Jumat, 06 Agustus 2021

WHATSAPP BUKAN KITAB SUCI

 Kepada bapak, ibu, adik, kakak yang saya sayangi jika berkenan baca sejenak tulisan ini.


Sejatinya Whatsapp hanyalah sebuah alat atau platform untuk media komunikasi sosial berbasis internet yang diperuntukkan untuk mempermudah penyampaian pesan. 

Dari hal tersebut perlu digarisbawahi Whatsapp bukanlah sumber bacaan ilmiah mutlak. Walaupun ada yang membagikan informasi/artikel kita harus cek ricek kembali siapa pengirimnya? Apakah yang bersangkutan memang kompeten dalam bidangnya atau artikel tersebut valid dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada Google, kan? Yuk bisa digoogling dulu.

Namun di zaman pandemi ini, informasi yang beredar perihal penanganan covid-19 ini banyak sekali mengalami disinformasi atau bahkan terkategori sebagai hoax. Tidak sedikit yang percaya dan menimbulkan kepanikan bahkan perdebatan dalam keluarga maupun teman. 

Bila melihat lebih jauh lagi informasi beredar tersebut bahkan membuat nyawa seseorang tidak terselamatkan. Karena ada yang menganggap covid itu tidak ada, covid konspirasi belaka, atau yang vaksin itu akan meninggal dalam waktu dua tahun lagi hingga akhirnya banyak yang tidak mau dirawat secara medis maupun menjalani vaksin padahal mereka bisa dan mampu.

Semua memang pilihan masing masing. Tapi setidaknya jangan memaksa orang lain untuk mempercayai hal yang belum jelas secara keilmuan. Dan cuma berbasis KATANYA KATANYA KATANYA. 

Mari beranalogi sederhana. Jika kita melihat pesan siar (broadcast) di whatsapp itu rata rata di awali judul dengan huruf kapital dan ditebalkan untuk menarik perhatian dan meyakinkan.
Lalu di bawahnya mulai mencantumkan informasi  panjang lebar apapun yang belum jelas kebenarannya. Kemudian di akhir pesan siar tersebut tinggal bubuhi di bawahnya dengan 
"Prof DR H. DRAGONOV S.Si MBA M.Sc
Dokter dan Ahli Virus Dunia"

Apakah bapak, ibu, adik, kakak sekalian langsung percaya? Tidak bertabayyun mencari tahu kebenaran dahulu? 

Mari bijak menggunakan sosial media. 
Ada tanggungjawab di setiap kata kata yang kita sampaikan.

Jika itu baik dan bermanfaat bagi orang yang menerimanya tentu saja jadi amal kebaikan kita
Tapi bagaimana jika hal tersebut malah menjadi keburukan bagi orang lain. Apakah kita sudah siap menanggung dosa atas kelalaian kita?

(Doddy Rakhmat)


Minggu, 10 Januari 2021

Bandara Adalah Tempat Sakral



Selama merantau, sejak 11 tahun lalu saya memaknai bandara sebagai tempat yang sakral. 

Di bandara semua rasa rindu itu tumpah, baik harus memulai kembali atau menuntaskan. Setelahnya kita cemas apakah masih bisa tetap bersua? Perasaan-perasaan seperti itu yang selalu muncul saat kita bepergian.

Kampung halaman, tempat kuliah sebelumnya maupun tempat bekerja saat ini posisinya berbeda pulau. Karenanya perjalanan yang harus ditempuh sangat jauh dan jalur transportasi udara adalah pilihannya. Setidaknya dalam satu tahun ada 4 penerbangan yang saya jalani, beberapa tahun belakangan ada yang sampai 8 penerbangan. Termasuk cuti maupun dinas. Mungkin tidak banyak. 

Selama 11 tahun itu pula, kalau tidak salah ada 3 insiden kecelakaan udara komersil, ada yang posisinya sebulan sebelum saya berangkat dan juga ada yang setelah berangkat. Tentu saja itu menjadi hal yang saya renungkan. Bagaimana kalau itu pesan singkat yang saya kirimkan ke sanak saudara dan keluarga adalah salam perpisahan yang terakhir? Bagaimana kalau pertemuan di bandara saat itu ditakdirkan menjadi yang terakhir?

Maka, hargailah sebuah pertemuan dan kesempatan