, tungguin aja. Kejutan lah."
Ara diam saja tak menjawab. Ia memelukku lebih erat. Jalan sedikit berbatu dan terjal. Aku mengarahkan sepeda ke luar dari kota. Tak jauh dari sana, ada sebuah padang rumput yang luas. Sebuah pohon tumbuh dengan rindang. Daun-daunnya sesekali bergesekan terembus angin. Beberapa kayuhan terakhir cukup menguras tenaga. Kami naik ke sebuah bukit yang tak begitu tinggi. Beberapa kali hampir saja kami terjatuh.  
"Akhirnya sampai juga. Ta-daaaaa! Selamat datang kita yang baru!"  
"Wah, ada ayunannya juga." Ujar Ara sumringah. 
Sebilah papan yang diikat dengan dua tali menggantung di salah satu dahan pohon yang kokoh. Ara langsung menaikinya. Aku menyandarkan sepeda di pohon. Dan membantu mendorong ayunan perlahan.
Dari atas bukit itu, aku dapat merasakan angin. Kecintaanku. Mungkin di suatu pagi, Ara juga akan menemui embun-kecintaannya- di daun-daun pohon yang meranggas rendah. Acara menikmati angin disudahi oleh Ara dengan pertanyaannya. 
"Ode, bagaimana jika esok dunia hanya tersisa kita berdua. Hanya kita dan tidak ada siapa-siapa." 
"Hmm, pertanyaan yang cukup sulit. Kamu habis baca buku filsafat ya? " Jawabku terkekeh.
"Ih aku serius Ode." Ara kesal, memukul lenganku pelan.
"Bagiku itu sudah cukup. Karena yang dibutuhkan manusia adalah teman."
"Benarkah?"
"Ya. Karena teman adalah orang asing yang mempertaruhkan kepercayaannya begitu saja kepada orang yang bukan keluarganya."
"Hmm, jawaban yang bagus. Kamu menyontek dari buku siapa?" Ara seolah tak percaya dengan perkataanku. 
"Dari buku resep memasak Ara."
Ara tertawa, senyum dua jarinya tetap disana. Di paras wajahnya yang manis. 
"Nah, mari kita berjanji di bawah pohon yang aku tak tahu namanya ini. Bahwa apapun yang terjadi, kita tetap berteman."
"Janji."
Sehelai daun putus dari dahan, melayang jatuh di antara kami. Pertanda janji kami telah didengar oleh alam. Aku sedikit keras mendorong ayunan Ara, lalu bergegas lari meninggalkannya. Ia yang masih bersenandung, tak menyadari kepergianku. Dua kali hari itu aku membuat Ara kesal. Semoga esok dia tidak mengerjaiku. Semoga.
*****

Sabtu, 29 Agustus 2015

Serial Ode dan Ara

Hai pembaca setia Blog DoddyRakhmat.com

Kabar gembira buat kamu yang suka cerita fiksi bersambung. Dalam waktu dekat rencananya saya akan membuat serial cerita yang di post secara mingguan via blog dan social media.

Serial cerita tersebut berjudul 'Ode dan Ara'.  Bercerita tentang antara dua saudara yang saling menukar takdir demi menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya.

Penasaran? Tunggu ya!

Serial Ode dan Ara

Hai pembaca setia Blog DoddyRakhmat.com

Kabar gembira buat kamu yang suka cerita fiksi bersambung. Dalam waktu dekat rencananya saya akan membuat serial cerita yang di post secara mingguan via blog dan social media.

Serial cerita tersebut berjudul 'Ode dan Ara'.  Bercerita tentang antara dua saudara yang saling menukar takdir demi menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya.

Penasaran? Tunggu ya!

Senin, 24 Agustus 2015

Puisi Yang Membunuh

Semalam suntuk aku merapal doa perihal menghapus dosa-dosa lama. Entahlah, apakah aku dapat kembali menjadi manusia setengah suci. Seseorang telah membunuh gadis yang kucintai dengan deretan puisi yang dituliskannya. Mungkin itu aku. Kematian semacam musik yang diaransemen ulang oleh pujangga merana.
Tak sengaja telingaku mendapati tertawa setan yang ikut mendengar di setiap lirih aku meminta.
"Wahai pendosa, aku akan mengabulkan doa-doamu."
"Siapa itu?"
"Aku seorang teman lama."
"Kau setan, apakah bisa disebut sebagai teman?"
"Ayolah, tanpa meminta sekalipun kalian sudah berteman denganku sejak dahulu kala. Sudah terlalu banyak pujangga sepertimu yang terlahir di dunia ini, satu demi satu waktu akan menghabisinya. Mungkin kau salah satunya?"
"Aku?"
"Pujangga sepertimu hanya memerdekakan diri sendiri, membunuh dengan keji setiap perasaan di dalam puisimu. Tak pernahkah kau berpikir apa yang dilakukan gadis-gadis itu saat mulai tenggelam dalam sajakmu tanpa tepi, tanpa arti. Mereka kehilangan."
"Kehilangan apa? Kehilangan rasa percayanya lagi pada setiap cinta yang hendak ditanam dalam hatinya, dalam hatimu."
Ruangan dijejali awan abu-abu. Bukan asap, hanya uap air, yang diam-diam membuatku berkeringat. Panas.
"Bagaimana caranya untuk menebus rasa bersalah itu. Bagaimana aku tahu siapa saja yang telah kubunuh dengan puisi-puisiku?"
"Berdoalah kepadaku." perintah Setan.
"Tidak, ini semua hanya tipu muslihatmu."
"Oh benarkah? Toh banyak dari kaum kalian yang merasa dirinya merdeka saat mendatangi paranormal, memanggil aku dan kawan-kawan. Meminta kami untuk membunuh, mencuri, memikat. Sungguh lebih nista perbuatan kalian daripada kami. Bebas dari segala masalah."
"Mereka hanya memerdekakan hawa nafsu semu. Aku bukan orang seperti itu."
Setan itu mengusap dua tanduknya yang menjulang di sisi kanan kiri kepalanya. "Oh ya? Lalu bagaimana masa lalu mu? Tidak kah ingin kau lepaskan segala paras wajah cantiknya, dan betapa molek tubuhnya dalam ingatanmu. Dihantui jasad-jasad yang kau habisi dengan puisimu."
"Melupakan adalah urusanku, bukan urusan siapapun. Dan lagipula aku menulis puisi bukan untuk membunuh, aku hanya membuat mereka berpikir, merenungi, sedikit meminta puji, agar aku menjadi manusia yang diakui ada. Lebih dari cukup."
"Manusia lahir dengan alasan, tumbuh dan besar dengan alasan. Ya, ya, ya. Lantas doa apa yang hendak kau munajatkan terakhir kalinya sebelum aku menuliskan puisi untuk membunuhmu."
"Tuhan, merdekakan aku dari belenggu setan."
Belum selesai sang setan menuliskan bait pertama puisinya, tangannya membeku, perlahan menjalar ke sekujur tubuhnya.
Dan sang pujangga menutup doanya dengan kata Aamiin yang panjang.
~doddy rakhmat

Sabtu, 22 Agustus 2015

2400 Jam

Menunggu ialah pertemuan-pertemuan yang memilih jalannya sendiri.  Hidup tak lebih sekedar dari sebuah penantian. Orang-orang menunggu satu demi satu takdir yang telah digariskan oleh Tuhan ditunjukkan kepada mereka.

Aku berandai-andai bagaimana bila saat 2400 jam yang lalu, aku tak melewatkan penerbangan menuju rumah. Tentunya dirimu tidak akan pernah muncul dalam deretan takdir yang harus kutunggu.

Tidak mungkin kulupakan rupamu pertama kali saat kita bertemu tak sengaja di mesin pembuat kopi bandara saat kau mengajarkanku bagaimana membuat segelas latte yang menyegarkan. Matamu sembab, entahlah senyum mu terlalu manis dibanding kopi yang sedang kusesap. Aku tidak yakin kau habis menangis. Kau terus berkata tidak apa-apa saat aku bertanya tentang keadaanmu. Padahal dari caramu melihat, membuang wajah, aku tahu kamu berbohong. Selalu ada apa-apa dengan kemurungan di wajah seseorang. Seberkas senyum tak menutupi kegundahan selangit. Dan dirimu akhirnya terlalu letih diserang betapa 'perhatian' nya seorang Ramon. Mengalah, dan mulai memasukkan perlahan dirimu ke dalan takdir ku.

"Namaku, Anida."

"Anda?"

"Bukan, bukan Anda, tapi Anida."

"Oh, Anida, aku Ramon." Setengah berteriak menyaingi hiruk pikuk manusia yang diburu pertemuan-pertemuan. Bandara tak pernah sepi, seakan kota yang tak pernah mati. Terlalu banyak orang-orang sibuk di dalamnya.

Tak ada jabat tangan. Aku terlalu takut mengulurkan tangan, lagipula kamu seperti tipe wanita yang tak mau bersalaman dengan sembarang orang. Dan aku tak terlalu menyukai basa-basi.

"Mau pergi kemana Nid?" Aku memberanikan diri menyebut namamu, dan juga, berbasa-basi.

Matamu memandangi sekitar, seolah obrolan kita sedang direkam oleh pihak kepolisian. Atau jangan-jangan kau seorang buronan paling dicari.

Kutepis awan khayalan yang menggantung di atas kepalaku. Astaga, terlalu buruk kah aku berprasangka terhadap orang yang kukenal. Oh, bisa saja. Semua bisa saja terjadi. Dewasa kini penampilan tak selamanya menggambarkan kepribadian ototentik seseorang. Kadangkala, memasang seribu topeng untuk seribu alasan pembenaran atas apa yang dilakukan.

"Halo, halo.."

"Ah, maaf Ram. Hehehe. " Kau terkekeh bersikap seakan aku adalah pengagum rahasiamu. Ada benarnya, Sedikit.

"By the way, terima kasih telah mengajariku membuat latte yang enak."

Kau mengangguk, matamu tak bisa diam berkeliling. Aku bersumpah, kalau ada sesuatu yang terjadi. Entah itu tragedi bom atau penangkapan buron aku tak mau ikut campur.

"Aku ingin pergi ke Paris, Ram."

Saat dirimu menyebutkan Paris, iris mataku membesar. Kota impian, kota idaman setiap pemuja cinta. Bertahun lamanya aku berkhayal menjejakkan kaki ke tanah eropa. Terutama Perancis. Aku terlalu membanggakan kecadelanku, tentu saja aku menyebutnya dengan Rhotacism, terkesan lebih medis dan keren, menurutku. Sangat membantu saat aku mulai belajar bahasa Perancis, aksen 'cadel' ku membuatnya terdengar lebih natural.

"Wow, Paris. Jauh juga ya."

"Hmm.. Dan kamu mau pergi kemana?"

"Rumah."

Kau menyesap latte yang mendingin. Ada pertanyaan yang sepertinya masih tertahan di tenggorokanmu. Pandanganku beralih pada sebuah liontin berbentuk hati yang kau kenakan menghias leher.

"Rumah? Semua orang pasti kembali ke rumah bukan?"

"Ah kata siapa? Mungkin aku salah satu diantara orang yang menganggap tujuan wisata adalah rumah. Aku senang melancong. Kau lihat, paspor yang penuh stempel ini?"

Dirimu mendekat melihat seksama buku paspor yang lusuh. Aroma parfum menyerbak menghentikan akal sehat sejenak. Astaga, aku bagai anjing tak tahu malu. Malu-malu mengendus seorang gadis.

"Kapan kau akan berangkat ke 'Rumah'?"

Aku menggeleng, "Entahlah aku melewatkan penerbanganku 2400 jam yang lalu."

Matamu berkerut aneh, menelaah apa yang baru saja kuucapkan. "Maaf, 2400 jam? Bagaimana bisa?"

"Selalu bisa. Mungkin Tuhan menakdirkan cerita berbeda. Seharusnya aku pulang 100 hari yang lalu. Tapi aku memilih tinggal disini, di kota yang katanya dapat mengabulkan segala mimpi. "

Kau memandangi papan informasi digital keberangkatan. Masih ada dua jam lagi. Dan aku sepertinya tak tahu kapan akan pulang. Aku pelancong tuna wisma. Kemanapun aku akan pergi dan menganggap tempat itu sebagai rumah. Bisa saja hatimu salah satunya. Selalu bisa.

******
Kamu sepertinya hendak pergi ke suatu tempat. Sudah masuk jam makan malam. Perutku pun sontak menyanyikan lagu kebangsaannya.

"Bagaimana kalau kita makan malam bersama. Eh, tapi tunggu sebentar. Kau masih single kan?"

Astaga ajakan macam apa itu. Lancang sekali mulut Ramon menganggapnya sebagai gadis yang belum laku.

"Eh iya, boleh. Dan aku juga sedang sendiri, saat ini."

Deg. Saat ini? Apakah di lain tempat iya double? Maksudku, apa dia telah memiliki pasangan. Ah peduli amat, toh di jarinya belum tersemat cincin pengikat.

Mungkin sudah hampir 10 menit aku dan kamu berputar di lounge bandara. Memilih menu yang tepat. Yap, akhirnya kita berhenti di negeri sakura dalam restoran. Memesan sushi dan sake, berlagak sebagai ekspatriat di tanah sendiri.

"Bolehkah aku jatuh cinta kepadamu?"

Sebuah pertanyaan bodoh mengandung pernyataan konyol yang pernah diucapkan seorang Ramon.

"Mari bersepakat untuk tidak jatuh cinta." Katamu sambil menelan sushi.

"Kenapa?"

"Jatuh cinta hanya menjerumuskan orang ke dimensi yang tak membenarkan rasionalitas. Kadang betapa hebatnya ia bisa meluruhkan segala rasa sakit, namun di sisi lain cinta menjadi pedang berkarat senantiasa menusuk dan mengoyak hati yang dikhianti olehnya. Terutama kepada orang asing yang baru kukenal. Astaga cinta memang rumit, memilah dan memilih yang terbaik, bukan asal comot di sebuah lotre."

"Begitukah?"

"Ya, orang jatuh cinta menjadi irrasional."

Aku bergegas berlari keluar menuju satu tempat untuk membuktikan apa yang dikatakan olehmu benar adanya.

******

"Penumpang pesawat JeTaime Airlines tujuan Paris kami mohon maaf telah terjadi penundaan keberangkatan disebabkan hal teknis. Untuk waktu keberangkatan akan kami informasikan segera."

Langit malam begitu indah, deru mesin pesawat, awan-awan menyelimut bulan. Lampu-lampu menyilaukan mata dan saat itu aku berhadapan dengan pihak keamanan bandara.

"Untuk apa kau berbaring di landasan pesawat Tuan?"

Aku mencari alasan di langit-langit ruangan. Plafon rapuh, kurasa lama tak diperbaiki. Tunggu dulu, aku harus menemukan jawaban masuk akal. Semoga.

"Aku sedang jatuh cinta."

"Alamak, cinta ternyata buat berbahaya orang.juga." Gerutu petugas keamanan yang kalau tidak salah namanya, Girsang.

Setelah menjalani pemeriksaan, aku memutuskan untuk pergi bersamamu ke Paris. Kau memarahiku atas tindakan konyol yang kuperbuat. Tapi kau senang, setidaknya perkataanmu benar. Dan akulah orang yang memenangkannya.  Semoga aku boleh jatuh cinta.

****
Berjam-jam di atas langit, tidur di lapisan stratosfer. Akhirnya kami tiba di Paris. Menara Eiffel menjulang tinggi di tengah kota. Bukan lagi gantungan kunci yang selalu kubawa kemana-mana. Tapi ia bisa menjadi kunci menuju rumah yang kusebut hati, milikmu. Seorang pria bule melambaikan tangan ke arah kita berdua, aku curiga. Jangan-jangan…

"Hei Ramon, perkenalkan dia tunanganku Pierre. Dan Pierre ini Ramon."

Tunggu dulu, tunggu. Kenapa tiba-tiba aku melihat Eiffel bergetar, kenapa aku mendengar jantungku berhenti berdetak. Kenapa aku tak melihat cincin di jari manis Anida.

"Sayang, kemana cincin tunangan kita?" tanya pria perancis itu.

"Aku tak sengaja menjatuhkannya di wastafel bandara. Dan menurutku tak perlu simbol bukan untuk mencintai seseorang. Dan aku minta maaf Pierre."

"Oh tak masalah darling, I glad to hear your reason. Nanti aku belikan lagi."

Saat itu, aku ingin berlari sekencangnya bagai kilat. Memanjat Eiffel Tower berteriak pada dunia bahwa sekali lagi aku harus menunggu. Karena kamu bukan rumah yang harus kusinggahi.

Menunggu.

~doddy rakhmat
18.08.2015