Sabtu, 31 Desember 2016

Perpisahan dan Kesempatan Baru

Pagi yang cerah selalu menunggu. Kabut tipis seperti kapas terbentang di punggung bukit. Burung-burung menyambut sekali semesta yang berbaik hati. Terbang gembira di langit. Sudah setahun? Dua tahun? Atau sudah tidak terhitung hari lagi berada dalam kesendirian. Menantikan seseorang yang kita percaya membuat hidup lebih indah.

Di dunia ini kadang tidak semuanya berjalan sempurna, kita pun tidak bisa menjadi pandai dalam segala hal. Tapi kita harus berjuang untuk melewatinya dengan baik. Menemukan seseorang yang kelak menjadi pasangan sehidup sesurga dengan ikhtiar memperbaiki diri. Apakah kita sudah menjadi pribadi yang baik? Apakah kita sudah menjadi hamba-Nya yang taat?  Apakah kita sibuk meminta tapi lupa dengan Sang Pencipta?

Sampai jumpa perpisahan, kesempatan baru akan selalu ada pada usaha dan segala doa.

Jumat, 30 Desember 2016

Tidak Cukup Selamat Tinggal

Tidak cukup selamat tinggal dari kepergianmu. Kamu adalah kegagalan yang aku ciptakan sendiri. Kita berdua terluka dan kamulah yang paling menderita. Aku berdoa agar kau segera dibahagiakan oleh orang lain. Agar semua lara segera berakhir. Tidak ada ruang lagi yang tersisa untukku di hatimu yang telah sesak karena benci dan kecewa. Tidak ada jalan kembali kepadamu.

Kita yang pada akhirnya telah berjalan saling menjauh dalam genggaman tangan yang lain berusaha menemukan kebahagiaan masing-masing. Ada saatnya kita berpaling melihat satu sama lain, lalu tersenyum simpul mengingat segaris waktu yang pernah dilalui bersama. Lalu kita sadar, bahwa waktu tak pernah berjalan mundur, luka-luka akan menguatkan diri menuju masa depan.

Tidak cukup selamat tinggal,
dari pria yang pernah jatuh hati dan patah hati kepadamu.

(Doddy Rakhmat)

Kamis, 29 Desember 2016

Untukmu, Aku Berani Jatuh Cinta

Detik-detik jarum jam teramat tega menikam dirimu dari belakang. Menembus jantung, menghentikan waktu sementara. Seperti itulah kira-kira patah hati bekerja.

Tenggelam dalam hamparan kapas, berlarian tanpa batas. Berharap masa berputar lekas karena ada kerinduan yang harus terbalas. Kira-kira begitulah jatuh cinta bekerja.

Jatuh cinta dan patah hati bagai langit dan bumi. Mereka berbeda namun kita harus memilih memihak pada siapa. Jatuh cinta adalah bumi yang harus kita pijak. Membuat kita bertahan dalam segala cobaan. Sedang patah hati adalah langit. Luas tanpa arah pergi dan pulang.

Dan kamu adalah pelangi. Yang tercipta setelah penantian panjang dari kesedihan dan riang. Yang menyatukan kembali langit dan bumi.

Untukmu, aku berani jatuh cinta. Karena kita adalah dunia sempurna.

(Doddy Rakhmat)

Rabu, 28 Desember 2016

Menggenggam Jarak

Kita terpisah oleh keinginan-keinginan. Aku yang menginginkanmu, kamu menginginkannya. Di antara kita ada jarak yang menjauhkan sekaligus mendekatkan. Angin yang kutugaskan untuk menyampaikan harap sepertinya tak pernah sampai kepadamu. Lalu kutitipkan inginku itu kepada doa.

Dalam debar di setiap menyelipkan namamu pada doa yang dimunajat setiap malam. Hati beranjak tak sabar menepis ruang tak terlihat yang tercipta di antara kita. Terbentuk karena aku yang bersungguh-sungguh, namun kamu hanya mengganggapnya angin lalu.

Tidakkah begitu menyakitkan membuat kita berjarak hanya karena kamu tidak ingin terluka, demikianlah risiko jatuh cinta. Ketahuilah sedikitpun tiada niatku untuk mengecewakan tapi bagaimana kita tahu akhir yang indah sementara kita takut memulai dan melangkah bersama.

Percayalah; tanpa upaya dan keberanian kita tidak akan pergi ke mana-mana. Tenggelam dalam kesepian yang kita ciptakan dari menggenggam jarak erat-erat. Lalu sampai kapan kita bertahan? Menahan diri untuk tidak jatuh hati lebih menyakitkan daripada berpura-pura jatuh cinta.

(Doddy Rakhmat)

Kamis, 15 Desember 2016

Abadinya Rindu

Aku tidak ingin menggesermu barang sejengkal dari bilik kenangan, tapi sampai kapan aku bertahan untuk tidak memulainya kembali?

Kau dan aku saling menerka
Bahwa kita masing-masing menyimpan luka
Dan diam-diam kita saling mendoa
Apakah ada kesempatan yang kedua?

Kita mencoba saling menutup identitas
Tidak ingin saling mengenal
Namun tak bisa menahan degup jantung
Yang bergerak seirama
Sampai kapan kita bertahan?

Kisah-kisah yang tidak ingin kita ingat adalah daun-daun kering yang gugur satu per satu. Tertiup angin tak menentu.
Seperti harap yang kehilangan tumpu.

Aku hanya ingin bertemu
Kamu pun sepertinya begitu
Tapi waktu seolah tak berpihak
Dan menjadikan rindu yang kita simpan
Abadi

Senin, 12 Desember 2016

Nopember Ini

Nopember ini
adalah tentang perayaan
hujan yang turun setiap malam

Nopember ini
Aku berserah diri dipenjara
Oleh lekuk senyum
Pada sudut bibirmu yang ranum

Nopember ini
Dari matamu yang terlanjur sepi
Memeluk segala risau yang tumbuh di hati

Nopember ini
Adalah tentang aku
Kamu
Yang berharap menjadi kita

Kota Hujan adalah Penghulu

Kau yang menunggu dengan segala debar
Dan waktu beranjak tak sabar
Mempertemukan senyum demi senyum
Menciptakan kisah baru dalam sejarah
Menguapkan masa lalu yang mungkin pedih
Menggantinya dengan derai bahagia yang turun
Bagai hujan sepanjang abad

Kota hujan adalah penghulu
Cinta pertama kita
Untuk selamanya

Dari jauh hari Tuhan telah menetapkan
Bahwa takdir kita saling berkelindan
Dan hari ini kita menautkannya
Merajutnya dengan bahagia
Setelah kuucapkan ikrar setia
Maka kau dalam pelukku selamanya

Mari tanggalkan masa lalu dan luka-luka
Dan kita tinggal bersama di sebuah tempat
Yang bernama, Rumah Tangga.

-----

Selamat melepas masa lajang untuk Amel dan Frima
Semoga hari-harimu selalu bahagia
Doa-doa terbaik untuk kalian mewujud nyata

Bandung, 11 Desember 2016
Dari sahabat masa kecil dan selamanya
Doddy Rakhmat

Kamis, 27 Oktober 2016

Melepasmu Seperti Udara

Hujan kadang datang tiba-tiba, seperti kesedihan yang tak bisa kau bendung di suatu sore. Kau hanya bisa menerimanya. Seperti mengenang masa-masa indah yang tak kau bisa gapai lagi.

Apakah melupakan masa lalu itu semudah kita bernafas? Saya rasa tidak, tidak ada yang pernah mudah melupakan masa lalu. Pahit ataupun manis. Dan masing-masing punya cara untuk melakukannya tapi memasrahkan kepada waktu agar kenangan pahit terhapus tentu akan menyakitkan seperti menikam hatimu berkali-kali setiap kau melakukannya.

Sore ini, suara tivi menyala menayangkan berita-berita yang kadang tak ingin saya dengar. Hari hampir gelap, suara ciap burung pulang berkumpul ke sarang. Apakah kembali ke masa lalu itu sama dengan pulang? Atau lebih baik saya pergi, menguapkan masa lalu dengan menerima kenyataan. Bahwa dia mungkin bukan siapa-siapa lagi, lantas untuk apa saya harus berharap?

Tidak semua memiliki kesempatan kedua, tapi kita berhak mendapat kesempatan baru untuk memulai.  Kita akan tetap butuh seseorang, karena yakinlah kita tidak bisa memeluk diri sendiri manakala ada gemuruh di dalam dada dan kita tak pernah tahu hendak pergi ke mana untuk menenangkannya.

Dan yang kulakukan sekarang adalah melepaskanmu seperti udara, bebas, tidak terikat, dan kita berdua akan tetap hidup walau langkah kita berlainan arah.

*Doddy Rakhmat
26.10.2016

Jumat, 07 Oktober 2016

Story Blog Tour : Teror Tengah Malam

Naara memegang kepalanya. Ia berusaha duduk tapi tidak mampu. Kepalanya terasa sakit seperti habis dipukul.

"Sudahlah, Nak. Kamu istirahat saja dulu. Jangan memaksakan diri."

"Apakah teman-temanku berada di sini juga?"

"Iya. Mereka dirawat di sini. Tapi..."

"Tapi kenapa bu?"

"..Agni menghilang."

"H-hilang? Bukankah ibu bilang mereka baik-baik saja."

Ibu menghela nafas dalam-dalam. Matanya menerawang kosong, membayangkan sesuatu yang mungkin mengerikan. Mimik wajahnya berubah takut. Dalam kejadian semalam, ia tidak mungkin salah lihat saat empat bilah keris menembus raga Pak Rama.

"Setelah kalian berempat tak sadarkan diri,  Ibu melihat Agni dibawa oleh seseorang keluar dari pentas. Sedangkan kalian ditolong oleh panitia dan langsung di bawa ke rumah sakit." Ibu menjelaskan

"Siapa yang membawa Agni, Bu?"

Ibu hanya menggeleng. Naara menangis lirih tak bersuara. Ia masih ingat bagaimana dirinya menolak tarian itu tapi Agni berhasil meyakinkannya lagi. Sungguh ia tak menyangka bahwa tarian itu benar-benar membuat petaka. Naara mengira apa yang diucapkan Agni dan Tio hanya bualan. Mereka berlatih di tempat gelap dan tidak ada orang yang boleh melihat mereka.  Tio, sang pelatih selalu berpesan kepada Naara dan teman-teman,  Mereka akan membawa sebuah tarian sakral tidak boleh ada yang menonton mereka sebelum waktunya.

Naara teringat kepada Pak Rama, Dekan Fakultas Seni dan Budaya tempat Naara mengenyam bangku kuliah.

"Pak Rama apa benar dia sudah tiada, Bu?"

Ibunya mengangguk,  "Ibu terkejut kenapa tiba-tiba Pak Rama sudah bersimbah darah." Ibu Naara duduk persis di sebelah Pak Rama. Tentu saja Ibu masih shock dengan kejadian janggal tersebut, batin Naara.

Ting. Ting. Ting

Bunyi nada dering pemberitahuan pesan singkat masuk di ponsel Naara. Ia meminta tolong Ibunya untuk mengambilkan ponsel di atas meja. Layar ponsel cukup menyilaukan. Ia membuka sebuah pesan singkat.

"Apapun yang kita lihat tadi malam, jangan ceritakan kepada siapa-siapa. Agni dan Tio tidak main-main. Dan aku cukup bodoh percaya kepada mereka."

-Auri

Pesan dari Auri itu semakin menambah kekhawatiran akan terjadi hal-hal buruk yang akan menimpa orang di sekelilingnya. Tidak hanya kemarin, tapi bisa jadi hari ini atau esok lusa. Dan menghilangnya Agni tentu menjadi teka-teki. Siapa dia sebenarnya? Walau mereka telah berteman cukup lama, tapi Agni termasuk orang yang tertutup.

"Istirahatlah, Nak. Kamu kelihatan masih pucat. Ibu tidak mau kamu lama-lama di sini." ujar Ibu sembari mengusap kepala Naara. Anak sematawayangnya.

Naara mengangguk, membalikkan badannya ke sisi lain, membelakangi ibunya.

*****

Malam itu, lebih tepatnya menjelang tengah malam, Naara masih berusaha memejamkan mata. Pikirannya tidak tenang. Ia tinggal seorang diri dalam kamar inap. Ibunya sedang pergi ke kamar mandi.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan, berkali-kali, semakin keras. Naara bersembunyi di balik selimutnya.

"I-ibu?" tanya Naara

BRAK.

Pintu terbuka paksa tanpa ada seseorang di belakangnya. Angin malam menerabas masuk, bau minyak menguar seisi ruangan.

Alunan musik gamelan terdengar lirih, seolah membisiki Naara. Naara menutup telinganya dengan bantal. Ia tidak mungkin lupa dengan setiap ketukan yang mengusik hari-harinya menjelang pentas semalam.

Tiba-tiba selimut Naara tersibak, Naara terkejut. Empat penari bayangan yang dilihatnya semalam berdiri mengelilinginya. Dan...mereka ternyata tidak memiliki wajah. Naara bergidik ngeri.

"Jangan..jangan, ja-ngan bu-nuh saya." ujar Naara memelas. Tenggorokannya terasa kering dan susah untuk bicara.

Para penari itu berkata lirih, silih berganti,  "Apa yang gelap kembali kepada gelap, tidak ada terang yang bisa menarikmu keluar."

----

Bersambung.

Ini adalah Story Blog Tour Misteri dari komunitas OWOP

Episode sebelumnya oleh Dini - Sang Penari Tarian

Episode selanjutnya akan diteruskan oleh Nana di chocobanana.blogspot.co.id

Selasa, 04 Oktober 2016

Kalau Masih Sayang, Kenapa Tidak Berjuang?

Kalau masih sayang, kenapa tidak berjuang?

Masih ingat dengan lagu yang kita nyanyikan bersama? Walau sedikit sumbang, tapi kita berdua senang. Kita tak peduli dengan waktu mana kala kita telah terhubung.

Waktu yang dihantarkan oleh udara begitu cepat. Hari-hari berlalu dan aku masih percaya bahwa hari tidak pernah pergi. Mereka tetap di sana, seperti kenangan yang tak pernah mati. Salah satunya adalah kamu.

Aku rasa rindu tidak benar-benar diciptakan oleh jarak. Sebagian lainnya dari waktu dan keinginan. Hari-hari kini terasa kosong. Seperti buku-buku yang telah habis kubaca tapi aku belum dapat menemukan buku selanjutnya. Aku terlanjur tenggelam dalam kenangan. Dan kau pasti tahu aku bukanlah seorang perenang.

Haruskah aku memarahi diriku sendiri yang telah membuatmu kecewa dan patah harapan? Aku rasa perlu. Jarak yang begitu kejam tidak pernah mampu menunjukkan apakah hatimu benar-benar tangguh? Atau rapuh dipenuhi tangisan yang kau tahan? Aku hanya bisa menerka. Kau bilang tak apa-apa dan aku mengutuk jarak yang membelenggu. Kau bilang semua akan baik-baik saja, namun aku tak tahu apakah demikian adanya?

Pohon-pohon di jalanan yang kulalui kini tetap berdiri tegak di sana, aku merasa diberi pelajaran oleh mereka yang begitu tabah. Menunggu waktu. Mencintai udara.

Aku ingin mencintaimu seperti mencintai udara. Karena aku membutuhkanmu. Bukan hanya sekadar status semata.

Doddy R
02.10.2016

5 Lagu Yang Bisa Bikin Baper Tentang Dia

Pernah nggak ngerasain kalau lagi dengerin lagu itu selalu pas dengan suasana hati? Seolah-olah si penyanyi tahu isi hati kita. Pasti pembaca sering ya mengalami kejadian itu. Apalagi kalau urusannya tentang kenangan si dia. Mau di manapun. Kita tiba-tiba mendadak senyum-senyum sendiri, pipi terasa hangat, dan rasanya kita ingin kembali bertemu dengannya. Berikut adalah lima lagu yang konon bisa bikin kamu sukses baper teringat si dia. Dan perlu diingat lagu ini khusus diciptakan buat kamu yang susah move on dari masa lalu.

Check it out!

1. Coffternoon - Tuhan Maha Romantis


Aransemen musik yang ciamik, diselingi oleh permainan biola yang membius tersuguhkan dari lagu ini. Liriknya yang puitis dan dalem. Dijamin bisa bikin kamu tenggelam dalam kenangan masa lalu.

'Bukan-bukan..bukan..
Bukan tiada inginku
Mencari pelabuhan lain selain dirimu
Hanya hatiku masih tercuri
Tak dikembalikan
Tak dikembalikan'


2. HiVi - Sama Sama Tahu


'Kita sama-sama tahu
Bahwa kita sama-sama ragu
Tapi ada-ada saja yang membuatku yakin lagi padamu'


Sepotong lirik ini cukup mewakili bahwa kamu ingin kembali bersama si dia di masa lalu. Dan kalian masih ragu apakah perpisahan itu semestinya terjadi? Coba dengerin deh. Nyess kan.

3. Raisa - Kali Kedua


Siapa sih yang gak kenal sama Raisa.  Cantik menawan. Walaupun katanya udah putus sama Keenan. *Jomblo bahagia tepuk tangan*  Lagu yang diciptakan oleh penulis dan penyanyi kenamaan, Dewi Lestari ini cukup ampuh bikin kita merinding kalau bener-bener menghayati lagunya. Bercerita tentang seseorang yang tidak ingin kehilangan pasangannya untuk kedua kalinya. Aduh, nyeri hati jadinya.

4. Payung Teduh - Berdua Saja

Ritme lagu yang cukup pelan namun menghanyutkan. Ditambah lirik lagu sederhana tapi dalem. Bikin kamu ingin muter berulang-ulang lagunya. Biasanya ini cocok buat yang lagi masa pedekate. Yang malu-malu tapi mau.

5. Yura Yunita - Cinta dan Rahasia


Suara lembut kayak kelepon Yura ini bakal menghipnotis kamu, biar kamu yakin milih si dia. Ini pas banget dibuat didengerin sama dinyanyiin sama cewek-cewek yang dimabuk asmara walau terkesan berkompetisi. Tapi harus batas wajar ya!  #boom

Itulah lima lagu yang bisa bikin playlist dan hati kamu bahagia berbunga-bunga plus mendadak rindu sama si dia. Iya, dia.
----

Semua berharap bisa menjadi masa depan, tetapi tidak ada yang terlalu ingin menjadi masa lalu seseorang.

(Doddy R)

Sabtu, 01 Oktober 2016

Apakah Menjadi Gendut Itu Salah?

Orang kurus pengin gendut
Orang gendut pengin kurus
Tapi apakah menjadi gendut itu salah?

Masalah ini tidak hanya dihadapi oleh pria saja, wanita pun demikian. Setiap berkaca selalu muncul kekhawatiran,  "Wah abis makan combro, naik berapa kilo nih? Ngemil cokelat tadi bikin tembem gak ya?  Aduh!  Lipatan di leher udah nambah" dan masih banyak lagi.

Diibaratkan pada film Captain America : Civil War.  Orang-orang akan terpecah menjadi dua kubu dalam mendefinisikan makna gendut. 

Kubu positif menganggap gendut sebagai perlambang kemakmuran dan kesejahteraan.  Sedangkan di kubu negatif menganggap gendut sebagai lambang tidak sehat dan tidak menarik.  Sesederhana itu.

Gendut secara umum dan awam adalah pertambahan berat badan yang melampaui standar.  Kalau saya bilang,  gendut adalah pertambahan berat badan yang melampaui ekspektasi.  Setiap orang punya standar tersendiri dalam mendefinisikan gendut. Ada yang merasa baru naik beberapa kilo di atas berat badan ideal sudah panik.  Ada yang naiknya setengah dari berat badan sebelumnya,  malah santai-santai aja (termasuk saya,  hehehe)  jatuhnya sih jadi gak tahu diri.  Whatever aya naon lah.  Sing penting sehat.

Menjadi gendut pasti banyak suka dan dukanya. Izinkan saya menjabarkannya satu per satu,  walaupun mungkin lebih banyak dukanya.

1. Dikenal sebagai tukang makan

Biasanya di acara-acara gathering teman sekerja pasti saya disuruh nambah kalau udah lihat piring saya hampir tandas.  Dan dengan senang hati, saya menuju meja prasmanan dan mulai ronde kedua. Abaikan gengsi daripada lapar.

2. Ngegemesin

Banyak yang pengin nyubitin pipi kalau bayi gendut,  nah kalau saya banyak yang pengin nyubitin pipi juga, tapi pake tang.

3. Dianggap sukses

Hampir setiap kawan-kawan lama yang saya temuin pas lihat badan saya segede anak ultramen ini bilang,  "Wih, udah sukses nih!" atau "Banyak duit nih,  traktir dong!" saya bersyukur mereka mendoakan demikian.  Walaupun saya belum sukses benar, apalagi urusan percintaan.  Hiks.  #StopTjurhat

4. Dianggap paling kuat

Yap, ukuran badan yang besar. Membuat orang-orang beranggapan bahwa kami yang gendut ini kuat.  Padahal kenyataannya tidak demikian.  Patah hati juga nangis kok. *Gendut juga manusia*

Nah kali ini beberapa duka menjadi gendut. Walaupun gak sedih-sedih amat sih.
*Tears drop*

1. Susah cari ukuran baju.

Siksaan terbesar saat saya ingin belanja baju di departemen store adalah ukuran baju super duper besar susah ditemukan. Ada sih.  Tapi yang bermerk (Harga pasti mahal) .  Dan saya rasanya ga terima aja dengan baju atau celana yang diobral murah tapi ga ada ukuran big size.  Diskriminasi itu kejam,  Jendral.

2. Makan tempat

Saat saya naik mobil, saya selalu usahakan minta bangku depan.  Kenapa? Kalau di bangku belakang,  dipastikan saya akan menguasai areal dudukable penumpang lain.  Mereka mulai gelisah.  Memasang wajah tidak enak. Dan saya pun merasa bersalah.  I'm feeling guilty.  Kalian semua suci aku penuh dosa *nyanyi ala AwKarin*

3. Bikin minder

Ini mungkin masalah saya aja atau mungkin ada yang merasakan hal yang sama ya?  Anybody? .  Saya merasa minder kalau dekatin cewek.  Takut tidak masuk kriteria mereka dari segi fisik. Walaupun saya yakin, tidak mungkin mereka menilai dari fisik aja.  Tapi hati juga.  Haseek!

4. Susah cari angle selfie

Ini menjadi problematika kekinian bagi orang gendut untuk berswafoto. Utamanya saya yang gak mau kelihatan lipatan leher terpampang nyata, membahana.  Harus cari sudut dari atas atau mendongakkan kepala sedikit. Pokoknya ribet. Lebih banyak yang dihapus daripada yang disimpan.

5. Rentan terserang penyakit

Penyakit jantung dan diabetes cukup menjadi momok menakutkan bagi orang gendut. Karena mereka paling berpotensi terserang penyakit tersebut. Saya selalu menyempatkan diri memeriksa tes darah agar bisa mengontrol pola makan. Saya ikut asuransi kesehatan juga sebagai antisipasi.

Saya tiba-tiba teringat dengan pesan orang tua saya yang terakhir melalui telpon.  "Jangan minum obat pengurus badan ya."

Menurunkan berat badan memang bukan hal instan. Walaupun mie instan lebih menawan,  apasih.  Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.  Berolahraga rutin dan jaga pola makan niscaya badanmu ideal. Jangan percaya obat-obatan yang ditawarin sama olshop olshop IG.

Kesimpulannya?

Menjadi gendut itu tidak salah, tapi penuh pembenaran.  Hahaha.

*Dan inget, menjadi kurus juga belum tentu benar.

Doddy R
01.10.2016

Kepergian Yang Memulangkanmu

Kepergian yang Memulangkanmu
(Prosa Penutup Bulan)

Kegelisahan yang selalu kualami manakala aku tidak menemukan kata-kata untuk ditulis. Seperti aku yang kehilangan cara untuk merindukanmu, kehilangan cara menghargai segala usahamu untuk mencintai.

Hatimu bagai daun kering yang mudah rapuh. Ditiup angin, terbang menjelajah sampai kamu lelah. Dan aku yang begitu kejam dalam diam, tidak mengejar, membiarkanmu pergi. Seperti sungai yang tenang, membuatmu tenggelam dan hilang tak pernah ditemukan.

Kamu bagai karang kokoh di pinggir pantai, diam bergeming dihantam ombak yang berubah-ubah ukurannya. Dihantam oleh ketidakpastian. Tapi kamu di sana,  aku tidak. Aku memilih menjadi ombak. Yang datang kemudian pergi.

Kincir angin kertas berputar di saat kita ajak berlari di padang rumput luas di bebukitan kini telah kehilangan ruasnya. Ia tak lagi sempurna. Tergeletak berdebu di rumput kering. Angin bahkan enggan menyapanya. Kamu pergi, aku pergi. Lalu siapa yang tetap tinggal?

Apakah sebuah kepergian dapat memulangkan kita kembali? Kembali kepada diri kita sendiri. Aku rasa iya. Kamu dan aku akan kembali menjadi diri sendiri.  Karena berpura-pura menjadi orang lain tak sebanding dengan berpura-pura jatuh hati. 
Doddy R
30.09.2016

Jumat, 30 September 2016

Dance In The Rain

[Hujan Tanpamu]

Where is good in goodbye?
Where is nice in nice try?
I can take this mistake but i can't take the ache from heart break

Sebait lagu No Good In Goodbye dari The Script memenuhi ruang kamar, terpantul-pantul ke dinding dan sebagian suara dikalahkan oleh deru hujan yang turun luar biasa.

Aku pernah menunggumu di antara derai hujan yang teramat deras hingga aku tak dapat mendengar suara isak tangis sendiri. Kau tak akan percaya bahwa seorang pria pun bisa menangis. Dan setelah itu di setiap hujan turun semesta seolah memberi isyarat agar aku bersiap menghadapi kembali masa lalu. Diiringi gemuruh petir yang membuat jantung berdebar. Masa lalu itu datang kembali.

-------

Kala itu hujan berderai membasahi setiap sudut kota. Rintiknya berdenting di antara genangan yang tercipta di jalanan. Ada yang terburu-buru melangkah dan membuat air melompat sembarang ke mana-mana. Dan aku tergesa-gesa untuk pergi untuk memenuhi janji kita.

Kafe buku yang menghadap ke pertigaan jalan selalu jadi tempat favorit. Karena kita pertama kali bertemu di sana. Masih ingatkah dirimu ketika aku tak sengaja menumpahkan cokelat panas di meja dan membasahi buku pinjamanmu, kau marah dan aku hanya diam melongo. Aku terpesona ekspresi wajah marahmu. Dan setelah itu kita menjadi akrab dan hangat. Aku mulai mengagumimu, dan rasa kagum itu berubah menjadi rindu yang menjalar setiap kita terpisah, dan aku kemudian berjanji untuk mendampingimu selamanya menjadi sepasang kekasih. Setiap minggu kita bertukar buku bacaan dan menyelipkan beberapa larik puisi yang kita tuliskan sendiri di dalamnya. Atau kadang menari bebas di tengah derasnya hujan ketika buku-buku kadang terasa membosankan. Kau selalu menyukai hujan, dan selalu mengajakku untuk memberi nama setiap kali hujan turun. Semisal Bravi, Kute, Wohoo, dan nama-nama yang terdengar menarik bagimu.

Dan dunia sudah terasa sempurna.

Namun malam itu raut wajahmu lebih dingin dari kebekuan puncak musim salju, tidak ada sedikitpun senyuman atau antusias yang terpancar dari kedua matamu. Kau menatap nanar jauh keluar jendela sembari menungguku mengambilkan minuman.

"Minggu depan aku menikah."

Hampir saja aku menumpahkan kembali gelas cokelat hangat yang sedang kubimbing ke atas meja. Aku langsung menatapmu, ada rasa cemburu yang mendadak tumbuh melesak memenuhi dada. Tapi aku berusaha untuk tenang.

"Benarkah? Tidak mungkin. Dengan siapa?" aku menyerbumu dengan pertanyaan.

"Anak kolega ayah." katamu lirih.

Ada jeda panjang yang tercipta setelah kau menjawab. Aku pun bingung menemukan kata-kata. Sepenuhnya aku ingin berteriak tapi tertahan di bibir dan dalam dada.

"Lalu apa?"

"Ya aku akan menikah, Rayan."

"Aku ingin kau menolaknya."

Kau menggeleng, aku memasang wajah kecewa.

"Kenapa, Nya? Kenapa kamu tak bisa menolaknya? Tidak bisakah kau menungguku."

"Sampai kapan, Ray. Sampai kapan aku harus menunggu kamu. Aku anak pertama, adik-adikku selalu mengalah untuk tidak menikah duluan. Aku tidak mau jadi beban mereka."

"Itu hanya pemikiran orang-orang kolot."

"Kau tidak pernah merasakannya , Ray. Kau anak tunggal. Kolot katamu? Setidaknya kau bisa datang dengan gagah berani melamarku. Bukan menyebut kolot seperti itu. Aku hanya ingin kepastian. Aku lelah menunggu, Ray. Tidakkah kau bisa sedikit berjuang untuk memperjuangkanku. Ke mana kata-katamu yang kau tuliskan untukku itu? Memilikimu selamanya." ucapmu dengan berlinang air mata.

Aku memilih diam. Aku salah. Aku bodoh. Aku adalah orang paling bersalah yang membuatmu menangis. Belum usai hujan mendera bumi. Kau melangkah pergi, aku menyusulmu setengah berlari untuk memberi jawaban. Aku tidak pernah menyangka itu malam perpisahan kita; malam tak yang paling kuinginkan sedunia. Kau enggan ku antar pulang.

"Mungkin ini pertemuan terakhir kita, Ray. Jangan menghubungi aku lagi." Tangismu tersamar oleh rintik hujan dan meninggalkanku berdiri di tepi jalan.

"Begitu sajakah kau menyerah karena aku belum memberimu kepastian, Nya? Benarkah kau tidak memberi kesempatan kita untuk bersama lagi? Hanya karena orang lain kau korbankan dirimu."

Kau sempat menghentikan langkah untuk mendengarkan. Bahumu terguncang, kau pasti menangis. Tapi kau tidak menoleh. Dan aku kehilangan harapan.

Satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan setelah malam itu tidak satupun pesan singkat yang kukirim kau jawab. Bahkan ketika aku menelpon, kau langsung menolaknya. Mungkin kau benar-benar ingin hilang dari hidupku, dan aku hanyalah lelaki bodoh yang melepaskanmu pergi begitu saja. Apakah aku harus jadi pengacau di hari berbahagia orang lain? Bukankah ada prinsip sebelum janur melengkung, kita masih bisa memperjuangkannya. Ya, aku harus menemui keluargamu. Aku akan merebutmu kembali, tetapi langkahku terhenti saat sebuah amplop warna kuning gading dengan diikat pita emas bertuliskan namamu Kanya dan Tyo,suamimu, yang terpampang jelas di depan undangan tergeletak di teras rumah.

Gelegar petir terdengar megah dari atas langit. Mendung dengan awan kelabu keliling berarakan perlahan. Aku berdiri mematung memandangi namamu dan namanya lagi. Berulang-ulang. Hingga aku mengurungkan niat untuk melakukannya.

Bagiku kesedihan adalah kamu yang kehilangan air mata dan aku kehilangan alasan untuk memilikimu lagi. Hujan tak akan pernah terasa sama lagi tanpa kehadiranmu, tanpa kita yang menari di bawahnya.

-Doddy Rakhmat

(Cerita ini juga di post storial.co dalam buku 30 Things I Want To Do and Keep Doing It beraama penulis storial lainnya)

Minggu, 25 September 2016

BLA

"Bla, bla, bla, kamu paham, Ndre?"

Jandre manggut-manggut. Di kepalanya, celoteh ibu kos tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa manusia pada umumnya.

Plak. Ibu kos menepuk tangan keras. Jandre cuma manggut sambil senyum mesem-mesem. Di kepalanya, ada Sari, ada Resti, ada Widi, dan beberapa orang lagi yang harus dihafalkan agar tak salah sebut nama lagi. Jandre punya ingatan yang cukup parah. Ia sempat memanggil tukang siomay depan kampus dengan nama Boy. Padahal nama aslinya, Kang Anwar. Jauh bagai episode awal dan akhir sinetron india.

Ibu kos yang semakin kesal akhirnya meninggalkan Jandre yang setengah melamun. Matanya menerawang. Seolah kesurupan.

Teja tiba-tiba datang dari depan kos. Mukanya kusut. Keringat membasahi kemeja abu-abunya.

"Aih, Ndre. Kumaha yeu temen-temen udah pada nungguin di kampus. Jadi nggak presentasinya? Kamu kan bagian pembukaan, tugasnya cuma ngenalin nama kami-kami aja. Gampangkan sesuai perjanjian. Kenapa kamu gugup?" ucap Teja panjang lebar

"Bla."

"Yeee, dijelasin panjang-panjang. Cuma jawab gitu doang."

Jandre manggut-manggut. Dalam kepalanya, ia bertanya siapa gerangan pria di hadapannya itu.

#MalamNarasi

Doddy R
19.09.2016

Kamis, 01 September 2016

Padamu

Pada ruang-ruang yang diciptakan untuk kita, rindu adalah perantara.

Pada waktu yang tenggelam kala senja, malam adalah pertemuan sempurna

Pada luka-luka yang pernah singgah, kau adalah peredanya

Pada kebisingan yang mengganggu telinga, suaramu adalah penenang jiwa

Pada kenangan yang berjalan mundur, kamu adalah pengantarnya ke masa depan.

Pada langit yang tak berhenti menangis, bumi adalah penyabar ulung

Pada aku yang ingin mendekap rasa dingin gapaimu, cinta adalah pelukan hangat.

Padamu, aku adalah doa yang kau ceritakan setiap malam pada Tuhan

Padamu, padamu, padamu

Aku

Doddy R
31.08.2016

Kamis, 18 Agustus 2016

Dongeng Mamak dalam Kopi Mara'uh

Hidup adalah kisah-kisah yang tak terduga seperti kopi tanpa gula.

Aroma minyak tanah menguar seisi rumah. Di dapur. Di ruang tamu. Di kamar. Di mana-mana. Aku sedang menyeduh segelas kopi hitam pekat. Seraya mengaduk, aku menatap api lampu yang bergeming di dalam sungkup kaca. Daun dan Dian, dua anak perempuan kembarku tidak pernah mengetahui bahwa hari ini mereka genap berusia tujuh tahun, dan tidak ada satupun perayaan untuk mengingat hal itu.

Dan akulah orang yang paling menolak ketika saudariku menyarankan untuk membuatkan mereka acara ulang tahun. Perdebatan kecil itu berlangsung sore kemarin di belakang rumah, saat kami sedang memilah biji kopi kering.

"Untuk apa merayakan sesuatu yang justru merugikan kita? Kau tahu harga barang pokok semua mahal, aku pun berusaha mati-matian menyekolahkan mereka berdua. Lalu untuk apa kita bersenang-senang untuk sakit kemudian." kilahku.

"Tidak ada yang dirugikan dari semua ini, Kak Ana. Mereka pasti akan bergembira." ucap Ina, adik kandungku satu-satunya

"Umur kita berkurang, apakah itu tidak rugi? Kau hanya membuat mereka mengingat angka-angka, ketidakabadian mereka, sedang mereka masih berumur tujuh tahun."

Ina menghela nafas sambil menyeka peluh di dahi dan pipinya yang gemuk. Ia menyerah.  Aku mengangkat tampah berisi sortiran biji kopi yang harus kami jemur esok pagi. Ina menyusul dari belakang. Halaman belakang rumah kami cukup luas. Ada dua sumur dan juga sepetak tanaman sayuran. Rumah kami berdiri tegak ke arah barat. Aku memelihara beberapa ekor ayam dan bebek. Setidaknya rumah kami terasa ramai setiap hari. Adikku Ina tinggal beberapa puluh meter dari rumah kami. Kami semua adalah orang tua tunggal. Suami kami pamit jauh hari dan tidak pernah kembali. Alasannya merantau mencari rezeki, tapi lupa anak bini. Ah, sudahlah aku pun tak peduli lagi, apakah ia masih hidup atau mati.   

Ladang kami terletak di sepanjang anakan sungai yang airnya keruh akibat penambang emas. Selain kopi, kami juga menanam sayur mayor dan buah-buahan. Tidak banyak memang, hasilnya pun cukup untuk persediaan makan saja. Namun mereka tak ada yang berani mendekati ladang kami. Mereka yang kumaksud adalah para pencari kayu ranting, yang kadang mereka juga jadi pencuri jemuran atau apapun dianggap berharga di sekitar pekarangan. Aku sudah menulis kalimat ancaman di atas sepotong kardus dengan menggunakan arang.

"HATI-HATI ADA ANJING GALAK"

Padahal kenyataannya kami tidak punya satu ekor pun anjing dan bahkan yang menulis peringatan itu buka aku, tapi Ina. Pendidikannya sedikit lebih tinggi dariku. Ia lulusan SMP sedang aku SD pun tak tamat.

Pabila malam tiba suara anjing yang melolong panjang dan derik jangkrik saling bersahutan. Alunan musik dari petikan kecapi dan sape yang dimainkan oleh beberapa pemuda di depan rumah terdengar indah. Seolah memanggil dan menjemput bidadari agar turun dari khayangan.  

Daun dan Dian sedang asik bermain boneka di ruang tengah. Berlarian membuat kegaduhan kecil, sudah saatnya untuk menidurkan mereka. Besok mereka harus bersekolah, berjalan kaki lebih dari 8 kilometer. Jalanan terjal, berbukit dan kadang licin manakala hujan selalu membuatku was-was. Belum lagi binatang-binatang hutan yang melintas. Setiap pagi aku merasa seperti melepaskan kepergian seorang pejuang ke medan perang.

"Daun..Dian…, lekas cuci kaki dan tangan kalian sebelum tidur." Aku mengingatkan dari dapur.

Mereka berlari ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Aku bergegas masuk ke dalam kamar mereka. Menepuk kasur dan merapikan seprai. Dan kembali ke dapur untuk mengambil. Daun dan Dian saling tertawa.

"Malam ini, Mamak akan menceritakan sebuah dongeng istimewa. Dongeng itu tentang Dewi Kopi"

"Apakah itu menyeramkan seperti Mamak sering ceritakan saat malam Jum'at?" tanya Dian sambil memeluk guling. Daun tampak antusias. Matanya dipenuhi rasa ingin tahu. Di antara mereka berdua.

"Tidak menyeramkan, kalian akan tahu sendiri saat mendengarnya nanti."

 "Tumben, Mamak buat kopi. Nanti tidak bisa tidur lho." tanya Dian.

Aku mencubit halus hidung Dian. Ia terkekeh. Daun diam saja memasang sikap menyimak.

"Lebih baik Mamak tidak bisa tidur, daripada tidak bisa bangun lagi."

"Ssst.. Dian, kamu tanya terus nanti Mamak tak jadi cerita." protes Daun.

"Sudah, sudah. Mamak mulai dongengnya."

Dari kamar dengan lampu remang-remang, dongeng itu aku sampaikan.

****

Di kaki Bukit Tangkiling, seorang gadis belia bernama Sirta tumbuh di tengah bencana yang melanda desa. Hasil tani turun drastis karena terserang hama. Orang-orang mulai menjual tanah kepada saudagar kaya raya, Kisar.  Salah satunya adalah Tewa. Laki-laki pemalas yag dinikahkan oleh orang tuanya dengan gadis yatim. Barang-barang yang ia miliki ia jual satu per satu untuk main judi dan minum kopi.

"Abang mau kemana lagi?." ujar Hayu parau. Suaminya berjalan keluar rumah acuh. Di dalam pikirannya hanya dipenuhi oleh kopi dan judi. Parfum murah yang dipakai sang suami pun begitu menyengat seisi rumah. Hayu hanya bisa menangis, biru luka di dalam dadanya lebih dari birunya langit. Ia hanya bisa bersabar dan berharap keajaiban mengubah kondisi keluarganya.Hasil dari berjualan kerajinan tangan dri kulit kayu tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhan anaknya.

"Mak, ayah pergi kemana lagi?" tanya Sirta sembari mengelap peluh di dahi sang Mamak di pembaringan. Sudah seminggu terakhir Hayu jatuh sakit karena terlalu banyak memikirkan suaminya.

"Sudah kau tak perlu tanyakan itu. Kau dan Mamak sudah tahu ia pergi kemana, bukan?"

Tewa menyusuri jalan desa yang masih tanah berbatu. Menuju kedai di ujung desa tempat para penjudi berkumpul. Wajahnya lunglai tak bersemangat. Ia tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Bahkan ia tak sanggup untuk membeli segelas kopi di kedai itu. Sementara meja depan kedai sudah dipenuhi kartu, kacang dan uang yang berserakan. Boto-botol bir pun berdiri menjulang hilir mudik diteguk oleh para penjudi.

Seseorang menghampiri Tewa yang menatap kosong kawan-kawannya yang bersorak sorai. Ada yang menang, ada yang kalah. Seperti itulah kehidupan menurutnya. Tapi bukankah kehidupan ini hanyalah pertarungan dengan diri sendiri. Kalah dan menang hanya

Nius, kawan karib Tewa, menepuk pundaknya dari belakang.

"Hei bang. Lemas kali. Kau mau mencicipinya kopi paling nikmat di pulau ini?" tawar Nius.

Nius adalah seorang pedagang kopi terbaik di daerah mereka. Karena berkawan dengan Niuslah, Tewa bisa mencicipi banyak jenis kopi yang akhirnya membuat candu. Tewa menjadi insomnia. Ia lebih banyak minum kopi daripada air putih.

"Kopi apa itu, Nius?"

Nius mendekati Tewa, lalu berbicara pelan di telinganya, seolah menyampaikan rahasia negara yang pantang bocor.  Nius akhirnya menarik Tewa dari kerumunan ke balik bangunan yang dipenuhi barang-barang rongsok dan bercampur aroma busuk tahi ayam. Dibalik jemuran berkibar tertiup angina itulah mereka membicarakan rahasia negara.

"Kopi Mara'uh."

"Apa istimewanya Kopi itu?"

"Kopi ini diolah dari campuran biji kopi robusta terbaik di negeri ini , buah masisin dan rempah-rempah. Dijamin dengan sekali teguk kau akan merasa ditemani bidadari surga. " Nius menjelaskan penuh semangat.

Musik dangdut yang diputar dari kedai kalah riuh dari penjudi yang mengumpat-umpat. Tewa dan Nius berjalan lebih jauh lagi ke pinggiran sungai agar mereka bisa berbicara leluasa tanpa harus berteriak-teriak.

"Sepenting ini kah sampai kau ajak aku kemari hanya karena kopi itu.."

"Kau tahu berapa harganya?" potong Nius.

Tewa menggeleng sembari mengisap rokok.

"1 juta per kilo nya."

"Ah, aku tak percaya bisa semahal itu. Bagaimana bisa?"

Nius menepuk kencang bahu Tewa hingga terguncang.

"Buah masisin cukup langka dicari, Kau hanya bisa mendapatkannya di pedalaman hutan.Belum lagi kau harus siaga dari serangan penyamun. Dan kau juga butuh alat khusus untuk meraciknya."

Tewa melempar batu pipih ke arah sungai. Batu itu melompat-lompat tiga kali di atas air sebelum tenggelam dalam air. Nius tahu bahwa Tewa sedang dalam kondisi susah. Ia punya rencana agar mereka bisa bekerjasama untuk mengubah takdir mereka menjadi pengusaha kopi nomor satu dengan Kopi Mara'uh tadi.

"Lalu bagaimaa caranya untuk mencicipi kopi itu?" Jangan bilang kau menyuruhku untuk masuk ke pedalaman hutan, Nius."

"Tentu saja tidak, Kawan. Aku sudah menemukan penjual Kopi Mara'uh tadi tapi aku butuh modal agar nanti bisa kita kembangkan bersama."

"Bukankah kau sendiri pedagang kopi? Bagaimana bisa kamu butuh bantuan dariku yang seorang pengangguran tak jelas?"

 "Kita pinjam uang kepada Juragan Kisar." Kata Nius lugas.

"Bagaimana, Tewa? Apakah kau terima tawaranku ini?" sambungnya lagi

Tewa masih bimbang. Ia tidak yakin betul bisa segera melunasinya. Mengingat ia sendiri yang tak punya pekerjaan tetap. Tapi ia tergiur untuk mencicipi kopi langka itu dan berharap bisa mengubah garis takdirnya dengan berjualan kopi mahal. Akhirnya, Tewa mengiyakan.

Hari beranjak sore, mereka berdua mendatangi rumah Juragan Kisar di ujung kampung. Halamannya dipenuhi oleh peti-peti besar. Di beberapa sudut rumah ada kolam-kolam kecil berisi ikan mas warna merah putih. Pintu rumahnya terbuat dari kayu ulin dengan ukiran burung. Nius mengetuk pintu rumah. Tewa masih kagum melihat sekeliling. Beberapa saat kemudian, seorang perempuan membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Nius dan Tewa duduk di ruang tamu yang dipenuhi oleh patung-patung. Juragan Kisar terkenal sebagai kolektor barang antik.

Nius menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada perempuan itu. Perempuan itu masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, keluar seorang laki-laki berbadan tinggi kurus dengan kumis di wajah. Ia mengenakan sarung dan kaus warna hitam. Nius dan Tewa langsung mengenalinya. Tak lain adalah Juragan Kisar.

"Apa kabar, Juragan Kisar?" sapa Nius berbasa basi.

Mereka mengulurkan tangan untuk bersalaman tapi Juragan tidak menyambutnya dan langsung duduk di kursi. Mereka buru-buru menarik tangan.

"Apa keperluan kalian datang ke tempat saya? Kalian kuli angkut yang belum dibayar sama anak buah ku kah?"

"Bukan juragan, kami ke sini hendak meminjam uang untuk modal usaha."

Juragan Kisar tertawa remeh. Menepuk-nepuk pahanya. Nius dan Tewa hanya diam.

"Kalian? Mau pinjam uang? Apa bisa mengembalikannya?"

"Bisa, tuan. Saya ini seorang pedagang kopi." jelas Nius.

"Kalian mau pinjam berapa? Dan apa jaminannya?"

Tiba-tiba Tewa langsung angkat bicara, "Kami pinjam lima juta dengan jaminan rumah."

Nius tentu saja terkejut dengan pernyataan temannya itu.

"Apa kamu yakin? Saya yakin rumahmu itu pasti harganya lebih murah."

"Kami yakin."

 Juragan Kisar masuk sebentar ke dalam kamar dan membawa satu ikat uang dan selembar kertas perjanjian. Ia menyerahkannya kepada Nius dan menyuruhnya untuk tanda tangan. Tewa yang mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di atas surat perjanjian.

"Kau harus mengembalikannya lima bulan lagi. Kalau lewat daripada itu, tidak ada toleransi. Apa yang menjadi jaminanmu akan kami ambilkan. Sanggup?"

"Sanggup."

Mereka berdua meninggalkan rumah Juragan Kisar ketika hari sudah malam.

"Apa kau sudah gila? Aku hanya berniat meminjam untuk membeli satu kilo Kopi Mara'uh." ujar Nius.

"Tanggung sekali, bukannya kau sendiri yang ingin menjadi pengusaha kopi nomor satu. Ya kita jual kopi

"Tidak. Aku tidak habis pikir kau menjadikan rumahmu sebagai jaminan. Anak istrimu kau mau kemanakan?"

"Kau ternyata kurang cerdas, Nius. Kau tak jenius. Aku akan menjual rumah itu dan pergi jauh-jauh dari kampung ini kalau kopi kita tidak laku."

Nius akhirnya memilih diam. Mereka pulang dan mengambil jalan masing-masing.

Sesampainya di rumah Tewa mengabarkan kabar baik untuk anak istrinya.

"Ayah pulang membawa uang banyak."

"Darimana kau mendapat uang sebanyak itu."

"Aku meminjamnya kepada Juragan Kisar."

 "Dengan apa kau mengembalikan uangnya?"

 "Aku akan berjualan kopi bersama Nius. Kau dan Sirta bisa membantu kami."

 Hayu tidak banyak bicara tapi ia memiliki firasat, sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa keluarga mereka. Sirta mendengar percakapan malam itu juga merasakan hal yang sama. Bukankah sedikit aneh Ayahnya yang pemalas mendadak berubah dalam hitungan jam ingin menjadi pedagang.

Dua bulan kemudian. Setelah mereka berhasil menjual kopi ke seluruh penjuru daerah. Mereka akhirnya membuat pabrik kecil dari keuntungan mereka untuk memproduksi sendiri kopi Mara'uh. Namun tabiat buruk Tewa sebelumnya belum hilang. Ia berjudi setiap malam. Namun hanya kekalahan demi kekalahan yang ia dapatkan. Sirta dan Hayu terlantar dan Tewa diam-diam  menjual pabrik dan rumahnya. Ia dan Nius melarikan diri karena terlanjur ketakutan dengan ketidaksanggupan mereka mengembalikan uang kepada Juragan Kisar.

Saat itu Sirta sedang menjemur kerupuk di halaman rumah. Tiba-tiba sekelompok laki-laki berbadan besar dengan parang di tangan. Mengobrak-abrik rumah mereka. Hayu menjerit ketakutan.

"Kalian siapa dan mau apa sebenarnya?"

"Kami menyita rumah ini karena perintah Juragan Kisar. Kalian harus pergi dari sini."

 Hayu diseret keluar rumah. Sirta menangis ketakutan memapah Hayu. Juragan Kisar berdiri angkuh dihadapan mereka. Tampangnya yang bengis dengan senyum menyeringai tampak menyeramkan bagi mereka berdua. Seolah-olah mereka akan dihabisi jika melawan.

 "Astaga bodoh sekali suamimu itu. Meninggalkan istri dan anaknya yang cantik seperti ini hanya untuk uang." goda Juragan Kisar seraya membelai dagu Sirta dan Hayu. Sirta menepisnya.

 "Ooh, kamu berani juga ya. Bawa mereka ke rumah biar kita kasih pelajaran dulu!!" teriak Juragan Kisar kepada anak buahnya. Sirta dan Hayu meronta-ronta berteriak. Namun tenaga mereka kalah  kuat daripada tukang pukul Juragan Kisar dan mereka menyerah dibawa pergi. Hayu mengumpat suaminya dalam hati. Betapa kejinya sang suami menukarkan istri dan anaknya hanya untuk kopi. Terjawab sudah firasat buruk yang mereka rasakan jauh-jauh hari.

 Warga kampung tidak ada yang berani menolong, Mereka tidak mau ikut campur dan berurusan dengan Juragan Kisar yang tak segan-segan membunuh orang-orang yang menghalanginya.  Beberapa waktu kemudian, konon  tersiar kabar Sirta dan sang ibu mati dibunuh Juragan Kisar dan beberapa orang percaya mereka menjelma menjadi Dewi Kopi yang menyuburkan lahan petani yang baik hati dan akan menimpakan bencana kerugian kepada petani picik.

Sebagian lagi memercayai Sirta menghilang dan masih hidup di dunia.

***

Daun dan Dian jatuh terlelap saat dongeng berakhir. Aku meminum kopi Mara'uh yang sudah dingin. Lidahku merasakan ampas kopi pertanda tidak terseduh  sempurna.  Aku berjalan setengah berjinjit keluar dari kamar agar tak menimbulkan suara berisik, menutup pintu pelan-pelan. Sejenak aku bersandar di pintu, merenungi dalam-dalam. Menekuri langit-langit rumah dari rumbia kering. Mereka tidak menyadari bahwa malam ini yang menceritakan langsung adalah sang Dewi Kopi, Sirta yang menghilang.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Kamis, 11 Agustus 2016

Doa Kepala Ikan Patin

"Biar cepat jadi kepala." ujar Mamak sembari mengambilkan kepala ikan patin dan memberikan ke piringku.

------

Sebenarnya apa hubungan Kepala Ikan Patin dengan doa Mamak? Padahal aku sendiri sudah menjadi kepala gudang di pelabuhan barang. Lantas apa maksud Mamak dengan doanya agar aku cepat menjadi kepala tadi siang.

"Mungkin maksud Mamakmu, biar kau cepat jadi kepala rumah tangga." sahut Ikram dari balik kamar. Dia pasrah mendengarkan keluhan anak bujang, aku.

Kepala. Kepala. Kepala

Ada benarnya ucapan si Ikram. Aku terlalu sibuk mengurusi kebahagiaan orang lain sampai-sampai melupakan diri sendiri.

"Kalau begitu kau carikan dulu lah kawanmu ini yang bisa diajak berumahtangga." balasku.

Ikram keluar dari kamar membawa segelas kopi dan mie rebus tersisa separuh. Ia meletakkanya dihadapanku.

"Nah coba kau cicipi dulu kopi sama mie rebus ini." Ikram menawarkan entah apa maksudnya.

Aku menolak.

"Bagus, kau masih normal. Kau tak mau makan sisa. Begitupun perempuan, jangan mau kau dapat yang sisa orang. Carilah calon pendamping yang menjaga dirinya. Yang gak bakalan mau kau bawa kemana-mana seenak hati kau."

"Benar. Kau pintar kali, Kram. Dari mie rebus pun kau bisa beranalogi. Apa bacaanmu tiap hari?"

Ikram menyeruput kopi hingga tandas dibarengi bunyi sirine melengking tanda waktu istirahat berakhir.

"Aku baca buku harianmu."

Ikram sialan.

Sabtu, 16 Juli 2016

Kota Setelah Hujan

Bukankah begitu dingin
Hujan sisa semalam
Betapa kejam, bukan?
Tangis yang menggelayut
Mengering belum kau seka
.
Aku yang mengetuk pintu rumah lamamu
Membawa seikat bunga rampai layu
Yang hendak kuberi sebelum pergi
Dan kau memulainya lebih dahulu
.
Genangan di jalan belum menguap
Menguar aroma tanah basah
Aku penasaran kisah yang terputus oleh waktu
Cerita setelah hujan
Tentang kamu yang tak ingin sendiri
Dan aku hanya senyap yang tak pernah berani berisik.

-Doddy Rakhmat
16.07.2016

(Picture : webneel.com)

Jumat, 24 Juni 2016

Pantas

Semua ibadah diciptakan sebagai batas. Membedakan sesuatu yang beriman dengan yang tidak. Puasa hari ini membatasi besok dan kemarin. Puasa besok batas hari ini dan lusa. Waktu memisahkan deretan ibadah satu dengan yang lainnya,

Buruk sangka dan Puasa memisahkan pahala dan dosa. Resah di doamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah oleh keyakinan. Begitu pula kesempurnaan wudhu, penghantar antara kesucian dan seorang hamba yang Tuhan sayang.

Seorang hamba membelah dosa dari hatinya. Atau zikirmu, di antara ketakzimanku dan ketenangan jiwa. Persis segelas kolak tanpa gula menjauhkan kita dari serakah.

Apa kabar puasamu?
Lihatlah tanda tanya itu jurang antara keingintahuan dan meyakinkan dirimu sekali lagi

Senin, 06 Juni 2016

Tidak Ada Makan Siang Hari Ini

TIDAK ADA MAKAN SIANG HARI INI.

Tidak ada makan siang hari ini
Tidak ada makan siang kemarin
Dan diriku yang lama tidak akan kemana-mana
Karena aku yang baru akan tiba

Masjid adalah ruang ibadahku
Bukan sekadar tempat mencari takjil
Dan puasa, kau tidak ingin aku
Berbuka sebelum waktunya

Pintu pahala terbuka
Segala setan terperangkap dalam penjara
Bulan ramadhan datang, datang, datang..
Bulan yang amat penting, dan kita selalu menunggu petang.

(Doddy Rakhmat)

Based upon Puisi Tidak Ada New York Hari ini oleh Aan Mansyur

Minggu, 22 Mei 2016

Hilang dan Berubah

Kehilangan membuatmu berubah seperti menyalakan alarm setiap pagi sebagai pengganti istri yang tak lagi di sisi; yang senantiasa membangunkan dan menyeduh kopi untuk disesapi.

Kehilangan membuatmu berubah seperti mematikan televisimu dan mulai menyelesaikan buku-buku yang lama belum kau baca karena kau ingin meyibukkan pikiranmu dengan imajinasimu sendiri bukan dari televisi.

Kehilangan membuatmu berubah seperti tidak melupakan kunci rumah saat bepergian karena kau takut kehilangan sesuatu lagi.

Kehilangan membuatmu berubah seperti memutar musik yang awalnya kau tak sukai, lalu kau ikut bersenandung dengan lafal separuh fals tapi kau tak pernah peduli

Kehilangan membuatmu berubah seperti mendung malu-malu tampil di langit; segan menjadi hujan.

Kehilangan membuatmu menemukan diri sendiri yang selama ini hilang dan kau akan berubah.

*Doddy Rakhmat
22.05.2016

Kamis, 19 Mei 2016

Melawan Hujan

Aku dan kamu masih percaya bahwa kebahagiaan itu bukan tumbuh setelah hal-hal menyedihkan terjadi. Seperti kehilangan. Kehilangan diri sendiri.

Aku pernah mengalaminya beberapa tahun silam. Ya, aku kehilangan diri sendiri karena kehilanganmu. Dan aku tidak menemukannya di manapun. Di puluhan film yang kutonton, puluhan buku yang kubaca maupun ratusan kalimat yang kutulis. Hujan yang katamu mengantar banyak kenangan berubah menjadi mimpi buruk setiap ia datang. Aku menggigil karena rindu yang kandas tak menemukan labuhan. Aku tenggelam dalam lautan manusia yang berpikiran sama tentang cinta. Mereka punya pemikiran,

"Kamu pasti akan mendapat penggantinya yang lebih baik lagi."

Menemukanmu lagi di raga yang lain bukan perkara mudah, aku enggan membandingkanmu dengan seseorang yang baru. Mungkin kami akan mendatangi tempat yang sama yang pernah kita kunjungi. Tapi itu akan terasa berbeda, aku mulai mengumpulkan kenangan-kenangan yang seharusnya kuhapus sejak lama. Lagu kesukaan kita mengalun dari pengeras suara, aku menggamit kedua tangannya. Aku berpikir, dia bukan kamu. Lagu-lagu itu mengantarkanku pada rambut dan matamu bukan kepada wajahnya. Kepada senyummu yang berbeda dengannya; senyum dua jari yang menawan.

Hujan pengantar mimpi buruk selalu hadir tepat waktu ketika malam akhir pekan. Aku masih berdiri di bawah kerumunan orang yang berpikiran sama, bahwa ketika kehilangan orang yang kita cinta, maka segera cari penggantinya. Hujan tak seindah masa silam, di mana kita saling berkejaran, membuat kenangan, melawan hujan.

Aku ingin kita melawan hujan walau kita tak lagi berdiri berdampingan, melupakan luka hingga reda.

(Doddy Rakhmat)
18.05.2016

Sabtu, 07 Mei 2016

Ruh Pengarang

Di sepertiga malam dingin, di tengah badai perasaan, aku mengambil beberapa helai kertas dan pena murah warna hitam. Sekuat mungkin aku berpura-pura untuk tidak lapar. Toh, bukankah orang yang sedang jatuh cinta. Tak berselera makan, senang meringkuk di bawah selimut, bersenandung lagu sendu rindu, dan meminum air putih banyak-banyak karena kerongkongan terasa kering setiap saat menggumam namanya.

Sudah sejam aku menunggu ruh pengarang merasuki tubuhku. Menuliskan puisi-puisi hebat, cerita-cerita yang akan terus diingat, utamanya untuk gadis yang sedang kukagumi. Mulan. Aku sudah mengosongkan pikiran, tapi Mulan masih tetap bersemayam di sana. Kertas putih masih kosong, tidak ada sesuatu yang hebat di sana.

Ruh pengarang belum muncul. Padahal aku sudah membuka jendela kamar lebar-lebar. Angin malam menyapa halus wajah. Aku minum air putih lagi.

Mungkin orang yang sedang jatuh cinta, adalah jasad yang selalu diincar oleh ruh pengarang. Mereka berubah menjadi puitis seolah tak kehabisan kata-kata. Dan ruh pengarang dapat tenang usai menyampaikan tulisan mereka yang belum selesai, diputus oleh takdir.

"Ayolah ruh pengarang, masuklah. Tidakkah kau tega membiarkanku jatuh cinta sendirian. Aku butuh bantuanmu."

Ayam tetangga tengah malam berkokok, banyak yang bilang itu pertanda ada jin di sekitarnya. Semoga itu ruh pengarang. Kepalaku tiba-tiba berat, aku mulai mengambil pena dan menulis di atas kertas. Menggila sampai menjelang subuh. Dan tubuh mendadak lemas.

Keesokan pagi, aku membaca dalam hati tulisan tadi malam.

Cinta tak membuatmu lebih atau kurang
Karena kau berada di antaranya

Cinta tidak butuh kata-kata indah
Puisi-puisi cengeng
Atau cerita roman picisan

Cinta, hanya kamu dan aku
Saling mengiyakan
Bukan meniadakan
Cinta perlu saling tahu

Cinta tak pernah datang terlambat
Bahkan sebelum sesal hadir
Karena cinta tak pernah membuatmu menyesal

-Mulan

Ruh pengarang benar-benar datang. Dan dia adalah Mulan.

(Doddy Rakhmat)
Jambi, 7 Mei 2016

Sabtu, 30 April 2016

Kamu Luka

Kita pernah duduk bersama, tapi kita tidak pernah saling memiliki. Karena ada tembok besar menghalangi. Kau namai dengan 'prinsip', dan aku menyebutnya dengan 'alasan'.

Kita pernah duduk dalam satu garis lurus, tapi hati kita saling bertolak belakang. Tak menemukan jalan keluar, yang aku sebut sebagai cinta. Dan entah kau menamainya apa.

Kita pernah duduk bersama menghadap matahari ditelan tepian laut. Senja memantul di matamu tanpa bayanganku.

Kita pernah duduk bersama dan kamu berdiri, berjalan meninggalkanku sendiri tanpa satu kata permisi.

Untuk itulah, aku menyebutmu luka. Dan kita adalah kenangan yang tak ingin kusimpan lama-lama.

(Doddy Rakhmat)

Selasa, 26 April 2016

(Tidak) Patah Hati

Lagu-lagu romantis yang dilantunkan oleh penyanyi wanita di cafe tak ubahnya ratapan pilu cinta yang karam. Hujan tersisa rintik kuterabas liar meninggalkan jauh-jauh Ekspresio Cafe. Menjejak genangan air tanpa hirau. Kilat masih menyambar. Orang-orang berlarian dari hujan. Aku terus berjalan memikirkan cara untuk membunuh hujan. Karena ia bagai lawan yang tangguh. Sampai di rumah, aku diajak oleh kenangan yang berputar dalam pikiran ke potongan-potongan masa silam bersama Kalea.

Sejak berpisah dengan Kalea, sebenarnya aku enggan bertandang ke Ekspresio Cafe lagi. Tempat kami membuat kenangan-kenangan indah. Aku melepaskannya agar ia menemui kepastian. Dan aku dapat memilih untuk melanjutkan pencarian tulang rusuk yang hilang. Tapi sebaris kalimat yang baru saja kubaca beberapa menit lalu membuatku berpikir dua kali. Masih adakah cinta yang tepat untuk ku?

"Bang, Uzi boleh masuk kamar bentar nggak?" pinta Uzi, adikku umur 12 tahun, dari luar kamar.

"Masuk aja"

Ia berjalan mengendap-endap takut menimbulkan suara-suara aneh. Atau ia tahu kebiasaanku yang selalu memarahinya masuk kamar.

"Abang, kenapa? Keujanan gitu, gak ganti baju, gak takut masuk angin?"

Aku hanya menggeleng. Memandangi foto hasil jepretan ala paparazzi gadis yang kukagumi beberapa hari belakangan. Bukan Kalea. Bagiku itu cukup menghangatkan.

Aku yakin semua orang memiliki cara untuk menikmati secangkir kopi pun menyesap kepahitan cinta yang suram. Aku belajar bagaimana sembuh dari patah hati ; luka masa lalu. Dan penyesalan bukanlah jalan keluar. Mencintai seperti merawat sebuah bunga dalam pot. Ketika ia mati, kita tidak bisa menghidupkannya kembali. Namun menanaminya kembali dengan bunga baru adalah cara terbaik untuk menyempurnakan pot kosong.

Ternyata aku salah memilih bunga lagi. Bunga itu telah bertuan dan aku masih mempertanyakan. Benarkah jika aku harus merebut gadis dari pria yang telah memilikinya? Haruskah memaksakan kehendak? Siapapun, aku ingin seorang gadis yang tidak membuatku patah hati lagi.

Dan menyesap banyak kopi tidak dapat menyembuhkanmu dari patah hati. Kau hanya perlu membiarkan hujan turun dari langit, meluruhkan segala luka hingga reda.

*Doddy R

Cerita sebelumnya bisa dibaca di http://tututlaraswati03.blogspot.co.id/2016/01/patah-hati-pada-kopi-dan-hujan.html?m=1

Gundik Politik

Gundik Politik

Politikus yang wajahnya terpampang di mana-mana, pasar, toko, jalan, bahkan di depan rumah yang ia tak kenal punya gundik yang amat ia cintai. Sampai-sampai istri tua setia seperempat abad ia tinggalkan.

Tak lama setelah ia duduk di atas singgasana rakyat, tersiar kabar gundik setianya itu mati diserang penyakit aneh.

Gundik yang mati itu ia ajak kemanapun ia pergi. Didandani seperti manusia hidup. Memakai perhiasan hasil cuci uang. Ia ikut serta dalam kampanye partai, memberi bantuan dana, wawancara pencitraan di televisi. Sampai-sampai orang di sekitar mereka harus meninggalkan hidung di rumah, agar aroma busuk gundiknya itu yang sama dengan ucapan sang politikus tak mengacaukan isi lambung.

------

Doddy R
24.04.2016

Kamis, 21 April 2016

Filosofi Patah Hati

Hujan gerimis turun dari langit dan dari matamu, kesedihan tak teramat mudah ditaklukan hanya dengan tangisan. Kadang kau hanya diam. Menatap bulir air jatuh menerpa daun bonsai teras rumah yang lama tak dipangkas.

Kopi yang kau seduh tetap pahit walaupun setengah toples gula sudah kau campur ke dalamnya. Dan tatapanmu masih nanar. Tegukan kesekian kau memilih meringkuk di bawah selimut. Buku-bukumu berserakan dan terbuka pada halaman-halaman yang bercerita tentang kepiluan. Ketika kita patah hati kadang kita bukan mencari cara untuk mengobati. Namun membiarkan perih itu sembuh dengan sendirinya dan mengajak semesta untuk ikut merayakan. Kau tak ingin merasakannya seorang diri.

Kita sama sama jatuh cinta dan patah hati. Aku mencintaimu tapi kau mencintainya. Kau tak pernah tahu hal itu. Mengagumi dari kejauhan, kau yang dirundung kegelisahan, aku tersenyum tipis. Masih adakah celah yang dapat kususupi ke dalam hatimu?

Kau mungkin juga tidak tahu, pria juga pernah patah hati. Hanya saja mereka berpura-pura untuk tabah. Mereka cepat tertawa bersama teman-temannya padahal semua yang dilakukan untuk menghibur dirinya sendiri. Aku tidak termasuk dalam golongan itu. Aku lebih memilih mengurung diri dalam kamar. Menuliskan puisi-puisi cengeng, mendengar lagu-lagu luar negeri yang menyayat hati lalu meminum secangkir cokelat hangat. Dan mulai melupakan.

Dari balik jendela, memandangmu, aku berdiri tegak. Tapi sesungguhnya aku sedang terduduk di dasar jurang.

"Karena patah hati membuatmu dua kali lebih hebat saat jatuh cinta (lagi) nanti"

*****

Flashfiction ini dibuat untuk challenge dari tututlaraswati03.blogspot.co.id

Filosofi Patah Hati

Hujan gerimis turun dari langit dan dari matamu, kesedihan tak teramat mudah ditaklukan hanya dengan tangisan. Kadang kau hanya diam. Menatap bulir air jatuh menerpa daun bonsai teras rumah yang lama tak dipangkas.

Kopi yang kau seduh tetap pahit walaupun setengah toples gula sudah kau campur ke dalamnya. Dan tatapanmu masih nanar. Tegukan kesekian kau memilih meringkuk di bawah selimut. Buku-bukumu berserakan dan terbuka pada halaman-halaman yang bercerita tentang kepiluan. Ketika kita patah hati kadang kita bukan mencari cara untuk mengobati. Namun membiarkan perih itu sembuh dengan sendirinya dan mengajak semesta untuk ikut merayakan. Kau tak ingin merasakannya seorang diri.

Kita sama sama jatuh cinta dan patah hati. Aku mencintaimu tapi kau mencintainya. Kau tak pernah tahu hal itu. Mengagumi dari kejauhan, kau yang dirundung kegelisahan, aku tersenyum tipis. Masih adakah celah yang dapat kususupi ke dalam hatimu?

Kau mungkin juga tidak tahu, pria juga pernah patah hati. Hanya saja mereka berpura-pura untuk tabah. Mereka cepat tertawa bersama teman-temannya padahal semua yang dilakukan untuk menghibur dirinya sendiri. Aku tidak termasuk dalam golongan itu. Aku lebih memilih mengurung diri dalam kamar. Menuliskan puisi-puisi cengeng, mendengar lagu-lagu luar negeri yang menyayat hati lalu meminum secangkir cokelat hangat. Dan mulai melupakan.

Dari balik jendela, memandangmu, aku berdiri tegak. Tapi sesungguhnya aku sedang terduduk di dasar jurang.

"Karena patah hati membuatmu dua kali lebih hebat saat jatuh cinta (lagi) nanti"

*****

Flashfiction ini dibuat untuk challenge dari tututlaraswati03.blogspot.co.id

Selasa, 19 April 2016

Rebelion Inside

MOVIE SCRIPT BLOG TOUR OWOP!

Kami sebenarnya bukan orang pro yang sudah bisa bikin skenario film, tapi, kemauan belajar kami tinggi. Jadi, kalau ada salah-salah dalam penulisan skrip film ini, mohon dimaklumi...

Dan, ikuti tiap episode-nya, yaa!

Episode 1: Terkuncinya Para Pengunci -  Annisa Fitrianda Putri
Episode 2: Permainan (Akan) Dimulai -  Dini Riyani
Episode 3: Detik-Detik Kematian Radian -  Said Al Khudry
Episode 4: Para Artemis dan Orion Mereka -  Nadita Zairina
Episode 5: Friend or Foe -  Nana
Episode 6: Menebak Teka-Teki Langit - Evnaya Sofia
Episode 7: Di balik Rasi Bintang Orion -  Rizka Agustina
Episode 8: Tragedi Mawar Putih -  Rizky Khotimah
Episode 9: Genosida! -  Mister Izzy
Episode 10: Radian dan Dru -  Cicilia Putri Ardila
Episode 11: Kenangan Dan Tantangan -  Deasy Wisudawati
Episode 12: Dru, dan Hilangya 'Mawar Putih' - Zahida An-Nayra
Episode 13: Sang Mata-mata - Ruru
Episode 14: Mawar bersilang dan Terlepasnya Top - Kenti Lestari
Episode 15: Kekuatan Tersembunyi Rei - Dehuji
Episode 16 - Pelarian dan Pertemuan oleh Apriastiana Dian

Kali ini saya, Doddy Rakhmat, akan menuliskan episode ke-17.

Cerita sebelumnya:
Para Artemis ditahan oleh Aldi di sebuah ruang rahasia saat tiba di Markas Mr. Locked, Drupadi dan Rei menghilang. Dan Radian berhadapan dengan seseorang yang lama tak ia jumpai.

---------

[INT] Ruang Rahasia Mr.Locked

VO dr.Bram : Aku minta maaf Radian. Tak seharusnya Ayah menyeretmu terlalu jauh ke permainan gila ini.

Radian : A-ayah.. (Menatap ayahnya penuh tanya) Untuk apa kau lakukan semua ini?

dr. Bram : Para Penggagas yang berkhianat harus musnah.

[CUT To]

[INT] RUANG PENYIMPANAN SENJATA Mr.Locked

Rei : Hei, surprise (ekspresi datar) kau jangan senang dulu. Aku menolongmu bukan hanya kasihan padamu. Aku hanya penasaran sebenarnya apa yang kalian dari kami. Pengunci? Tragedi Mawar Putih itu kah yang kalian sembunyikan dariku selama ini?

Dru : Aku tak bisa menjelaskannya di sini. Kita harus segera menyelamatkan yang lain.

Rei : (menggertak) TIDAK! Kau harus menjelaskannya sekarang. Setidaknya aku tahu harus membalas dendam kepada siapa.

Dru : (menarik napas dalam-dalam) Kau adalah calon Pengagas, Rei. Dan kekuatan menakutkan itu ada pada dirimu.

[CUT TO]

[INT] RUANG PENUH TABUNG

Aldi : (tepuk tangan) Well.. Well.. Good job Wij. Aku tak menyangka dirimu juga bisa diandalkan. (Berjalan menghampiri Wij, menepuk bahunya)

Wij : (Menepis lalu mengepalkan tinju) Sekali lagi kau pegang, ini tak segan kulayangkan ke wajahmu yang sok tampan.

Aldi : (tertawa licik) Kau tak berubah memang ya? Aku selalu kagum dengan gaya angkuhmu.

Wij : (menatap remeh tabung-tabung yang berisi para pengunci)

Aldi : Aku dan Wij akan membuktikan kebenaran yang ditutupi selama ini. Tentu para Artemis sudah tahu apa yang terjadi pada Tragedi Mawar Putih, bukan? dan para Orion? (Meludah) Kalian menyembunyikan rahasia itu amat rapi.

Ar : Cepat katakan apa yang kau maksud bedebah! (mengerang kesakitan, fungsi tabung tidak berubah sedikitpun. Semakin memberontak, tetap melemahkan dan mengeluarkan sengatan listrik)

Aldi : (tertawa) Kami para pemberontak yang kalian kira telah hilang  Dendam harus tiba pada waktu yang tepat. Dan saat itu pengampunan tidak berlaku lagi. Para pengunci dan penggagas harus musnah. Kalian terlalu banyak menimbulkan kekacauan di kota ini.

Wid : Sialan kau, Aldi (mengerang kesakitan)

Wij : (berjalan ke arah meja panel lalu menekan tombol merah di atasnya)

[SFX] Suara peringatan dari atas ruangan.

Speaker : Warning please evacuate yourself. Warning please evacuate yourself. This place will destroy in 5 minutes.

[CUT TO]

[INT] RUANG PENYIMPANAN SENJATA

Dru dan Rei : (mendengar saksama peringatan dari pengeras suara)

Dru : (mendengar suara samar-samar)

Suara perempuan misterius : Sebentar lagi kami akan datang.

Rei : (merasakan sakit luar biasa pada dadanya. Ia terduduk di depan Drupadi)

VO.Dru : Aku mengenal suaranya. Suara Rosi.

Suara laki-laki misterius : Kalian akan baik-baik saja.

VO. Dru : Aku tidak mungkin salah dengar. Suara berat itu pasti Ronaldi.

[CUT TO]

[INT] RUANG RAHASIA MR.LOCKED

Radian : (mendengar dan melihat ke arah speaker dalam ruangan)

dr.Bram : (memasang topeng) Aldi brengsek!

[EXT] Gedung bergaya modern berwarna kelam disorot dari atas semakin menjauh sampai ke lapisan awan pertama.

Kamis, 07 April 2016

Permintaan Terakhir

Orang-orang mengenalku dengan nama Yuti Sara. Dan aku lebih senang bila dipanggil Yuyu. Terlahir dan dibesarkan di desa pinggiran kota, tak membuat seleraku dalam berdandan kalah saing dengan gadis-gadis kota. Aku juga mengenal Hermes, Gucci dan Luis Vuitton. Dan aku bermimpi saat aku menikah nanti, aku dihadiahi tas-tas mewah dari luar negeri itu.

Di teras rumah, aku duduk dibelakang Emak. Mencari kutu dan uban dari kepalanya. Kegiatan rutin setiap sore. Kemudian pemuda-pemuda tanggung mulai menggodaku, melempar siul dan semacamnya, aku pura-pura malu tapi suka.

"Ti, emak mau ngomong sesuatu deh."

"Panggil Yuyu dong mak…,"

"Iya yuyu..yuyu.."

"Semenjak Abah gak ada. Makan buat sehari-hari kita udah susah. Sampai-sampai Yuyu gak lanjut sekolah tinggi."

"Hooh, terus mak." Aku masih sibuk meneliti kepala Emak.

"Gimana kalau Yuyu nikah aja? Biar Emak bisa numpang sama Yuyu."

Aku tersentak kaget. Tak sengaja aku mencabut rambut hitam Emak, meleset satu helai dari ubannya. Emak mengaduh.

"Sama siapa Mak?"

"Nanti mak cari. Yang rada tajir."

Aku pasrah. Mungkin ini jalan untuk mewujudkan mimpiku itu. Tas mewah luar negeri.

Beberapa minggu kemudian, aku sudah di kota. Bersama suamiku seorang pengusaha. Ia selalu pergi pagi buta dan pulang setelah matahari ditelan bumi. Emak menemukan suamiku saat ia main-main ke desa kami. Ada urusan bisnis katanya.

Emak tinggal bersama kami. Ia amat senang. Bisa nonton sinetron setiap hari. Suatu hari aku meminta suamiku itu untuk membeli tas mewah luar negeri yang kudamba. Namun ia belum pulang-pulang semenjak permintaan terakhir dariku itu. Aku mulai cemas dan menyimpan curiga, jangan-jangan dia kawin lari bersama perempuan lain.

Setelah sekian lama, aku melihatnya tidak secara langsung. Di sebuah tayangan acara kriminal dk televisi. Aku dapat mengenali perawakannya yang mengendap-endap tertangkap kamera pengawasan salah satu toko tas mewah di mall. Dan aku teringat permintaan terakhirku seminggu lalu, ia memang benar-benar tak melupakannya.

*Doddy R

#LipatCeritaOWOP #Maling

Minggu, 03 April 2016

RADIO KECIL : Puisi - Puisi Beda Frekuensi

PRE ORDER EKSKLUSIF
3 April 2016 - 3 Mei 2016

ebook Radio Kecil : Puisi- Puisi Beda Frekuensi karya Doddy Rakhmat bertutur tentang 50 puisi perihal manusia memandang semesta.

'Mari kita rayakan tentang sebuah pergi
Menggugurkan rindu yang tersimpan dalam hati
Tak perlu lama waktu berputar jika hanya saling menyakiti'

'Aku adalah gempa yang kau ciptakan manakala hati berdebar, menapaki jalan membawa segenggam rindu di tangan.'

******
Pemesanan silahkan hubungi kontak berikut 085319670016 (SMS/WA)

Format pemesanan : RK_Nama_Alamat email lengkap.

Harga hanya Rp 15.000. Pembayaran bisa melalui pulsa atau transfer rekening Bank Mandiri a.n Doddy Rakhmat 900-000-513-092-8

Kami akan mengirimkan ebook beserta kata kunci untuk membuka filenya ke alamat email pemesan setelah mendapat konfirmasi transfer bank atau pengiriman pulsa ke no.kontak tersedia.

Senin, 28 Maret 2016

Tuhan dan Pacar

'Tuhan dan Pacar'

Tuhan dan Pacarmu itu berbeda
Untuk apa mendewakan waktu kepada orang yang belum tentu jodohmu?

Tuhan dan Pacarmu itu berbeda
Pacarmu dicuekin sedikit bilang tak peka
Tuhan selalu peka walau Dia dicuekin

Tuhan dan pacarmu itu berbeda
Tuhan penyedia jodoh
Dan pacarmu bisa jadi perebut jodoh orang lain

Tuhan dan pacarmu itu berbeda
Kalau putus, jadi mantan pacar
Putus sama Tuhan? Apa ada Mantan Tuhan?

*Doddy R

#Hari28 #1hari1puisi

Bayangan

'Bayangan'

Hai bayangan
Kapan kau keluar dari persembunyian
Tidakkah kau lelah berada di bawah sana?

Hai bayangan
Apakah dirimu menyimpan dendam?
Hingga dirimu terlampau kelam

Hai bayangan
Kemarilah aku menunggu
Ada banyak kepedihan yang ingin kuceritakan

Hai bayangan
Bagaimana bila kita berpisah
Singgahlah ke tubuh berbeda
Sementara aku mencari bayangan yang lain

*Doddy R

#Hari27 #1hari1puisi

Sabtu, 26 Maret 2016

Doa

'Doa'

Ada khawatir saat aku bermunajat
Di tengah malam di antara nyanyian jangkrik
Adakah kau menyematkan namaku di antara doamu
Atau ia sudah berganti dengan yang lain
Tanpa aku tahu

Aku khawatir
Karena kau adalah pendoa ulung
Sejak aku menyuguhkan tangis pertama pada dunia
Padamu
Ibu

*Doddy R

#Hari25 #1hari1puisi

Jumat, 25 Maret 2016

Libur

'Libur'

Tiada libur paling bahagia saat terlepas dari masa silam pahit ; sendiri merasakan cinta yang beku. Tak berbalas.

Aku mencederaimu dengan jatuh cinta agar kau libur dari patah hati dan muram durja.

Namun, kau memilih libur selamanya untuk tidak mencinta atau membiarkan hatimu terbuka

*Doddy R

#Hari24 #1hari1puisi

Kamis, 24 Maret 2016

Pemenang Giveaway Tere Liye

Selamat pagi, siang, malam para pembaca setia blog Doddy Rakhmat.com setelah lebih dari sebulan Giveaway Tere Liye berlangsung. Hari ini saya akan mengumumkan pemenang beruntung yang akan mendapatkan buku karya Tere Liye berjudul Pulang dan Hujan edisi TTD.

Cerpen ini saya pilih atas pertimbangan teknik bercerita, mengurai konflik dan menghidupkan semua karakter dalam cerita tergolong bagus dan nyaman untuk dibaca. Walaupun masih ada beberapa kata yang harus disesuaikan EYDnya menjadi catatan pembelajaran bagi pemenang.

Ini dia ceritanya!

------------

PULANG
(Harisma Wardani Ningtyas)

Kabut tipis menuruni kaki bukit menyertai kepulangan Ayah dari perantauannya. Kokok ayam masih belum usai. Sisa hujan semalam membuat udara pagi ini dingin menusuk. Ia menggendong sebuah tas ransel lusuh. Langkahnya tegap. Di tangan kirinya membawa sepasang sepatu baru berwarna putih bersih. Kontras dengan baju kemeja yang dipakainya. Kami baru saja selesai menimba air, mengisi tong-tong besar untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku -Mada- dan ketiga saudaraku, Gani, Rumpun dan Lara berdiri di depan rumah menyambut kedatangan Ayah. Hampir dua tahun ia pergi. Dan sebelum musim panen padi inilah dirinya pulang. Mata kami tertuju pada satu hal yang sama. Sepatu.

"Mak, Ayah pulang…" teriak kami serempak memberitahu Mamak.

Prang.

Terdengar bunyi barang pecah belah menghantam lantai. Kami tersontak kaget lantas berlarian ke sumber suara dan mendapati Mamak terbelalak pucat, menatap kepingan piring yang berserakan tak jauh dari kakinya. Ketika ia mengalihkan pandangan ke arah kami, wajahnya tampak merah. Tanpa memperdulikan pecahan yang ada ia berjalan ke ruang depan, menemui ayah dan tanpa basa-basi langsung menamparnya.

"Kenapa kau pulang sekarang, hah?" seru Mamak murka. "Bukankah kau kata di suratmu waktu itu kau tidak akan kembali?"

Kami terkejut, dan lebih lagi ketika ayah hanya diam saja. Setelah Mamak tak lagi berkata, perlahan ia menurunkan sepatu putih yang dipegangnya dan meraih sebuah amplop dari dalam tas. Lalu berucap, "Uang, untuk anak-anak."
Mamak terpaku menatap amplop itu, lalu menerimanya, tanpa sadar meneteskan air mata yang semakin lama semakin banyak. Tak mengerti, kedua adikku yang terkecil bergerak maju, memeluk Mamak yang kini tersendu.

Aku hanya menatap ayah, memeluk Gani yang juga tampak tak yakin dengan situasi yang kami hadapi saat ini.

Ekspresi ayah juga tampak begitu sendu, namun senyum yang mengembang di bibirnya jelas menunjukan bahwa setidaknya, ia saat ini bahagia.

"Aku pulang."

Suasana setelahnya tak lebih baik dibandingkan sebelumnya. Mamak memilih untuk kembali ke dapur, memilih menjauhi ayah untuk sementara waktu. Matanya yang merah tak luput dari perhatianku. Membuatku sedikit banyak berpikir, mengamati dengan penuh perhatian pada sosok ayah yang kini tampak sedang tersenyum bersama saudaraku yang lain.
"Jadi bagaimana kabar kalian?" tanyanya sambil menarik Lara ke pangkuannya. Gadis mungil itu tertawa, memegangi kedua tangan ayah yang melingkari pinggangnya. Merasakan kembali bagaimana rasanya memiliki sosok lain selain Mamak di dalam keluarga ini.

Ganilah yang akhirnya membalas balik, "Ayah sendiri, bagaimana di sana? Kota itu bagaimana?"

"Bagus, banyak gedung. Dan jalannya rata." Jawaban tipikal, namun dari cara bicaranya, kurasa ia memang menganggap hal itu penting untuk kami ketahui.
"Waa," serempak kedua adik terkecilku berseru.
"Nah, bagaimana dengan kalian? Mada? Sekolahmu bagaimana?"

Aku yang sedari tadi hanya terdiam tersentak. Berkedip beberapa kali sebelum memaksakan seulas senyum di wajah. Apa yang harus kukatakan? Bukankah seharusnya di sini aku yang bertanya? Kenapa ayah tak pernah mengabari? Kenapa Mamak tadi menangis? Kenapa — "Mamak tidak bisa mendaftarkanku, jadi sekarang aku membantu di tuan Ringo," ujarku akhirnya, tanpa sadar membuat Gani bungkam.

Aku hanya melirik adik lelakiku itu. Mungkinkah ia masih merasa bersalah karena masih menganggap dirinyalah yang membuatku tak bisa melanjutkan pendidikanku lagi?
"Oh..." Ekspresi Ayah seperti sedang mencoba menelan informasi yang kuberikan tadi bulat-bulat. "Kalau Gani, Rumpun?" tanyanya dengan nada kembali ceria.
"Baik, sekolah juga," balas Gani sambil tersenyum kecil.

Ayah ikut tersenyum. Menundukan pandangannya pada Lara yang kini bermain-main dengan jarinya ketika ia membisikan kata selanjutnya.

"Baguslah."

Kalaupun aku mendengar, aku memilih untuk tidak berkomentar.

Setelah makan siang, Ayah memutuskan untuk mengunjungi rumah kakek nenek yang tak jauh dari rumah. Mamak sendiri sibuk mengupas bawang — dibantu Gani dan Rumpun. Setelah selesai memotongi kayu untuk persediaan memasak, aku pun memilih untuk menyusul ayah, mengetahui benar jika mungkin akan lebih baik jika pertanyaanku ini kutanyakan tanpa kehadiran anggota keluarga yang lain.
Jadi aku pun pamit, beralasan pergi ke rumah Deni untuk membantunya merawat koleksi burungnya lagi. Mamak menggeleng, mengerutkan kening. Bergumam mengenai apa sebenarnya yang menarik dari merawat burung-burung semacam itu. Yang mana hanya kubalas dengan kedua bahu terangkat tak acuh. Namun sejenak, aku senang karena Mamak tampaknya sudah tidak memikirkan kejadian tadi pagi.
"Aku pergi dulu," ujarku sambil berjalan pergi.

Kucoba, namun nampaknya gagal. Oh, harusnya aku tak terkejut jika sampai mendengar suara amarah menyertai kepergian ayah dari rumah kakek nenek. Aku menatap balik, ayah yang kini memandangku dengan raut kecut. Ia memaksakan wajah lelahnya tetap terlihat kuat. Menghampiriku sambil berkata, "Mau ke warung?"
Aku hanya mengangguk, kaku.

"Kau mau kemana?"

"Menemui ayah," jawabku memilih untuk jujur. "Bertanya. Tapi aku tak yakin Mamak akan setuju jika aku melakukannya di rumah."
"Ya, ya, aku paham." Ia mengangguk ketika memesankan dua gelas kopi untuk kami berdua.
"Jadi apa yang kau tanyakan?" tanyanya sambil mengaduk kopinya sebelum menyesapnya lamat-lamat.

Sejenak, aku menatap ke arahnya, mendapati bahwa pikiranku mendadak kosong. Seluruh pertanyaan yang sudah kususun menghilang entah kemana. Kupandang arah lain. Lalu akhirnya memilih untuk mengatakan apapun yang ada di pikiranku saat ini.

"Sepatu ayah..." Aku kembali teringat warna putihnya yang tak memiliki setitik noda sedikitpun. "... baru, ya?"

Ayah tertawa. "Itu untukmu. Aku belum bilangkah? Hah! Sudah tua rupanya aku ini," ujarnya sambil menggelengkan kepalanya. "Kau ingat dimana aku menaruhnya tadi?"

Aku mengangguk, menuangkan kopiku pada tatakan gelas dan pelan-pelan meminumnya dari sana. "Rumpun meletakannya di almari tadi."

"Hoo."

Mengulum bibir, aku memutuskan untuk bertanya lagi, "Kau... tak memberi kabar. Kenapa?"

Dan ia terbelalak, lalu tersenyum. Menatap kopi lagi dan berkata lirih.

"Begitukah? Mamakmu... Tentu saja, ia pasti menyimpannya sendiri."

"Maksud ayah?"

"Ayah, cuma berkunjung di sini," ujar ayah selanjutnya. "Memang apa yang Mamakmu katakan selama kepergianku?"
Aku mengerutkan kening, tak mengerti apa hubungan dari kedua perkataan tersebut. Namun aku tetap berkata, "Mamak bilang ayah merantau, cari uang. Kalau iya kenapa ayah tidak mengirim apapun? Apa Mamak menyimpannya sendiri? Kenapa Mamak menampar ayah tadi? Maksudku —" Aku tersedak. "Kau tahu, terkadang tetangga sering berkata miring pada Mamak. Bilang kalau ia —"
Aku tak bisa melanjutkan.

Pada akhirnya tak ada pertanyaanku yang terjawab. Dan setelah pembicaraan itu terjadi, aku baru menyadari betapa pucatnya wajah Mamak semenjak tadi pagi. Ia tampak mencoba bersikap sewajarnya di hadapan ayah. Menimpali setiap ucapan dengan nada datar yang tak mewakili sedikitpun perasaannya.
Namun tentu, kami menyadari betul betapa canggungnya suasana tersebut. Meskipun mungkin, hal itu luput dari perhatian kedua saudaraku yang terkecil, yang sampai saat ini masih dengan riangnya bergelayutan pada ayah. Mencoba menyampaikan kerinduan yang sudah lama mereka pendam.
Aku sendiri, dan Gani,memutuskan untuk diam-diam memperhatikan saja. Bahkan ketika kami sadari tas ayah masih teresleting rapi. Atau ketika Mamak berujar pelan saat dua saudara kami bermain di perkarangan, tak mengacuhkan kami yang masih duduk di dalam rumah, dimana membuat kami otomatis masih bisa mendengar pembicaraan mereka yang kini duduk berdampingan di teras depan.
"Apa yang terjadi?" tanya Mamak. Kami hanya dapat melihat punggung keduanya. Sehingga akhirnya mencoba menebak sendiri ekspresi apa gerangan yang sedang ditunjukan oleh mereka.
Ayah terdengar menghela nafas sebelum akhirnya menjawab.

"Ia meninggal. Anak-anak ditinggalkan ke rumah nenek mereka."

Aku tahu, aku tahu seharusnya ucapan itu — UCAPAN ITU berarti sesuatu lebih untukku, untuk Mamak, untuk kami. Namun Mamak dengan mudahnya hanya membalas balik, bahkan tak sedikit pun mencoba mengkonfirmasi.

"Hmm."

Ayah tampak mendongak, menyesap batang rokok ketika setelah kediaman yang terjadi beberapa saat diantara mereka akhirnya diputus saat ia mengatakan.

"Kau mengerti bukan? Jika aku pergi lagi, kali ini. Aku mungkin tidak akan bisa kembali. Mereke membutuhkanku. Dan kau pasti mengerti."
"Tak apa. Pergi saja," Mamak masih tak acuh saat membalasnya.

"Aku... akan mengirimkan uang." Kini ia mengucapkan itu dengan nada mencoba meyakinkan, entah untuk dirinya sendiri atau Mamak yang masih pasif dalam kebungkamannya.
"Tak usah kau repotkan diri. Aku tak perduli."

"Kau perduli," Ayah berkata balik.

Mamak terdiam. Kepalanya yang tertunduk didongakan. Menatap ke arah Lara yang kini sedang mengejar anak ayam tetangga dan Rumpun yang memetiki bunga-bunga rumput liar saat ia menjawab, "Ya."

Ayah berkata sekali lagi, "Kau masih perduli."

Mamak kali ini tak coba lagi menimpali.

Entah esok, atau lusa, ketika ayah memutuskan untuk pergi lagi dan meninggalkan kami, desa akan dipenuhi oleh kabar miring; mengenai Mamak kami yang ditinggal melarikan diri. Aku hanya menatap ke sepasang sepatu putih yang masih bersih di almari. Mencoba menetapkan hati atas apa yang sebenarnya keluargaku ini alami.
Kenyataan bahwa Mamak bahkan tak mengelak dari segala tuduhan tersebut, harusnya menyadarkanku bahwa prasangka yag kupendam memang benar adanya.
Namun Mamak hanya tersenyum. Dan berkata, "Kau harusnya mengerti, Bujang. Ayahmu itu bukan pergi, ia pulang kembali."

Dan ketika aku mengerti maksud ucapan tersebut, aku tak bisa menahan diri — aku pun menangis.
Rumah kami bukanlah rumahnya lagi.

------

Selamat buat Harisma, semoga bukunya bermanfaat dan teruslah menulis untuk kebaikan!

Salam,

Doddy Rakhmat

Jatuh Cinta

'Jatuh Cinta'

Aku jatuh cinta
Jatuh bagai bintang di langit
Karena hanya tersisa harap
Dan patah hati
Yang menakuti
Untuk jatuh cinta
Lagi

*Doddy R

#Hari23 #1hari1puisi

Daya Simpan Kenangan

'Daya Simpan Kenangan'

Aku ingin berdamai dengan luka ini
Satu-satunya cara adalah menjauh pergi
Kedua kaki tak mampu membawa sejengkal kenangan
Yang tak pernah bisa terhapus dari memori

Aku mulai khawatir
Seberapa lama kenanganmu tersimpan
Apakah selamanya?
Apakah ada masa ketika dirimu tergantikan?

Menjadi dilema kala
Aku membuka percakapan lama yang tersimpan
Seolah dirimu masih di sana
Bertatap denganku
Lalu aku kembali terluka
Mengapa?

Dan aku semakin percaya
Bahwa kenangan
Tak punya daya simpan
Karena ia berada dalam udara
Dan setiap detik aku dapat menghirupnya

*Doddy R

#Hari22 #1hari1puisi

Pujangga Lantai Dua

Orang-orang memanggilnya Pujangga Lantai Dua. Hampir setiap malam dari kamarnya terdengar sajak-sajak pilu. Kata-kata yang dipilihnya tak jauh dari kesedihan atau kegagalan. Aku curiga ia tenggelam dalam patah hati tak berkesudahan.

Sebagai tetangga, aku pernah sekali berbincang dengannya. Dan ia bercerita banyak hal yang memikat hingga aku bingung untuk memutuskan jatuh cinta padanya atau tidak. Malam dituruni gerimis, teras rumah terasa sejuk. Pemuda itu keluar dari pintu rumah.  Membawa sebuah buku bersampul abu-abu. Ia mengenakan kaus abu-abu berpadu dengan celana panjang kotak-kotak semata kaki.

Aku menawarinya minum teh jahe dan semangkuk mie rebus pedas. Ia tak menolak. Malam itu ia tidak membacakan sajak-sajak.

"Aku membeli buku-buku itu dari bayaran manggung yang tak seberapa. Hanya ada 12 buku puisi yang tersusun dalam kamarku. Semua kuletakkan dalam rak berbentuk dahan pohon yang meranggas mengarah ke jendela. Aku punya empat jendela mata angin. Di setiap dinding kamar, aku memiliki satu jendela. Karena aku menyukai lanskap kota tua ini. Kota penuh kepedihan hidup."

"Kau tahukan orang-orang memanggilmu di sini apa?"

"Pujangga lantai dua. Benar kan?"

Aku mengangguk. Ia balik bertanya, "Menurutmu apa yang kau ketahui dari istilah pujangga?"

Dedaunan pohon tertiup angin. Suasana teras semakin senyap. Hanya ada suara jangkrik sayup-sayup dari semak belukar.

"Pujangga menurutku adalah manusia sok bijak yang hobinya bersajak."

"Hmm, terdengar menarik." Ia mengagumi jawabanku. Tatapan matanya seolah menarik keluar kebohongan.

"Aku penasaran dengan apa kau menafkahi kebutuhan sehari-harimu?"

Ia mengalih pandangan sejenak ke arah tumpukan kue kering di meja. Lalu ia mengambil satu dan menggigit perlahan. Seolah mencipta jeda untuk berpikir.

"Aku membacakan puisi-puisi di radio. Di acara kampus. Atau kalau lebih beruntung diundang ke festival."

Aku menaikkan alis, "Cukupkah?"

Ia tertawa renyah, "Tentu saja. Walau aku harus mengurangi jatah makan malamku."

Aku balik tertawa, "Beruntung sekali malam ini dapat mie rebus dariku kan?"

Ia hanya mengangguk sembari meneguk teh jahe buatanku. Matanya teduh. Aku buru-buru membalik pandangan saat ia memergokiku menatap dirinya.

"Apa hal yang paling membuatmu bahagia di dunia ini?"

Ia mendeham. "Menuliskan puisi dengan hati untuk orang yang kucintai. Lalu membacakannya lirih."

*****

Aku mungkin jatuh hati padanya. Bukan karena kisah hidupnya yang terkatung-katung di antara sajak-sajak yang dituliskannya. Tapi kepada cara ia menatapku dalam-dalam. Memberi ruang terbaik kepada wanita yang ingin tinggal dalam mata teduhnya.

"Bisakah kau buatkan satu puisi untukku?"

Pemuda itu menoleh dan meletakkan mangkuk mie rebus ke meja.

"Kamu mau aku buatkan?"

"Tentu saja, dengan hati ya."

~Doddy Rakhmat
24.03.2016