Selamat pagi, siang, malam para pembaca setia blog Doddy Rakhmat.com setelah lebih dari sebulan Giveaway Tere Liye berlangsung. Hari ini saya akan mengumumkan pemenang beruntung yang akan mendapatkan buku karya Tere Liye berjudul Pulang dan Hujan edisi TTD.
Cerpen ini saya pilih atas pertimbangan teknik bercerita, mengurai konflik dan menghidupkan semua karakter dalam cerita tergolong bagus dan nyaman untuk dibaca. Walaupun masih ada beberapa kata yang harus disesuaikan EYDnya menjadi catatan pembelajaran bagi pemenang.
Ini dia ceritanya!
------------
PULANG
(Harisma Wardani Ningtyas)
Kabut tipis menuruni kaki bukit menyertai kepulangan Ayah dari perantauannya. Kokok ayam masih belum usai. Sisa hujan semalam membuat udara pagi ini dingin menusuk. Ia menggendong sebuah tas ransel lusuh. Langkahnya tegap. Di tangan kirinya membawa sepasang sepatu baru berwarna putih bersih. Kontras dengan baju kemeja yang dipakainya. Kami baru saja selesai menimba air, mengisi tong-tong besar untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku -Mada- dan ketiga saudaraku, Gani, Rumpun dan Lara berdiri di depan rumah menyambut kedatangan Ayah. Hampir dua tahun ia pergi. Dan sebelum musim panen padi inilah dirinya pulang. Mata kami tertuju pada satu hal yang sama. Sepatu.
"Mak, Ayah pulang…" teriak kami serempak memberitahu Mamak.
Prang.
Terdengar bunyi barang pecah belah menghantam lantai. Kami tersontak kaget lantas berlarian ke sumber suara dan mendapati Mamak terbelalak pucat, menatap kepingan piring yang berserakan tak jauh dari kakinya. Ketika ia mengalihkan pandangan ke arah kami, wajahnya tampak merah. Tanpa memperdulikan pecahan yang ada ia berjalan ke ruang depan, menemui ayah dan tanpa basa-basi langsung menamparnya.
"Kenapa kau pulang sekarang, hah?" seru Mamak murka. "Bukankah kau kata di suratmu waktu itu kau tidak akan kembali?"
Kami terkejut, dan lebih lagi ketika ayah hanya diam saja. Setelah Mamak tak lagi berkata, perlahan ia menurunkan sepatu putih yang dipegangnya dan meraih sebuah amplop dari dalam tas. Lalu berucap, "Uang, untuk anak-anak."
Mamak terpaku menatap amplop itu, lalu menerimanya, tanpa sadar meneteskan air mata yang semakin lama semakin banyak. Tak mengerti, kedua adikku yang terkecil bergerak maju, memeluk Mamak yang kini tersendu.
Aku hanya menatap ayah, memeluk Gani yang juga tampak tak yakin dengan situasi yang kami hadapi saat ini.
Ekspresi ayah juga tampak begitu sendu, namun senyum yang mengembang di bibirnya jelas menunjukan bahwa setidaknya, ia saat ini bahagia.
"Aku pulang."
Suasana setelahnya tak lebih baik dibandingkan sebelumnya. Mamak memilih untuk kembali ke dapur, memilih menjauhi ayah untuk sementara waktu. Matanya yang merah tak luput dari perhatianku. Membuatku sedikit banyak berpikir, mengamati dengan penuh perhatian pada sosok ayah yang kini tampak sedang tersenyum bersama saudaraku yang lain.
"Jadi bagaimana kabar kalian?" tanyanya sambil menarik Lara ke pangkuannya. Gadis mungil itu tertawa, memegangi kedua tangan ayah yang melingkari pinggangnya. Merasakan kembali bagaimana rasanya memiliki sosok lain selain Mamak di dalam keluarga ini.
Ganilah yang akhirnya membalas balik, "Ayah sendiri, bagaimana di sana? Kota itu bagaimana?"
"Bagus, banyak gedung. Dan jalannya rata." Jawaban tipikal, namun dari cara bicaranya, kurasa ia memang menganggap hal itu penting untuk kami ketahui.
"Waa," serempak kedua adik terkecilku berseru.
"Nah, bagaimana dengan kalian? Mada? Sekolahmu bagaimana?"
Aku yang sedari tadi hanya terdiam tersentak. Berkedip beberapa kali sebelum memaksakan seulas senyum di wajah. Apa yang harus kukatakan? Bukankah seharusnya di sini aku yang bertanya? Kenapa ayah tak pernah mengabari? Kenapa Mamak tadi menangis? Kenapa — "Mamak tidak bisa mendaftarkanku, jadi sekarang aku membantu di tuan Ringo," ujarku akhirnya, tanpa sadar membuat Gani bungkam.
Aku hanya melirik adik lelakiku itu. Mungkinkah ia masih merasa bersalah karena masih menganggap dirinyalah yang membuatku tak bisa melanjutkan pendidikanku lagi?
"Oh..." Ekspresi Ayah seperti sedang mencoba menelan informasi yang kuberikan tadi bulat-bulat. "Kalau Gani, Rumpun?" tanyanya dengan nada kembali ceria.
"Baik, sekolah juga," balas Gani sambil tersenyum kecil.
Ayah ikut tersenyum. Menundukan pandangannya pada Lara yang kini bermain-main dengan jarinya ketika ia membisikan kata selanjutnya.
"Baguslah."
Kalaupun aku mendengar, aku memilih untuk tidak berkomentar.
Setelah makan siang, Ayah memutuskan untuk mengunjungi rumah kakek nenek yang tak jauh dari rumah. Mamak sendiri sibuk mengupas bawang — dibantu Gani dan Rumpun. Setelah selesai memotongi kayu untuk persediaan memasak, aku pun memilih untuk menyusul ayah, mengetahui benar jika mungkin akan lebih baik jika pertanyaanku ini kutanyakan tanpa kehadiran anggota keluarga yang lain.
Jadi aku pun pamit, beralasan pergi ke rumah Deni untuk membantunya merawat koleksi burungnya lagi. Mamak menggeleng, mengerutkan kening. Bergumam mengenai apa sebenarnya yang menarik dari merawat burung-burung semacam itu. Yang mana hanya kubalas dengan kedua bahu terangkat tak acuh. Namun sejenak, aku senang karena Mamak tampaknya sudah tidak memikirkan kejadian tadi pagi.
"Aku pergi dulu," ujarku sambil berjalan pergi.
Kucoba, namun nampaknya gagal. Oh, harusnya aku tak terkejut jika sampai mendengar suara amarah menyertai kepergian ayah dari rumah kakek nenek. Aku menatap balik, ayah yang kini memandangku dengan raut kecut. Ia memaksakan wajah lelahnya tetap terlihat kuat. Menghampiriku sambil berkata, "Mau ke warung?"
Aku hanya mengangguk, kaku.
"Kau mau kemana?"
"Menemui ayah," jawabku memilih untuk jujur. "Bertanya. Tapi aku tak yakin Mamak akan setuju jika aku melakukannya di rumah."
"Ya, ya, aku paham." Ia mengangguk ketika memesankan dua gelas kopi untuk kami berdua.
"Jadi apa yang kau tanyakan?" tanyanya sambil mengaduk kopinya sebelum menyesapnya lamat-lamat.
Sejenak, aku menatap ke arahnya, mendapati bahwa pikiranku mendadak kosong. Seluruh pertanyaan yang sudah kususun menghilang entah kemana. Kupandang arah lain. Lalu akhirnya memilih untuk mengatakan apapun yang ada di pikiranku saat ini.
"Sepatu ayah..." Aku kembali teringat warna putihnya yang tak memiliki setitik noda sedikitpun. "... baru, ya?"
Ayah tertawa. "Itu untukmu. Aku belum bilangkah? Hah! Sudah tua rupanya aku ini," ujarnya sambil menggelengkan kepalanya. "Kau ingat dimana aku menaruhnya tadi?"
Aku mengangguk, menuangkan kopiku pada tatakan gelas dan pelan-pelan meminumnya dari sana. "Rumpun meletakannya di almari tadi."
"Hoo."
Mengulum bibir, aku memutuskan untuk bertanya lagi, "Kau... tak memberi kabar. Kenapa?"
Dan ia terbelalak, lalu tersenyum. Menatap kopi lagi dan berkata lirih.
"Begitukah? Mamakmu... Tentu saja, ia pasti menyimpannya sendiri."
"Maksud ayah?"
"Ayah, cuma berkunjung di sini," ujar ayah selanjutnya. "Memang apa yang Mamakmu katakan selama kepergianku?"
Aku mengerutkan kening, tak mengerti apa hubungan dari kedua perkataan tersebut. Namun aku tetap berkata, "Mamak bilang ayah merantau, cari uang. Kalau iya kenapa ayah tidak mengirim apapun? Apa Mamak menyimpannya sendiri? Kenapa Mamak menampar ayah tadi? Maksudku —" Aku tersedak. "Kau tahu, terkadang tetangga sering berkata miring pada Mamak. Bilang kalau ia —"
Aku tak bisa melanjutkan.
Pada akhirnya tak ada pertanyaanku yang terjawab. Dan setelah pembicaraan itu terjadi, aku baru menyadari betapa pucatnya wajah Mamak semenjak tadi pagi. Ia tampak mencoba bersikap sewajarnya di hadapan ayah. Menimpali setiap ucapan dengan nada datar yang tak mewakili sedikitpun perasaannya.
Namun tentu, kami menyadari betul betapa canggungnya suasana tersebut. Meskipun mungkin, hal itu luput dari perhatian kedua saudaraku yang terkecil, yang sampai saat ini masih dengan riangnya bergelayutan pada ayah. Mencoba menyampaikan kerinduan yang sudah lama mereka pendam.
Aku sendiri, dan Gani,memutuskan untuk diam-diam memperhatikan saja. Bahkan ketika kami sadari tas ayah masih teresleting rapi. Atau ketika Mamak berujar pelan saat dua saudara kami bermain di perkarangan, tak mengacuhkan kami yang masih duduk di dalam rumah, dimana membuat kami otomatis masih bisa mendengar pembicaraan mereka yang kini duduk berdampingan di teras depan.
"Apa yang terjadi?" tanya Mamak. Kami hanya dapat melihat punggung keduanya. Sehingga akhirnya mencoba menebak sendiri ekspresi apa gerangan yang sedang ditunjukan oleh mereka.
Ayah terdengar menghela nafas sebelum akhirnya menjawab.
"Ia meninggal. Anak-anak ditinggalkan ke rumah nenek mereka."
Aku tahu, aku tahu seharusnya ucapan itu — UCAPAN ITU berarti sesuatu lebih untukku, untuk Mamak, untuk kami. Namun Mamak dengan mudahnya hanya membalas balik, bahkan tak sedikit pun mencoba mengkonfirmasi.
"Hmm."
Ayah tampak mendongak, menyesap batang rokok ketika setelah kediaman yang terjadi beberapa saat diantara mereka akhirnya diputus saat ia mengatakan.
"Kau mengerti bukan? Jika aku pergi lagi, kali ini. Aku mungkin tidak akan bisa kembali. Mereke membutuhkanku. Dan kau pasti mengerti."
"Tak apa. Pergi saja," Mamak masih tak acuh saat membalasnya.
"Aku... akan mengirimkan uang." Kini ia mengucapkan itu dengan nada mencoba meyakinkan, entah untuk dirinya sendiri atau Mamak yang masih pasif dalam kebungkamannya.
"Tak usah kau repotkan diri. Aku tak perduli."
"Kau perduli," Ayah berkata balik.
Mamak terdiam. Kepalanya yang tertunduk didongakan. Menatap ke arah Lara yang kini sedang mengejar anak ayam tetangga dan Rumpun yang memetiki bunga-bunga rumput liar saat ia menjawab, "Ya."
Ayah berkata sekali lagi, "Kau masih perduli."
Mamak kali ini tak coba lagi menimpali.
Entah esok, atau lusa, ketika ayah memutuskan untuk pergi lagi dan meninggalkan kami, desa akan dipenuhi oleh kabar miring; mengenai Mamak kami yang ditinggal melarikan diri. Aku hanya menatap ke sepasang sepatu putih yang masih bersih di almari. Mencoba menetapkan hati atas apa yang sebenarnya keluargaku ini alami.
Kenyataan bahwa Mamak bahkan tak mengelak dari segala tuduhan tersebut, harusnya menyadarkanku bahwa prasangka yag kupendam memang benar adanya.
Namun Mamak hanya tersenyum. Dan berkata, "Kau harusnya mengerti, Bujang. Ayahmu itu bukan pergi, ia pulang kembali."
Dan ketika aku mengerti maksud ucapan tersebut, aku tak bisa menahan diri — aku pun menangis.
Rumah kami bukanlah rumahnya lagi.
------
Selamat buat Harisma, semoga bukunya bermanfaat dan teruslah menulis untuk kebaikan!
Salam,
Doddy Rakhmat