Selasa, 30 Juni 2015

Tentang Tuhan, Yang Tak Bisa Tuan Tentang

Sebatang rokok kretek dibakar Tom di ruang penjemputan. Untung saja tidak ada larangan No Smoking yang tertera di ruangan itu, bisa-bisa ia ditendang keluar oleh petugas keamanan bandara. Mungkin sudah ada sepuluh kali bolak balik Ia melihat deretan angka jam digital di atas pintu keluar ruang tunggu.

Nama aslinya Utomo. Namun ia lebih suka dipanggil Tom. Biar kebarat-baratan katanya. Jauh-jauh merantau dari Jakarta ke pulau terbesar ketiga di dunia. Ya, Kalimantan. Baginya tidak ada lagi yang bisa diharapkan di kampung halamannya dulu. Kota impian itu berubah menjadi kota yang penuh dengan tekanan. Semua orang mempertaruhkan impiannya di kota tak lebih luas dari pulau yang di tempatinya sekarang.

Pikirannya melayang-layang seiring asap rokok yang dibuat bulat-bulat. Asap-asap itu memerangkap pikiran-pikiran jenuhnya. Omelan istri yang menuntut uang belanja dinaikkan, mertua yang kebelet umroh, anak-anaknya yang minta jatah harian lebih banyak lagi. Ah, sudahlah pikir Tom. Nikmatilah dunia ini sejenak, melalui sebatang tembakau dan nikotin.

Sudah setengah tahun ia menjadi driver di salah satu perusahaan swasta. Pekerjaan menyenangkan baginya, sekaligus tidak menyenangkan. Bagian menyenangkan, Ton merasa memiliki mobil yang dibawanya. Berfoto dan mengunggahnya di jejaring sosial. Lalu ia tersenyum puas mendapat komentar kawan-kawannya yang melihat dirinya 'sukses'.

"Astagah, kenapa pakai acara delay segala. Bisa mati kelaparan aku di bandara sialan ini." Tom mengumpat dalam hati, menghela nafas panjang. Mengutuk bandara yang menjual makanan-makanan berbumbu pajak tinggi. Andai saja tanggal gajian datang lebih awal, itulah alasan mengapa Tom mengumpat.

Dua jam berlalu, Tom dengan sepotong papan bertuliskan nama tamu yang akan dijemputnya, berdiri di deretan para penjemput. Mr. Atan Alig. Nama yang aneh di telinga Tom. Ia sudah sering mendengar nama yang lebih mentereng daripada itu. Charles, Frank, Collins atau Peter. Untuk kali ini, ia memilih tak terlalu banyak memperdebatkan sepotong nama aneh tamunya itu. Di sampingnya ada seorang gadis perawakan jepang tampak bersemangat menanti. Mengangkat papan nama tinggi-tinggi. Menurutnya gadis itu Tom

"Konichiwa Atan-san." Tom menyapa seorang pria yang diyakininya senagai tamu yang ditunggunya.

"Saya bukan orang jepang." Tukas Mister Atan, tangannya membawa tas dokumen.  Tom memilih bungkam. Rokoknya masih terselip di bibir. Membawakan koper Mister Atan ke bagasi mobil.

"Tolong matikan rokoknya, saya benci bau rokok." Tanpa basa basi Mister Atan menegur, bahkan mereka belum sempat mereka berkenalan. Awalnya Tom ingin mengenalkan diri ke Mister Atan. Semenjak si tamu nya itu mengeluh tentang rokok, buru-buru ia mengurungkan niat baiknya itu. Apalah arti sebuah nama. Atan Alig. Nama apa pula itu, geram Tom dalam hati.

"Untuk apa kamu merokok?" Mister Atan bertanya ketus, matanya tak terlepas dari layar ponsel. Tom bersungut-sungut, ia menggerutu mengapa tamu kali ini lebih cerewet dari mertua dan istrinya. Mukanya kusut, tapi berusaha untuk senyum.

"Karena saya suka pak. Bapak sukanya apa?" Jawab Tom tak serius, malah balik bertanya.

"Saya sukanya uang."

Mobil melaju meninggalkan bandara. Berbelok keluar dari jalan raya, menuju ke arah proyek tujuan tamunya itu. Ke perkebunan kelapa sawit. Bibirnya masam, perutnya menabuh genderang perang.

"Langsung ke lokasi atau makan malam dulu Tuan." Tanya Tom mencoba mencairkan suasana.

"Langsung saja, saya sudah makan tadi di pesawat." Mister Atan menekan layar sentuh ponselnya, membuat panggilan. Perut Tom mengeluarkan bunyi keras. Ia pun sengaja tak menutupi. Memberi kode-kode minta diisi. Ternyata Mister Atan malah asik bertelfon ria. Mengacuhkan segala bunyi-bunyian di seklilingnya. Seandainya ada bom meledak pun ia tak peduli. Sudah tenggelam dalam percakapan bisnisnya. Merasa gagal memberi kode, Tom memilih menguping-lebih tepatnya mendengarkan, karena dalam mobil suara Mister Atan menggelegar.

"Hahahaha, bagaimana proyek baru kita? Lancar? Kalau macet-macet, sudah suap saja orang-orang penting disana. Dijami beres semuanya, tidak ada satupun yang berani menentang kita." Ujar Mister Atan dalam salah satu telfon, nada bicaranya semangat, namun licik. Menggampangkan urusan-urusan dengan duit.

Setengah perjalanan, Tom meminggirkan mobil ke sebuah surau di pinggir jalan. Melaksanakan ibadah salat maghrib sejenak, meregangkan letih pikiran dan juga perut yang keroncongan.

"Hey, hey , hey kemana kita ini?" Sergah Mister Atan tahu mobilnya disetir keluar dari jalan.

"Saya mau ibadah sebentar pak"

"Wah wah wah, apa tidak bisa ditunda. Saya bisa terlambat nanti ini, bisa kehilangan duit banyak saya."

Bagaimanapun Tom tetap meneruskan niat ibadahnya. Tak digubris celotehan Mister Atan. Baginya, uang bukanlah segala. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan iman. Iman tidak bisa dibeli dan dijual dimanapun, berapapun.

Selesai ibadah, Tom kembali ke dalam mobil yang dipenuhi kebusukan-kebusukan percakapan Mister Atan. Beserta sumpah serapahnya. Tom menyumpal telinganya dengan ketidakpedulian. Tapi ada satu pertanyaan yang

"Kau beribadah untuk siapa?"

"Saya beribadah kepada Tuhan untuk diri saya pak!" Tom mulai naik pitam. Lubang-lubang di jalan dihajarnya saja, membuat mobil terhentak keras. Mister Atan mengumpat. Telinga Tom memerah, kepalanya kadung mendidih ibarat ketel air yang mendesis.

"Siapa itu Tuhan? Kenalkan saya pada orang itu, seberapa hebat dia, sampai-sampai bisa menyita waktu saya." Mister Atan masih sibuk dengan ponselnya, tapi kali ini ia lebih sibuk mengurusi Tuhan.

"Tuhan adalah Sang Pencipta Semesta Alam. Tuhan yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang tak patut dipertanyakan atau diragukan lagi." Jawab Tom matanya tetap mengarah ke jalan. Sesekali menoleh, bibirnya sampai maju-maju seolah mengolok tamu 'sial' nya itu.

"Wah hebat berarti ya. Bisa ia ciptakan uang untuk saya sekarang juga?"

Tom bungkam. Pertanyaan terakhir jelas-jelas terkesan meremehkan Tuhannya. Laju mobil semakin tinggi. Kiri kanan jalan berdiri tegak tanaman perkebunan. Karet, kelapa sawit atau hutan-hutan yang masih 'perawan'. Kurang lebih satu jam lagi mereka sampai ke tujuan. Tapi Tom sudah tak tahan dengan tamunya itu.

"Bisa, tapi tidak sekarang. Dan tak berupa uang."

Mister Atan mendelik, "Oh ya, saya maunya sekarang. Berarti Tuhan mu tidak sehebat saya. Saya bisa menciptakan uang banyak selama perjalanan ini tadi." Mister Atan mendengus sombong.

"Tuhan memberikan kita bukan hanya uang Tuan. Bumi dan seisinya diberikan murah hati oleh Nya. Bahkan tuan bisa bernapas pun karena rezeki udara oleh-Nya."

Mister Atan mendecak, memasukkan ponsel ke dalam sakunya, "Kalau diberikan murah hati? Mengapa saya harus bersusah mendapatkannya? Membayar sana sini, pajak, jatah premanlah, dimana murah hatinya?"

Diam-diam Tom mengemudikan mobil keluar dari rute biasanya, tamu 'sial' nya itu harus diberi pelajaran. Menurutnya, Mister Atan lebih menyebalkan daripada mertuanya yang tiap hari menagihi uang belanjaan. Kilat lampu mobil yang berpas-pasan membias. Tak banyak, jalanan itu ialah jalan pintas menuju sebuah hutan. Hanya orang-orang mesum yang mengarah kesana. Menghabiskan kemaksiatan dengan harga murah.

Tamu sial nya itu tak peduli dengan jalanan. Tenggelam dalam obrolan-obrolan ponsel. Dari seberang sana suara perempuan cekikikan diselingi desahan-desahan. Mister Atan tampak gelisah. Mengatur posisi duduknya. Melancarkan janji-janji manis, yakinlah itu bukan istrinya. Entah gundik-gundiknya yang keberapa. Namun beberapa saat, ia kesal. Memukul-mukul sisi ponselnya. Menggerutu.

"Ah, payah bahkan Tuhan mu tidak bisa memberikan sinyal."

Tom diam saja. Sudah terlalu malas menimpali. Pandangannya seakan menunggu sesuatu. Mencengkeram erat kemudinya. Dan di sebuah tikungan tajam, mobil mengarah keluar jalur jalan.

"INILAH TUAN.. INILAH DIA…" Tom berteriak menjejakkan dalam-dalam pedal gas. Ia tersenyum puas.

"KAU SUDAH GILA HAH?!"

Delapan detik sebelum mobil menyentuh dasar jurang, Tom berkata lantang,

"INILAH TENTANG TUHAN, YANG TAK BISA TUAN TENTANG. SAMPAI BERTEMU DI AKHIRAT MISTER ATAN"

Bunga api mekar dari kejauhan, malam yang dingin mendadak hangat. Tidak ada kepulan asap rokok kretek lagi. Tidak ada omelan istri dan mertua lagi. Tidak ada lagi yang melarangnya merokok. Tidak ada lagi yang menganggap Tuhan itu orang yang bisa ditentang.

*****

Berselang sehari pemberitaan di media mengabarkan biang korupsi di negeri ini telah musnah dalam sebuah kecelakaan. Satu per satu pengusaha dan pejabat korup yang berkongkalikong, tertangkap dan menghuni hotel prodeo hingga akhir hayat. Sampai satu sama lain bertemu di akhirat. Bertemu Mister Atan dan Tom.

Sejatinya Tuhan tak patut diragukan apalagi dipertanyakan, sebagai makhluk kita patut meyakini dan beriman kepada-Nya. Manusia terkadang merasa dirinya 'tuhan' kecil saat mereka diberikan rezeki dan kuasa yang tak pernah disyukuri.

Doddy Rakhmat
29.06.2015

Kamis, 25 Juni 2015

Pagi Buta di Padang Edelweiss

Aku tahu matahari selalu datang tepat waktu, tak pernah terlambat sedikitpun. Selalu menawarkan janji-janji kehidupan para pemimpi.

Di atas awan, aku dapat merasakan kesenyapan langit. Tempat doa-doa disampaikan oleh makhluk-makhluk Tuhan. Tetes embun menyentuh kulit, rasa dingin melindap masuk melalui sweater buatan Mama. Tenang, menghangatkan. Walau ia tak ada di sampingku untuk mendekap. Namun di setiap rajutannya, ada kasih sayang tak terucap.

Mama, bagaimana kabarmu disana? Di belahan dunia paling jauh dari tempat sekarang ku berpijak. Aku pun tak menyangka, dapat melangkah sejauh ini, setinggi ini. Tentunya, ada Ailee yang setia mendampingiku untuk melangkah. Menuntunku bila aku meragu. Dan memapahku bila aku lelah.

Udara terasa sesak, untung saja Tuhan masih baik hati memberikan kami berdua kesempatan sampai di ribuan kaki dari permukaan laut.  Walau aku tak pernah tahu, seperti apa kemegahan ciptaan Tuhan yang besar ini. Tapi Ailee yang setia menjadi 'mata' ku untuk melihat. Lengkung senyumnya yang indah, menjalar dari kening saat ia mengecup lembut setiba kami di puncak gunung.

Hidup adalah perjalanan-perjalanan. Perjalanan ini begitu berarti. Sebab, di padang Edelweiss inilah, Mama. Sedikit demi sedikit di setiap langkah ku jejak, ada rasa syukur akan nikmat-Nya. Ada keabadian yang ditawarkan oleh bunga-bunga gunung, tentang cinta yang maha besar untuk Sang Pencipta. Tentang gelap, jangan biarkan ia membutakan hati. Mimpi-mimpi itu terus bertumbuh walau dunia tak terlihat. Ingatlah, bahwa dunia masih melihatmu, terlebih lagi Tuhan yang tak pernah luput mengawasi makhluk-Nya.

[Doddy Rakhmat]
25.05.2015

Minggu, 21 Juni 2015

Tips Menulis Ide Biasa Eksekusi Luar Biasa

Materi tips menulis 'Ide Boleh Biasa, Eksekusi Harus Luar Biasa' yang saya buat dapat kamu unduh di tautan berikut.

Dropbox : https://db.tt/UKBieyes

Semoga bermanfaat!

~Doddy Rakhmat

Kamis, 18 Juni 2015

Ibadah Puisi

Sepotong doa dalam ibadah puisi ini
Bercerita tentang kesyahduan penantian

Tuhan,
Bagaimana jika lapar dahaga tak pernah ada
Mungkin manusia lupa bersyukur dengan yang ada

Tuhan,
Bagaimana bila mulut kami dikunci saja selamanya
Daripada hanya kata nista menumbuh dosa
Meluncur dengan lancarnya

Tuhan,
Bagaimana kalau engkau tak pernah ciptakan bulan penuh ampunan
Tentu bulan lain pun sangat terasa istimewa tak hanya Ramadhan
Iklan sirup dan obat maag menjamur dimana-mana dan kapan saja

Tuhan,
Bagaimana bila detik ini kami tak boleh bernafas
Mungkin kami sudah memohon lekas-lekas untuk bebas
Sebelum badan di sentuh ruh menjadi kebas

Tuhan,
Berjanjilah selalu mempertemukanku dengan beribu-ribu Ramadahan
Karna sungguh aku hanya makhluk berdosa mengharap pengampunan

Tuhan,
Cukup sekian

Amin.

[Doddy Rakhmat]
18.06.2015

*terinspirasi pujangga legenda indonesia, Joko Pinurbo.

Ibadah Puisi

Sepotong doa dalam ibadah puisi ini
Bercerita tentang kesyahduan penantian

Tuhan,
Bagaimana jika lapar dahaga tak pernah ada
Mungkin manusia lupa bersyukur dengan yang ada

Tuhan,
Bagaimana bila mulut kami dikunci saja selamanya
Daripada hanya kata nista menumbuh dosa
Meluncur dengan lancarnya

Tuhan,
Bagaimana kalau engkau tak pernah ciptakan bulan penuh ampunan
Tentu bulan lain pun sangat terasa istimewa tak hanya Ramadhan
Iklan sirup dan obat maag menjamur dimana-mana dan kapan saja

Tuhan,
Bagaimana bila detik ini kami tak boleh bernafas
Mungkin kami sudah memohon lekas-lekas untuk bebas
Sebelum badan di sentuh ruh menjadi kebas

Tuhan,
Berjanjilah selalu mempertemukanku dengan beribu-ribu Ramadahan
Karna sungguh aku hanya makhluk berdosa mengharap pengampunan

Tuhan,
Cukup sekian

Amin.

[Doddy Rakhmat]
18.06.2015

*terinspirasi pujangga legenda indonesia, Joko Pinurbo.

Ibadah Puisi

Sepotong doa dalam ibadah puisi ini
Bercerita tentang kesyahduan penantian

Tuhan,
Bagaimana jika lapar dahaga tak pernah ada
Mungkin manusia lupa bersyukur dengan yang ada

Tuhan,
Bagaimana bila mulut kami dikunci saja selamanya
Daripada hanya kata nista menumbuh dosa
Meluncur dengan lancarnya

Tuhan,
Bagaimana kalau engkau tak pernah ciptakan bulan penuh ampunan
Tentu bulan lain pun sangat terasa istimewa tak hanya Ramadhan
Iklan sirup dan obat maag menjamur dimana-mana dan kapan saja

Tuhan,
Bagaimana bila detik ini kami tak boleh bernafas
Mungkin kami sudah memohon lekas-lekas untuk bebas
Sebelum badan di sentuh ruh menjadi kebas

Tuhan,
Berjanjilah selalu mempertemukanku dengan beribu-ribu Ramadahan
Karna sungguh aku hanya makhluk berdosa mengharap pengampunan

Tuhan,
Cukup sekian

Amin.

[Doddy Rakhmat]
18.06.2015

*terinspirasi pujangga legenda indonesia, Joko Pinurbo.

Ibadah Puisi

Sepotong doa dalam ibadah puisi ini
Bercerita tentang kesyahduan penantian

Tuhan,
Bagaimana jika lapar dahaga tak pernah ada
Mungkin manusia lupa bersyukur dengan yang ada

Tuhan,
Bagaimana bila mulut kami dikunci saja selamanya
Daripada hanya kata nista menumbuh dosa
Meluncur dengan lancarnya

Tuhan,
Bagaimana kalau engkau tak pernah ciptakan bulan penuh ampunan
Tentu bulan lain pun sangat terasa istimewa tak hanya Ramadhan
Iklan sirup dan obat maag menjamur dimana-mana dan kapan saja

Tuhan,
Bagaimana bila detik ini kami tak boleh bernafas
Mungkin kami sudah memohon lekas-lekas untuk bebas
Sebelum badan di sentuh ruh menjadi kebas

Tuhan,
Berjanjilah selalu mempertemukanku dengan beribu-ribu Ramadahan
Karna sungguh aku hanya makhluk berdosa mengharap pengampunan

Tuhan,
Cukup sekian

Amin.

[Doddy Rakhmat]
18.06.2015

*terinspirasi pujangga legenda indonesia, Joko Pinurbo.

Kamis, 11 Juni 2015

IRENG

Petir menggelegar. Hujan turun tanpa ampun menghantam bumi yang gersang. Gersang alam, gersang pikiran. Dari kejauhan, Ireng menyusuri setapak becek tak berumput. Membawa sebungkus nasi entah darimana asalnya. Satu-satunya yang kumiliki sekarang hanya Ireng. 

Kutukan keluarga di pertengahan musim paceklik menyibak apa yang mereka sembunyikan selama ini, harta. Mereka menyayangiku karena harta. Sungguh, pedih memang. Tapi, dunia ini memang perkara uang. Cinta itu uang. Tidak ada uang tak makan. Tidak ada uang maka terlupakan. Semua butuh uang. Alasan terkuat hidup seseorang juga uang.
Zaman sekarang bukan zaman batu, sistem barter tak berlaku. Kecuali mau menukar harga diri dengan uang. Tapi itu tak akan kulakukan. Masih ingatlah aku dengan martabat.

"Dabo, makanlah dulu." Ireng menatap iba, melihat tampilanku yang kuyu. Baju sudah jauh dari deterjen dan air, melekat badan.

Ireng tampak mengibas-ibaskan ekornya. Sambil menikmati sebungkus nasi hasil curian Ireng, aku menangis. Ireng mengelus pundakku, menenangkan. Menangisi tentang diabaikan. Di dunia ini orang hanya perlu dianggap ada, tak lebih tak kurang. Pabila sudah dilupakan, ia menjelma bagai mayat berjalan.

Malam itu seorang gembel sejatinya bernasib kaya. Mengapa? Rumahnya hamparan bumi luas, beratap langit yang maha canggih. Dan seorang anjing bernama Ireng, tak membeda-bedakan manusia karena harta.

Selasa, 09 Juni 2015

Rebung Bertumbuh Dalam Hatimu

"Nirva, tutup matamu sejenak." Hela nafasku melalui tengkuknya, membuat gadis itu sedikit bergidik.

Aku memasangkan penutup mata, selembar kain hitam. Selesai menyimpul aku menuntun langkahnya ke sebuah undakan. Aroma-aroma bambu setelah hujan mudah dikenali. 

"Kau jangan membawaku ke tempat aneh-aneh, Oda."

Aku menggelak senyum. Kejutan ini sudah aku persiapkan sejak seminggu yang lalu. Jalan setapak dengan bambu tumbuh menjulang di kiri kanan meneduhkan.

"Dan kamu membuatku takut sekarang. Jangan bilang di depanku ada jurang." tanya Nirva gugup, tangannya menggenggam pergelangan tanganku.

Aku melepaskan penutup matanya. Cicit suara burung bergabung dengan suara rintik dari ujung dedaunan menghantam genangan, menghasilkan denting indah. Seindah senyuman Nirva. Menampilkan sederet rapi gigi putihnya.

"Wow, Oda. Aku belum pernah ke tempat seindah walau sudah lama aku tinggal di kota ini." Mata Nirva berbinar, semacam ada kekaguman tersembunyi dibaliknya.

"Ah masa, aku kira kau akan kecewa kubawa kesini. Dari tadi harap-harap cemas bila tak sesurprise yang diharapkan" Aku menggaruk rambut belakang, tak gatal sebetulnya. Gugup lebih tepat.

Nirva tertawa, "Untung ya, kalau nggak bakal malu deh."

Ada keheningan mendesir melalui hati bersama bisikan angin mengayun dedaunan. Momen yang kunanti, dalam lima tahun terakhir ini.

"Nirva.."

"Iya Da" Nirva memutar badannya memberi perhatian seutuhnya kepadaku.

"Rebung itu semakin lama semakin tinggi, kokoh, meneduhkan. Menjadi sebuah bambu yang tangguh. Seperti itulah sosok dirimu dalam hidupku Nirva.  Membuat kokoh dan meneduhkan. Bersamamu aku tak merasa rapuh."

Giliran Nirva menutup mataku dengan kedua tangannya. Belum sempat aku bertanya, ia mengunci pertanyaanku dengan sebuah kecupan di pipi.

Wajahku terasa hangat. Menyemu sama seperti paras Nirva sekarang. Kini rebung itu betul-betul tumbuh Nirva, tumbuh tinggi hingga menggapai langit.

[Doddy Rakhmat]
08.06.2015

Rabu, 03 Juni 2015

[Buku] Sebuah Pintu Yang Menunggu Jawaban


Judul                : Sebuah Pintu Yang Menunggu Jawaban dan Cerita Lainnya
Penulis             : Doddy Rakhmat
Hal                  : 90 halaman (BW)
Tanggal terbit   : 03 Juni 2015
Penerbit          :  LeutikaPrio
Harga             :  Rp 26.200

17 Cerita dalam buku ini menemani imajinasi anda untuk menjawab 17 tanya yang juga muncul karena cinta. Buku kumpulan cerpen ini bergenre romance dan beberapanya thriller. Kejutan di setiap cerita dilengkapi dengan ilustrasi membuat buku Sebuah Pintu Yang Menunggu Jawaban wajib menjadi koleksi pustaka anda.

Berikut dua kutipan dalam buku SPYMJ :


Pada akhirnya, cinta akan menemukan jiwanya sendiri pada setiap hati yang ia tempati.
~Doddy R

Penasaran dengan buku ini? Bisa anda dapatkan dengan cara pemesanan via

•Sms :  Tanya Biaya/Jumlah buku/Sebuah Pintu Yang Menunggu Jawaban/Alamat lengkap pemesan kirim ke 0819 0422 1928
•Facebook LeutikaPrio : inbox dengan subject PESAN BUKU
•Email ke leutikaprio@hotmail.com
•Atau klik web : http://www.leutikaprio.com/produk/11027/kumpulan_cerpen/15061196/sebuah_pintu_yang_menunggu_jawaban_dan_cerita_lainnya/14086188/doddy_rakhmat

Senin, 01 Juni 2015

Semangkuk Sardin Terlupakan

Pagi awal Juni. Istriku memasak semangkuk ikan sardin kaleng untuk sarapan. Ia menambahkan irisan bawang putih dan tomat. Kreatif. Setidaknya, ada usaha di dalamnya.  Putra tunggalku, Sim. Terlalu asik bertanya tentang pekerjaan baruku. Tangan mungil nan gempal menggores-gores crayon, mulut Sim penuh sarapan pagi. Aku terkekeh melihat tingkahnya.
"Pah, kantornya jauh gak?"
"Pah, bosnya galak gak pah?"
"Pah, jangan sering pulang malam lagi ya"
Sambil menyuap nasi ke mulut, aku mengangguk. Mendeham. Mengiyakan. Mukanya cemberut, tampak belum puas dengan jawabanku. Aku menengok jam tangan yang terikat di tangan kiri. Hampir saja tersedak air. Terlambat. Bergegas menuju garasi mobil. Istriku membawakan tas kerja.
"Sim, ayo berangkat. Nanti terlambat" ujar Istriku, disahut iya panjang dari Sim.
Aku berlalu, tak sempat mencium kening istri. Menekan pedal gas, meluncur keluar dari komplek perumahan. Syukurnya jalanan lengang, tak seperti ibukota.
Setelah mengantar Sim, aku melesat menuju pekerjaan yang sudah menunggu di  kantor.  Seharian itu suasana hati terasa berbeda. Ada sesuatu yang menyelubungi langit dan hati. Mendung. Khawatir. Ada sesuatu yang terlupakan. Tapi aku kesusahan dalam mengingatnya. Sekejap, sebuah sms singkat kukirim kepada Mai. Istri tersayang.
"Siang cantik, kamu nanti pulang mau dibawain apa?"
Satu menit.
Setengah jam.
Sejam.
Dua jam lebih.
Tidak ada juga balasan dari Mai. Aku mulai khawatir. Biasanya ia sigap membalas sms-sms dariku. Bahkan Mai lah yang lebih dahulu mengirimi kata-kata romantis. Sampai-sampai Robi teman seberang kubus kerjaku meledek. Melihat aku sering nyengir-nyengir saat membacanya.
Senja berjumpa jua. Dalam perjalanan pulang aku membeli sebuket bunga mawar merah. Sim sudah dijemput oleh Mai pertengahan hari.
Sampai di rumah, bunga mawar itu kuberikan pada Mai. Ia menerima setengah hati. Meletakkannya di meja. Mai merajuk. Gestur badan seolah berbicara, protes, tak ingin didekati. Perlahan aku duduk di sampingnya,
"Kenapa kamu sayang.."
Ia masih diam, membuang wajah ke arah luar.
"Aku minta maaf kalau ada salah hari ini"
Perlahan ia melunak, sesekali melirik ke arahku. Tapi wajahnya masih kusut. Aku menarik pandangannya, memalingkan wajah ke arahku. Ia menurut namun menunduk.
"Sayang, kadang diam tak menyelesaikan masalah"
Mulutnya sedikit demi sedikit membuka, "Kamu lupa berterima kasih padaku"
Aku langsung menemukan potongan yang terlupa itu.
"Tadi pagi, begitu saja kamu pergi. Tanpa mengucap terima kasih atas sarapan yang sudah kumasak. Aku tahu, aku belum pandai memasak. Tapi aku ingin melayanimu dengan baik."
Aku mendekapnya perlahan, membiarkan sesenggukan dalam pundak pelukan.
"Kalau begitu maafkan aku sayang, tenggat waktu membuatku melupakan kebaikan-kebaikan dari orang yang kusayang. Mas, janji tak pernah absen lagi berucap terima kasih " Aku memeluknya lebih erat. Nyaman.
"Ciyeee mamah papah romantis" ledek Sim.
Aku dan Mai mengejarnya bersama. Sim lari kegirangan, senang melihat orang tua mereka akur kembali.
Dari semangkuk sardin yang lupa disyukuri, bisa menjadi pelajaran dalam kehidupan. Bahwa kekuatan kata terima kasih ternyata dapat membolak-balik hati manusia.
[Doddy Rakhmat]
01.06.2015