Sabtu, 23 Januari 2016

Ada Cinta di Pentas Rendra

"Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang"
- Rumpun Alang-Alang, W.S. Rendra 
Arum memegangi selembar tiket pertunjukan puisi penyair termahsyur negeri. Ia menerimanya dari pria yang diam-diam jatuh hati padanya. Izal.

Izal teramat cinta kepada dunia sastra. Sajak-sajak pujangga yang paling diminatinya adalah karya-karya si Burung Merak, Rendra.

"Bukannya saya sudah bilang pada anda, Tuan. Saya tidak pantas menerima tawaran berkencan anda." ucap Arum saat menerima tiket dari Izal.

"Rum, kamu tak perlu menganggap tawaran ini sebagai kencan. Anggap saja ini hasil dari jerih payahmu mengabdi pada keluarga kami."

Tangan Arum basah keringat. Ia belum pernah berdiri dan menatap tuannya sedekat itu. Ia masih menggeleng, tak bisa.

"Apa mungkin kamu sudah punya pria idaman lain?

Surat Untuk Rali

Ada kalanya aku memilih mengurung diri di kamar, menghindari hingar bingar dunia luar. Hati terkadang ingin memiliki ruang dan waktunya sendiri. "Rali, pria bukan dia saja. Pria di dunia ini bukan Dion saja. You can forget it!" ucapku di depan cermin menguatkan diri.

Dion meninggalkan ceritanya di sepucuk surat yang ditulisnya di atas kertas beraroma khas. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ada rindu teramat dalam di setiap gores tulisannya. Hanya lampu meja menemaniku membacanya. Remang jingga. Jendela kamar kubiarkan terbuka. Angin meniupi tirai. Langit betul-betul gelap. Tak ada satu pun benda angkasa yang hadir di sana. Dan aku mulai membacanya.

-----
Dear Rali, pencuri hati.

Apa kabar? Aku tahu kamu akan menjawabnya seraya tertawa. Menganggap basa basi dalam berkirim surat.  Huh, mister-sok-tahu in action, pikirmu.

Kuharap kamu tak lelah menanti. Aku yang tidak pernah bisa pergi menjumpai. Aku yang hanya mengirimi surat tanpa berharap balasan.

Dan aku pun sudah tahu kemana nasib surat ini akan berakhir. Bersemayam bersama surat-surat lain di laci mejamu. Tapi tak apa. Bagiku itu sudah cukup.

Mengamatimu sedang menyirami bunga setiap sore, mengagumi saat kamu meminum teh di teras rumah atau melihat siluet di balik jendela saat senja datang. Itu juga sudah cukup bagiku.

Genap sudah 52 surat. Setahun. Aku tak pernah letih. Sungguh. Walaupun hanya surat ini yang sampai ke tanganmu, tapi aku merasa telah hadir di sana. Bercerita panjang lebar. Aku sudah tak sabar untuk bertemu.

Dion.
Pengagum sejati

------

Aku tidak pernah kenal denganmu sebenarnya, bagaimana parasmu, cara berbicara atau gaya bercanda. Hanya surat-surat yang terus kau kirim dengan aroma kopi yang mendatangiku. Entahlah, bagiku kau terlalu misterius untuk mencuri hatiku. Tapi aku menyukainya.

Sore hari. Di halaman depan rumah, aku tengah menyirami bunga-bunga. Seseorang lelaki memasukkan sesuatu ke dalam kotak suratku. Aku menghampirinya.

"Maaf, kamu siapa?"

"Aku hanya seorang kurir." jawab lelaki bertopi biru tua itu membuang pandangan.

"Kalau boleh tahu, siapa yang pengirim surat-surat yang dikirim ke rumahku setiap akhir pekan?

Ia menggeleng. Lantas pergi terburu-buru. Ada yang janggal dari gerak-geriknya. Aku mengambil selembar amplop beraroma familiar di penciumanku. Dari kau, Dion.

Bergegas aku membereskan perkakas halaman. Dan berlari ke kamar, tak sabar membaca suratmu lagi.

--------
Dear Rali, pencuri hati.

Kau telah melihatku. Kau akan bertanya padaku. Lalu aku pergi.

Dion
Pengagum Sejati.
------

Isinya begitu singkat, kau membuatku bertanya-tanya kebingungan. Aku tak paham apa maksudmu. Hingga aku memutuskan untuk menulis balasannya. Semoga kau membacanya. Lalu aku menaruh ke dalam kotak suratku. Berharap kau mencurinya.

Esok hari. Waktu yang sama. Lelaki bertopi biru kemarin datang kembali. Kali ini dia tidak memasukkan apapun ke kotak surat. Ia hanya berdiri mematung di halaman rumah. Melepaskan topinya. Aku masih tidak mengerti. Ia mengeluarkan surat yang kutuliskan kemarin.

"Salam kenal, Rali."

"Dion?" Aku menerka, mengernyitkan dahi. Setengah tak percaya. Ia tersenyum.

"Jadi selama ini?"

"Ya, aku selalu datang setiap akhir pekan. Memberikan suratku sendiri. Diam-diam. But you know what, satu tahun itu sudah cukup lama membunuhku dengan merindukanmu. Aku tak tahan lagi bersembunyi."

"Mengapa kau tak berani bertemu langsung denganku?"

"Begini saja, mungkin alasan ini terkesan klise buatmu, Rali. Aku hanya ingin tahu. Seandainya nanti kita bertaut dalam sebuah hubungan. Maka aku tahu kamu akan menjaga perasaan dan  kepercayaan pasangan walaupun ia jauh. Tak berjarak. Bahkan kepada orang yang belum bertemu. Bukankah itu hakikat jodoh? Kamu menjaga diri kepada orang yang kau belum tahu dia siapa?"

"Kau jangan terlalu cepat menilai. Bagaimana kau tahu aku juga menyimpan rasa padaku, Mister-Sok-tahu?"

Senja tumpah di langit. Melukis jingga dengan awan-awan tipis. Angin-angin membelai lembut kita berdua.

Dion membacakan isi suratku kemarin dengan lantang. Aku tersipu malu mendengarnya.

-------
Dear Dion, pengagum sejati.

Jika kau benar merindukanku, maka datanglah. Keluarlah dari persembunyianmu.

Rali
Pencuri hati

------

~Doddy R
23.01.2016

Sabtu, 09 Januari 2016

Story Blog Tour : Ketika Rindu Memanggil

Aku harus pulang. Walau sepertinya aku merasa kalah sebelum bertarung. Aku tetap rindu pada Jasmine. Dia telah mencuri pikiran dan perasaanku bertahun-tahun. Ini saatnya aku mengambilnya kembali.

Tidak ada yang bisa melawan rindu, selain temu.

*****
Kepulanganku ke tanah air bukan berarti tanpa alasan, Ganen dua minggu lagi akan menikah. Walau dia lebih muda dariku, aku mengakui 'kejantanannya' untuk meminang perempuan.

Aku menyelipkan boarding pass di antara lembaran buku. Roda-roda koper beradu dengan lantai, sahut menyahut dengan suara dari bagian informasi, dan ketukan-ketukan sepatu yang tidak sabar menjadi lagu rutin sebuah bandara.

"Elo mau minum apa?" Ganen menyikut bahuku.

"Maybe, coffee."

"Yakin lo mau minum kopi kak, lo kudu minum yang manis-manis pas momen agak pahit gini. Suntuk ngeliatin muka murung lo dari tadi."

Aku tidak menjawab, mengangguk lantas tertawa kecil. Mata dan pikiranku sedang menekuri buku puisi penyair favoritku. Aku meminta Ganen membelinya di Indonesia sebelum menjemputku kemari.

Keriuhan bandara sama sekali tidak terdengar, sayup-sayup tenggelam di antara suara -suara yang muncul dalam diri, memicu kembali jawaban dari ayah Jasmine. Ia mengulang-ulangnya bagai kaset kusut. Aku tak bisa menahannya. Suara-suara hati kecil, suara-suara yang paling pertama didengarkan manusia. Tidak semudah menutup telinga, lalu kemudian tak mendengar apa-apa.

*****

Berulang-ulang pengeras suara mengumumkan pesawat kami siap mengangkasa. Jerman telah mengecil dari pandangan, jauh tertinggal di bawah awan-awan berlapis. Sebentar lagi kita bertemu, sebentar lagi.

*****

Selamat datang di Kota Jakarta. Masih satu jam perjalanan menuju tempat kelahiranku, Bogor. Hujan menjatuhkan dirinya dari langit. Ganen sibuk berbincang-berbincang dengan calon istrinya. Semudah itu. Mengapa aku harus menuliskannya di atas kertas, menunggu lama untuk balasan. Berkirim surat kurasa salah satu cara untuk menjaga rindu pada tempatnya.

****
Bogor.

Rumah berlantai dua di ujung gang tidak banyak perubahan. Hanya ada cat yang mengelupas di sisi-sisi bingkai jendela.  Saat membuka pintu rumah setelah bertahun lamanya aku tak berdiri didepannya, yang kudapati ialah seorang gadis yang senyumnya membuat dunia lebih berwarna, sorot matanya yang menikam hati dalam-dalam, aku telah melawan rindu dengan sebuah temu. Mama yang duduk disampingnya berlari riang ke arahku.

Mama menyambut dengan mata berkaca-kaca, haru melihat kedatanganku. Mendekap erat kami berdua. Ia mengacak-acak rambutku dan Ganen.

"Ar, kamu masih ingat sama Alena kan?" ujar Mama seraya mengubah pandangan ke gadis berkerudung cokelat muda.

Aku mengangguk.

Ternyata bukan kamu, Jasmine. Bukan. Aku rasa rinduku telah keliru menjumpai tuannya.

*******

CATATAN :

Ini adalah Challenge menulis OWOP, temanya STORY BLOG TOUR. Di mana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya.

Saya Doddy Rakhmat mendapat giliran kelima. Biar ceritanya nyambung, kamu harus baca episode sebelumnya.

Episode 1 : Surat yang Tertahan di Dasar Hati – Nadhira Arini
Episode 2 : Rahasia Jasmine – Debby Theresia
Episode 3 : Dialog – Tutut Laraswati
Episode 4 : Jodoh Untuk Jasmine – Saidahumaira
Episode 5 : Ketika Rindu Memanggil - Doddy Rakhmat
Episode 6 : Lilis Nurmalasari (coming soon)

Silahkan mampir ke blog Uni Lilis untuk tahu kelanjutan ceritanya ya :)

Stop Wishing, Start Writing
www.oneweekonepaper.com

Selasa, 05 Januari 2016

Sebuah Pertemuan Untuk Selamanya

Hai.

Tiga huruf itu yang berani aku kirimkan setelah setahun menghilang dari peredaranmu. Dan aku menunggu apakah ada jawaban atas satu sapa yang telah lama tak terucap.

Satu hari, dua minggu, dan sebelum aku pasrah, kamu membalasnya. Dengan lima huruf.

Hai jg.

Dua kata yang membuat segala penantianku lebih dari cukup, menggugurkan sia-sia dalam menunggu. Lalu aku memberanikan diri untuk mengajakmu bertemu, dan kamu mengiyakan.

Akhirnya kita berdua bertemu, di tempat kita memutuskan berpisah, masih melekat dalam pikiran,  pipimu yang basah karena tangis.

"Apa kabarmu?"

"Baik." jawabmu tenang.

Kita berdua mengenakan pakaian warna sama dan juga memesan minuman yang sama, tanpa rencana sebelumnya. Aku tertawa konyol, begitupun kamu. Seakan masih ada ikatan di antara kita.

"Tempat ini tidak banyak berubah, tapi orang-orang yang mengunjunginya selalu silih berganti. Membawa cerita dan masalah yang berbeda, dan semua mereka curahkan di ruangan ini."

"Sama seperti kita, dulu. Padahal semua yang indah bermula dari sesuatu yang sederhana kan?" katamu diakhiri dengan tawa kecil.

Sederhana, tempat ini memang telah mempertemukan, memisahkan dan memberikan kesempatan kembali untuk bertemu. Aku tidak pernah lupa perjumpaan kita pertama kali, aku menawarkan diri untuk duduk di depanmu, karena kursi yang lain penuh. Mungkin itulah yang kusebut sebagai takdir. Dan kita berbicara banyak tentang kehidupan, lalu semua merasa nyaman dan akhirnya membangun sebuah hubungan. Ikatan.

Dari arah pintu datang seorang pria menggendong gadis kecil yang memiliki mata indah sepertimu, hidungnya pun begitu. Tingkahnya menggemaskan dan lucu. Kemudian ia pindah ke dalam pelukanmu. Aku tersadar dari lamunan.

"Kenalin ini suami aku, dan si mungil ini puteriku." ujarmu dengan wajah gembira.

Aku tidak seharusnya mengajakmu bertemu di tempat yang menyimpan begitu banyak luka. Hei lihatlah, sekarang kamu mempunyai seorang pendamping yang begitu setia disampingmu. Dan juga seorang gadis kecil yang terus membuatmu tersenyum.

Aku telah memberikan luka yang dapat kau lalui dengan sempurna. Sedangkan aku masih terperangkap kesalahan masa lalu. Salah satu alasan aku ingin bertemu denganmu adalah meminta maaf dan juga bertanya apakah aku bisa memperbaiki kesalahanku. Tapi semua memang sudah berlalu. Aku menyadari, Ini adalah sebuah pertemuan kita untuk selamanya.

"Aku minta maaf."

Kamu hanya mengangguk. Dan aku menerabas hujan yang sedang turun deras-derasnya.

~Doddy Rakhmat
05.01.2016

Cerita sebelumnya dapat dibaca di

Sepasang Kekasih Yang Sibuk Mengurai Luka http://tututlaraswati03.blogspot.com/2016/01/sepasang-kekasih-yang-sibuk-mengurai.html

Minggu, 03 Januari 2016

Tak Kembali

Kadang aku bergidik ngeri setiap diajak oleh paman pergi ke tukang cukur. Seolah-olah aku datang ke sebuah tempat penjagalan.

"Kepala selanjutnya!" teriak si tukang cukur berambut cepak. Tahi lalat di pelipisnya seperti bekas jahitan.

Aku melangkah takut-takut. Paman mendorong dari belakang. Lima detik kemudian, aku berhadapan dengannya. Pasrah di depan cermin. Aku paling tidak suka dicukur.

Ia mencengkeram kerah, memegangi ubun-ubun kepalaku. Dan bunyi gunting sedikit meremang di telinga.

"Selesai." ujarnya.

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku kehilangan rambutku, bahkan aku tak pernah tahu dia akan kembali. Kepala botaj tanpa satupun helai rambut terpantul dari cermin.

Paman berusaha menenangkan. Ia mengajakku pergi membeli jajanan. Walaupun yang kumau saat itu adalah rambutku kembali.

Ia bertanya, " Mengapa kamu menangis?"

"Aku takut, paman. Aku takut rambutku tidak tumbuh lagi."

Ia malah tertawa. "Keesokan hari rambutmu akan tumbuh. Bahkan tanpa kau minta. Begitu baik kan Tuhan? Jangan takut."

Aku menggeleng. Aku tetap takut. Bagaimana seseorang begitu yakin sesuatu yang hilang bisa kembali sedia kala? Bahkan aku telah kehilangan banyak waktu untuk mencari orang tuaku. Tapi mereka merasa tidak kehilangan suatu apapun. Apakah mereka akan kembali? Orang tua dan waktu yang telah hilang? Kurasa tidak.

Aku takut.

~Doddy R
03.01.2016

Mendekap Beling

Maka dekaplah beling-beling yang kau dambakan itu wahai gadis. Biarkan badanmu tersayat-sayat dan bermandi darah untuk menghapus segala sakit di hati.

Maka dekaplah beling-beling yang kau idamkan itu wahai gadis. Hilang sudah akalmu dibawa oleh pria-pria yang hanya singgah di hati lalu pergi mengikut angin.

Maka dekaplah beling-beling, rajam dirimu sendiri, hingga kau tak salah menaruh hati di kemudian hari.

~Doddy R
03.01.2016