Senin, 28 Maret 2016

Tuhan dan Pacar

'Tuhan dan Pacar'

Tuhan dan Pacarmu itu berbeda
Untuk apa mendewakan waktu kepada orang yang belum tentu jodohmu?

Tuhan dan Pacarmu itu berbeda
Pacarmu dicuekin sedikit bilang tak peka
Tuhan selalu peka walau Dia dicuekin

Tuhan dan pacarmu itu berbeda
Tuhan penyedia jodoh
Dan pacarmu bisa jadi perebut jodoh orang lain

Tuhan dan pacarmu itu berbeda
Kalau putus, jadi mantan pacar
Putus sama Tuhan? Apa ada Mantan Tuhan?

*Doddy R

#Hari28 #1hari1puisi

Bayangan

'Bayangan'

Hai bayangan
Kapan kau keluar dari persembunyian
Tidakkah kau lelah berada di bawah sana?

Hai bayangan
Apakah dirimu menyimpan dendam?
Hingga dirimu terlampau kelam

Hai bayangan
Kemarilah aku menunggu
Ada banyak kepedihan yang ingin kuceritakan

Hai bayangan
Bagaimana bila kita berpisah
Singgahlah ke tubuh berbeda
Sementara aku mencari bayangan yang lain

*Doddy R

#Hari27 #1hari1puisi

Sabtu, 26 Maret 2016

Doa

'Doa'

Ada khawatir saat aku bermunajat
Di tengah malam di antara nyanyian jangkrik
Adakah kau menyematkan namaku di antara doamu
Atau ia sudah berganti dengan yang lain
Tanpa aku tahu

Aku khawatir
Karena kau adalah pendoa ulung
Sejak aku menyuguhkan tangis pertama pada dunia
Padamu
Ibu

*Doddy R

#Hari25 #1hari1puisi

Jumat, 25 Maret 2016

Libur

'Libur'

Tiada libur paling bahagia saat terlepas dari masa silam pahit ; sendiri merasakan cinta yang beku. Tak berbalas.

Aku mencederaimu dengan jatuh cinta agar kau libur dari patah hati dan muram durja.

Namun, kau memilih libur selamanya untuk tidak mencinta atau membiarkan hatimu terbuka

*Doddy R

#Hari24 #1hari1puisi

Kamis, 24 Maret 2016

Pemenang Giveaway Tere Liye

Selamat pagi, siang, malam para pembaca setia blog Doddy Rakhmat.com setelah lebih dari sebulan Giveaway Tere Liye berlangsung. Hari ini saya akan mengumumkan pemenang beruntung yang akan mendapatkan buku karya Tere Liye berjudul Pulang dan Hujan edisi TTD.

Cerpen ini saya pilih atas pertimbangan teknik bercerita, mengurai konflik dan menghidupkan semua karakter dalam cerita tergolong bagus dan nyaman untuk dibaca. Walaupun masih ada beberapa kata yang harus disesuaikan EYDnya menjadi catatan pembelajaran bagi pemenang.

Ini dia ceritanya!

------------

PULANG
(Harisma Wardani Ningtyas)

Kabut tipis menuruni kaki bukit menyertai kepulangan Ayah dari perantauannya. Kokok ayam masih belum usai. Sisa hujan semalam membuat udara pagi ini dingin menusuk. Ia menggendong sebuah tas ransel lusuh. Langkahnya tegap. Di tangan kirinya membawa sepasang sepatu baru berwarna putih bersih. Kontras dengan baju kemeja yang dipakainya. Kami baru saja selesai menimba air, mengisi tong-tong besar untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku -Mada- dan ketiga saudaraku, Gani, Rumpun dan Lara berdiri di depan rumah menyambut kedatangan Ayah. Hampir dua tahun ia pergi. Dan sebelum musim panen padi inilah dirinya pulang. Mata kami tertuju pada satu hal yang sama. Sepatu.

"Mak, Ayah pulang…" teriak kami serempak memberitahu Mamak.

Prang.

Terdengar bunyi barang pecah belah menghantam lantai. Kami tersontak kaget lantas berlarian ke sumber suara dan mendapati Mamak terbelalak pucat, menatap kepingan piring yang berserakan tak jauh dari kakinya. Ketika ia mengalihkan pandangan ke arah kami, wajahnya tampak merah. Tanpa memperdulikan pecahan yang ada ia berjalan ke ruang depan, menemui ayah dan tanpa basa-basi langsung menamparnya.

"Kenapa kau pulang sekarang, hah?" seru Mamak murka. "Bukankah kau kata di suratmu waktu itu kau tidak akan kembali?"

Kami terkejut, dan lebih lagi ketika ayah hanya diam saja. Setelah Mamak tak lagi berkata, perlahan ia menurunkan sepatu putih yang dipegangnya dan meraih sebuah amplop dari dalam tas. Lalu berucap, "Uang, untuk anak-anak."
Mamak terpaku menatap amplop itu, lalu menerimanya, tanpa sadar meneteskan air mata yang semakin lama semakin banyak. Tak mengerti, kedua adikku yang terkecil bergerak maju, memeluk Mamak yang kini tersendu.

Aku hanya menatap ayah, memeluk Gani yang juga tampak tak yakin dengan situasi yang kami hadapi saat ini.

Ekspresi ayah juga tampak begitu sendu, namun senyum yang mengembang di bibirnya jelas menunjukan bahwa setidaknya, ia saat ini bahagia.

"Aku pulang."

Suasana setelahnya tak lebih baik dibandingkan sebelumnya. Mamak memilih untuk kembali ke dapur, memilih menjauhi ayah untuk sementara waktu. Matanya yang merah tak luput dari perhatianku. Membuatku sedikit banyak berpikir, mengamati dengan penuh perhatian pada sosok ayah yang kini tampak sedang tersenyum bersama saudaraku yang lain.
"Jadi bagaimana kabar kalian?" tanyanya sambil menarik Lara ke pangkuannya. Gadis mungil itu tertawa, memegangi kedua tangan ayah yang melingkari pinggangnya. Merasakan kembali bagaimana rasanya memiliki sosok lain selain Mamak di dalam keluarga ini.

Ganilah yang akhirnya membalas balik, "Ayah sendiri, bagaimana di sana? Kota itu bagaimana?"

"Bagus, banyak gedung. Dan jalannya rata." Jawaban tipikal, namun dari cara bicaranya, kurasa ia memang menganggap hal itu penting untuk kami ketahui.
"Waa," serempak kedua adik terkecilku berseru.
"Nah, bagaimana dengan kalian? Mada? Sekolahmu bagaimana?"

Aku yang sedari tadi hanya terdiam tersentak. Berkedip beberapa kali sebelum memaksakan seulas senyum di wajah. Apa yang harus kukatakan? Bukankah seharusnya di sini aku yang bertanya? Kenapa ayah tak pernah mengabari? Kenapa Mamak tadi menangis? Kenapa — "Mamak tidak bisa mendaftarkanku, jadi sekarang aku membantu di tuan Ringo," ujarku akhirnya, tanpa sadar membuat Gani bungkam.

Aku hanya melirik adik lelakiku itu. Mungkinkah ia masih merasa bersalah karena masih menganggap dirinyalah yang membuatku tak bisa melanjutkan pendidikanku lagi?
"Oh..." Ekspresi Ayah seperti sedang mencoba menelan informasi yang kuberikan tadi bulat-bulat. "Kalau Gani, Rumpun?" tanyanya dengan nada kembali ceria.
"Baik, sekolah juga," balas Gani sambil tersenyum kecil.

Ayah ikut tersenyum. Menundukan pandangannya pada Lara yang kini bermain-main dengan jarinya ketika ia membisikan kata selanjutnya.

"Baguslah."

Kalaupun aku mendengar, aku memilih untuk tidak berkomentar.

Setelah makan siang, Ayah memutuskan untuk mengunjungi rumah kakek nenek yang tak jauh dari rumah. Mamak sendiri sibuk mengupas bawang — dibantu Gani dan Rumpun. Setelah selesai memotongi kayu untuk persediaan memasak, aku pun memilih untuk menyusul ayah, mengetahui benar jika mungkin akan lebih baik jika pertanyaanku ini kutanyakan tanpa kehadiran anggota keluarga yang lain.
Jadi aku pun pamit, beralasan pergi ke rumah Deni untuk membantunya merawat koleksi burungnya lagi. Mamak menggeleng, mengerutkan kening. Bergumam mengenai apa sebenarnya yang menarik dari merawat burung-burung semacam itu. Yang mana hanya kubalas dengan kedua bahu terangkat tak acuh. Namun sejenak, aku senang karena Mamak tampaknya sudah tidak memikirkan kejadian tadi pagi.
"Aku pergi dulu," ujarku sambil berjalan pergi.

Kucoba, namun nampaknya gagal. Oh, harusnya aku tak terkejut jika sampai mendengar suara amarah menyertai kepergian ayah dari rumah kakek nenek. Aku menatap balik, ayah yang kini memandangku dengan raut kecut. Ia memaksakan wajah lelahnya tetap terlihat kuat. Menghampiriku sambil berkata, "Mau ke warung?"
Aku hanya mengangguk, kaku.

"Kau mau kemana?"

"Menemui ayah," jawabku memilih untuk jujur. "Bertanya. Tapi aku tak yakin Mamak akan setuju jika aku melakukannya di rumah."
"Ya, ya, aku paham." Ia mengangguk ketika memesankan dua gelas kopi untuk kami berdua.
"Jadi apa yang kau tanyakan?" tanyanya sambil mengaduk kopinya sebelum menyesapnya lamat-lamat.

Sejenak, aku menatap ke arahnya, mendapati bahwa pikiranku mendadak kosong. Seluruh pertanyaan yang sudah kususun menghilang entah kemana. Kupandang arah lain. Lalu akhirnya memilih untuk mengatakan apapun yang ada di pikiranku saat ini.

"Sepatu ayah..." Aku kembali teringat warna putihnya yang tak memiliki setitik noda sedikitpun. "... baru, ya?"

Ayah tertawa. "Itu untukmu. Aku belum bilangkah? Hah! Sudah tua rupanya aku ini," ujarnya sambil menggelengkan kepalanya. "Kau ingat dimana aku menaruhnya tadi?"

Aku mengangguk, menuangkan kopiku pada tatakan gelas dan pelan-pelan meminumnya dari sana. "Rumpun meletakannya di almari tadi."

"Hoo."

Mengulum bibir, aku memutuskan untuk bertanya lagi, "Kau... tak memberi kabar. Kenapa?"

Dan ia terbelalak, lalu tersenyum. Menatap kopi lagi dan berkata lirih.

"Begitukah? Mamakmu... Tentu saja, ia pasti menyimpannya sendiri."

"Maksud ayah?"

"Ayah, cuma berkunjung di sini," ujar ayah selanjutnya. "Memang apa yang Mamakmu katakan selama kepergianku?"
Aku mengerutkan kening, tak mengerti apa hubungan dari kedua perkataan tersebut. Namun aku tetap berkata, "Mamak bilang ayah merantau, cari uang. Kalau iya kenapa ayah tidak mengirim apapun? Apa Mamak menyimpannya sendiri? Kenapa Mamak menampar ayah tadi? Maksudku —" Aku tersedak. "Kau tahu, terkadang tetangga sering berkata miring pada Mamak. Bilang kalau ia —"
Aku tak bisa melanjutkan.

Pada akhirnya tak ada pertanyaanku yang terjawab. Dan setelah pembicaraan itu terjadi, aku baru menyadari betapa pucatnya wajah Mamak semenjak tadi pagi. Ia tampak mencoba bersikap sewajarnya di hadapan ayah. Menimpali setiap ucapan dengan nada datar yang tak mewakili sedikitpun perasaannya.
Namun tentu, kami menyadari betul betapa canggungnya suasana tersebut. Meskipun mungkin, hal itu luput dari perhatian kedua saudaraku yang terkecil, yang sampai saat ini masih dengan riangnya bergelayutan pada ayah. Mencoba menyampaikan kerinduan yang sudah lama mereka pendam.
Aku sendiri, dan Gani,memutuskan untuk diam-diam memperhatikan saja. Bahkan ketika kami sadari tas ayah masih teresleting rapi. Atau ketika Mamak berujar pelan saat dua saudara kami bermain di perkarangan, tak mengacuhkan kami yang masih duduk di dalam rumah, dimana membuat kami otomatis masih bisa mendengar pembicaraan mereka yang kini duduk berdampingan di teras depan.
"Apa yang terjadi?" tanya Mamak. Kami hanya dapat melihat punggung keduanya. Sehingga akhirnya mencoba menebak sendiri ekspresi apa gerangan yang sedang ditunjukan oleh mereka.
Ayah terdengar menghela nafas sebelum akhirnya menjawab.

"Ia meninggal. Anak-anak ditinggalkan ke rumah nenek mereka."

Aku tahu, aku tahu seharusnya ucapan itu — UCAPAN ITU berarti sesuatu lebih untukku, untuk Mamak, untuk kami. Namun Mamak dengan mudahnya hanya membalas balik, bahkan tak sedikit pun mencoba mengkonfirmasi.

"Hmm."

Ayah tampak mendongak, menyesap batang rokok ketika setelah kediaman yang terjadi beberapa saat diantara mereka akhirnya diputus saat ia mengatakan.

"Kau mengerti bukan? Jika aku pergi lagi, kali ini. Aku mungkin tidak akan bisa kembali. Mereke membutuhkanku. Dan kau pasti mengerti."
"Tak apa. Pergi saja," Mamak masih tak acuh saat membalasnya.

"Aku... akan mengirimkan uang." Kini ia mengucapkan itu dengan nada mencoba meyakinkan, entah untuk dirinya sendiri atau Mamak yang masih pasif dalam kebungkamannya.
"Tak usah kau repotkan diri. Aku tak perduli."

"Kau perduli," Ayah berkata balik.

Mamak terdiam. Kepalanya yang tertunduk didongakan. Menatap ke arah Lara yang kini sedang mengejar anak ayam tetangga dan Rumpun yang memetiki bunga-bunga rumput liar saat ia menjawab, "Ya."

Ayah berkata sekali lagi, "Kau masih perduli."

Mamak kali ini tak coba lagi menimpali.

Entah esok, atau lusa, ketika ayah memutuskan untuk pergi lagi dan meninggalkan kami, desa akan dipenuhi oleh kabar miring; mengenai Mamak kami yang ditinggal melarikan diri. Aku hanya menatap ke sepasang sepatu putih yang masih bersih di almari. Mencoba menetapkan hati atas apa yang sebenarnya keluargaku ini alami.
Kenyataan bahwa Mamak bahkan tak mengelak dari segala tuduhan tersebut, harusnya menyadarkanku bahwa prasangka yag kupendam memang benar adanya.
Namun Mamak hanya tersenyum. Dan berkata, "Kau harusnya mengerti, Bujang. Ayahmu itu bukan pergi, ia pulang kembali."

Dan ketika aku mengerti maksud ucapan tersebut, aku tak bisa menahan diri — aku pun menangis.
Rumah kami bukanlah rumahnya lagi.

------

Selamat buat Harisma, semoga bukunya bermanfaat dan teruslah menulis untuk kebaikan!

Salam,

Doddy Rakhmat

Jatuh Cinta

'Jatuh Cinta'

Aku jatuh cinta
Jatuh bagai bintang di langit
Karena hanya tersisa harap
Dan patah hati
Yang menakuti
Untuk jatuh cinta
Lagi

*Doddy R

#Hari23 #1hari1puisi

Daya Simpan Kenangan

'Daya Simpan Kenangan'

Aku ingin berdamai dengan luka ini
Satu-satunya cara adalah menjauh pergi
Kedua kaki tak mampu membawa sejengkal kenangan
Yang tak pernah bisa terhapus dari memori

Aku mulai khawatir
Seberapa lama kenanganmu tersimpan
Apakah selamanya?
Apakah ada masa ketika dirimu tergantikan?

Menjadi dilema kala
Aku membuka percakapan lama yang tersimpan
Seolah dirimu masih di sana
Bertatap denganku
Lalu aku kembali terluka
Mengapa?

Dan aku semakin percaya
Bahwa kenangan
Tak punya daya simpan
Karena ia berada dalam udara
Dan setiap detik aku dapat menghirupnya

*Doddy R

#Hari22 #1hari1puisi

Pujangga Lantai Dua

Orang-orang memanggilnya Pujangga Lantai Dua. Hampir setiap malam dari kamarnya terdengar sajak-sajak pilu. Kata-kata yang dipilihnya tak jauh dari kesedihan atau kegagalan. Aku curiga ia tenggelam dalam patah hati tak berkesudahan.

Sebagai tetangga, aku pernah sekali berbincang dengannya. Dan ia bercerita banyak hal yang memikat hingga aku bingung untuk memutuskan jatuh cinta padanya atau tidak. Malam dituruni gerimis, teras rumah terasa sejuk. Pemuda itu keluar dari pintu rumah.  Membawa sebuah buku bersampul abu-abu. Ia mengenakan kaus abu-abu berpadu dengan celana panjang kotak-kotak semata kaki.

Aku menawarinya minum teh jahe dan semangkuk mie rebus pedas. Ia tak menolak. Malam itu ia tidak membacakan sajak-sajak.

"Aku membeli buku-buku itu dari bayaran manggung yang tak seberapa. Hanya ada 12 buku puisi yang tersusun dalam kamarku. Semua kuletakkan dalam rak berbentuk dahan pohon yang meranggas mengarah ke jendela. Aku punya empat jendela mata angin. Di setiap dinding kamar, aku memiliki satu jendela. Karena aku menyukai lanskap kota tua ini. Kota penuh kepedihan hidup."

"Kau tahukan orang-orang memanggilmu di sini apa?"

"Pujangga lantai dua. Benar kan?"

Aku mengangguk. Ia balik bertanya, "Menurutmu apa yang kau ketahui dari istilah pujangga?"

Dedaunan pohon tertiup angin. Suasana teras semakin senyap. Hanya ada suara jangkrik sayup-sayup dari semak belukar.

"Pujangga menurutku adalah manusia sok bijak yang hobinya bersajak."

"Hmm, terdengar menarik." Ia mengagumi jawabanku. Tatapan matanya seolah menarik keluar kebohongan.

"Aku penasaran dengan apa kau menafkahi kebutuhan sehari-harimu?"

Ia mengalih pandangan sejenak ke arah tumpukan kue kering di meja. Lalu ia mengambil satu dan menggigit perlahan. Seolah mencipta jeda untuk berpikir.

"Aku membacakan puisi-puisi di radio. Di acara kampus. Atau kalau lebih beruntung diundang ke festival."

Aku menaikkan alis, "Cukupkah?"

Ia tertawa renyah, "Tentu saja. Walau aku harus mengurangi jatah makan malamku."

Aku balik tertawa, "Beruntung sekali malam ini dapat mie rebus dariku kan?"

Ia hanya mengangguk sembari meneguk teh jahe buatanku. Matanya teduh. Aku buru-buru membalik pandangan saat ia memergokiku menatap dirinya.

"Apa hal yang paling membuatmu bahagia di dunia ini?"

Ia mendeham. "Menuliskan puisi dengan hati untuk orang yang kucintai. Lalu membacakannya lirih."

*****

Aku mungkin jatuh hati padanya. Bukan karena kisah hidupnya yang terkatung-katung di antara sajak-sajak yang dituliskannya. Tapi kepada cara ia menatapku dalam-dalam. Memberi ruang terbaik kepada wanita yang ingin tinggal dalam mata teduhnya.

"Bisakah kau buatkan satu puisi untukku?"

Pemuda itu menoleh dan meletakkan mangkuk mie rebus ke meja.

"Kamu mau aku buatkan?"

"Tentu saja, dengan hati ya."

~Doddy Rakhmat
24.03.2016

Senin, 21 Maret 2016

Rahasia Besar Langit

'Rahasia Besar Langit'

Saat matahari padam
Langit mati
Bulan menguasai malam

Aku dibisiki langit
Sebuah rahasia besar
Ia mendengarnya
Dari seseorang di bawah naungannya
Katanya ia menyebut namaku dalam doa

Saat hujan
Konon Mamak sedang menangis
Ia merindukan anak semata wayangnya

Saat senja menyambut
Konon Mamak sedang merenungi
Apakah letih anaknya sama dengan yang ia rasa

Saat malam menutup hari
Konon Mamak berdoa
Agar esok hari ia diberi kesempatan
Untuk mendoakan anaknya lagi
Dan lagi
Hingga langit tak bisa lagi mendengarnya

*Doddy R

#Hari20 #1hari1puisi

Minggu, 20 Maret 2016

Rahasia Besar Langit

'Rahasia Besar Langit'

Saat matahari padam
Langit mati
Bulan menguasai malam

Aku dibisiki langit
Sebuah rahasia besar
Ia mendengarnya
Dari seseorang di bawah naungannya
Katanya ia menyebut namaku dalam doa

Saat hujan
Konon Mamak sedang menangis
Ia merindukan anak semata wayangnya

Saat senja menyambut
Konon Mamak sedang merenungi
Apakah letih anaknya sama dengan yang ia rasa

Saat malam menutup hari
Konon Mamak berdoa
Agar esok hari ia diberi kesempatan
Untuk mendoakan anaknya lagi
Dan lagi
Hingga langit tak bisa lagi mendengarnya

*Doddy R

#Hari20 #1hari1puisi

Sabtu, 19 Maret 2016

Merayakan Hujan

'Merayakan Hujan'

Orang-orang patah hati
Mendengar rintik hujan
Sebagai nyanyian pilu
Yang kerap kali didengar
Lalu mereka meringkuk di bawah selimut

Orang-orang patah hati
Mencuri dengar gerimis
Sebagai tangisan lirih
Mengingatkan mereka
Tentang luka yang menjelma kesedihan

Orang-orang patah hati
Merayakan hujan
Dengan doa-doa
Berharap kenangan buruk
Tak terulang kembali

Orang-orang patah hati
Merayakan hujan
Sebagai pengantar ke alam bawah sadar
Menenggelamkan luka dan semestanya

*Doddy R

#Hari19 #1hari1puisi

Jumat, 18 Maret 2016

Bulan Separo

'Bulan Separo'

Bulan separo
Menerangi wajahmu
Membias sedih yang menggelayut di ujung mata

Bulan separo
Pendengar setiamu
Di bawah hamparan langit, kamu berteriak
Seolah kau nestapa
Satu-satunya di dunia

Bulan separo
Menggantung di langit malam
Mengiringi kaki terayun
Terbawa ragu dan pasrah
Membawa nafas dan dendam

Bulan separo
Memantul di air danau
Terpecah oleh sekumpulan angsa
Menjauhimu yang mengapung di atas air
Tanpa nafas dan dendam telah berpindah alam

*Doddy R

#Hari18 #1hari1puisi

Kamis, 17 Maret 2016

Pemberontak Kecil

'Pemberontak Kecil'

Barangkali suatu hari
Kita pernah mengindah perintah
Dari orang tua atau Tuhanmu
Melahirkan pemberontak kecil
Tumbuh dalam puing-puing batin

Masa lalu selangkah ke belakang
Menghembus tanpa toleh
Diam-diam dosa menyelinap
Tak terukur
Menenggelamkan kebaikan satu gunung
Melahirkan pemberontak kecil
Bernama manusia

Pemberontak kecil
Meragukan Tuhan
'Bukankah aturan dibuat untuk dilanggar?"
bisiknya

*Doddy R

#Hari17 #1hari1puisi

Ayah

'Ayah'

Ayah adalah pesawat udara
Dengannya aku terbang tinggi

Ayah adalah kapal laut
Dengannya aku menerjang ombak

Ayah adalah mobil balap
Dengannya aku melesat cepat

Ayah adalah sepeda tua
Dengannya aku ingat dunia hanya sementara

*Doddy R

#Hari16 #1hari1puisi

Melupakan

'Melupakan'

Mungkin tidak ada cara terbaik untuk melupakan
Selain tetap berjalan dengan tanpa kata toleh

Mungkin tidak ada hal yang baik untuk dilupakan
Karena tidak ada cela dalam kenangan kita

Mungkin melupakanmu
Adalah luka paling dalam
Yang harus kuobati sepanjang zaman

*Doddy R

#Hari15 #1hari1puisi

Selasa, 15 Maret 2016

Bersekutu dengan Rindu

Bersekutu dengan Rindu

Aku rindu
Belum tentu engkau cinta

Aku cinta
Belum tentu engkau menerima

Aku menerima
Belum tentu engkau bahagia

Hidup kadang-kadang
Disibukkan perkara cinta
Beda hati beda takarannya

Aku memilih bersekutu dengan rindu
Karena bersekutu denganmu
Aku hilang kendali.

*Doddy R

#Hari14 #1hari1puisi

Melupakan

'Melupakan'

Mungkin tidak ada cara terbaik untuk melupakan
Selain tetap berjalan dengan tanpa kata toleh

Mungkin tidak ada hal yang baik untuk dilupakan
Karena tidak ada cela dalam kenangan kita

Mungkin melupakanmu
Adalah luka paling dalam
Yang harus kuobati sepanjang zaman

*Doddy R

#Hari15 #1hari1puisi

Minggu, 13 Maret 2016

Winning Movement Writing Competition

Berawal dari informasi yang disebarkan via grup Whatsapp saya mengetahui Movement Writing Competition yang diselenggarakan oleh Generasi Kreatif Garuda Keadilan bekerjasama dengan media ampaskopi.com. Kompetisi itu diadakan setahun yang lalu.  Dengan mengusung tema hijrah. Nama-nama juri yang menyeleksi naskah pun profesional seperti Anis Matta, Kang Abik dan Zara Zettira. Hadiah utamanya iPhone 5, naskah dibukukan dan ada kesempatan untuk di filmkan

Ide cerpen itu sendiri muncul setelah saya sholat jum'at di masjid. Kebetulan saat itu saya dinas luar. Dan menulis cerpennya satu hari penuh mulai pagi sampai malam pada saat hari libur. Saat itu saya menulis mengalir saja. Tanpa membuat kerangka. Setelah selesai saya langsung baca ulang, mengedit hingga menurut saya sempurna tanpa cela EYD atau logika.

Bagi saya menulis cerpen Perkara Peci dan Azan Yang Tak Pernah Selesai adalah perjalanan spiritual yang mengingatkan saya kepada kampung halaman dan sosok Bapak. Dengan setting cerita pesisir sungai Mentaya di Kalimantan saya ingin mengenalkan daerah tempat saya dilahirkan.

Naskah tersebut saya kirimkan lengkap dengan biodata. Beberapa bulan kemudian hingga tanggal pengumuman, pihak panitia memohon maaf ada keterlambatan. Sudah terseleksi 50 naskah kemudian akan dilakukan seleksi tahap 2 hingga mendapat 10 naskah terbaik. Sampai tanggal yang ditentukan belum ada lagi kabar dari panitia. Saya memutuskan untuk tidak mengusut atau apapun. Saya hanya bisa menunggu.

Beberapa bulan kemudian. Awal tahun 2016, Saya kaget dihubungi oleh pihak panitia. Beliau meminta kembali naskah cerpen untuk kompetisi Movement dan menginformasikan akan diseleksi bersama beberapa naskah lainnya. Untuk menentukan pemenang, ujarnya.

Akhirnya kabar baik itu datang di saat yang tepat, bahkan di saat diri tak lagi berharap. Tanggal 9 Maret 2016 tepat tengah malam. Ibrahim Khalil, teman satu komunitas One Week One Paper mengirim infografis terkait pengumuman Movement Writing Competition. Dan nama saya ada di sana. Di bawah simbol trofi. Setelah saya konfirmasi lagi ke pihak panitia, memang benar bahwa saya memenangkan kompetisi tersebut. Saya mengabari Bapak, dan beliau ikut bahagia.

Pelajaran yang bisa saya dapatkan dari peristiwa ini saya semakin percaya pada bahwa usaha terbaik diikuti dengan doa dan kesabaran akan membuahkan hasil. Teruslah menulis! Karena takdir selalu punya cara sendiri untuk membawamu ke momen luar biasa!

Salam.

Hujan dan Ladang Sunyi

'Hujan dan Ladang Sunyi'

Manakala hujan kehilangan tempat jatuh
Adakah airmata pantas kau turunkan di pipimu?
Rindu telah mengutus hujan agar menyampaikan kepada orang-orang di bawah naungannya.
Dan sebagian dari mereka akan berlindung dan yang lain membiarkan diri basah menerima segala rindu.

Lain rindu lain pula patah hati

Patah hati
Bagai bersembunyi dalam ladang sunyi
Penuh dandelion bergeming ditiup angin
Teguh di bawah terik di bawah hujan
Bahagia pun muram durja

Lepaskanlah rindu maupun rasa yang telah usang seperti dandelion menanggalkan malai-malainya.
Indah tertiup angin, walaupun menyakitkan.

*Doddy R

#Hari13

Sabtu, 12 Maret 2016

Panggung dan Bar

'Panggung dan Bar'

Hai anak muda
Bawalah langkah tegapmu
Dengus nafas yang dikandung
Sesakilah mesjid, langgar, mushola
Jangan menunggu tubuh diselimut renta
Gaungkanlah keagungan nama-Nya

Hai anak muda
Peliharalah tutur kata
Jadilah khalifah atas dunia
Yang tak melupa
Akhiratnya

Karena tibalah negeri pada suatu petaka
Bila panggung mimbar sepi penghuni
Namun panggung dan mini bar ramai didatangi

*Doddy R
#Hari12 #1hari1puisi

Jumat, 11 Maret 2016

Bunga Tak Pernah Layu

'Bunga Tak Pernah Layu'

Ibu menanam bunga-bunga
Di ladang hati
Menuai bahagia-bahagia
Merekah setiap hari

Ibu merawat bunga-bunga
Bertumbuh di taman jiwa
Menyiangi belukar prasangka
Membuang segala curiga

Ibu menyiram bunga-bunga
Semerbak rindu penuh di dada
Mengantar pada surga

Ibu adalah bunga tak pernah layu
Tak pernah tercabut sedikitpun
Dari hidupmu

*Doddy R

#Hari11 #1hari1puisi

Kamis, 10 Maret 2016

Dalam Doa

'Dalam doa'

Dalam doa
Tentang harap
Kadang memaksa agar kabul
Terucap lirih seolah Tuhan hanya mendengar dalam bisik

Ada nama mamak
Ada namamu
Bersanding dalam doa
Menantu dan mertua

Dalam doa
Ada namamu
Dan namaku
Tidak ada namanya
Kekasih yang sempat singgah sementara

Dalam doa
Memberkahi bahtera dunia dan surga
Diam-diam
Kau pun mendengar
Dan kita sama-sama berucap lirih,
Amin.

*Doddy R

#Hari10 #1hari1puisi

Rabu, 09 Maret 2016

Gerhana Matahati

'Gerhana Matahati'

Sebelum kebenaran dan kebatilan dikenal
Bulan telah berikrar berpisah dengan matahari
Di hamparan langit
Membentuk janji setia alam
Agar manusia mengenal lelah
Siang malam

Pada suatu nanti, mereka melanggar sumpah abadi
Dan gerhana paling kelam terjadi
Jikalau mata batin tertutup oleh dunianya sendiri

*Doddy R

#Hari9 #1hari1puisi

[Review] Jam Berapa Sekarang...?

"Kadang Tuhan Senang Bermain-main"

Sebaris kalimat yang tertulis di sisi kiri atas bagian buku membuat saya penasaran cerita apa yang bisa diperoleh dari sebuah buku novel berjudul Jam Berapa Sekarang...? karangan duo penulis. Hardianti Lina dan Arief Agustianto. Buku setebal 250 halaman ini diterbitkan oleh Elex Media pada tahun 2014. Saya menemukannya di salah satu rak toko buku kecil di kota akhir bulan lalu.

Buku ini menceritakan tentang kisah dua gadis malang, Mariam dan Lidya. Mereka menerima ketidakadilan oleh orang-orang sekitar akibat perilaku bejat orang lain. Mariam dan Lidya memiliki cara bertolak belakang menghadapi masalah yang melanda kehidupan mereka. Mariam dengan ketabahannya sedangkan Lidya dengan amarah dan dendam.

Dengan sudut pandang orang ketiga penulis berhasil mengajak pembaca untuk melompat ke dalam pikiran dan perasaan dari satu tokoh ke tokoh lainnya, diksi yang digunakan mengajak kita untuk merasakan rapuhnya jiwa tokoh, begitu kompleks permasalahan, dan juga detil-detil. Setiap tokoh saling berkaitan dari awal cerita sampai akhir, mereka seolah berada di satu garis lurus takdir.Tak terpisahkan.

Beberapa hal yang menurut saya kurang dari buku ini adalah ada dialog yang bahasanya tidak sesuai dengan latar belakang karakter tokoh. Seolah-olah bukan si tokoh yang berbicara melainkan narator. Karena penggunaan kata yang terlampau tinggi dan terlalu berlebihan untuk diucapkan oleh tokoh-tokoh dalam cerita.

Twist dan open ending. Ada kejutan di bagian akhir cerita dan memberikan kesempatan untuk pembaca menafsirkan kelanjutan cerita.

Secara keseluruhan buku ini mengajak kita untuk lebih peduli kepada orang sekitar terutama perempuan dan membuka kembali pemahaman reaksi psikis seseorang terhadap suatu masalah pelik.

"Hidup kadang terlalu keras bila hati kita tidak melunak."
-Doddy R

Selasa, 08 Maret 2016

Menenggak Air Mata

"Menenggak Air Mata"

Cinta-cinta yang mati
Terlahir menjadi bintang
Rindu-rindu terhenti
Mencipta matahari
Sedih akan tumbang
Menumbuh hujan-hujan di taman langit

Atas nama anomali rasa
Biarkan aku
Menenggak air matamu
Menyeduhnya dengan kesedihan melarut hingga sumur tangismu mengering
Dan tiada lagi pilu yang dapat kau tumpahkan

*Doddy R

#Hari8

Senin, 07 Maret 2016

Konspirasi Selimut

"Konspirasi Selimut"

Dingin yang menjebaknya semalam
Dalam selimut bekas bercinta
Musik sumbang mengubur dusta
Menyimpan setia rapat-rapat

Bau hujan dan parfum jalang
Menutup kedua matanya
Batin dan sepasang  lain
Yang tersemat di antara kepala yang bekerja

Selimut memeluk erat
Menyembunyi aurat terpapar dosa
Dunia tak lagi perjaka
Dan kejujuran hanyalah perawan yang berdusta

*Doddy R

#Hari7 #1hari1puisi

Minggu, 06 Maret 2016

Tong Kosong Ada Isinya

"Tong Kosong Ada Isinya"

Tong kosong merdu mendayu
Syahdu memekak sunyi
Membangunkan ayam ayam kesiangan

Tong kosong tak betul melompong
Ada ketiadaan di dalam
Udara semesta
Tidak ada kosong yang betul melompong
Tiada hampa

*Doddy R

#Hari6 #1hari1puisi

Sabtu, 05 Maret 2016

Embun Gerimis

Embun Gerimis

Tiada syahdu melebihi dari embun
yang berpisah dari ujung dedaunan
Jatuh untuk menjalani takdir
Seperti cinta di hati yang tepat

Tibalah saat ia berkhianat
Menguap menjadi hujan
Terhempas di lepas laut
Tak lagi hati menyambut

Aku menunggunya semalam
Tapi embun tak jua datang
Setitik pun enggan menyentuh pucuk
Ia berkhianat pada hujan
Padaku
Gerimis yang setia

*Doddy R

#Hari5 #1hari1puisi

Jumat, 04 Maret 2016

Story Blog Tour 2 : Final Escape

"Revan.."

"Untuk apa kau datang ke sini?" sahut Revan dingin, masih menghadap dinding sel. Desing mesin cetak dari ruang periksa samar-samar terdengar. Revan berada dalam sel tahanan bersama dua orang pria lain. Wajah mereka penuh beban, seolah ada dosa tak termaafkan yang telah mereka lakukan.

"Aku ingin membebaskanmu." ujar Diba lirih.

"Dengan cara apa? Untuk apa melepaskan monster buas sepertiku? Atas dasar cinta?"

Diba terhenyak. Bibirnya bergetar menahan tangis. Ia berusaha tegar. Diba terlalu bingung dengan kata hatinya sendiri. Melepaskan atau merengkuh kembali Revan.

"Aku mungkin bisa membantumu. Pamanku pengacara, kamu tahu kan? Setidaknya bisa mengurangi masa tahananmu"

Revan membalikkan badan menghampiri Diba dengan langkah gontai.

"Tidak usah terlalu baik padaku. Kalau perlu aku menghabiskan sisa hidup di balik jeruji ini."

"Kamu mencintaiku terlalu berlebihan, Van."

Diba berusaha menyentuh wajahnya yang lebam dihajar oleh opsir. Bibir Revan pecah, pelipis sobek dan mata membiru. Revan menghindar. Diba merasa canggung dan mengurungkan niatnya. Ada hening yang tak bisa dikuasai oleh mereka berdua. Diba dan Revan diam cukup lama.

Mereka dipisahkan oleh petugas. Waktu kunjungan telah habis. Diba melangkah keluar kantor polisi. Revan tersenyum dingin. Senyum yang tak pernah dilupakan oleh Diba. Itu sebuah pertanda buruk.

Hujan tumpah dari langit malam. Kadang-kadang memutih dipecah kilat. Laju taksi yang ditumpangi Diba berjalan pelan. Hatinya masih menggigil mengingat kondisi Revan. Dilema. Dalam benaknya, apakah aku masih mencintai seorang pembunuh? Pembunuh yang menunjukkan rasa cintanya terlalu berlebihan?

-----

Revan berjalan tertatih, kakinya dipukul dengan balok kayu oleh Diba, ia masih cukup tegar untuk mengejar Diba yang  jatuh tersungkur. Revan mengangkat balok tinggi-tinggi dan melepaskan pukulan.

Diba terbangun. Keringat dingin membasahi sekujur badannya. Mimpi buruk lagi. Ia menghempaskan diri lagi, matanya sukar terpejam. Pikirannya kembali kepada Revan.

Keesokan pagi, televisi ramai memberitakan.

'Seorang tersangka pembunuhan inisial RR melarikan diri dari ruang tahanan setelah membunuh para sipir yang bertugas'

Diba menahan nafas.

Hai, Tulisan ini adalah bagian dari Story Blog Tour 2 dari OWOP 1. Saya, Doddy Rakhmat , mengemban tugas menuntaskan episode ke 15 dalam rangkaian kisah ini.

Silakan dibaca juga episode pertama sampai kesebelas dan nantikan kelanjutannya di episode berikutnya. Cek tautan di bawah ini untuk membaca kisah lengkapnya.

Ep 1, Ketika Diba Kembali by Tutut Laraswati

Ep 2, Penarik Kerah Baju by Rifdatun Nafi'ah

Ep 3, Revan Rivantyo by Apriastiana Dian F
Ep 4, Aku Masih Mencintaimu by Helmi Yani

Ep 5, Merasakanmu Lewat Secangkir Cappucino by Apriliah Rahma

Ep 6, Penyakit Sialan by Dara Mustika Pratami S

Ep 7, Perbuatan Angin Malam by M. Fauzan Azhima

Ep 8, Slide Masa Lalu by Lilis Nurmalasari

Ep 9, Tiba-Tiba Diba by Satria Wannamba Putra

Ep 10, Memori yang Kembali by Nadhira Arini

Ep 11, Mesin Waktu Revan by Essenza Bachreisy

Ep 12, Cinta Tak Begini, by Afatsa

Ep 13, Revan Sang Pembegal AlFikri Fauzi

Ep 14  Nada Air Mata Adiba by Deni Firman S

Nantikan Episode 16 selanjutnya di Blog Debytheresia.blogspot.com

Konser Iblis

'Konser Iblis'

Ada iblis berteriak dalam kepala
Memutus segala kebenaran
Menyambung nista demi nista

Ada iblis bernyanyi kencang
Menutup dengar dunia luar
Membenarkan hati yang salah

Ada iblis berbisik desir
Merontokkan ketakutan darah
Mengindah tugas menyembah

Ada iblis bersenandung
Diiringi sukma manusia
Tiket terjual habis
Kematian demi kematian
Tapi dia abadi

*Doddy R

#Hari4 #1hari1puisi

Aku Tak Pernah Pergi

Tubuh saling bersandar
Ke arah mata angin berbeda

Lagu dari salah satu penyanyi favoritku itu entah ke berapa kalinya kumainkan di pemutar musik. Mungkin mereka pun lelah menyuarakannya untuk kudengar. Bagiku tidak, aku tetap setia mendengarkannya hingga akhir lirik, hingga nada ditutup sempurna oleh senandung sang penyanyi.

Sejak perpisahan kita setahun silam, rasanya aku dapat mendengarkan denting hujan lebih nyaring seolah telingaku seribu lebih peka daripada sebelumnya. Aku terus memikirkan apakah keputusan itu sudah tepat? Karena jujur saja semuanya terlalu berat, sesampainya foto kita berdua masih dipeluk hangat dalam dompetku. Kenangan tidak bisa diusir pergi, walaupun yang memilikinya telah pergi.

Kau menunggu datangnya malam
Saat kumenanti fajar

Tiada perbedaan yang benar-benar membuat orang bertengkar hebat, mereka hanya terlalu mempertahankan ego masing-masing. Kita tidak bertengkar, hanya mengalami pergulatan batin yang dimenangkan oleh diri masing-masing. Aku mungkin terlihat tegar saat mengucap kata pisah denganmu. Dan kamu pun terlihat kecewa. Namun sungguh dalam relung hati, aku tak bisa menyingkirkanmu dari ruang istimewa ke biasa-biasa saja.

Malam siang semua berputar mengukur seberapa lama kita telah berpisah. Rasanya ada yang kosong, aku tak bisa membohongi diri sendiri. Entah apakah kamu pun begitu?

Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama

Ingatkah kita saat bercanda, bercerita hingga larut, aku tidak ingin terlepas dari suaramu yang khas. Yang membangunkan getaran-getaran cinta dalam hati, membuat aliran darah berdesir hangat walaupun dingin kadang menusuk. Apakah kita bisa mengulanginya lagi? Dan tawamu yang tak pernah bosan kudengar, masihkah seperti saat itu?

Yang tersisa dari kisah ini
Hanya kau takut kuhilang

Semua orang pasti takut akan perpisahan, kesendirian dan kehilangan. Naluri manusia tak bisa kupungkiri. Pasca perpisahan itu, tak mudah aku melalui hari. Aku terlihat cengeng, mendengar lagu mellow langsung teringat tentangmu. Pria dewasa yang kau kenal itu kembali jadi anak kecil yang kehilangan permen. Ia menangis sekencang-kencangnya, walau dalam hati. Aku tak pernah menghilang, aku menjaga jarak untukmu untuk masa depan, jikalau memang kamu jadi jodoh bagi orang lain, apakah aku rela? Apakah aku harus menentang takdir Tuhan?

Perdebatan apapun menuju kata pisah
Jangan paksakan genggamanmu 

Kita tak pernah berdebat, kamu terlalu banyak bersabar walau aku sering lalai meninggalkanmu saat berbicara dalam telfon. Tanpa permisi aku berbicara seenaknya kepada orang lain di luar telepon, tak memikirkan perasaanmu. Dan aku terlambat menyadari. Betapa bodohnya aku ini.

Entah kusebut apa saat menggenggam tanganmu dalam taksi kala itu, tapi itu termasuk hal terindah yang aku rasakan di dunia. Ada rasa nyaman luar biasa, menenggelamkan rindu berbulan-bulan. Walau sebenarnya aku tidak yakin itu disebut genggaman lebih seperti memangku tanganmu dengan tanganku.

Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu

Tiada sedetikpun aku mengijinkan rasa yang kumiliki pergi jauh darimu.  Aku memang tak pernah benar-benar memilikimu. Belum lebih tepatnya. Hanya ragaku yang berjalan jauh, menahan segala ucap yang belum pantas aku tujukan padamu sampai suatu hari kamu bersanding denganku jika memang ditakdir demikian. Ketahuilah, aku telah berbohong berbulan-bulan jika aku bilang tidak menyukaimu.

Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu

Sebenarnya aku tidak pernah pergi, walau kaki saling berjauhan. Aku tetap di sini. Mengejarmu. Menyimpanmu dalam doa.

Doddy R
04.02.2016

*nb lebih baik membacanya sembari mendengarkan lagu Pamit oleh Tulus.

Kamis, 03 Maret 2016

Kursi Bunuh Diri

Aroma rumah tua dan debu usia yang melapuk
Kursi-kursi reot tak bertuan mengakhiri hidup
Mereka mematahkan kedua kakinya sendiri
Membiarkan rayap mengikis habis mahakarya
Menghilangkan jejak serakah

Kursi-kursi kerajaan bernasib mengenaskan
Tak segan menindas manusia-manusia
Menguatkan manusia yang menuhankan diri

Kursi itu telah tamat riwayatnya
Tidak ada lagi perebutan kuasa
Hanya tanah yang menguburnya
Dan kaki-kaki kursi menjadi nisan mereka

*Doddy R

#Hari3 #1hari1puisi

Rabu, 02 Maret 2016

Orang Gila Bicara Cinta

…..
Bini..
Bini aku
Bini aku kawin
Bini aku kawin lagi
Bini aku kawin lagi sama
Kawin lagi sama anak aku


Anak..
Anak aku
Anak aku kawin
Anak aku kawin lagi
Anak aku kawin lagi sama
Kawin lagi sama aku


Aku kawin
Aku kawin lagi
Aku gila kawin
Aku gila

*Doddy R

#Hari2 #1hari1puisi #maret

Selasa, 01 Maret 2016

Berbicara dengan tembok

Acapkali senja menurunkan tirai jingga
Seorang renta duduk termangu di sudut ruang
Anak dan tetangga mengira gila
Karena tua itu selalu berbicara pada tembok

Aku lebih percaya tembok
Daripada kalian

Aku lebih mendengarkan tembok
Karena ia bisa berbicara
Ia akan bercerita banyak hal yang tak kuketahui sebelumnya
Tentang khianat, tentang balas dendam atau tentang kesunyian
Ia jujur bertutur sebagai saksi bisu semata

Saat aku lahir ke dunia yang disebut kematian
Kalianpun akan meruntuhkannya, menenggelamkan rahasia-rahasia yang tak harus kudengar
Seperti kepercayaan yang telah lama hilang

*Doddy R

#1hari1puisi #Maret #Hari1