Rabu, 30 September 2015

Lima Menit Selamanya

Telepon itu berdering.

Suasana gelap gulita dan gema pengeras suara dalam ruang bioskop menenggelamkan nada ponsel, tapi aku merasakan getaran. Aku mengeluarkannya dari saku celana.

Dari Mama.

Harus kuangkat, pasti penting. Selarut ini dia menelpon, tentunya bukan hal remeh temeh. Beberapa detik kemudian layar gelap. Proyektor dimatikan. Dua kali aku menonton di bioskop ini dan memang di setiap pertengahan film selalu ada jeda lima menit. Entah itu untuk mempersilahkan penonton ke kamar kecil atau kepentingan lainnya.

Aku punya waktu lima menit.

"Halo Zid."

"Halo, iya ma."

"Kamu sehat-sehat saja kan?"

"Sehat ma, mama belum tidur jam segini?"

"Mama tak bisa tidur. Bayangan Ayahmu selalu ada. Mama kesepian."

Orang yang duduk disampingku memasang sikap seolah ingin tahu pembicaraan yang berlangsung. Hei bung, dimana sopan santumu. Menguping sama saja dengan mencuri, umpatku dalam hati. Aku memelankan suara.

"Mama kan sedang bersama Ayah. Kenapa harus tak bisa tidur?"

"Kemana saja dirimu Nak, atau apa yang terjadi dalam hidupmu?"

"Apa maksud Mama? Aku tak paham."

Mama menghela nafasnya, "Ayahmu sudah tidak ada.

"Mama tahu kamu sedang menonton di bioskop. Melihat gambar dirinya di layar itu. Tapi terimalah Zidan, Ayahmu sudah tak ada. Kamu pulang ke rumah ya nak." Ujar Mama membujuk.

Empat menit tiga puluh detik.

"Mama sedang tidak bercanda kan, bagaimana mama tahu aku sedang di bioskop?"

"Nak, mama selalu mengkhawatirkan anak laki-laki yang setiap malam keluar, ke tempat yang sama, menonton film yang sama, hanya untuk mendengarkan suara dan gerak gerik Ayahnya di sebuah layar lebar. Dan kamu tidak sedang menonton sendirian kan?"

"Tidak ma, ramai sekali yang menonton disini."

"Sampai kapan kamu mau menyendiri Zidan, luka itu tidak akan sembuh bila dirasakan sendiri tanpa ada yang mengobati."

Lima menit tepat.

Aku termenung lama, suara Mama lamat-lamat menjauh. Ternyata layar dihadapanku sempurna gelap, lampu ruangan nyala sedari tadi. Tinggal aku sendirian. Ternyata aku tidak sedang menonton. Aku hanya sedang berdamai dengan kenyataan.

Kadang kita tidak serta merta menerima sebuah kenyataan dengan begitu mudah. Sakit, pedih, perih menyayat hati tak terperi. Tapi ingatlah pepatah lama, semua rasa sakit ada penawarnya. Penawar itu bagiku ialah memberikan perhatian untuk orang yang masih peduli dengan adanya kita. Kita tidak pernah benar-benar sendirian.

~doddy rakhmat
27.09.2015

Minggu, 27 September 2015

Manusia Salai

Manusia Salai

Aku tinggal di sebuah kampung bernama Salai. Sebut saja namaku Daja. Hanya perantauan yang mencoba peruntungan di negeri orang. Tepatnya di tanah Borneo. Sebenarnya kampung itu baru saja dinamakan demikian. Karena atas ide kepala desa yang sudah letih menghadapi musim baru di kampungnya itu.

Pagi, siang, malam. Di luar maupun dalam rumah kami semua harus menghirup asap nan pekat. Warnanya tak lagi putih melainkan kuning. Seperti warna langit senja. Padahal pagi baru beranjak menuju siang. Kemana-mana warga kampung tak peduli lagi dengan masker atau semacamnya. Asap-asap itu ibarat oksigen yang hilir mudik di paru-paru mereka. Beberapa kadang terbatuk-batuk, kerongkongan perih, atau mata memerah. Termasuk aku.

Sepulang dari mengurus ladang untuk ternak, aku singgah di warung kopi Bang Jo. Segelas kopi hitam pekat dengan kue basah di atas tampah semakin nikmat dilengkapi dengan bincang-bincang.

"Daja, di daerahmu dulu pernah kena asap seperti ini juga?"

"Wah ndak pernah sama sekali bang."

"Beruntungnyalah kalian di pulau seberang sana ya. Lama-lama kami disini jadi manusia salai."

"Kenapa begitu bang?"

"Habisnya kami diasapi mulai pagi sampai malam, hahaaha."  Bang Jo tertawa. Tidak lucu, tapi ia menertawakan kenyataan yang harus dihadapi. Dan satu-satunya cara ialah dengan tertawa, mengadu ke pak lurah pun percuma. Karena Jawabannya pun teramat pasrah, "Kita tunggu saja pemerintah membuat hujan buatan. Sementara kita hidup seperti biasa saja."

"Dan kau tahu apa yang lebih menguntungkan dari asap begini Ja?"

"Apa itu bang?"

"Aku bisa menghemat rokok, tinggal hirup saja asap yang ada. Sama toh?, hahahahaha" Sekali lagi Ia tertawa. Aku hanya menyengir.

"Kenapa ya pemerintah sini, tak usahlah kita bilang pemerintah pusat nun jauh disana. Tidak cepat menindak si pembuat asap ini. Logikanya kan sederhana, ada asap ada api. Darimana mereka berasal tentulah dari sesuatu yang dibakar. Apa mungkin apinya tidak kelihatan ya, menjalar di bawah karena ini tanah gambut?"

"Entahlah Ja, kurasa mereka bernafas tak lagi pakai paru-paru dan hidung, hahahaha. Dan kurasa api itu juga bukan hanya membakar lahan saja. Tapi diam diam juga rasa peduli mereka."

Mungkin perlu bergelas-gelas kopi di warung Bang Jo berdebat perihal siapa yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa kampung kami. Tidak akan ada habisnya.

Entahlah berapa lama lagi kami bertahan di kampung ini, kudengar di daerah kota semakin parah. Itu berarti tidak ada tempat untuk sembunyi atau menghindar. Aku menobatkan asap menjadi Massive Silent Killer, aku suka pelafalannya. Sisa-sisa pelajaran bahasa inggris melekat di pikiran. Tak rugi aku berpendidikan.

Dan di luar sana jauh dari kampung salai aku percaya, tentu masih banyak orang berpendidikan yang tidak berdiam diri saat saudaranya dibunuh pelan-pelan. Dibunuh oleh ketidakpedulian, keserakahan dan ketamakan. Asap.

~doddy rakhmat
27.09.2015

Selasa, 22 September 2015

Lima Teguk Kopi

[Pre order : Lima Teguk Kopi]
Inilah 23 cerita tentang bagaimana cinta yang terlepas dari genggaman. Tentang menghadapi sebuah kenyataan. Cinta tak selalu perihal manis, sesekali ia juga pahit seperti kopi tanpa gula.
Dikemas secara apik dalam sebuah buku antologi Lima Teguk Kopi karya 20 penulis muda dari komunitas menulis One Week One Paper nasional dan 3 penulis kenamaan indonesia (Brili Agung, Oddie Frente dan Raditya Nugi)
Cerpen saya Lima Teguk Kopi menjadi pembuka sekaligus judul buku tersebut.
Buku ini terbit awal Oktober 2015
Apa Benefit yang Anda dapatkan jika pesan sekarang.
1. Lebih Murah, karena harga akan naik setelah masa Pre-Order pertama.
2. Bonus Ebook 7 Langkah Membangun Personal Branding
Hanya dengan Rp 50.000 (belum termasuk ongkir)
Pemesanan via
Line : doddyrakhmat
WA : 085319670016
Sms : 085319670016
Format pemesanan :
Nama Lengkap :
Alamat Lengkap :
No.HP :
Jumlah Pesanan:
Total biaya dan no.rekening yang harus ditransfer akan dikirimkan setelah melakukan pemesanan. Demikian juga dengan bonus e-booknya.
Lima Teguk Kopi.
"Sesapi setiap teguknya, temukan cerita di dalamnya."

Minggu, 20 September 2015

Dicari Tulang Rusuk Yang Hilang

DICARI TULANG RUSUK YANG HILANG. Tulisan besar di selebaran yang dibagi-bagikan seorang pemuda di pinggir jalan. Pakaiannya rapi mentereng, rambutnya klimis, sepatu mengkilat, kumis dan jambang tipis di wajah. Ia tidak banyak berbicara. Hanya membagikan selebaran warna warni itu ke orang-orang. Kepadaku salah satunya. Di atas selebaran itu tercetak nama dan kontak serta siluet seorang gadis. Tidak ada reward yang ditawarkan. Aku bergegas kembali dan menghampiri pemuda itu namanya. Nayan Ridho.

"Siapa yang membuat selebaran ini." Aku bertanya kepadanya.

"Aku."

"Benarkah? Kenapa?"

"Aku sudah terlalu lelah dicerca pertanyaan kapan menikah dari keluargaku. Lalu aku berinisiatif membuat selebaran ini. Siapa tahu bisa membantu."

"Menarik. Mengapa demikian?"

"Mungkin saja salah satu dari yang memberi sedikit perhatian pada selebaran itu bisa memberitahu sanak famili atau teman mereka."

Sebagian dari mereka yang lewat hanya sekadar menerima, membaca lalu membuangnya. Kurasa pupuslah sudah harapan dan angan pemuda itu. Ternyata tidak. Sesaat kemudian, Nayan berteriak kegirangan, seseorang menelponnya.

"Hey dude, aku baru saja mendapatkan telepon dari seorang wanita." Ia berteriak girang ingin didengarkan oleh orang-orang.

"Dan dia berkata dialah tulang rusuk yang selama ini aku cari."

Ia pergi menghambur selebarannya ke langit. Kertas warna warni itu jatuh perlahan dan menyisakan aku yang sedang berdiri dibaliknya.

Tiba-tiba aku juga terpikir, apakah aku harus mencoba cara yang sama untuk mendapatkan tulang rusukku yang hilang?

Kurasa mencari jodoh juga perlu dibarengi dengan ikhtiar, bukan hanya menunggu.

~doddy rakhmat
20.09.2015

Tak Selamanya Cantik

Selepas senja, aku berjalan sebentar di komplek Ayasofya Camii. Ini kali pertama kali aku mengunjungi tanah Turki. Ada suatu alasan yang mendorong langkahku untuk menyambangi kota yang identik dengan penganan kebab ini, tapi aku tak tahu apa.

Aku berhenti sejenak di kedai teh. Sekadar ingin tahu rasa teh di negeri ini. Menikmati riuh para turis dan warga yang hilir mudik. Berbicara dengan bahasa asing dari belahan dunia masing-masing.

Tiba-tiba, mataku tertumpu pada satu titik di seberang kedai teh tersebut. Seorang perempuan dengan garis wajah yang rupawan. Hidung mancung melancip. Bibir tipis. Dan rambut panjang berwarna hitam diikat rapi. Bajunya semacam rompi panjang yang warnanya lusuh.
Ia duduk bersimpuh. Menunggu belas kasih di sebuah mangkuk plastik.

Aku tertarik untuk mengenalnya. Apakah dia pengemis? Atau seorang artis yang sedang menjual paras menawan?

Kuberanikan diri mendekati perempuan yang umurnya sebaya denganku itu. Dia tersenyum.

"Can you speak english?" Tanyaku.

"Ya, a little bit." jawabnya. Kemudian aku mulai bertanya.

"Boleh tahu namamu siapa?"

"Aya, tuan."

"Sudah lama 'bekerja' disini?"

"Sudah."

"Mengapa kamu lebih memilih menjadi seperti ini? Bukankah kamu itu cantik?" Aku agak ragu saat mengatakan kata terakhir. Takut ia merasa risih seolah dirayu turis asing.

"Ternyata menjadi cantik hanya berakhir ke sebuah mangkuk plastik yang kupegangi setiap hari." Ujarnya.

"Andai saja dirimu pergi ke negara kami."

"Mengapa dengan negaramu? Cantik adalah segalanya. Cukup memasang sedikit pose, dipotret lalu mendapatkan uang."

"Tuan sedang membawa kamera bukan?"

"Eh, iya benar."

"Nah silahkan saja potret saya. Siapa tahu saya bisa mendapat sedikit uang dengan itu."

Lidahku kelu. Hati terasa Basah. Ingin rasanya kutumpahkan air mata saat perempuan itu berbicara demikian. Aku merasa dipukul balik dari ucapanku sebelumnya. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana kalau hari ini kamu mengajakku berkeliling? Saya baru saja tiba. Dan belum mendapat tour guide?"

"Baiklah, tuan." Ia mengemas barang-barangnya ke dalam tas sandang. Badannya lebih tinggi sedikit daripadaku.

Aya mengajakku berkeliling malam itu. Ia menceritakan keluarganya dan kehidupannya. Ternyata ia adalah seorang yatim piatu. Keluarganya yang lain terlahir dengan kulit sawo matang, lalu menganggap Aya bukan bagian dari silsilah keluarganya. Ia pun sebenarnya tidak ingin menjadi pengemis. Menurutnya, mangkuk plastik yang ditunggui oleh seseorang berpakaian lusuh juga bisa mendatangkan uang. Banyak turis-turis yang mengajaknya berkeliling seperti ini. Tapi semuanya berakhir dengan tawaran-tawaran nakal.

"Mengapa kamu mau menemani saya berkeliling?"

"Saya rasa tuan bukan orang jahat." Jawabnya singkat.

Sebelun tengah malam, aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami berpisah di depan Ayasofya Camii, aku memberikan sejumlah uang atas tourguiding yang berkesan.

Satu hal yang aku pelajari malam itu.

"Kecantikan bukanlah alat untuk meraih segalanya. Karena ia bukan materi yang bisa dijual beli. Tak selamanya cantik itu perkara fisik."

Keesokan harinya aku mendatangi lagi tempat itu. Sudah tidak ada Aya disana. Tidak ada lagi perempuan dengan mangkuk plastik.

~doddy rakhmat
20.09.2015

Jumat, 18 September 2015

Negeri Bekicot

-Negeri Bekicot-
Namanya Lahap. Ia punya meja makan di atas ranjangnya. Tempat dia mendengkur pun disitu pula tempatnya mengunyah bubur. Pagi, siang, malam ia makan disana. Tidak perlu meja makan seperti orang normal punya.
Konon Lahap akan membuka Rumah Makan Ranjang pertama di negeri Bekicot. Negeri penuh orang lamban. Ia yakin usahanya akan laku keras. Ia tahu negeri yang penuh manusia-manusia tertinggal sejenak ke belakang ini pasti mengunjunginya. Bangun tidur, langsung menuju Rumah Makan Ranjang. Tak perlu lagi memasak di rumah. Semua tersedia di atas ranjang.
Tibalah hari pertama pembukaan rumah makan Ranjang, lusinan ranjang diatur posisi di sebuah ruko seperempat luas lapangan bola. Ranjang-ranjang itu dihiasi ornamen-ornamen klasik. Layaknya singgasana raja. Pelayan-pelayannya mengenakan baju piyama, mereka buka 24 jam. Kapanpun tamu datang mereka layani.
Suatu hari, mereka didatangi oleh saudagar kaya raya di negeri Bekicot. Namanya Sius. Ia memesan ranjang tingkat dewa. Tentunya karena banyak uang. Ia memesan beragam makan sekaligus untuk seorang diri.
Lahap menyamar menjadi pelayan malam itu.
"Tempat ini bagus. Siapa pemiliknya?"
"Aku."
Sius menatap remeh. Ia lalu menawarkan uang tak terhingga untuk membeli Rumah Makan Ranjang. Tapi Lahap menolak. Ia tak perlu banyak uang. Karena baginya sekumpulan uang bisa menjadi musuh. Menguasai diri.
Karena kesal, tak menerima, Sius membuat pernyataan bahwa ia akan membuat restoran Lahap bangkrut. Serakah hanya membutakan segala rasional. Lahap mempersilahkan, ia menerimanya secara jantan.
Berminggu kemudian, restoran Lahap tutup. Bukan karena bangkrut. Tapi karena Sius diangkat menjadi penguasa negeri Bekicot. Ia memerintahkan semuanya untuk beraktivitas di Ranjang.
Kini jalanan negeri Bekicot lengang pun gedung-gedung perkantoran, gedung anggota dewannya. Karena mereka semua makan, tidur, bercinta, bekerja , rapat cukup di atas ranjang. Jadi tak perlu lagi mereka tidur di meja rapat. Yang mereka perlukan hanyalah ranjang.
Hanya di Bekicot, negeri manusia lamban. Ranjang adalah segalanya.
~doddy rakhmat
17.09.2015

Ada Burung Dalam Pikiran

Ada Burung Dalam Pikiran
Kepakan sayapnya terburu-buru, terbang tak beratur. Kurasa ia buta. Seekor burung ringkih beterbangan dalam pikiran.  Mengusirnya bukan pilihan. Ia hanya terus terbang berpindah-pindah, menabrak dinding-dinding, tanpa mau tahu jalan keluar walau ia sudah tahu. Ia rela tersesat demi hanya untuk terbang bebas.
Mengurung diri dalam jeruji. Tidak nafsu melihat pintu terbuka. Sesekali pemburu berhasil menjeratnya, terluka, kemudian ia terbang ke pikiran yang lain. Dan menyembuhkan luka disana. Lalu beterbangan lagi. Begitu seterusnya sampai ia lelah. Butuh sangkar untuk mengistirahatkan acara terbang bebasnya.
Tak semudah yang dipikirkan. Di dalam perjalanan ia letih. Mendarat di tanah, ia mulai kehilangan arah. Ia rindu terbang dalam pikiran. Ia rindu dihalau. Ia rindu dikejar. Tapi ia tak rela terluka.
Siapapun. Cepat atau lambat, pikiran kalian akan dihinggapi burung ini. Membuat insomnia siang dan malam. Ini bukan burung biasa, perihal ini yang disebut dengan cinta.
~doddy rakhmat
17.09.2015

Rabu, 16 September 2015

Setoples Kunang-Kunang

Dan setoples kunang-kunang itu digendong dan ditimangnya. Berjalan menyusuri setapak berbatu. Melintasi kota yang kala malam dibunuh sunyi. Anaknya hilang, anaknya berubah menjadi setoples kunang-kunang. Ratih, orang memberi namanya demikian. Sering merintih, menangis ditinggal suami dan anaknya.
Ia akan berdiri lama di depan sekolah, di depan panti asuhan, di depan taman bermain anak. Menjelang malam kunang-kunang itulah yang menjadi juru kemudi hidupnya. Menerangi kehampaan yang ia bawa.
Hanya berharap belas kasih para tetangga atau warga kota yang sedang bernasib mujur memberinya makan.
Sisanya ia akan berjalan jauh kembali dengan setoples kunang-kunang.
Serangga berpendar yang dibawanya itu lebih baik baginya daripada seekor anjing atau kucing. Ia tak menuntut minta makan. Hanya bercahaya lalu redup selamanya. Ada tiga puluh kunang-kunang dalam stoples, tiap hari berkurang satu. Kini tinggal tiga kunang-kunang beterbangan didalamnya.
Tiga hari lagi, maka habislah sudah anak-anaknya. Lenyaplah sudah statusnya sebagai ibu. Iya bertanya bagaimana Tuhan teramat tega menggantikan anaknya dengan setoples kunang-kunang.
Namun Tuhan tak pernah menjawab Ratih, karena ia hanya bertanya, bertanya, bertanya namun telah lupa dengan hakikat berdoa, berdoa, berdoa.
Kunang-kunang terakhir telah redup. Ratih mengubur setoples jasad kunang-kunang di dekat danau. Lalu, ia menyiramnya. Seolah-olah itu adalah tanaman. Berharap tumbuh dan berbuah bayi-bayi yang lucu.
~doddy rakhmat
16.09.2015

Rabu, 09 September 2015

Ajari Aku Jatuh Cinta (Lagi)

Cinta adalah sebentuk multitafsir. Setiap orang menerjemahkannya dengan definisi berbeda-beda. Ada yang bilang cinta itu tentang memiliki. Pengorbanan. Ada juga yang menyebutnya luka. Mungkin cinta dipengaruhi oleh masa lalu. Apa yang pernah ia alami dan rasakan.
Pukul jam 11 malam, aku disambut oleh rumah yang gelap. Hanya ada makanan tadi siang yang tak sempat kusantap di atas meja. Aku merebahkan diri di atas kasur. Satu hari lagi terlewati. Satu hari sendiri. Lagi.
Kadang saat sendiri orang-orang sepertiku memahami bagaimana cara mencintai diri sebelum mencintai orang lain. Sejujurnya aku ingin jatuh cinta. Lagi. Tapi aku betul-betul belum siap untuk terluka kembali.
Baru kuselesaikan salah satu buku yang kubeli saat di kota tadi. Entahlah cara membunuh waktu yang paling kusukai adalah dengan membaca. Sejak setahun silam aku mulai mengumpulkan buku-buku yang hanya satu kali aku baca. Setelahnya mereka tersusun di lemari kaca. Sebuah catatan kecil aku temukan di salah satu buku pemberian seorang wanita yang ku tak tahu parasnya. Saat itu aku duduk di bangku taman. Wanita itu tiba-tiba melemparkan ke pangkuanku sebuah bungkusan rapi. Ia bergegas pergi dengan sepeda.
Aku membukanya sampai di rumah. Menyadari buku ith seolah ditulis olehnya. Dan entah mengapa aku merasa jatuh cinta. Kepada orang yang tak kukenal. Tapi aku mengenal baik dirinya dari buku yang diberikan.
Karena itulah setiap sore sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan singgah ke taman. Menunggu. Berharap ia akan kembali. Nihil. Namun hari ini, aku tak sempat menungguinya. Karena ada pekerjaan tambahan di kantor. Ya hanya menunggu. Bagiku cinta adalah menunggu. Sesederhana itu.
Aku memeriksa setiap toko buku. Berharap menemukan informasi tentang si penulis buku yang kubawa selalu kemana-mana itu. Tapi tidak ada satu pun yang mengetahui. Betapa asing dan misteriusnya wanita itu membuat aku semakin ingin tahu.
Lalu aku temukan titimangsa di salah satu tulisannya. Tertulis alamat dan tanggal ia menyelesaikan bukunya itu. Baru kali ini ada penulis menuliskan alamatnya dalam buku. Heran juga setelah sekian lama aku baru menyadari. Dan saat aku baca.  Astaga ternyata, alamat itu tepat di seberang jalan rumahku. Aku mengenalnya. Ya aku mengenalnya.
Lalu aku membuka tirai jendela melihat ke seberang jalan. Ia ada disana. Sedang duduk di teras rumah. Dan melemparkan senyum ke arahku.
Baginya cinta adalah menunggu. Dan bagiku cinta adalah mencari. Terima kasih telah mengajariku jatuh cinta (lagi).
~doddy rakhmat
09.09.2015

Senin, 07 September 2015

Aku Yang Dinikahkan

'Aku Yang Dinikahkan'

Warung kopi, sebuah kafe di tengah kota. Menghabiskan obrolan tak berguna antara aku dan Roy dari masa sekolah sampai kerja.

"Ah gila kali kau Jo. Zaman sudah android masih aja dinikahin. Sebegitu parahkah kehidupan cinta kau?"

"Sial kau Roy. Mana mungkin aku mau dinikahkan, palingan aku kabur."

"Tak yakin aku kau berani melawan Ayah kau itu."

Aku terdiam. Benar apa yang dibilang Roy, aku tak akan pernah berani menentang apa yang dikatakan Ayah. Melawan berarti durhaka. Pantang aku mematahkan keputusannya. Tapi kali ini aku berpikir dua kali. Apa kata orang seorang pejantan dari tanah sumatera seperti ku dinikahkan dengan seorang gadis konglomerat yang fisiknya , jauh dari apa yang aku idamkan.

"Heh, melamun aja kau. Udah lupakan acara perjodohan itu."

Kami melanjutkan permainan menghitung mobil lewat.

Aku pulang belum terlalu larut. Ayah duduk di ruang bacanya. Menyambut kedatanganku. Buku bacaannya ia tutup. Tebalnya cukup membuat bengkak muka jika dilemparkan.

"Dari warung kopi itu lagi Jo?"

"Iya yah."

"Duduk dulu, ada yang mau Ayah bicarakan."

Pasti tentang perkara pernikahan lagi, pikirku. Aku menghempaskan badan ke sofa. Ayah mulai membuka pembicaraan seriusnya.

"Apa kau sudah siap dinikahi oleh Siska, Jo?"

"Ehm, iya yah." Jawabku setengah hati.

"Sebetulnya ini adalah impian dari dulu Jo. Aku ingin sekali anak-anak Ayah dinikahi oleh konglomerat, bangsawan, berdarah biru."

Sebuah impian gila, pikirku lagi. Siapa yang punya impian, siapa yang kena getahnya. Hari itu akhirnya tiba. Siska dan keluarganya mendatangi rumahku. Aku mengajaknya ke tepi kolam di belakang rumah. Rasanya aku ingin menceburkan disana, namun aku urungkan niat. Selain dingin, hanya akan membuat malu keluarga.

"Bang Jo, maukah menikah denganku?" Tanya Siska malu-malu, persis seperti remaja baru jatuh cinta.

Aku gemetar. Seumur hidup ini adalah momen aneh yang pernah terjadi. Dan aku harus menjawab iya.

"Iya. Aku bersedia."

Semua tiba-tiba berubah begitu cepat. Penghulu, ruang resepsi, penyanyi dangdut. Memenuhi kepalaku. Aku mengenakan jas hitam dan Siska dengan gaun putih pengantin.

Siska menjabat tangan penghulu. Sebelum ijab kabul terucap, aku menarik tangannya. Ganti aku yang menjabat tangan si penghulu. Adegan tarik menarik pun terjadi. Penghulu berdiri, bangkit dari duduknya dan memarahi kami berdua. Suara dangdut tiba-tiba semakin keras memekakkan telinga. Begitu familiar suara itu dan aku tersadar suara itu dari alarm telepon genggamku. Berulang-ulang.

Sampai aku menekan tombol 'dismiss' dan semuanya berakhir. Aku terbangun. Syukurlah.

~doddy rakhmat
06.09.2015

Minggu, 06 September 2015

Serial Ode dan Ara part 2 : Identitas.

"Bagaimana jika seseorang hidup dengan identitas palsu. Apakah artinya mereka memalsukan kehidupan? Kali ini akan lebih sulit, aku dan Ara memalsukan takdir."
Arunika tampak bersahabat, menyambut teramat hangat. Hari ini aku dan Ara akan pergi ke perpustakaan. Mencari referensi untuk tugas sekolah. Alarmku berdering dengan nada yang lain. Sesuatu yang janggal.
"Oh tidak." Aku berteriak, terjatuh dari tempat tidur. Menyadari aku sedang tak berada dalam kamarku. Warna biru muda melapisi dinding kamar. Seingatku kamarku berwarna hitam. Sejak kapan berubah warna? Apakah Paman Yon mengubahnya dalam semalam? Mustahil.
Di atas meja kamar, ada sebuah figura kecil. Gadis dengan rambut kuncir tersenyum dari sana. Astaga, bukankah itu Ara saat kecil? Ini berarti adalah kamarnya. Tapi aku tak bisa mengingat bagaimana aku bisa sampai masuk ke dalam rumahnya.
"Aaaaaaaaaa" Terdengar teriakan dari seberang jalan. Dari rumahku. Aku bergegas keluar, dalam pikiranku sudah jelas aku sedang dikerjai oleh Ara.
"Hei Ara, kamu mau pergi kemana?" Seseorang menegur sebelum aku memutar gagang pintu rumah. Aku menoleh, Bibi June sedang menyantap sarapan di meja makan.
"Ara?" Aku bertanya dalam hati. Tidak mungkin. Tiba tiba aku merasakan sesuatu hal buruk terjadi.
"Aaa.. Aku mau keluar sebentar Bi." Jawabku gugup.
Segera aku berlari keluar. Dan hal buruk sekaligus ajaib itu benar adanya. Aku melihat seorang perempuan di pantulan kaca jendela rumah. Perempuan yang sangat familiar. Ara.
"AAAAAAAAAAAA" Aku menjerit setelah mendapati aku di seberang jalan.
"Ara."
"Ode."
Kami memanggil bersamaan. Jalanan lengang. Aku dan Ara bertemu di tengah jalan. Memandangi aneh sekaligus meratapi apa yang terjadi. Pertanyaan terbesar.
Bagaimana bisa.
"Bagaimana ini bisa terjadi Ode?"
"Entahlah aku juga tak paham." Suara yang kami keluarkan adalah suara masing-masing. Ode bersuara Ara dan sebaliknya. Tapi dalam diri kami masing-masing mendengarkan suara yang asli.
"Aku takut Ode. Cepat atau lambat Paman dan Bibi kita pasti tahu apa yang terjadi." Ara terlihat khawatir, ada kelucuan saat melihat diri kita didiami oleh orang lain. Ode kini terlihat sedikit feminim, dan Ara lebih maskulin.
"Sampai kapan kita merahasiakan hal ini?"
"Bagaimana sampai besok? Aku harap semua berubah setelah bangun dari tidur esok pagi."
Kami akhirnya bersepakat menjalani satu hari pertukaran raga itu. Namun sungguh miris, keesokan paginya kami masih tak berubah. Semua terasa canggung. Saat berada dalam kamar wanita dan mengenakan pakaian mereka.
Aku menemui Ara lagi. Ia tampak sedih. Baru kali ini seorang Ode menangis. Lekas aku menarik tangannya, mengajaknya berjalan ke tengah kota. Aku tahu sebuah pantangan bila perempuan membonceng laki-laki naik sepeda. Aku tahu Ara tak bisa mengendarainya walau ia memiliki tubuhku.
Kami memilih kafe tak ramai pengunjung. Namanya Atlantis. Seperti negeri yang hilang. Kuharap semua masalah kami hilang disana.
"Sekarang apa yang harus kita perbuat? Kau tidak sedang berbuat lelucon kan Ode?"
"Tentu tidak, menukar tubuh apakah itu terlihat sebagai sebuah lelucon?" Jawabku sedikit emosi.
"Apa artinya kita sekarang sedang memalsukan takdir. Menukar kehidupan yang harus kita jalani?"
"Entahlah Ara, aku sedang memikirkan bagaimana ini bisa terjadi. Sebaiknya kita ke bukit dua hari lalu. Mungkin ada sebuah petunjuk disana."
Beberapa saat kemudian kami tiba ke tempat yang baru aku ciptakan beberapa hari lalu. Pohon itu kering. Kehilangan dedaunan rindangnya. Padahal baru dua hari lalu daun hijaunya masih tampak segar. Aku mengelilingi pepohonan dan menemukan sebuah gundukan kecil. Tanpa ragu aku menggalinya, dan menemukan sebuah dua buah liontin berbentuk hati.
"Apa itu Ode?"
"Dua buah liontin. Aku akan membukanya."
Saat aku membukanya kami berdua terseret masuk dalam pusaran, sekeliling kami ikut terbawa ke dalam dua buah liontin itu.
Kepalaku pusing. Ajaibnya aku melihat Ara yang terbaring di sampingku. Akhirnya kami kembali.  Ara terbangun dan menyadari bahwa dirinya juga telah kembali normal.
Liontin itu tersemat di leher kami. Tidak ada yang berubah dari sekitar. Namun sebuah suara memasuki pikiran kami, berbicara langsung.
"Selamat bagi kalian Ode dan Ara. Liontin itu adalah benda galaksi yang teramat langka. Tercipta sepasang dan tak terpisahkan. Barangsiapa yang saling menukar dan memakainya maka secara langsung kalian akan bertukar takdir. Seperti yang kalian rasakan sebelumnya. Liontin itu kami namakan Life and Death. Pergunakanlah secara bijak."
Kami saling berpandangan. Memegang liontin berwarna hitam yang kumiliki, dan Ara dengan warna putih kepunyaannya. Apakah ini sebuah bencana?
*****