Kamis, 31 Desember 2015

Selamat Tahun Lama!

Tahun akan segera berganti, aku memandangi foto-foto dari sebuah folder yang tersimpan di laptop. Judulnya 'kita'. Begitu banyak gambar diri yang kita ambil bersama, di tempat yang kita rencanakan setiap tahunnya untuk menghabiskan pergantian masehi.

Kamu tidak suka kembang api, aku tahu saat tahun pertama kita berkenalan. Dimana aku membawamu ke sebuah festival kembang api. Kamu malah mengajak pergi. Bagimu itu hanya kebahagiaan semu. Masih banyak hal yang bisa dinikmati sampai kapanpun kita mau. Akhirnya kamu mengajakku pergi ke danau. Langit malam yang dipenuhi titik bintang. Hanya kita berdua. Padahal aku takut gelap. Namun dirimu tetap bersikukuh mengajak.

"Daripada menikmati kembang api, lebih baik menikmati bintang yang bisa kita lihat berlama-lama." katamu seraya bersandar di badanku.

"Rasanya baru kemarin kita merayakan tahun baru, malam ini di tempat yang sama kita masih belum berubah, hanya sepasang kekasih yang tidak seutuhnya memiliki muara" katamu lagi.

Aku hanya tersenyum.

****

Aku begitu bersemangat ingin berjumpa denganmu, merayakan kembali agenda tahunan bersama. Sebentar lagi malam lama akan berganti malam baru. Aku mendatangimu di tengah keramaian, matamu berbinar, ada harap dan juga rindu yang terpancar. Tepat denting jam menyelesaikan tugasnya detiknya tahun ini, aku mendekapmu erat, mencium pipimu yang basah karena tangis bahagia. Tetapi aku sadar, bahwa bukan aku yang memberikan semua itu. Ada orang lain yang telah menggantikan. Jangankan menyentuh, menyebutkan namamu pun tak sanggup. Kita sudah berbeda dimensi.

Aku menunggui jasad yang jauh dari tempat kamu berdiri dengannya sekarang. Jasadku sendiri. Sebuket bunga krisan terperangkap kaku dalam genggaman. Yang kurencanakan menjadi sebuah kejutan. Ternyata Tuhan punya jawaban untuk menjawab rasa penasaranku, sekarang aku tahu dirimu yang sebenarnya. Orang-orang terlalu larut dalam euforia, sampai mereka terlupa bahwa ada orang yang sedari tadi berjuang keluar dari arus sungai. Jembatan gantung yang kulalui putus. Aku terlalu bersemangat, hingga berlari di atasnya. Padahal sudah ada peringatan agar dilarang lari atau melompat-lompat di atasnya. Tentu kamu tahu, aku tak pandai berenang.

Sungguh aku merasa terlahir kembali. Terlahir kembali. Terlahir dan kembali.

Selamat tahun lama, cinta.

~Doddy R
31.12.2015

Minggu, 27 Desember 2015

Rumah Lama

Manusia ibarat rumah lama. Ia dipenuhi oleh kenangan-kenangan. Suatu saat ia akan mengosongkannya, hingga tidak ada lagi yang melekat. Seperti debu-debu yang disapu bersih, sesungguhnya kenangan itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Kenangan hanya berpindah tempat, diingat atau tidak diingat. Kenangan tetap di sana, tidak bergeming sedikit pun.

Begitupun kamu, setahun terakhir aku berusaha untuk melupakan kenangan yang kita cipta bersama. Aku kalah, selalu kalah saat berhadapan dengan yang tersisa darimu pada diriku. Namamu, senyumanmu, tatapanmu, lalu kehangatan yang menjalar saat kita malu-malu berpegang tangan di dalam taksi kala itu.

Aku tidak tahu, apakah genggaman itu tidak akan pernah aku dapatkan lagi? Seolah itu adalah hal yang paling membahagiakan sedunia dari orang yang jatuh cinta.

Aku memang lelaki pemalu dan tak tahu diri. Kadang aku ingin berubah menjadi orang lain, menghilang dari rasa bersalah, hingga kau tidak perlu terluka saat membaca namaku di deretan beranda jejaring sosial.

Rumah lama itu tidak pernah aku tinggalkan, kenanganmu masih tersimpan rapi bersama rindu yang bertumbuh tak tertahan. Apakah aku masih berada dalam rumahmu? Dalam ruang hati yang kau jaga.

~dr
27.12.2015

Minggu, 20 Desember 2015

My Lady, My Anti Fan

Akhir pekan lalu, penerbit bukuku yang terbaru mengadakan acara launching di tempat yang spesial. Mereka mengadakannya di pantai, mengusung konsep pesta bahari, segala makanannya dari hasil kekayaan laut.

Aku berdiri seraya menikmati udang goreng yang diberi saus mayones. Telponku tak berdering sedikitpun. Mungkin dia lupa, seperti biasanya.

Deburan ombak menghantam tepian pantai, karang-karang berdiri kokoh. Anggap saja kehadirannya seperti ombak, dan aku sebagai karang. Aku tak pernah letih menghadapinya. Kalau yang lain sibuk berfoto dengan buku, meminta tanda tangan, ia sungguh berbeda. Saat dalam sebuah talkshow aku pernah dikirim olehnya sebuah gambar. Bukuku dalam kondisi terbakar. Dengan tulisan pengantar, "Selamat buku barunya sudah terbit". Lucunya aku tidak marah dan membalasnya dengan ucapan terima kasih. Mengapa aku mencintai dirinya? Karena aku pikir dia membuatku mawas diri. Ketika yang lain sibuk memuji, dia sibuk mencaci. Seimbang. Dia melengkapi.

Semakin ia membenciku, maka semakin sukar melepaskannya. Entahlah, itu mungkin logika yang aneh dari seorang penulis.

Bagiku terlalu mudah rasanya bila jatuh cinta kepada orang yang jatuh cinta pula kepada kita, aku ingin tantangan. Kehadirannya sudah membuat hidup cukup berwarna.

Kling.

Teleponku bergetar, sebaris kalimat notifikasi muncul di layar. Pesan singkat darinya.

"Temui aku di tepi pantai."

Aku membalas, "Aku sedang menatapmu dari kejauhan."

"Bagaimana bisa?"

"Aku sedang di acara launching buku."

"Di pantai?"

"Ya."

Ia menoleh ke belakang bersamaan dengan lelaki di sampingnya, ia terlihat kikuk. Sang pria melambai seraya tersenyum.

Dia tidak pernah cerita kalau ada pria lain dalam hidupnya. Tapi aku sudah terlanjur menganggapnya kekasih, karena dia berbeda dari yang lain. Tapi aku tidak pernah tahu, apakah dia memiliki rasa yang sama padaku?

Mungkin benci adalah kata lain dari cinta, kurasa.

~Doddy Rakhmat

Kamis, 17 Desember 2015

Percakapan Selepas Senja

Ada sebuah percakapan antara wanita dan pria yang terpisah oleh jarak.

Pria : Aku berjanji akan menjaga dirimu selalu.

Wanita : Dengan apa kau menjagaku dari seberang pulau?

Pria : Dengan menjauh darimu.

Wanita : Bagaimana caranya bila dirimu jauh sedangkan aku begitu dekat dengan hal-hal yang berbahaya.

Pria : Pertama, aku adalah orang yang berbahaya. Berbahaya bila mendekati seseorang yang bukan muhrimnya.

Wanita : Lalu bagaimana jika ada lelaki yang mendekatiku di sini?

Pria : Aku akan menjagamu dalam doa-doa.

Wanita : Seandainya aku menerima ajakan menikah dari pria lain, bagaimana pendapatmu?

Pria : Kalau begitu, aku telah menjaga jodoh orang lain dengan baik.

Wanita : Aku inginnya itu kamu.

Pria : Bukankah jodoh adalah takdir terindah yang disimpan oleh Tuhan.

Wanita : Kalau begitu aku akan menunggu.

Pria : Sampai kapan?

Wanita : Sampai Tuhan memberitahukan rahasia terindahnya.

~Doddy R
17.12.2015

Mantel Terakhir

Angin-angin tepian danau menyapu para pengunjung. Hari beranjak malam, aku menyusuri danau seorang diri. Istriku sedang beristirahat di hotel. Ia terlalu lelah selepas berkeliling kota seharian penuh. Beberapa meter dariku seorang gadis kecil berambut keriting terbaring lemas. Beberapa orang hanya lalu lalang, tanpa menanyai keadaannya. Mungkin mereka terlalu sibuk, bisa jadi. Atau sudah mengalami kegagalan empati.

Aku mendekatinya, ia tak bergeming. Hanya menatap nanar kepadaku. Tanganku memegang dahinya. Astaga, panas. Dia pasti demam.

"Kemana orang tuamu, gadis kecil?"

Ia diam. Mulutnya hendak menjawab namun segera mengatup, seolah ada yang menahannya untuk berbicara.

"Badanmu panas. Biarkan aku membawamu pulang ke rumah."

Ia masih diam, kepalanya menggeleng. Perlahan ia berbicara.

"Aku menjual mantel terakhir peninggalan dari nenek. Semenjak itu Mama marah besar dan mengusirku dari rumah.

"Mengapa kamu menjualnya? Bukankah itu begitu berharga?"

"Mantel itu biasa saja. Yang membuatnya istimewa adalah warisan satu-satunya yang ditinggalkan oleh leluhur kami. Aku menjualnya untuk membeli obat untuk mama. Ia bersikeras untuk tidak meminum obat apapun. Selama Mama sakit kami tak memiliki uang. Ayah sudah pergi ditelan rimba. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan adalah mantel pemberian nenek."

Mendengar hal demikian, aku bergegas membawanya ke klinik terdekat. Membelikan obat untuknya sekaligus sang mama. Ia tidak banyak bertanya.

Di perjalanan menuju klinik, ia bercerita. Sang mama marah bukan karena ia menjual mantel pemberian sang nenek. Namun karena sang mama khawatir sudah masuk musim dingin, mantel itu lebih berharga untuk si gadis daripada obat-obatannya.

Setelah berobat, ia mengucapkan terima kasih. Gadis itu cukup manis bila tersenyum. Walau bibirnya masih kering, akibat menahan dingin.

"Akan selalu ada pengorbanan demi kebahagiaan seseorang, walaupun ia harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri."

~Doddy R
14.12.2015

Rabu, 16 Desember 2015

Opor Kalkun

"Diam, Rani."

Kami mengendap-endap dari pintu belakang rumah Paman Wery. Menuju pekarangan luas sekaligus lumbung gandum. Di dekatnya ada kandang kalkun. Isinya puluhan ekor.

Setidaknya perayaan lebaran tahun ini, kami bisa menyantap opor kalkun. Paman Wery terlalu pelit dengan keponakannya sendiri. Untuk itulah aku dan Rani berniat meminjam kalkunnya satu ekor.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sana!" Paman Wery berteriak, berlari ke arah kami sembari membawa garu rumput.

Kami ketahuan, namun aku dan Rani berhasil membawa kabur satu ekor kalkun ke dalam keranjang yang ku gendong.

Berlari dan terus berlari, hingga kami menghilang di ujung jalan. Tibalah kami di rumah, Ibu menyambut dengan muka bersungut-sungut. Di sampingnya berdiri Paman Wery. Entah bagaimana dia bisa sampai lebih dahulu.

"Cepat kembalikan kalkun Paman Wery." ujarnya dengan nada kecewa.

Dengan pasrah, kalkun itu berpindah tangan pada sang pemilik. Aku menunduk malu.

Paman Wery bergegas pergi.

"Kenapa kalian mencuri kalkun itu?"

"Kami tidak mencurinya, Bu. Kami hanya meminjamnya." sanggah Rani

"Bohong."

"Benar bu. Kami hanya ingin keluarga kecil kita bisa menyantap makanan lezat. Sudah berminggu-minggu kita hanya menyantap gandum dan garam."

"Lebih baik ibu tidak makan daripada makan dari bukan hak kita."

Kumandang takbir menggema langit. Opor kalkun pudar dari harapan. Tetapi kami belajar bahwa demi membahagiakan orang lain tidaklah harus membenarkan segala cara.

~Doddy R
#FlashFiction

Sabtu, 05 Desember 2015

Murai Murai

Murai Murai

Aku bagai murai
Di langit sepi
Mengarungi lepasnya angkasa
Bertahan dalam kesendirian

Aku bagai murai
Di tengah senyap
Mendekam dalam perih
Rindu sang kekasih

Aku bagai murai
Di taman rindu
Mencengkeram erat ranting
Seperti kenangan tentangmu

Aku bagai murai
Sendiri

~dr
05.12.2015

Minggu, 29 November 2015

Hujan Belum Usai

Kasih, Hujan yang kuhabiskan bersamamu ini belum lah usai. Masih ada hujan lainnya yang turun dari langit. Seperti rasa rindu yang menggebu-gebu, bertubi-tubi menyerang hati.

Kasih, ingatlah bahwa setelah hujan akan selalu ada pelangi yang menghiasi. Begitupun kesedihan, tak usah berlama-lama bermukim dalam muram durja. Karena aku selalu ada, menemani hingga bahagia.

~dr

Minggu, 22 November 2015

Fallen Star

Aku tidak percaya kepada keberuntungan. Bagiku itu hanyalah sebuah kepasrahan kepada hal yang tidak pasti. Dan mungkin, Doni adalah semacam keberuntungan bagiku. Siapa yang tidak mengenali penyanyi yang sedang menggelar karpet kesuksesannya belakangan ini. Seorang Doni tidak akan pernah melupakan Re, melupakan aku.

****

Siang mengembus angin panas. Terik sinar menjalar ke permukaan bumi. Dari semua yang pernah saya alami, ini mungkin paling parah. Menunggu Re berdandan, alangkah lama dunia berputar. Konser solo memasuki H-2, rencana hari ini kami akan pergi berkencan, kali ini ia tidak ikut dalam acara saya. Karena lokasinya terlalu jauh di luar kota. Saya melihat jam dinding sekali lagi, sudah hampir satu jam. Semoga saja masa menunggu ini tidak sia-sia.

****

Doni pasti sudah cukup kesal menungguiku berdandan, aku takut saja kalau ada paparazzi mengambil foto kami berdua. Setidaknya aku bisa tampil maksimal di depan kamera. Menjadi pasangan selebritis seolah tertular Star Syndrome.

Oke, semua sudah siap.

"Hai sayang, ayo berangkat."

****

Akhirnya, Re keluar juga dari rumahnya. Syukurlah, masa penantian saya berakhir. She look pretty, tonite.

Setelah menikmati jalanan kota Jakarta malam hari. Kami tiba di sebuah kedai wedang di tepian kota. Jauh dari hiruk pikuk, dan fans-fans yang kadang lupa diri.

"Aku mengajakmu ke sini untuk merayakan sesuatu."

Re meminum wedang jahe nya, seperti biasa. Menghirup aroma dalam-dalam, baru meneguk sedikit demi sedikit.

"Merayakan apa?"

"Merayakan hari rindu nasional."

Re tertawa.

"Baru pertama kali ini aku dengar ada hari merindu nasional. Siapa pencetusnya, kamu?"

Saya mengangguk. Re tersenyum

*****

Aku tahu, alasan Doni mengajakku malam ini. Dan ide gilanya menciptakan hari merindu nasional, terbilang unik. Aku tidak mau menyebutnya gombal. Karena ia sudah berusaha yang terbaik. Tapi aku selalu menunggu momen, dimana ia bersimpuh memegang sebuah cincin dan bertanya padaku "Will you marry me?" Just simple like that. But, when?

****

Entahlah apa yang di dalam pikiran Re, saya tak mau berprasangka. Ide hari merindu nasional di bulan November ini sudah lama saya persiapkan. Setidaknya pertemuan-pertemuan kami tidak membosankan. Dan beberapa hari lagi kami harus berpisah jauh,

"Gimana kamu mau merayakannya kan?"

"Tentu." Ia tersenyum walau terkesan memaksa.

****
Dan malam ini berakhir seperti biasanya. Nothing special, I guess. But pretending to be happy is more difficult now.

Mungkin Doni hanyalah The Fallen Star dalam kehidupanku. Ia seorang bintang yang telah jatuh hati padaku. Tidak lebih. Hadir hanya untuk memenuhi permintaanku, sama seperti bintang jatuh.

****
Saya tahu Re kecewa. Dan saya memang pasangan yang buruk. Saya selalu bertanya, apakah saya belum siap menjalani komitmen setelah menikah? Atau dunia penuh pujian ini telah menutup segala keberanianku?

****
Keesokan paginya.
'Headline news : Doni, musisi pendatang baru membuat press release bahwa ia akan keluar dari kancah permusikan indonesia'

****
Will you marry me, Re?

~Doddy Rakhmat
22.11.2015

Selasa, 17 November 2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Minggu, 15 November 2015

Kadang

'Kadang'

Kadang langit biru pun berganti mendung kelabu. Begitupun kehidupan tak selamanya bahagia, sesekali diliput sendu.

Kadang hujan datang tak disangka-sangka, dan tak tahu kapan akhirnya. Begitupun cinta, hadir tiba-tiba, dan menghilang bisa kapan saja. Bila tak dijaga.

Kadang embun menetes sebelum pagi menyambut, begitupun rezeki yang tak pernah kita minta, tapi bisa muncul di saat yang tak diduga.

Kadang kehidupan ini tak meminta lebih, ia hanya perlu disyukuri dan berharap tidak pernah disia-siakan.

Karena hidup adalah kesempatan. Kesempatan yang diberikan oleh Tuhan.

~Doddy Rakhmat
15.11.2015

Sabtu, 07 November 2015

Suara

Lama tak mendengar suaramu, dan baru kali ini aku merasa bahwa merindukanmu adalah penantian panjang. Seperti hujan di tengah kemarau yang tak kunjung datang. Tanah-tanah retak ditimpa gersang.

Terakhir aku hanya mencuri dengar suaramu dari sebuah puisi yang kau rekam. Aku selalu mendengarkannya saat pikiranku lelah dan jenuh dengan pekerjaan. Jangan berpikiran bahwa dirimu hanya sebuah pelampiasan. Tidak. Karena aku percaya dengan mendengar suaramu, memulihkan tenaga dan semangat yang hampir padam.

Kapankah aku bisa mendengar suaramu lagi? Bercakap hingga waktu berlalu tanpa kita sadari. Di setiap pembicaraaan, kita segan untuk mengakhiri. Karena ada rindu yang hinggap, dan perpisahan yang tak ingin kita temui.

Playlist Theory

Malam minggu tak selamanya suram walaupun hanya berkumpul bersama kawan lama. Di sebuah coffeshop bergaya amerika di tengah kota hujan, aku dan Adri memandangi hilir mudik pengunjung kafe. Walaupun sering dicap homo, bodo amat. Daripada berduaan sama yang belum muhrim. 

"Don, coba kau lihat laki-laki yang sedang pesan kopi. Aku yakin dia penggemar musik pop. Di playlistnya pasti banyak lagu-lagu pop baru"

Aku mendelik. Lelaki berkaos biru muda dengan celana jins biru plus sneakers membalut kakinya. Modis. Anak muda masa kini. Kakinya mengetuk lantai, mengikuti irama musik terbaru yang dimainkan oleh pihak kafe.

"Dapat darimana teori playlist mu itu?"

Berlabuh

Bagaimana bila dia yang pernah singgah di hati, namun kini berlabuh di hidup yang lain.
Bagaimana bila dia yang senyumnya yang dulu mengubah dunia surammu, kini hanya bisa kau pandangi di samping orang lain.

Sehebat apapun kita, hari esok tidak akan pernah tertebak. Kadang ada suka maupun duka. Tinggal bagaimana belajar menerima.

Ada perih yang menyisa, di saat orang yang kau pernah cintai. Menemukan cintanya tapi bukan dirimu.

Ada lirih yang merintih, di saat orang yang pernah rindukan setiap hari, harus kau lupakan dari hati.

Sejauh apapun kita berlayar, yang paling penting adalah tempat terakhir untuk melabuh. Di hati yang tepat.Percayalah, walau di hati yang lain, ada rasa telah yang karam.

~Doddy R
01.11.2015

Sabtu, 24 Oktober 2015

Pilihan Terakhir

Pernahkah kita bertanya, mengapa kita bisa dipertemukan? Pada awalnya kita hanyalah orang asing, tak saling mengenal.
Pernahkah kita bertanya, mengapa kita bisa duduk bersama, di sebuah tempat yang disebut pelaminan? Aku yang selalu bersabar di kala kerabat mulai melepas masa lajangnya, dan mulai bertanya padaku. Kapan menikah?

Rabu, 21 Oktober 2015

INTRO

'INTRO'

Kosong, tidak ada satu pun lagu di dalam ponsel maupun komputerku. Kalian tak perlu heran.  Aku memang tak menyukai musik. Namun sejak bertemu dengannya, aku belajar mencintai apa yang tidak kusukai.

"Lala!"

Seseorang meneriakkan namaku di tengah riuhnya Terminal Baranangsiang. Dari jauh, sesosok pria menggendong gitar di punggungnya. Berkali-kali, ia harus meminta maaf karena tak sengaja menyenggol, penumpang lain yang hilir mudik. Apalagi direpotkan dengan bawaannya.

"Akhirnya, kesampaian juga datang ke kota Hujan."

"Welcome to the roti unyil home" ujarnya berlagak menyambut turis. Aku tertawa, begitupun dirinya.

Hujan memang tak pernah meminta izin untuk turun, seperti sore itu. Baru beberapa puluh menit yang lalu datang, aku benar-benar diterima kota Hujan dengan baik.

Kami berlarian mencari tempat berteduh, Adie tak membiarkanku kebasahan. Ia mengangkat tas gitarnya untuk melindungi kami berdua dari guyura hujan. Ia mengajakku ke sebuah warung soto tak jauh dari terminal.

"Kamu dari Bandung belum makan kan?"

Aku menggeleng malu-malu. Beberapa orang juga menunggu di teras warung. Adie menarik lenganku. Kami melangkah masuk warung. Hidungku bersekutu dengan perut, menghirup aroma dari kepulan kuah soto yang menggugah selera.

"Ya sudah kita makan aja sekalian. Belum pernah nyoba soto kuning bogor kan?"

"Wah jadi gak enak, ngerepotin kamu, Die."

"No, I'm not." jawabnya sambil berlalu. Datar, tak berubah sejak dulu kalau menyikapi basa-basi.

Kami memilih meja dekat jendela, lampu warung temaram. Setidaknya ada cahaya dari luar dan pemandangan kota Hujan yang bisa kami nikmati. Mobil-mobil angkot yang berhenti mencari penumpang, suara peluit dari pengatur lalu lintas, dan juga tukang gorengan yang bersedekap di bawah payung tempat jualannya.

"Kamu jadi mau ambil penelitian di sini?" tanya Adie seraya mengaduk mangkuk sotonya.

"Jadi dong, nanti aku minta bantuan kamu ya. Nunjukin jalan di sini. Aku belum hafal, takut kesasar."

"Kan ada Google Maps, hehehe." candanya. Ya Tuhan, tawanya lebih renyah daripada bawang goreng yang jadi garnis soto dihadapanku.

Aku memukul pelan pundaknya. Ia berpura-pura mengaduh kesakitan. Oh, iya kalian pasti belum tahu siapa Adie. Dia tetanggaku saat di Bandung. Tapi ia pindah saat kami sudah SMA. Dia kembali ke kota kelahirannya. Bogor. Mengikuti Ayahnya yang dipindah tugaskan. Kami sudah sering belajar dan bermain bersama, mengelilingi setiap sudut kota parahyangan. Walau selalu berujung kemarahan oleh kedua orang tua kami

Lagu-lagu pop dari pengeras suara warung mengiringi percakapan. Adie menatap ke arahku, aku seolah tahu apa yang mau dikatakannya.

"Masih gak suka musik?"

Benar, tidak salah lagi tebakanku. Aku mengiyakan, suapan terakhir soto kuning pertama. Kandas. Tak tersisa. Segan aku untuk menambah, tengsin. Masa perempuan makannya banyak.

"Berarti kamu masih termasuk gadis langka." ujarnya.

"Kenapa begitu?"

Adie menyuapkan sendok terakhir. Membersihkan mulut dengan tisue ”makan. Ia lalu menjawab.

"Jelas langka. Di zaman iTunes, Dahsyat, Billboard seperti ini masih ada yang nggak suka musik."

Aku tertawa, tak sadar menimpuknya dengan tisu bekasku. Buru-buru minta maaf, ia malah balik tertawa.

"Ah mungkin sudah bawaan dalam gen ku, Die."

"Cepat atau lambat, kamu harus belajar menyukai apa yang kamu nggam sukai. Karena begitulah kehidupan sekarang ini, kita nggak pernah tahu ternyata dari hal yang tidak suka justru memberi manfaat lebih." Ia menjelaskan.

"Oke mas gitaris, berarti sudah suka sayur dong?" Aku menggoda balik bertanya.

Adie melihatkan mangkuk sotonya yang kandas. Aku paham. Itu artinya dia mau tambah. Bercanda, maksudnya dia sudah mau makan sayur. Kalau dulu, lihat timun di atas nasi goreng saja langsung di buang. Anti sayur banget lah.

Hujan telah reda. Aku meminta Adie mengantarkan ke tempat kos dimana aku harus tinggal selama sebulan untuk penelitian. Baru kali ini aku naik angkot di Bogor, tentu saja Adie kerepotan membawa tas gitarnya yang super besar itu ke dalam angkot.

"Kumaha yeu, nanti penumpang lain gak bisa masuk." ujar supir angkot sedikit kesal.

"Nanti saya bayar double kang, santai wae." sahut Adie.

Sesampai di kos yang terletak di sebuah komplek perumahan asri. Jalanan masih basah, malam belum terlalu larut. Adie tampak letih membawa tasgitarnya, jalan yang dilalui cukup terjal. Karena kontur daerah Bogor adalah pegunungan.

Aku menawarinya untuk singgah. Tapi dia menolak, gak baik main ke tempat perempuan malam-malam, ujarnya.

Dua minggu berjalan, penelitianku tentang kualitas air bersih di perkampungan warga sudah mulai menunjukkan kemajuan. Data-data sudah terkumpul. Tak jauh beda dari Bandung, di Bogor penduduknya juga ramah-ramah. Apalagi masih satu bahasa, jadi lebih akrab bawaannya.

Ponsel berdering, panggilan masuk dari Adie. Aku bergegas mengangkat meninggalkan sejenak kuisioner-kuisioner yang sedang kuperiksa.

"La, nanti kamu datang ke Taman Kencana ya. Kamu sudah tahu tempatnya kan?"

"Iya aku tahu."

"Apa mau dijemput?"

"Nggak usah. Emang disana ada acara apa, Die?"

"Acara manggung kecil-kecilan sih. Dari komunitasku. Seru deh."

Malampun datang, aku berdiri di depan kerumunan menghadap stage. Di tengah  panggung, Adie duduk hanya disorot lampu dari atas. Lampu lain dimatikan. Lalu ia mulai memetik gitar kesayangannya. Menyanyikan sebuah lagu dari Michael Buble. Home. Baru saja aku melihat video klipnya di tivi.

Maybe surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home..

Suaranya Adie begitu lembut tak jauh dari penyanyi Aslinya apalagi diiringi kepiawaiannya memetik senar gitar. Selesai penampilan, Adie mengajakku duduk di salah satu bangku taman. Ia membersihkannya sebelum aku duduk.

"Gimana penampilanku tadi?"

"Seperti biasanya"Aku mengacungkan dua jempol.

"Hai, Die!" Seorang wanita berparas ayu bak artis papan atas mengarah ke tempat kami, melambaikan tangannya. Mendadak, aku sedang dikhianati oleh ketidaktahuanku. Siapa dia? Tiba-tiba dia mencium pipi Adie mesra. Diam-diam ada gemuruh di dalam hati. Aku cemburu. Tapi kenapa aku cemburu?

"Hei kalian lagi kencan ya?" tanya lagi. Aku tersadar. Astaga, itu hanya lamunanku. Beruntunglah, Ya Tuhan kamu masih melindungi Adie dari godaan wanita lain, batinku.

"Eh, Amel. Long time no see. Sudah jadi artis ya sekarang." ujar Adie.

"Ah biasa saja. Oh iya ini siapa ya?" ujarnya sambil menoleh ke arahku.

"Kalian belum kenalan ya. Lala, ini Amel. Amel, ini Lala."

Aku setengah tak percaya, dihadapanku berdiri seorang aktris ternama negeri. Dan dia mengenal Adie. Luar biasa.
Ia mengulurkan tangan, aku terima seolah takut mengotori tangannya.

"Kamu ngapain ke sini, Mel?"

"Aku iseng aja. Mau survey lokasi buat syuting nanti. Eh, ketemu kamu deh, Die. Aku sempat lihat kamu tampil. Keren. Kenapa ga ke dapur rekaman aja sih?"

"Aku takut jadi Artis. Takut terkenal. Lagipula aku sukanya di dapur kosan. Banyak makanan" canda Adie. Disusul tawa Amel. Ia izin pamit karena dipanggil seorang laki-laki, kurasa sang manager.

Aku menggenggam erat tanganku sendiri karena kedinginan. Tiba-tiba tubuhku terasa hangat, jaket Adie telah berpindah tempat. Ia melepaskannya

"Kamu nanti masuk angin, Die."

"Gak apa-apa, ada si Jojo yang ngerokin kok. Kalau kamu kan jauh ga ada yang ngerawat kalau sakit.

"Kan ada kamu." Aku keceplosan.

Suasana canggung cukup lama.

Lalu ia memecah kebekuan.

"Ada sesuatu yang harus aku omongin malam ini ke kamu, La."

"Iya." Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Ibarat intro dalam lagu yang kumainkan. Kamu, ialah awal dari perjalananku yang panjang."

"M-maksudnya?" tanyaku tergagap.

"Karena kamu, La. Aku tak mau berhenti bermain musik. Agar kamu menyukainya, bahwa di setiap lagu selalu ada makna yang ingin disampaikan. Dan lagu tadi, aku mainkan spesial untuk kamu. Kamu, adalah rumah dari perasaan cintaku. Yang selalu membuatku ingin cepat bertemu." jawab Adie mantap.

How cute, isn't? Jantung berdebar tak seperti biasanya. Ada yang melesak dalam diri. Ingin rasanya memeluk langsung. Sebelum aku berpikiran ke sana. Tanpa kusadari, Adie telah mengecup pipiku sekejap. Membuatku terpana cukup lama. Pipi terasa hangat.

Hujan perlahan mulai turun. Bukan dari langit tapi dalam hati. Aku tak sedih, kurasa ini hanyalah kebahagiaan tak terbendung. Meluap-luap tak tertampung.

Ia tersenyum, sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tidak ada cela di setiap lengkung tipis bibirnya.

Adie, aku berjanji. Aku tidak hanya menjadi intro, tapi juga menjadi lagu yang kau nyanyikan sepanjang hidupmu.

****

Doddy Rakhmat
20.10.2015

Karam

'Karam'
Ada delapan lembar foto berukuran kecil. Pas untuk di dompet, lalu kita sepakat membaginya sama setengah. Berjanji selalu menyimpannya. Sampai kapanpun, akan tersemat di sana.
Dan di danau inilah pertama kali berjumpa, aku memandangi kembali bergantian foto-foto kita berdua. Ada luka yang menyelinap hati. Tak terasa pipi membasah, beberapa penumpang menoleh. Cepat-cepat aku menyembunyikan wajah sedih.
Matahari membayang permukaan danau. Memecahnya menjadi kilau jingga. Sebentar lagi ia tumbang berganti bulan. Begitupun perahu yang mengantarku sekarang, tidak ada yang berani berkeliling danau di kala malam. Pikiranku melayang ke sebuah restoran seminggu yang lalu.
"Kita putus."
Dua kata yang teramat sakti, membuat sakit hati bagi para penerimanya. Bagai saklar yang mudah  dihidupmatikan, begitukah menurutmu?
Acapkali melihat foto kita yang tersenyum bahagia, tak pernah terlintas bila kau memberi luka padaku.
"Leo, bisakah kau jelaskan mengapa hubungan kita ini harus berakhir?"
Pemuda yang baru saja menyelesaikan gelar sarjana itu mengabaikan pandanganku. Titik air melukis jendela, hujan di luar sana. Juga hujan di dalam hati.
Tanpa memandangku, Kau malah menjawab dingin, "Aku harus pergi ke luar negeri, Patira."
Aku terhenyak, bukan alasan yang cukup menyudahi hubungan delapan tahun lamanya. Tak penting hadiah atau benda yang kami saling berikan, namun waktu. Ya, dua insan yang telah saling mengasihi, akan rela mengorbankan waktunya untuk orang yang mereka cintai. Itu lebih berharga dari apapun. Akhir yang tak menyenangkan hanya menyisakan belati yang menancap di hati. Bahkan aku sendiri tak sanggup mencabutnya.
"Bukankah kita bisa menjalani hubungan jarak jauh?" tanyaku sekali lagi untuk meyakinkanmu.
Kau masih membuang wajah.
"Aku tak bisa."
"Kamu pasti bisa, Leo. Kamu hanya perlu percaya padaku."
Nada suaramu meninggi, "Aku tak mau disiksa oleh jarak."
Dirimu menggebrak meja. Pengunjung yang lain tentu saja terkejut. Kau melangkah pergi menerabas hujan. Membiarkanku sendirian, menangis tersedu tanpa sebuah kepastian jawaban.
Danau kala senja itu menjadi saksi bisu, aku telah mengaramkan kenangan tentangmu. Tentang kita. Empat foto itu pupus semakin jauh ke dasar danau. Dalam genggaman tanganku. Entahlah, apakah engkau masih menyimpan empat lembar lainnya di sana?
~Doddy Rakhmat
19.10.2015

Minggu, 18 Oktober 2015

Alien Salah Jurusan

Jalan depan rumah ramai bukan main, bukan karena presiden lewat. Di ujung gang, di rumah Pak RT lagi ada pesta sunatan anaknya. Panggung dangdutan itu persis menutup jalan, menghalangi lalu lalang kendaraan. Alhasil, semua pemakai jalan memutar arah, tak sedikit juga yang malah terjebak menonton dangdutan. Aku bertanya sama Mang Ali sewaktu lewat depan rumahku, ia menjawab, "Lumayan neng, tadinya mau beli rokok di warung, eh malah dapat hiburan gratis."
"Mah, aku berangkat ke kampus dulu ya!" Teriakan pagi itu menyita perhatian Abah. Masih lengkap dengan sarung dan kaos putihnya, ia keluar sambil membawa helm yang baru dibelinya semalam. Warnanya pink dengan stiker bunga di belakangnya. Bukan aku banget.
"Tuti, pake helm ini. Abah udah beli yang standar. Copot helm kodokmu itu." Perintah Abah tangannya menyodorkan Si Helm Pinky. Tak kuambil. Sengaja.
Aku merengut, tak suka. Setengah hati melepas helm kesayanganku. Baru setengah senti helm terangkat, langsung kukenakan lagi. Dan buru-buru pergi, Abah langsung berteriak. Sumpah serapah untuk anak gadisnya yang tak tahu di untung. Mengejarku sampai luar pagar.
"Jangan merengek ke Abah, kalau kamu kenapa-napa di jalan." ujarnya setengah mengancam.
Aku tak menghiraukannya. Lagipula suaranya sudah kalah dengan pengeras suara musik dangdut acara pak RT. Tiba di perempatan sebelum jalan raya, ada yang memotong jalanku. Belok tanpa lampu sein,hampir saja aku jatuh. Lantas aku berteriak memekakan telinga.
"KALAU BELOK, KASIH LAMPU DONG!"
Abang tukang ojek perempatan ikut menimpali dengan senyum mesem-mesem, Udah neng. Jangan marah-marah, entar cepat tua lho. Disusul gelak tawa abang-abang lainnya. Kalau saja masih banyak waktu, mungkin kuladeni sindiran abang-abang itu. Tapi cepat-cepat aku kembali focus untuk sampai di kampus tepat waktu. Ada Pop Quiz dari salah satu dosen killer, terlambat sedikit bisa mengulang mata kuliah semester depan.
Hampir dekat kampus, lagi-lagi ada yang hampir menyerempetku, kali ini ibu-ibu begajulan. Sudah memberi lampu sein ke kiri, eh malah belok ke kanan. Ini ujian dapat SIM nya remedi atau bagaimana sih? Heran, pikirku.
Beruntunglah, aku tak telat. Kuliah pagi ini lancar jaya. Dan baru sadar, kalau ibu-ibu begajulan tadi itu dosen killerku. Tugas-tugas mingguan masih menumpuk, daripada di kampus. Aku memilih pulang. Jalanan tak terlalu sepi. Belum jauh dari kampus, di sebuah simpang jalan. Ada razia kendaraan dari satuan Polantas. Dua sejoli yang sedang berboncengan mesra tiba-tiba berbalik arah. Aku tertawa melihat tingkah mereka berdua. Si pria sudah keringat dingin, aku sudah bisa menebak, pasti dia belum punya lisensi berkendara. Jadi perlu diingat buat yang mau boncengin pacaranya sambil naik motor atau mobil. Pastikan dulu selain punya STNK juga harus punya SIM, Surat Izin Mencintai, eh Mengemudi.
Simpang itu kulalui dengan aman. Tanpa pemeriksaan. Terbayang masa lalu dulu, si Ayip yang rela memboncengku ke sekolah, padahal kami masih berseragam putih biru. Tentu belum cukup umur membawa sepeda motor, aku mengira itu termasuk salah satu hal heroik. Ternyata nggak sama sekali.
Bruk.
Aku mengaduh. Karena asik melamun, aku tak melihat lubang besar di jalan. Dan terjatuh ke dalamnya. Abang-abang di perempatan jalan tadi ramai-ramai menolong. Syukurlah hanya lecet di tangan dan lutut. Kalau sampai di wajah, kan harus operasi plastik. Aku berterima kasih kepada mereka, impas. Pupus sudah niat pembalasan sindiran tadi pagi.
****
Sepanjang jalan kenangan, kita kan selalu bergandeng tangan..
Sepanjang jalan kenangan, kau memeluk diriku mesra..
Lagu lama diputar dari radio butut milik Abah, ia sambil mengelap helm yang masih mengkilap. Aku sampai di teras rumah. Memarkirkan kendaraan di garasi. Burung-burung peliharaan Abah menyambut dengan celetukan nakal.
"Neng, bagi pin BB nya dong."
Entah darimana burung beo itu meniru, kurasa Abah sering menggoda tukang sayur komplek.
Abah dengan semena-mena mengubah lirik lagunya dengan sedikit memaksa dan menyanyi dengan suara seadanya.
Sepanjang jalan S.Parman, kita selalu pake helm standar..
Sepanjang jalan Sudirman, lampu sorot kita nyala..
"Eh sudah pulang Tut?" sahutnya sesaat kemudian ia menoleh ke arahku. Abah langsung tertawa lepas. Melihat baju dekil plus luka-luka lecet di tanganku. Bukannya ditolongin, malah diketawain, batinku.
"Tuh kan, apa yang Abah bilang. Harusnya tadi nurutin kata-kata Abah. Kualat kan?"
"Abah, kolot banget sih. Kan malu pake helm begitu ke kampus."
"Kenapa musti malu,Tut? Kenapa?"
Mendengar keributan dari teras rumah, Mamah keluar dari balik pintu. Ia membawa sutil penggorengan.  Disusul aroma semerbak ikan asin goreng. Roll rambutnya masih terpasang sejak pagi. Rencananya mau persiapan ke acara pak RT, jadi dandannya harus maksimal. Biar gak kalah sama ibu-ibu komplek yang lain.
"Mah, jelasin ke Abah deh. Dari tadi maksa pake Helm SNI." ujarku mengadu.
Mamah mendelik ke Abah.
"Kamu mau ngebela si Tuti? Ini aku nyiapin perlengkapan buat dia aman berkendara lho, Mah. Helm SNI. Abah kan baru ikutan sosialisasi di kantor lurah. Pak Polisi lalu lintas mengajarkan yang baik untuk masyarakatnya. Eh, kenyataan malah masih banyak yang ngelanggar juga." Abah sambil menunjuk kendaraan yang lalu lalang di depan rumahnya. Ada yang tak pakai helm. Lampu sorot mati. Belok tak pakai lampu sein. Kaca spion yang cuma satu. "Mau dibawa kemana muka Indonesia ini, Mah? Kalau budaya berkendaranya saja masih begitu." lanjutnya lagi.
Mamah hanya diam membiarkan Abah menjelaskan panjang lebar. Ia tahu Abah belum puas menceramahi. Tak berapa lama Jukri, anak tetangga sebelah lewat. Menuntun motornya sambil memegangi kepalanya yang berdarah.
Tuh, tuh lihat si Jukri. Pasti gara-gara gak pake helm tuh. Kepalanya sampai bedarah-darah gitu. Abah menunjuk-nunjuk si Jukri yang lagi lewat.
"Astaga, Juk. Kenapa kepalanya?" tanya Mamah prihatin.
"Biasalah mpok, gara-gara ada yang tawuran dekat sekolah. Eh, malah kena timpuk batu nyasar. Apes. Apes."
"Rasain. Makanya Juk, pakai helmnya. Biar gak tambah berabe urusannya. sahut Abah penuh kemenangan. Jukri menangis sepanjang jalan. Bapaknya terkenal galak. Apa jadinya kalau lihat anaknya macam begitu.
Kembali ke perdebatan yang belum usai. Ikan asin yang di goreng mendesis.
"Iya, Abah. Tuti itu bakal nurut semua yang Abah sampaikan kalau memang sudah tepat waktunya." Ujar Mamah.
Aku diam, tak menatap Abah. Melihat jalanan yang masih ramai. Lututku masih perih bekas terjatuh tadi. Perlahan-lahan aku berjalan meraih kotak obat di ruang tamu. Membersihkan luka, sambil menahan sakit. Abah ikut pindah, Mamah kembali ke dapur menyelesaikan urusan ikan asinnya. Lalu kembali bergabung bersama kami.
"Tepat waktunya gimana? Nih Abah kasih tahu ya, kalau namanya Safety Riding itu banyak manfaatnya. Selain melindungi diri sendiri, juga orang lain. Kalau belok ya harus pasang lampu sein ke arah yang benar. Kalau malam ya harus dinyalain lampu sorotnya, jangan dimatiin. Apa dikira pengemudi di jalan ini bisa sulap kayak di tivi-tivi itu apa, yang pakai ditutup matanya. " jelas Abah menatap kami bergantian.
"Ya itu kalau Tuti sudah dibelikan motor sama Abah. Masa Abah mau suruh Tuti pake helm SNI tapi dianya naik sepeda. Kan lucu, Bah." jawab Mamah.
"Tapi kan harus tetap Safety Riding, Mah. Berkendara itu harus mengutamakan keselamatan." Abah tak mau kalah berkilah.
"Duh, Abah ini apa mau nanti dibilang anaknya gak waras atau gimana sih. Kan Tuti udah benar pake helm sepeda. Nanti kalau kemana-mana pakai itu, disangka Alien salah jurusan lagi." Aku membela diri.
Abah langsung garuk-garuk kepala. Sepertinya tidak gatal, tapi karena malu dan tengsin.
Berkendara secara tertib dan aman bukan saja melindungi diri kita, tapi juga orang lain, orang-orang yang melanggar aturan tertib lalu lintas itu berarti hanya mementingkan ego nya saja. Kita harusnya sadar bahwa jalanan adalah tempat rentan terjadinya kecelakaan, urusannya bisa sampai membuat nyawa melayang. Sayangi diri kita dan keluarga, caranya? Dengan patuh berkendara.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen, 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Minggu, 11 Oktober 2015

Launching Lima Teguk Kopi

Grand Launching buku "Lima Teguk Kopi"

"Tahun baru, buku baru"

Sekarang sudah mulai mendekati akhir tahun, dan biasanya kalau tahun baru itu bakal rame.
Ada yang tau tahun apa? Yap, betul. Kali ini kita akan kedatangan tahun baru Islam "Muharram".

Orang Indonesia itu tipikal orang yang demen banget kongkow dan ngobrol bareng. Apalagi kalau lawan bicaranya itu nyambung dan asik. Pasti bahan bicaraannya ngalor ngidul kemana mana.

Nah, maka dari itu dalam rangka menyambut tahun baru Islam, OWOP mewadahi untuk teman teman semua yang suka kongkow dan belajar nulis.

Acara gathering yang penuh dengan kebersamaan dan bermanfaat.

Yuk datang ke acara "Launching Buku Lima Teguk Kopi."

Tanggal: Rabu, 14 Oktober 2015. (Tanggal merah)
Tempat: Taman Pemancingan Alam Kebun binatang Ragunan. Jakarta selatan.
Jam: 08.00-12.00 WIB.

Dijamin acaranya seru, interaktif, gokil, dan keren.

Acara launching ke 2 terkeren se-Indonesia. Karena kamu bakal dapet:
1. Teman baru.
2. Lomba nulis.
3. Games interaktif.
4. Review isi buku "Lima teguk kopi".
5. Doorprize.
6. Tanda tangan dari penulisnya LANGSUNG.
7. Makan siang bareng penulis.

Waaw, asik bukan? Kapan lagi bisa bercengkrama dengan OWOP-ers? Yuk segera daftar.

Kabar bahagianya,
OWOP menyediakan 1 BUKU untuk kamu yang bisa membawa teman-teman sebanyak mungkin.

So, ayo ajak seluruh teman, sahabat, keluarga, dan sanak saudara kalian semua. Hadiah buku menunggumu ^_^

Cara daftarnya gampang, tingal ketik
DAFTAR_Nama lengkap_No HP_LLTK
Kirim ke
Said (0856-97-160-950)-Whats App/SMS

Apa aja yang harus dibawa pada gathering kali ini?
1. Pulpen dan Note (Wajib)
2. Makan siang (Wajib)

Terima Kasih
Syukron
Thank you

Rabu, 30 September 2015

Lima Menit Selamanya

Telepon itu berdering.

Suasana gelap gulita dan gema pengeras suara dalam ruang bioskop menenggelamkan nada ponsel, tapi aku merasakan getaran. Aku mengeluarkannya dari saku celana.

Dari Mama.

Harus kuangkat, pasti penting. Selarut ini dia menelpon, tentunya bukan hal remeh temeh. Beberapa detik kemudian layar gelap. Proyektor dimatikan. Dua kali aku menonton di bioskop ini dan memang di setiap pertengahan film selalu ada jeda lima menit. Entah itu untuk mempersilahkan penonton ke kamar kecil atau kepentingan lainnya.

Aku punya waktu lima menit.

"Halo Zid."

"Halo, iya ma."

"Kamu sehat-sehat saja kan?"

"Sehat ma, mama belum tidur jam segini?"

"Mama tak bisa tidur. Bayangan Ayahmu selalu ada. Mama kesepian."

Orang yang duduk disampingku memasang sikap seolah ingin tahu pembicaraan yang berlangsung. Hei bung, dimana sopan santumu. Menguping sama saja dengan mencuri, umpatku dalam hati. Aku memelankan suara.

"Mama kan sedang bersama Ayah. Kenapa harus tak bisa tidur?"

"Kemana saja dirimu Nak, atau apa yang terjadi dalam hidupmu?"

"Apa maksud Mama? Aku tak paham."

Mama menghela nafasnya, "Ayahmu sudah tidak ada.

"Mama tahu kamu sedang menonton di bioskop. Melihat gambar dirinya di layar itu. Tapi terimalah Zidan, Ayahmu sudah tak ada. Kamu pulang ke rumah ya nak." Ujar Mama membujuk.

Empat menit tiga puluh detik.

"Mama sedang tidak bercanda kan, bagaimana mama tahu aku sedang di bioskop?"

"Nak, mama selalu mengkhawatirkan anak laki-laki yang setiap malam keluar, ke tempat yang sama, menonton film yang sama, hanya untuk mendengarkan suara dan gerak gerik Ayahnya di sebuah layar lebar. Dan kamu tidak sedang menonton sendirian kan?"

"Tidak ma, ramai sekali yang menonton disini."

"Sampai kapan kamu mau menyendiri Zidan, luka itu tidak akan sembuh bila dirasakan sendiri tanpa ada yang mengobati."

Lima menit tepat.

Aku termenung lama, suara Mama lamat-lamat menjauh. Ternyata layar dihadapanku sempurna gelap, lampu ruangan nyala sedari tadi. Tinggal aku sendirian. Ternyata aku tidak sedang menonton. Aku hanya sedang berdamai dengan kenyataan.

Kadang kita tidak serta merta menerima sebuah kenyataan dengan begitu mudah. Sakit, pedih, perih menyayat hati tak terperi. Tapi ingatlah pepatah lama, semua rasa sakit ada penawarnya. Penawar itu bagiku ialah memberikan perhatian untuk orang yang masih peduli dengan adanya kita. Kita tidak pernah benar-benar sendirian.

~doddy rakhmat
27.09.2015

Minggu, 27 September 2015

Manusia Salai

Manusia Salai

Aku tinggal di sebuah kampung bernama Salai. Sebut saja namaku Daja. Hanya perantauan yang mencoba peruntungan di negeri orang. Tepatnya di tanah Borneo. Sebenarnya kampung itu baru saja dinamakan demikian. Karena atas ide kepala desa yang sudah letih menghadapi musim baru di kampungnya itu.

Pagi, siang, malam. Di luar maupun dalam rumah kami semua harus menghirup asap nan pekat. Warnanya tak lagi putih melainkan kuning. Seperti warna langit senja. Padahal pagi baru beranjak menuju siang. Kemana-mana warga kampung tak peduli lagi dengan masker atau semacamnya. Asap-asap itu ibarat oksigen yang hilir mudik di paru-paru mereka. Beberapa kadang terbatuk-batuk, kerongkongan perih, atau mata memerah. Termasuk aku.

Sepulang dari mengurus ladang untuk ternak, aku singgah di warung kopi Bang Jo. Segelas kopi hitam pekat dengan kue basah di atas tampah semakin nikmat dilengkapi dengan bincang-bincang.

"Daja, di daerahmu dulu pernah kena asap seperti ini juga?"

"Wah ndak pernah sama sekali bang."

"Beruntungnyalah kalian di pulau seberang sana ya. Lama-lama kami disini jadi manusia salai."

"Kenapa begitu bang?"

"Habisnya kami diasapi mulai pagi sampai malam, hahaaha."  Bang Jo tertawa. Tidak lucu, tapi ia menertawakan kenyataan yang harus dihadapi. Dan satu-satunya cara ialah dengan tertawa, mengadu ke pak lurah pun percuma. Karena Jawabannya pun teramat pasrah, "Kita tunggu saja pemerintah membuat hujan buatan. Sementara kita hidup seperti biasa saja."

"Dan kau tahu apa yang lebih menguntungkan dari asap begini Ja?"

"Apa itu bang?"

"Aku bisa menghemat rokok, tinggal hirup saja asap yang ada. Sama toh?, hahahahaha" Sekali lagi Ia tertawa. Aku hanya menyengir.

"Kenapa ya pemerintah sini, tak usahlah kita bilang pemerintah pusat nun jauh disana. Tidak cepat menindak si pembuat asap ini. Logikanya kan sederhana, ada asap ada api. Darimana mereka berasal tentulah dari sesuatu yang dibakar. Apa mungkin apinya tidak kelihatan ya, menjalar di bawah karena ini tanah gambut?"

"Entahlah Ja, kurasa mereka bernafas tak lagi pakai paru-paru dan hidung, hahahaha. Dan kurasa api itu juga bukan hanya membakar lahan saja. Tapi diam diam juga rasa peduli mereka."

Mungkin perlu bergelas-gelas kopi di warung Bang Jo berdebat perihal siapa yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa kampung kami. Tidak akan ada habisnya.

Entahlah berapa lama lagi kami bertahan di kampung ini, kudengar di daerah kota semakin parah. Itu berarti tidak ada tempat untuk sembunyi atau menghindar. Aku menobatkan asap menjadi Massive Silent Killer, aku suka pelafalannya. Sisa-sisa pelajaran bahasa inggris melekat di pikiran. Tak rugi aku berpendidikan.

Dan di luar sana jauh dari kampung salai aku percaya, tentu masih banyak orang berpendidikan yang tidak berdiam diri saat saudaranya dibunuh pelan-pelan. Dibunuh oleh ketidakpedulian, keserakahan dan ketamakan. Asap.

~doddy rakhmat
27.09.2015

Selasa, 22 September 2015

Lima Teguk Kopi

[Pre order : Lima Teguk Kopi]
Inilah 23 cerita tentang bagaimana cinta yang terlepas dari genggaman. Tentang menghadapi sebuah kenyataan. Cinta tak selalu perihal manis, sesekali ia juga pahit seperti kopi tanpa gula.
Dikemas secara apik dalam sebuah buku antologi Lima Teguk Kopi karya 20 penulis muda dari komunitas menulis One Week One Paper nasional dan 3 penulis kenamaan indonesia (Brili Agung, Oddie Frente dan Raditya Nugi)
Cerpen saya Lima Teguk Kopi menjadi pembuka sekaligus judul buku tersebut.
Buku ini terbit awal Oktober 2015
Apa Benefit yang Anda dapatkan jika pesan sekarang.
1. Lebih Murah, karena harga akan naik setelah masa Pre-Order pertama.
2. Bonus Ebook 7 Langkah Membangun Personal Branding
Hanya dengan Rp 50.000 (belum termasuk ongkir)
Pemesanan via
Line : doddyrakhmat
WA : 085319670016
Sms : 085319670016
Format pemesanan :
Nama Lengkap :
Alamat Lengkap :
No.HP :
Jumlah Pesanan:
Total biaya dan no.rekening yang harus ditransfer akan dikirimkan setelah melakukan pemesanan. Demikian juga dengan bonus e-booknya.
Lima Teguk Kopi.
"Sesapi setiap teguknya, temukan cerita di dalamnya."

Minggu, 20 September 2015

Dicari Tulang Rusuk Yang Hilang

DICARI TULANG RUSUK YANG HILANG. Tulisan besar di selebaran yang dibagi-bagikan seorang pemuda di pinggir jalan. Pakaiannya rapi mentereng, rambutnya klimis, sepatu mengkilat, kumis dan jambang tipis di wajah. Ia tidak banyak berbicara. Hanya membagikan selebaran warna warni itu ke orang-orang. Kepadaku salah satunya. Di atas selebaran itu tercetak nama dan kontak serta siluet seorang gadis. Tidak ada reward yang ditawarkan. Aku bergegas kembali dan menghampiri pemuda itu namanya. Nayan Ridho.

"Siapa yang membuat selebaran ini." Aku bertanya kepadanya.

"Aku."

"Benarkah? Kenapa?"

"Aku sudah terlalu lelah dicerca pertanyaan kapan menikah dari keluargaku. Lalu aku berinisiatif membuat selebaran ini. Siapa tahu bisa membantu."

"Menarik. Mengapa demikian?"

"Mungkin saja salah satu dari yang memberi sedikit perhatian pada selebaran itu bisa memberitahu sanak famili atau teman mereka."

Sebagian dari mereka yang lewat hanya sekadar menerima, membaca lalu membuangnya. Kurasa pupuslah sudah harapan dan angan pemuda itu. Ternyata tidak. Sesaat kemudian, Nayan berteriak kegirangan, seseorang menelponnya.

"Hey dude, aku baru saja mendapatkan telepon dari seorang wanita." Ia berteriak girang ingin didengarkan oleh orang-orang.

"Dan dia berkata dialah tulang rusuk yang selama ini aku cari."

Ia pergi menghambur selebarannya ke langit. Kertas warna warni itu jatuh perlahan dan menyisakan aku yang sedang berdiri dibaliknya.

Tiba-tiba aku juga terpikir, apakah aku harus mencoba cara yang sama untuk mendapatkan tulang rusukku yang hilang?

Kurasa mencari jodoh juga perlu dibarengi dengan ikhtiar, bukan hanya menunggu.

~doddy rakhmat
20.09.2015

Tak Selamanya Cantik

Selepas senja, aku berjalan sebentar di komplek Ayasofya Camii. Ini kali pertama kali aku mengunjungi tanah Turki. Ada suatu alasan yang mendorong langkahku untuk menyambangi kota yang identik dengan penganan kebab ini, tapi aku tak tahu apa.

Aku berhenti sejenak di kedai teh. Sekadar ingin tahu rasa teh di negeri ini. Menikmati riuh para turis dan warga yang hilir mudik. Berbicara dengan bahasa asing dari belahan dunia masing-masing.

Tiba-tiba, mataku tertumpu pada satu titik di seberang kedai teh tersebut. Seorang perempuan dengan garis wajah yang rupawan. Hidung mancung melancip. Bibir tipis. Dan rambut panjang berwarna hitam diikat rapi. Bajunya semacam rompi panjang yang warnanya lusuh.
Ia duduk bersimpuh. Menunggu belas kasih di sebuah mangkuk plastik.

Aku tertarik untuk mengenalnya. Apakah dia pengemis? Atau seorang artis yang sedang menjual paras menawan?

Kuberanikan diri mendekati perempuan yang umurnya sebaya denganku itu. Dia tersenyum.

"Can you speak english?" Tanyaku.

"Ya, a little bit." jawabnya. Kemudian aku mulai bertanya.

"Boleh tahu namamu siapa?"

"Aya, tuan."

"Sudah lama 'bekerja' disini?"

"Sudah."

"Mengapa kamu lebih memilih menjadi seperti ini? Bukankah kamu itu cantik?" Aku agak ragu saat mengatakan kata terakhir. Takut ia merasa risih seolah dirayu turis asing.

"Ternyata menjadi cantik hanya berakhir ke sebuah mangkuk plastik yang kupegangi setiap hari." Ujarnya.

"Andai saja dirimu pergi ke negara kami."

"Mengapa dengan negaramu? Cantik adalah segalanya. Cukup memasang sedikit pose, dipotret lalu mendapatkan uang."

"Tuan sedang membawa kamera bukan?"

"Eh, iya benar."

"Nah silahkan saja potret saya. Siapa tahu saya bisa mendapat sedikit uang dengan itu."

Lidahku kelu. Hati terasa Basah. Ingin rasanya kutumpahkan air mata saat perempuan itu berbicara demikian. Aku merasa dipukul balik dari ucapanku sebelumnya. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana kalau hari ini kamu mengajakku berkeliling? Saya baru saja tiba. Dan belum mendapat tour guide?"

"Baiklah, tuan." Ia mengemas barang-barangnya ke dalam tas sandang. Badannya lebih tinggi sedikit daripadaku.

Aya mengajakku berkeliling malam itu. Ia menceritakan keluarganya dan kehidupannya. Ternyata ia adalah seorang yatim piatu. Keluarganya yang lain terlahir dengan kulit sawo matang, lalu menganggap Aya bukan bagian dari silsilah keluarganya. Ia pun sebenarnya tidak ingin menjadi pengemis. Menurutnya, mangkuk plastik yang ditunggui oleh seseorang berpakaian lusuh juga bisa mendatangkan uang. Banyak turis-turis yang mengajaknya berkeliling seperti ini. Tapi semuanya berakhir dengan tawaran-tawaran nakal.

"Mengapa kamu mau menemani saya berkeliling?"

"Saya rasa tuan bukan orang jahat." Jawabnya singkat.

Sebelun tengah malam, aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami berpisah di depan Ayasofya Camii, aku memberikan sejumlah uang atas tourguiding yang berkesan.

Satu hal yang aku pelajari malam itu.

"Kecantikan bukanlah alat untuk meraih segalanya. Karena ia bukan materi yang bisa dijual beli. Tak selamanya cantik itu perkara fisik."

Keesokan harinya aku mendatangi lagi tempat itu. Sudah tidak ada Aya disana. Tidak ada lagi perempuan dengan mangkuk plastik.

~doddy rakhmat
20.09.2015

Jumat, 18 September 2015

Negeri Bekicot

-Negeri Bekicot-
Namanya Lahap. Ia punya meja makan di atas ranjangnya. Tempat dia mendengkur pun disitu pula tempatnya mengunyah bubur. Pagi, siang, malam ia makan disana. Tidak perlu meja makan seperti orang normal punya.
Konon Lahap akan membuka Rumah Makan Ranjang pertama di negeri Bekicot. Negeri penuh orang lamban. Ia yakin usahanya akan laku keras. Ia tahu negeri yang penuh manusia-manusia tertinggal sejenak ke belakang ini pasti mengunjunginya. Bangun tidur, langsung menuju Rumah Makan Ranjang. Tak perlu lagi memasak di rumah. Semua tersedia di atas ranjang.
Tibalah hari pertama pembukaan rumah makan Ranjang, lusinan ranjang diatur posisi di sebuah ruko seperempat luas lapangan bola. Ranjang-ranjang itu dihiasi ornamen-ornamen klasik. Layaknya singgasana raja. Pelayan-pelayannya mengenakan baju piyama, mereka buka 24 jam. Kapanpun tamu datang mereka layani.
Suatu hari, mereka didatangi oleh saudagar kaya raya di negeri Bekicot. Namanya Sius. Ia memesan ranjang tingkat dewa. Tentunya karena banyak uang. Ia memesan beragam makan sekaligus untuk seorang diri.
Lahap menyamar menjadi pelayan malam itu.
"Tempat ini bagus. Siapa pemiliknya?"
"Aku."
Sius menatap remeh. Ia lalu menawarkan uang tak terhingga untuk membeli Rumah Makan Ranjang. Tapi Lahap menolak. Ia tak perlu banyak uang. Karena baginya sekumpulan uang bisa menjadi musuh. Menguasai diri.
Karena kesal, tak menerima, Sius membuat pernyataan bahwa ia akan membuat restoran Lahap bangkrut. Serakah hanya membutakan segala rasional. Lahap mempersilahkan, ia menerimanya secara jantan.
Berminggu kemudian, restoran Lahap tutup. Bukan karena bangkrut. Tapi karena Sius diangkat menjadi penguasa negeri Bekicot. Ia memerintahkan semuanya untuk beraktivitas di Ranjang.
Kini jalanan negeri Bekicot lengang pun gedung-gedung perkantoran, gedung anggota dewannya. Karena mereka semua makan, tidur, bercinta, bekerja , rapat cukup di atas ranjang. Jadi tak perlu lagi mereka tidur di meja rapat. Yang mereka perlukan hanyalah ranjang.
Hanya di Bekicot, negeri manusia lamban. Ranjang adalah segalanya.
~doddy rakhmat
17.09.2015

Ada Burung Dalam Pikiran

Ada Burung Dalam Pikiran
Kepakan sayapnya terburu-buru, terbang tak beratur. Kurasa ia buta. Seekor burung ringkih beterbangan dalam pikiran.  Mengusirnya bukan pilihan. Ia hanya terus terbang berpindah-pindah, menabrak dinding-dinding, tanpa mau tahu jalan keluar walau ia sudah tahu. Ia rela tersesat demi hanya untuk terbang bebas.
Mengurung diri dalam jeruji. Tidak nafsu melihat pintu terbuka. Sesekali pemburu berhasil menjeratnya, terluka, kemudian ia terbang ke pikiran yang lain. Dan menyembuhkan luka disana. Lalu beterbangan lagi. Begitu seterusnya sampai ia lelah. Butuh sangkar untuk mengistirahatkan acara terbang bebasnya.
Tak semudah yang dipikirkan. Di dalam perjalanan ia letih. Mendarat di tanah, ia mulai kehilangan arah. Ia rindu terbang dalam pikiran. Ia rindu dihalau. Ia rindu dikejar. Tapi ia tak rela terluka.
Siapapun. Cepat atau lambat, pikiran kalian akan dihinggapi burung ini. Membuat insomnia siang dan malam. Ini bukan burung biasa, perihal ini yang disebut dengan cinta.
~doddy rakhmat
17.09.2015

Rabu, 16 September 2015

Setoples Kunang-Kunang

Dan setoples kunang-kunang itu digendong dan ditimangnya. Berjalan menyusuri setapak berbatu. Melintasi kota yang kala malam dibunuh sunyi. Anaknya hilang, anaknya berubah menjadi setoples kunang-kunang. Ratih, orang memberi namanya demikian. Sering merintih, menangis ditinggal suami dan anaknya.
Ia akan berdiri lama di depan sekolah, di depan panti asuhan, di depan taman bermain anak. Menjelang malam kunang-kunang itulah yang menjadi juru kemudi hidupnya. Menerangi kehampaan yang ia bawa.
Hanya berharap belas kasih para tetangga atau warga kota yang sedang bernasib mujur memberinya makan.
Sisanya ia akan berjalan jauh kembali dengan setoples kunang-kunang.
Serangga berpendar yang dibawanya itu lebih baik baginya daripada seekor anjing atau kucing. Ia tak menuntut minta makan. Hanya bercahaya lalu redup selamanya. Ada tiga puluh kunang-kunang dalam stoples, tiap hari berkurang satu. Kini tinggal tiga kunang-kunang beterbangan didalamnya.
Tiga hari lagi, maka habislah sudah anak-anaknya. Lenyaplah sudah statusnya sebagai ibu. Iya bertanya bagaimana Tuhan teramat tega menggantikan anaknya dengan setoples kunang-kunang.
Namun Tuhan tak pernah menjawab Ratih, karena ia hanya bertanya, bertanya, bertanya namun telah lupa dengan hakikat berdoa, berdoa, berdoa.
Kunang-kunang terakhir telah redup. Ratih mengubur setoples jasad kunang-kunang di dekat danau. Lalu, ia menyiramnya. Seolah-olah itu adalah tanaman. Berharap tumbuh dan berbuah bayi-bayi yang lucu.
~doddy rakhmat
16.09.2015

Rabu, 09 September 2015

Ajari Aku Jatuh Cinta (Lagi)

Cinta adalah sebentuk multitafsir. Setiap orang menerjemahkannya dengan definisi berbeda-beda. Ada yang bilang cinta itu tentang memiliki. Pengorbanan. Ada juga yang menyebutnya luka. Mungkin cinta dipengaruhi oleh masa lalu. Apa yang pernah ia alami dan rasakan.
Pukul jam 11 malam, aku disambut oleh rumah yang gelap. Hanya ada makanan tadi siang yang tak sempat kusantap di atas meja. Aku merebahkan diri di atas kasur. Satu hari lagi terlewati. Satu hari sendiri. Lagi.
Kadang saat sendiri orang-orang sepertiku memahami bagaimana cara mencintai diri sebelum mencintai orang lain. Sejujurnya aku ingin jatuh cinta. Lagi. Tapi aku betul-betul belum siap untuk terluka kembali.
Baru kuselesaikan salah satu buku yang kubeli saat di kota tadi. Entahlah cara membunuh waktu yang paling kusukai adalah dengan membaca. Sejak setahun silam aku mulai mengumpulkan buku-buku yang hanya satu kali aku baca. Setelahnya mereka tersusun di lemari kaca. Sebuah catatan kecil aku temukan di salah satu buku pemberian seorang wanita yang ku tak tahu parasnya. Saat itu aku duduk di bangku taman. Wanita itu tiba-tiba melemparkan ke pangkuanku sebuah bungkusan rapi. Ia bergegas pergi dengan sepeda.
Aku membukanya sampai di rumah. Menyadari buku ith seolah ditulis olehnya. Dan entah mengapa aku merasa jatuh cinta. Kepada orang yang tak kukenal. Tapi aku mengenal baik dirinya dari buku yang diberikan.
Karena itulah setiap sore sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan singgah ke taman. Menunggu. Berharap ia akan kembali. Nihil. Namun hari ini, aku tak sempat menungguinya. Karena ada pekerjaan tambahan di kantor. Ya hanya menunggu. Bagiku cinta adalah menunggu. Sesederhana itu.
Aku memeriksa setiap toko buku. Berharap menemukan informasi tentang si penulis buku yang kubawa selalu kemana-mana itu. Tapi tidak ada satu pun yang mengetahui. Betapa asing dan misteriusnya wanita itu membuat aku semakin ingin tahu.
Lalu aku temukan titimangsa di salah satu tulisannya. Tertulis alamat dan tanggal ia menyelesaikan bukunya itu. Baru kali ini ada penulis menuliskan alamatnya dalam buku. Heran juga setelah sekian lama aku baru menyadari. Dan saat aku baca.  Astaga ternyata, alamat itu tepat di seberang jalan rumahku. Aku mengenalnya. Ya aku mengenalnya.
Lalu aku membuka tirai jendela melihat ke seberang jalan. Ia ada disana. Sedang duduk di teras rumah. Dan melemparkan senyum ke arahku.
Baginya cinta adalah menunggu. Dan bagiku cinta adalah mencari. Terima kasih telah mengajariku jatuh cinta (lagi).
~doddy rakhmat
09.09.2015

Senin, 07 September 2015

Aku Yang Dinikahkan

'Aku Yang Dinikahkan'

Warung kopi, sebuah kafe di tengah kota. Menghabiskan obrolan tak berguna antara aku dan Roy dari masa sekolah sampai kerja.

"Ah gila kali kau Jo. Zaman sudah android masih aja dinikahin. Sebegitu parahkah kehidupan cinta kau?"

"Sial kau Roy. Mana mungkin aku mau dinikahkan, palingan aku kabur."

"Tak yakin aku kau berani melawan Ayah kau itu."

Aku terdiam. Benar apa yang dibilang Roy, aku tak akan pernah berani menentang apa yang dikatakan Ayah. Melawan berarti durhaka. Pantang aku mematahkan keputusannya. Tapi kali ini aku berpikir dua kali. Apa kata orang seorang pejantan dari tanah sumatera seperti ku dinikahkan dengan seorang gadis konglomerat yang fisiknya , jauh dari apa yang aku idamkan.

"Heh, melamun aja kau. Udah lupakan acara perjodohan itu."

Kami melanjutkan permainan menghitung mobil lewat.

Aku pulang belum terlalu larut. Ayah duduk di ruang bacanya. Menyambut kedatanganku. Buku bacaannya ia tutup. Tebalnya cukup membuat bengkak muka jika dilemparkan.

"Dari warung kopi itu lagi Jo?"

"Iya yah."

"Duduk dulu, ada yang mau Ayah bicarakan."

Pasti tentang perkara pernikahan lagi, pikirku. Aku menghempaskan badan ke sofa. Ayah mulai membuka pembicaraan seriusnya.

"Apa kau sudah siap dinikahi oleh Siska, Jo?"

"Ehm, iya yah." Jawabku setengah hati.

"Sebetulnya ini adalah impian dari dulu Jo. Aku ingin sekali anak-anak Ayah dinikahi oleh konglomerat, bangsawan, berdarah biru."

Sebuah impian gila, pikirku lagi. Siapa yang punya impian, siapa yang kena getahnya. Hari itu akhirnya tiba. Siska dan keluarganya mendatangi rumahku. Aku mengajaknya ke tepi kolam di belakang rumah. Rasanya aku ingin menceburkan disana, namun aku urungkan niat. Selain dingin, hanya akan membuat malu keluarga.

"Bang Jo, maukah menikah denganku?" Tanya Siska malu-malu, persis seperti remaja baru jatuh cinta.

Aku gemetar. Seumur hidup ini adalah momen aneh yang pernah terjadi. Dan aku harus menjawab iya.

"Iya. Aku bersedia."

Semua tiba-tiba berubah begitu cepat. Penghulu, ruang resepsi, penyanyi dangdut. Memenuhi kepalaku. Aku mengenakan jas hitam dan Siska dengan gaun putih pengantin.

Siska menjabat tangan penghulu. Sebelum ijab kabul terucap, aku menarik tangannya. Ganti aku yang menjabat tangan si penghulu. Adegan tarik menarik pun terjadi. Penghulu berdiri, bangkit dari duduknya dan memarahi kami berdua. Suara dangdut tiba-tiba semakin keras memekakkan telinga. Begitu familiar suara itu dan aku tersadar suara itu dari alarm telepon genggamku. Berulang-ulang.

Sampai aku menekan tombol 'dismiss' dan semuanya berakhir. Aku terbangun. Syukurlah.

~doddy rakhmat
06.09.2015

Minggu, 06 September 2015

Serial Ode dan Ara part 2 : Identitas.

"Bagaimana jika seseorang hidup dengan identitas palsu. Apakah artinya mereka memalsukan kehidupan? Kali ini akan lebih sulit, aku dan Ara memalsukan takdir."
Arunika tampak bersahabat, menyambut teramat hangat. Hari ini aku dan Ara akan pergi ke perpustakaan. Mencari referensi untuk tugas sekolah. Alarmku berdering dengan nada yang lain. Sesuatu yang janggal.
"Oh tidak." Aku berteriak, terjatuh dari tempat tidur. Menyadari aku sedang tak berada dalam kamarku. Warna biru muda melapisi dinding kamar. Seingatku kamarku berwarna hitam. Sejak kapan berubah warna? Apakah Paman Yon mengubahnya dalam semalam? Mustahil.
Di atas meja kamar, ada sebuah figura kecil. Gadis dengan rambut kuncir tersenyum dari sana. Astaga, bukankah itu Ara saat kecil? Ini berarti adalah kamarnya. Tapi aku tak bisa mengingat bagaimana aku bisa sampai masuk ke dalam rumahnya.
"Aaaaaaaaaa" Terdengar teriakan dari seberang jalan. Dari rumahku. Aku bergegas keluar, dalam pikiranku sudah jelas aku sedang dikerjai oleh Ara.
"Hei Ara, kamu mau pergi kemana?" Seseorang menegur sebelum aku memutar gagang pintu rumah. Aku menoleh, Bibi June sedang menyantap sarapan di meja makan.
"Ara?" Aku bertanya dalam hati. Tidak mungkin. Tiba tiba aku merasakan sesuatu hal buruk terjadi.
"Aaa.. Aku mau keluar sebentar Bi." Jawabku gugup.
Segera aku berlari keluar. Dan hal buruk sekaligus ajaib itu benar adanya. Aku melihat seorang perempuan di pantulan kaca jendela rumah. Perempuan yang sangat familiar. Ara.
"AAAAAAAAAAAA" Aku menjerit setelah mendapati aku di seberang jalan.
"Ara."
"Ode."
Kami memanggil bersamaan. Jalanan lengang. Aku dan Ara bertemu di tengah jalan. Memandangi aneh sekaligus meratapi apa yang terjadi. Pertanyaan terbesar.
Bagaimana bisa.
"Bagaimana ini bisa terjadi Ode?"
"Entahlah aku juga tak paham." Suara yang kami keluarkan adalah suara masing-masing. Ode bersuara Ara dan sebaliknya. Tapi dalam diri kami masing-masing mendengarkan suara yang asli.
"Aku takut Ode. Cepat atau lambat Paman dan Bibi kita pasti tahu apa yang terjadi." Ara terlihat khawatir, ada kelucuan saat melihat diri kita didiami oleh orang lain. Ode kini terlihat sedikit feminim, dan Ara lebih maskulin.
"Sampai kapan kita merahasiakan hal ini?"
"Bagaimana sampai besok? Aku harap semua berubah setelah bangun dari tidur esok pagi."
Kami akhirnya bersepakat menjalani satu hari pertukaran raga itu. Namun sungguh miris, keesokan paginya kami masih tak berubah. Semua terasa canggung. Saat berada dalam kamar wanita dan mengenakan pakaian mereka.
Aku menemui Ara lagi. Ia tampak sedih. Baru kali ini seorang Ode menangis. Lekas aku menarik tangannya, mengajaknya berjalan ke tengah kota. Aku tahu sebuah pantangan bila perempuan membonceng laki-laki naik sepeda. Aku tahu Ara tak bisa mengendarainya walau ia memiliki tubuhku.
Kami memilih kafe tak ramai pengunjung. Namanya Atlantis. Seperti negeri yang hilang. Kuharap semua masalah kami hilang disana.
"Sekarang apa yang harus kita perbuat? Kau tidak sedang berbuat lelucon kan Ode?"
"Tentu tidak, menukar tubuh apakah itu terlihat sebagai sebuah lelucon?" Jawabku sedikit emosi.
"Apa artinya kita sekarang sedang memalsukan takdir. Menukar kehidupan yang harus kita jalani?"
"Entahlah Ara, aku sedang memikirkan bagaimana ini bisa terjadi. Sebaiknya kita ke bukit dua hari lalu. Mungkin ada sebuah petunjuk disana."
Beberapa saat kemudian kami tiba ke tempat yang baru aku ciptakan beberapa hari lalu. Pohon itu kering. Kehilangan dedaunan rindangnya. Padahal baru dua hari lalu daun hijaunya masih tampak segar. Aku mengelilingi pepohonan dan menemukan sebuah gundukan kecil. Tanpa ragu aku menggalinya, dan menemukan sebuah dua buah liontin berbentuk hati.
"Apa itu Ode?"
"Dua buah liontin. Aku akan membukanya."
Saat aku membukanya kami berdua terseret masuk dalam pusaran, sekeliling kami ikut terbawa ke dalam dua buah liontin itu.
Kepalaku pusing. Ajaibnya aku melihat Ara yang terbaring di sampingku. Akhirnya kami kembali.  Ara terbangun dan menyadari bahwa dirinya juga telah kembali normal.
Liontin itu tersemat di leher kami. Tidak ada yang berubah dari sekitar. Namun sebuah suara memasuki pikiran kami, berbicara langsung.
"Selamat bagi kalian Ode dan Ara. Liontin itu adalah benda galaksi yang teramat langka. Tercipta sepasang dan tak terpisahkan. Barangsiapa yang saling menukar dan memakainya maka secara langsung kalian akan bertukar takdir. Seperti yang kalian rasakan sebelumnya. Liontin itu kami namakan Life and Death. Pergunakanlah secara bijak."
Kami saling berpandangan. Memegang liontin berwarna hitam yang kumiliki, dan Ara dengan warna putih kepunyaannya. Apakah ini sebuah bencana?
*****

Senin, 31 Agustus 2015

Tidak Ada Penulis Yang Kaya

Judul di atas memang ada benarnya. Beberapa penulis sudah menuturkan perihal yang sama di tulisan pernah yang saya baca.

Jika diibaratkan sebuah pabrik, penulis menciptakan sendiri bahan baku utama apa yang nanti ia akan bagi ke orang-orang.  Keuntungan dari kontrak penerbitan, hak cipta untuk dijadikan film, atau event-event baik secara on maupun off air tidak membuat seorang Penulis menjadi milyarder. Tidak. Lantas mengapa masih banyak orang yang mau menulis?  Mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan suara-suara dalam pikiran. Mengubahnya menjadi sebuah cerita yang tumbuh dalam diri orang lain. Mereka bahagia, ada yang mau membaca dan tergerak karenanya.

Penulis bisa dikatakan berhasil menjadi orang yang disiplin, mengakui kesalahan serta memperbaikinya. Mengapa demikian? Menulis sebuah buku tentunya memiliki tujuan akhir. Yaitu naskah selesai dan pesan yang disampaikan dapat diterima oleh pembaca. Selanjutnya naskah mentah itu diajukan ke penerbitan. Tentunya para editor bekerja keras menyeleksi naskah yang masuk kemudian akan mulai menyunting naskah yang terpilih. Disitulah tenggat waktu ditetapkan, para penulis harus disiplin menyelesaikan revisi. Lalu, mereka harus 'nrimo' naskah awal mereka dicorat-coret. Beberapa bagian di buang, di ganti, dipadatkan. Namun pada akhirnya semua proses itu akan menghasilkan sebuah buku yang matang dan berkualitas.

"Royaltinya berapa sih?"

Pertanyaan ini sering muncul di lingkungan sekitar penulis. Royalti yang ditetapkan dalam sebuah kontrak penerbitan bisa sampai 15 persen dari hasil penjualan buku. Jika harga tersebut Rp 40.000 maka royaltinya berkisar Rp 5.000- Rp 6.000. Jadi ibarat berjualan seorang penulis tentunya senang jika buku mereka dibeli karena menghargai proses dan jerih payahnya. Menyambung tinta pena ke karya selanjutnya.

Bersyukur jika buku kita bisa menjadi best seller. Tentunya keuntungan secara moril dan materiil akan diperoleh. Terlepas dari itu semua, pada dasarnya menulis tujuan utamanya bukanlah memperkaya diri dengan harta namun memperkaya diri dengan ilmu.

Bagaimana menikmati kehidupan kemudian menuliskannya ke dalam deretan huruf. Menjadikannya kenangan paling indah di kehidupan. Meninggalkan sesuatu yang abadi demi orang banyak. Sesuatu yang abadi itu ialah tulisan. Ia akan selalu hidup dalam apa yang ia tuliskan.

*Doddy Rakhmat
Penulis buku Sebuah Pintu Yang Menunggu Jawaban.
www.doddyrakhmat.com

Minggu, 30 Agustus 2015

Orang Asing (Episode 1 serial Ode dan Ara)

Ara, tunggu di halaman rumah. Aku akan menjemputmu sebentar lagi.
Aku mengirimkan pesan singkat kepada sahabatku yang tinggal di seberang jalan. Hai perkenalkan namaku Ode. Menyebutnya seperti huruf e dalam kata 'dengan'.  Aku menunggu di depan rumah Ara. Ia muncul dari balik pintu. Menemuiku penu riang seperti biasa.
"Angin hari ini kamu namai siapa De?" 
Aku bergumam, "Kemenangan. Giliranku, embun pagi kali ini kau sebut apa?"
"Rindu yang basah."
Ara menaiki sadel di belakang sepeda. Ia mengenakan topi rajutan berwarna biru muda. Senyum dua jarinya masih sama, tak berubah. 
"Hei, jadi berangkat atau tidak?" Ara menepuk pundak, mengagetkanku. 
"Eh, iya iya." Sahutku gelagapan. Bergegas mengayuh sepeda. Kayuhan pertama cukup berat. Aku menyeletuk,
"Makan apa sih Ra, rasanya makin hari makin berat."
"Ah masa sih... Aku kan sudah diet Ode." Ara menggerutu. 
"Diet gak minum kali ya, hehehhe." lalu Ara memukul pundakku. Kami menyusuri jalan komplek yang lengang. Hanya ada opa Afdi di perempatan jalan. Memotongi bonsai di halaman rumahnya. Seperti biasa kami berteriak memanggil seraya melambai tangan ke arahnya. Opa Afdi hanya menggeleng.  
"Kita kemana De? Cafe biasanya?" 
"Nggak lah, tungguin aja. Kejutan lah."
Ara diam saja tak menjawab. Ia memelukku lebih erat. Jalan sedikit berbatu dan terjal. Aku mengarahkan sepeda ke luar dari kota. Tak jauh dari sana, ada sebuah padang rumput yang luas. Sebuah pohon tumbuh dengan rindang. Daun-daunnya sesekali bergesekan terembus angin. Beberapa kayuhan terakhir cukup menguras tenaga. Kami naik ke sebuah bukit yang tak begitu tinggi. Beberapa kali hampir saja kami terjatuh.  
"Akhirnya sampai juga. Ta-daaaaa! Selamat datang kita yang baru!"  
"Wah, ada ayunannya juga." Ujar Ara sumringah. 
Sebilah papan yang diikat dengan dua tali menggantung di salah satu dahan pohon yang kokoh. Ara langsung menaikinya. Aku menyandarkan sepeda di pohon. Dan membantu mendorong ayunan perlahan.
Dari atas bukit itu, aku dapat merasakan angin. Kecintaanku. Mungkin di suatu pagi, Ara juga akan menemui embun-kecintaannya- di daun-daun pohon yang meranggas rendah. Acara menikmati angin disudahi oleh Ara dengan pertanyaannya. 
"Ode, bagaimana jika esok dunia hanya tersisa kita berdua. Hanya kita dan tidak ada siapa-siapa." 
"Hmm, pertanyaan yang cukup sulit. Kamu habis baca buku filsafat ya? " Jawabku terkekeh.
"Ih aku serius Ode." Ara kesal, memukul lenganku pelan.
"Bagiku itu sudah cukup. Karena yang dibutuhkan manusia adalah teman."
"Benarkah?"
"Ya. Karena teman adalah orang asing yang mempertaruhkan kepercayaannya begitu saja kepada orang yang bukan keluarganya."
"Hmm, jawaban yang bagus. Kamu menyontek dari buku siapa?" Ara seolah tak percaya dengan perkataanku. 
"Dari buku resep memasak Ara."
Ara tertawa, senyum dua jarinya tetap disana. Di paras wajahnya yang manis. 
"Nah, mari kita berjanji di bawah pohon yang aku tak tahu namanya ini. Bahwa apapun yang terjadi, kita tetap berteman."
"Janji."
Sehelai daun putus dari dahan, melayang jatuh di antara kami. Pertanda janji kami telah didengar oleh alam. Aku sedikit keras mendorong ayunan Ara, lalu bergegas lari meninggalkannya. Ia yang masih bersenandung, tak menyadari kepergianku. Dua kali hari itu aku membuat Ara kesal. Semoga esok dia tidak mengerjaiku. Semoga.
*****

Sabtu, 29 Agustus 2015

Serial Ode dan Ara

Hai pembaca setia Blog DoddyRakhmat.com

Kabar gembira buat kamu yang suka cerita fiksi bersambung. Dalam waktu dekat rencananya saya akan membuat serial cerita yang di post secara mingguan via blog dan social media.

Serial cerita tersebut berjudul 'Ode dan Ara'.  Bercerita tentang antara dua saudara yang saling menukar takdir demi menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya.

Penasaran? Tunggu ya!

Serial Ode dan Ara

Hai pembaca setia Blog DoddyRakhmat.com

Kabar gembira buat kamu yang suka cerita fiksi bersambung. Dalam waktu dekat rencananya saya akan membuat serial cerita yang di post secara mingguan via blog dan social media.

Serial cerita tersebut berjudul 'Ode dan Ara'.  Bercerita tentang antara dua saudara yang saling menukar takdir demi menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya.

Penasaran? Tunggu ya!

Senin, 24 Agustus 2015

Puisi Yang Membunuh

Semalam suntuk aku merapal doa perihal menghapus dosa-dosa lama. Entahlah, apakah aku dapat kembali menjadi manusia setengah suci. Seseorang telah membunuh gadis yang kucintai dengan deretan puisi yang dituliskannya. Mungkin itu aku. Kematian semacam musik yang diaransemen ulang oleh pujangga merana.
Tak sengaja telingaku mendapati tertawa setan yang ikut mendengar di setiap lirih aku meminta.
"Wahai pendosa, aku akan mengabulkan doa-doamu."
"Siapa itu?"
"Aku seorang teman lama."
"Kau setan, apakah bisa disebut sebagai teman?"
"Ayolah, tanpa meminta sekalipun kalian sudah berteman denganku sejak dahulu kala. Sudah terlalu banyak pujangga sepertimu yang terlahir di dunia ini, satu demi satu waktu akan menghabisinya. Mungkin kau salah satunya?"
"Aku?"
"Pujangga sepertimu hanya memerdekakan diri sendiri, membunuh dengan keji setiap perasaan di dalam puisimu. Tak pernahkah kau berpikir apa yang dilakukan gadis-gadis itu saat mulai tenggelam dalam sajakmu tanpa tepi, tanpa arti. Mereka kehilangan."
"Kehilangan apa? Kehilangan rasa percayanya lagi pada setiap cinta yang hendak ditanam dalam hatinya, dalam hatimu."
Ruangan dijejali awan abu-abu. Bukan asap, hanya uap air, yang diam-diam membuatku berkeringat. Panas.
"Bagaimana caranya untuk menebus rasa bersalah itu. Bagaimana aku tahu siapa saja yang telah kubunuh dengan puisi-puisiku?"
"Berdoalah kepadaku." perintah Setan.
"Tidak, ini semua hanya tipu muslihatmu."
"Oh benarkah? Toh banyak dari kaum kalian yang merasa dirinya merdeka saat mendatangi paranormal, memanggil aku dan kawan-kawan. Meminta kami untuk membunuh, mencuri, memikat. Sungguh lebih nista perbuatan kalian daripada kami. Bebas dari segala masalah."
"Mereka hanya memerdekakan hawa nafsu semu. Aku bukan orang seperti itu."
Setan itu mengusap dua tanduknya yang menjulang di sisi kanan kiri kepalanya. "Oh ya? Lalu bagaimana masa lalu mu? Tidak kah ingin kau lepaskan segala paras wajah cantiknya, dan betapa molek tubuhnya dalam ingatanmu. Dihantui jasad-jasad yang kau habisi dengan puisimu."
"Melupakan adalah urusanku, bukan urusan siapapun. Dan lagipula aku menulis puisi bukan untuk membunuh, aku hanya membuat mereka berpikir, merenungi, sedikit meminta puji, agar aku menjadi manusia yang diakui ada. Lebih dari cukup."
"Manusia lahir dengan alasan, tumbuh dan besar dengan alasan. Ya, ya, ya. Lantas doa apa yang hendak kau munajatkan terakhir kalinya sebelum aku menuliskan puisi untuk membunuhmu."
"Tuhan, merdekakan aku dari belenggu setan."
Belum selesai sang setan menuliskan bait pertama puisinya, tangannya membeku, perlahan menjalar ke sekujur tubuhnya.
Dan sang pujangga menutup doanya dengan kata Aamiin yang panjang.
~doddy rakhmat