Jumat, 31 Maret 2017

Memintamu Untuk Melupakan

Satu-satunya hal terbodoh yang pernah terjadi adalah memintamu untuk melupakan. Melupakan segala hal tentangku. Melupakan kenangan-kenangan yang pernah bersemayam. Kiranya aku meminta maaf dan berharap kau dapat menyimpan apapun tentangku yang membuatmu baik-baik saja. Sebab membuatmu terluka, menangis dalam kehilangan, dan menunggu ketidakpastian bukanlah hal yang aku inginkan. Aku tahu bagaimana kesedihan bekerja. Senantiasa menumpahkan airmata agar dada terasa lega.

Luka kehilangan ini sesungguhnya perjalanan waktu yang harus kita tempuh bersama, atau hanya aku saja yang melaluinya. Kau sepertinya tidak pantas. Waktu adalah jarak teramat panjang, kau tidak tahu batas akhirnya. Kau hanya diberi kesempatan untuk memulainya. Dan kau tumbuh dalam hati seperti luka yang perih tapi aku merasa bahagia walau harus menerimanya tertatih.

Dan yang tak pernah sedikitpun tercetus dalam pikiran. Dalam angan-angan. Bahwa mungkin pada awalnya orang jatuh cinta tak pernah berpikir bagaimana akhir perjalanan cintanya nanti. Apakah bahagia atau menyedihkan? Tapi mereka tetap menjalani, untuk melatih seberapa kuat dan teguhnya hati. Kita memilih bagian yang menyedihkan setelah berbahagia sejenak. Aku tahu keputusan berpisah ini adalah keputusan bersama. Tetapi mendadak menjadikanmu seseorang yang asing dan saling mengasingkan diri adalah kenyataan pahit. Tidak semudah membalikkan telapak tangan, lalu semuanya terlupa seperti diserang amnesia.

Lagu-lagu yang pernah kita dengar dan nyanyikan bersama telah membentuk kenangan tersendiri dalam memori. Dimanapun kita mendengarnya kelak, aku yakin kita pasti kembali mengingat bagaimana kita menghabiskan waktu bersama. Saling bertukar mimpi masa depan dan kisah masa lalu yang kadang lucu, kadang haru.

Sekarang kita berdua telah berada dalam sebuah jalan dan keputusan. Masing-masing telah memilih dan berjalan tegar berbeda arah walau hati terasa nanar saat harus melewatkanmu dalam perjalanan panjang ini. Terima kasih telah pernah bersama dan terima kasih jika kau tidak menghapusku dalam hidupmu selamanya.

(Doddy Rakhmat)

Rabu, 08 Maret 2017

Mungkin Bukan Aku

Mungkin bukan aku. Bukan aku yang kau tunggu di senja kala itu. Di sebuah tepian dermaga dengan angin laut yang menyibak rambutmu perlahan atau di dalam ruang hatimu.

Mungkin bukan aku. Dari sederet nama yang kau nantikan dalam hidup. Satu demi satu mereka gugur seperti daun di pepohonan tua. Dan salah satunya aku.

Mungkin bukan aku. Yang kelak menghabiskan detik demi detik kebahagiaan bersamamu. Karena aku hanya bisa memberimu harapan yang tak bisa kau genggam seperti udara di tangan hampa.

Mungkin bukan aku. Bersanding manis denganmu di pelaminan biru warna kesukaanmu. Karena aku terlalu sibuk menyesali kehilangan yang aku buat.

Mungkin bukan aku. Menimang bayi mungil yang kau beri nama-nama indah seperti parasmu. Menikmati hangatnya sinar mentari di taman asri bersama si buah hati.

Mungkin aku. Yang akan menghapus kesedihan di matamu, kepedihan di batinmu, dan keberadaanku di hidupmu.

Mungkin.

Doddy Rakhmat
07.03.2017

Jumat, 03 Maret 2017

Residu Kehilangan

Jalanan sehabis hujan menyisakan genangan-genangan kecil yang harus kulalui penuh hati-hati.  Malam itu aku tidak berniat langsung pulang ke rumah. Dan aku memilih singgah di sebuah minimarket. Hanya untuk membeli segelas cokelat hangat instan. Kursi-kursi di depan minimarket itu kosong dan sedikit basah karena tempias air hujan. Aku menyekanya perlahan. Duduk dan memandangi uap dari cokelat hangat yang masih meliuk-liuk di atas gelas.

Tidak ada keramaian di jalan, lengang, karena sudah beranjak larut malam. Aku menenggak tegukan pertama, sekujur tubuh menghangat. Jaket parka yang kukenakan tidak cukup tebal menahan dingin saat itu.

Aku kembali memeriksa telepon pintar. Tidak ada balasan darimu. Mungkin lebih tepatnya tidak ada niat untuk membalas. Karena aku tahu kau sudah membacanya.

"Apakah kau sedang dekat dengan seseorang belakangan ini?"

Begitu pertanyaanku yang seharusnya tidak terlalu sulit kau jawab. Aku mengaduk gelas, mengacaukan residu yang mengendap di dasarnya. Seperti aku yang tiba-tiba hadir lagi di kehidupanmu yang mungkin saja tidak ada ruang untuk namaku di sana.

Entah kenapa aku masih merasa berdebar-debar menunggu jawabanmu. Padahal kita sama-sama tahu, bahwa tidak ada lagi hal yang bisa menghubungkan kita satu sama lain. Hujan di bulan Februari adalah saksi bagaimana kita masing-masing mengambil jarak. Apakah kita pernah bertengkar sebelumnya? Tidak pernah, kan? Lantas aku masih heran dengan keputusan yang kita buat.

Lalu aku menceritakan apa yang terjadi di antara kita kepada temanku. "Bagaimana kamu masih mencintai dia bahkan kalian tidak ada berkomunikasi lagi setelah sekian lama?" Ia bertanya.

Aku hanya diam. Dan dalam hati aku masih yakin, bahwa cinta tidak butuh banyak alasan. Aku percaya kita akan berjodoh. Tapi aku juga takut. Apakah ada seseorang yang berada di dekatmu? Maka aku putuskan untuk mengirimkan pertanyaan itu kepadamu.

Dan aku masih menunggu. Mataku mulai lelah. Aku bergegas pulang. Sepanjang perjalanan aku tidak tenang. Belum jua kuterima balasanmu. Ah, mungkin kau sudah tidur. Tapi mengapa kau sudah membacanya?

Apakah kita memang tercipta hanya untuk menjadi residu kehilangan? Sisa-sisa harapan yang kemudian ingin bersatu kembali?

(Doddy Rakhmat)
03.03.2017