"Aku ingin ke Spanyol, Mas."
Saya menatap mas Astri yang memohon sangat untuk dikabulkan. Aku tidak mengiyakan. Senyumnya menciut berubah jadi cibiran, diikuti dengan sumpah serapah setelahnya yang mungkin tidak ingin kalian denar. Malam itu saya baru saja pulang dari kantor. Lembur setiap malam untuk mengejar target penjualan sebagai sales. Upah tak seberapa namun Astri seakan tidak mengerti itu.
Prang.
Dia melempar vas bunga yang berada di atas meja ke arah saya. Meleset. Saya berhasil menghindar. Astri tambah gusar, ia menjambal rambutnya sendiri. Tatapan matanya yang menyala-nyala seolah ada kobaran api di dalamnya.
"Keluar kau sekrang dari rumahku, laki-laki miskin!"
Ia mengacungkan jarinya ke arah pintu rumah. Saya tidak beranjak. Astri meninggalkan saya dengan menggerutu sampai suaranya hilang di lantai dua rumah dan ditutup dengan suara pintu kamar yang ditutup keras. Anjing tetangga yang dari tadi menyalak mendadak terdiam. Menjelang tengah malam, saya yang berbaring di sofa mendengar suara isakan tangis dari lantai atas. Disusul dengan lolongan anjing yang panjang, membuat bulu kuduk saya meremang.
Tumben-tumbenan pikir saya Astri menangis sekencang itu. Tapi saya memilih untuk tetap di lantai bawah, mungkin dengan kesendirian Astri lebih tenang.
Keesokan harinya, saya mendapati Astri tampak muram. Dingin. Astri tidak pernah sedingin itu kepada saya. Ia lebih suka menyalak daripada berdiam diri. Gadis yang saya nikahi lima tahun silam itu awalnya adalah pribadi ceria yang murah senyum. Ia tiba-tiba begitu menggemari hal-hal berbau spanyol belakangan ini. Saya yang duduk di seberang meja makan melihat kehampaan pada matanya. Seolah ia tidak melihat saya di sana.
Ia hanya duduk diam. Melipat kedua tangan di atas meja.
"Kamu kenapa sih, Sayang? Saya mencoba memecah kebekuan suasananya.
Astri tidak menjawab. Saya pikir dia masih marah atas kejadian semalam.
"Aku akan berusaha agar kamu bisa ke Spanyol." rayu saya.
Dan dia tetap memilih diam.
Seminggu berlalu, tidak ada perubahan sikap dari Astri. Dia tetap dingin. Dan anjing tetangga selalu melolong lebih tepatnya seperti meraung setiap tengah malam.
Hingga suatu malam, saat hujan sedang turun rintik. Saya terbangun dengan suara langkah kaki terburu-buru yang melewati saya tidur di sofa. Pelan-pelan saya beranikan diri untuk memeriksa. Tapi tidak ada sesuatu di sana. Astri tetap tertidur seperti tidak ada gangguan. Namun dari jendela kamar lantai dua yang terbuka. Aku melihat bayangan hitam yang sedang berdiri di pekarangan rumah kami. Matanya merah menyala melihat ke arah saya. Saya mundur sejenak. Ada ketakutan yang muncul dalam diri saya. Dan entah mengapa saya ingin mengambil telepon genggam untuk merekam apa yang saya lihat. Namun makhluk itu tidak ada lagi di sana. Apakah dia hantu? Saya tidak yakin, tapi dengan mata merahnya. Itu semua bisa jadi.
Ajaibnya, keesokan hari Astri tampak riang, lebih bahagia dari sebelumnya. Ia ramah dan menyiapkan segala perlengkapan kerja saya. Dan mengingatkan saya agar tidak terlambat makan. Saya turut bahagia Astri telah kembali seperti saya mengenalnya pertama kali.
Malam hari ketika saya pulang dari kantor. Astri menyambut saya dengan kelembutan. Memijat hingga penat seharian saya hilang. Tak lama saya jatuh tertidur.
Saya terbangun pada tengah malam, saya rasa. Udara terasa amat dingin. Terdengar seseorang masuk ke dalam rumah. Seorang pria yang tidak aku kenali kecuali dari matanya yang merah menyala. Ia disambut oleh Astri dengan rangkulan mesra. Mereka berpelukan erat. Saya dapat melihat tangan Astri yang berlumuran darah. Saya menjadi khawatir. Laki-laki itu pasti punya niat buruk kepadanya. Tapi tunggu dulu, kenapa saya tidak bisa bergerak. Dan saya baru menyadari sepertinya tidak ada yang bisa saya usahakan selain melihat Astri sepanjang malam bercumbu dengan laki-laki misterius itu dari celah pintu kulkas yang terbuka sedikit. Tempat Astri dan laki-laki bermata merah menyala menyimpan kepala saya.
Duradero, bahasa spanyol yang berarti Awetan.