Senin, 29 Februari 2016

Lost In Snow Desert

"Tidakkah salju ini terlalu dingin daripada gurat senyummu?" Dia bertanya padaku.

Aku tak memandangnya. Tak memberinya anggukan atau bahasa tubuh lainnya. Hanya diam.
Aku telah menunggunya di antara kebisingan teater, sudah seperempat jam menunggu, Ia baru datang. Ketahuilah aku teringat saat kali pertama kami bertemu, semua terlihat seperti orang bodoh. Sama-sama sibuk melihat layar ponsel, saling bersinggungan lalu melangkah pergi. Tak peduli. Akupun tak kuasa menahan alasan-alasan diri hingga dia pun berpikiran yang sama. Pria itu kembali dan meminta maaf. Dan saat aku melihat matanya yang berwarna biru emerald, ada desir hangat yang dapat kurasa bergerak dalam diri. Aku jatuh cinta. Di negeri asing kepada orang yang asing.

Sepanjang pertunjukan drama dalam teater. Ia menggenggam tanganku. Ada perasaan yang melesak ingin menolak. Tapi aku terlanjur nyaman dengan perlakuannya. Amarah yang berkobar tadipun mulai reda. Menonton drama menjadi agenda mingguan kami berdua. Ia yang bekerja sebagai penulis artikel literasi menghabiskan banyak waktu di toko buku dan perpustakaan.

Di taman tengah kota, saat aku menggambar hampir setiap objek yang kujumpai. Semisal apel yang telah digigit lalu ditinggal pemilik. Maka ia akan sibuk menceritakan buku-buku yang baru selesai dibacanya. Tentu saja aku selalu menyukai gaya penampilannya. Favoritnya. Kaos warna hijau daun, celana jeans cokelat dan topi bundar anyaman, ibarat sebatang pohon yang tertimpa sinar matahari. Aku suka menggambar dengan pensil. Aroma karbon dan suara gesekan ujung pensil pada kertas adalah perpaduan sempurna. Seperti aku dan dia. Namun di antara kami belum pernah ada yang mengucapkan janji untuk saling memiliki. Hanya rasa nyaman yang membuai hubungan kami berdua. Dan aku tak tahu menyebutnya apa. Cinta? Bisa jadi. Tapi tidak. Dia sudah memiliki tunangan. Seorang model televisi. Aku tahu secara diam-diam. Tapi aku tak mau bertanya kepadanya. Aku tak ingin kehilangan dirinya. Walaupun terkesan kurang ajar, tapi aku menikmati hubungan gelap ini.

Aku sendiri masih lajang. Perempuan asia yang beruntung menginjakkan kaki di tanah eropa. Berkat sketsa-sketsa itulah yang mengantarkan aku kepada kesempatan untuk kuliah jurusan seni lukis.

Pria bermata biru itu yang selalu memuji karya-karyaku. Ia akan memotret dan menyebarkannya ke jejaring sosial. Aku tidak terlalu suka dunia maya. Realita dan hal-hal tidak nyata susah dibedakan. Karena semua bisa menjadi apa saja.

Sudah berhari-hari tidak ada kabar darinya. Aku tidak menjumpainya di seluruh penjuru kota. Aku berjalan di tengah badai salju. Barangkali bertemu dengannya di persimpangan jalan. Lalu kami akan menyesap cokelat hangat berdua. Tapi dia tidak ada. Hanya satu dua kendaraan lewat di jalan. Dan orang-orang lebih memilih mengurung diri dalam rumah yang hangat. Berhibernasi layak beruang kutub. Ini pengalaman pertama kali aku melewati musim dingin. Di daerah asalku kami hanya mengenal dua musim. Hujan dan kemarau. Dan tak terhitung dengan musim buah-buahan lainnya.

Mantelku tidak cukup tebal untuk membentengi diri dari rasa dingin yang menusuk. Sepatuku terlalu tipis hingga telapak kaki terasa nyeri karena menginjak salju dan air beku. Aku mendekap diri dalam-dalam. Dia tidak disini, tidak memberikan kehangatan melalui pelukan-pelukannya. Di tengah badai salju aku menyadari, tidak ada kehangatan yang hakiki selain cinta sejati. Apakah aku telah menjadi benalu antara dia dan tunangannya? Semoga tidak. Kedua mataku terkatup beku. Badan menggigil hebat. Gelap dan dingin.

-----

Aku ingin berterima kasih kepada seorang gadis kecil yang kutemui di jalan setapak. Tanpa izin aku meminjam tubuhnya, untuk menceritakan kisah tentang pria yang kucari, apakah kalian bisa membantu untuk menyampaikannya? Karena aku tersesat dan tak menemukan jalan kembali. Ke dunia.

Doddy R
29.02.2016

Minggu, 28 Februari 2016

Tokoh yang Bercerita

Sudah berulang kali aku peringatkan padanya untuk tidak menulis tentangku, namun apa boleh buat, ia terlanjur menceritakannya kepada kalian.

Aku hanya berpesan jangan terlalu memercayai tulisannya, bagaimana dia menjelaskan secara detail penampilan tubuhku, cara berjalan, kebiasaan-kebiasaan, itu tidak sepenuhnya murni. Akan ada bagian yang ia tambal sana sini. Menjadikannya fiksi padahal nyata.

Wahai penulis yang sedang bercerita tentangku, sudahi paragraf yang berlembar-lembar kau buat untuk dinikmat. Biarkan aku menjadi kenangan yang melekat dalam pikiranmu seorang. Mereka tidak perlu tahu. Aku mohon, carilah tokoh yang lain. Yang tak pernah menentang penulisnya sendiri.

Doddy R
28.02.2016

Selasa, 09 Februari 2016

Senyum Yang Tertahan

Pertengkaran tadi malam sama hebatnya dengan hujan yang tumpah ke bumi. Sumpah serapah keluar bersahutan dari mulut Pang dan Ulis. Meributkan urusan kopi yang tak tersaji saat Pang pulang kerja. Mereka telah dibutakan oleh rasa cemburu yang dipendam masing-masing, hingga membakar amarah dalam diri mereka.

Pang keluar dari rumah setelah membalik meja kayu ruang tamu. Berdebam keras. Ia tahu kalau Ulis mulai dijodoh-jodohkan dengan lelaki lain yang lebih kaya menurut orang tuanya.

Persetan dengan cinta, umpat sang mertua kala Ulis memohon untuk tidak menjodohkannya padahal ia masih bersuami.

Pandangannya mengabur kalap, kepalanya semarak dengan ide-ide jahat. Langkahnya diburu oleh ribuan setan dalam hati. Memegang pisau untuk membuka karung yang sering dibawanya bekerja. Pang mendatangi kedua mertuanya yang baru saja menghadiri kawinan tetangga. Di gang sempit komplek, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Pisau digenggamannya sudah bekerja. Menghujam jantung Ibu Mertuanya. Sang suami membela, menampar Pang namun pukulannya terlalu pelan. Tenaganya ringkih dimakan usia. Si menantu menendangnya hingga jatuh tersungkur. Seketika ia menghujani tubuh kedua mertuanya dengan pisau tanpa ampun. Bau amis darah menyeruak.  Teriakan mereka mengundang warga kampung. Darah menggenang di got-got bercampur air comberan. Warga bak pahlawan kesiangan hanya menemukan dua jasad orang tua yang bertindihan. Tidak ada Pang di sana. Hanya ada jejak-jejak kaki warna merah darah di jalanan. Menjauh dari tempat perkara.

------

Anjing itu mengetuk pintu rumah berkali-kali. Melolong minta dikasihani. Bersaing parau dengan suara kumandang takbir. Anjing itu tetap menangis hingga pagi. Seolah meminta pengampunan. Anjing itu telah membunuh orang tua yang terlalu egois dengan pendiriannya. Anjing itu suaminya sendiri.

Tidak ada yang kembali ke fitrah menurut Ulis. Suaminya telah menodai bulan penuh berkah dimana orang-orang menjadi suci bersih. Pang diringkus saat ia kembali ke rumah Ulis untuk meminta maaf. Bahkan gadis yang dinikahinya, yang telah menemaninya tidur menghabiskan malam-malam yang dingin tak menampakkan hidungnya barang sejenak.

------

Setelah mendekam di balik dinginnya jeruji besi hampir seperempat abad, Pang bebas. Ia melangkah merdeka keluar dari dinding beton yang menutup dirinya, melenggang mengenakan kemeja yang sama saat ia masuk. Tak berubah warna dan baunya. Dan yang ia pikirkan pertama kali adalah Ulis. Apakah istrinya itu masih menanti seorang mantan pembunuh? Atau sudah tenggelam dalan pelukan lelaki lain.

Selama dalam pengasingan, Pang sering tidur telanjang, membiarkan angin malam menusuknya hingga menggigil. Berharap malaikat maut ada di antaranya. Sipir-sipir yang berjaga kadang menganggapnya sudah tak waras. Bahkan Pang menjadi sosok pendiam, jarang ditemui ia berbicara sepatah dua patah kata dengan penghuni lainnya.

Membunuh mertuanya adalah hal tergila seumur hidup. Ia sudah muak dengan nasihat yang tak lebih dari sekedar cercaan. Meremehkan pekerjaan kasarnya sebagai tukang pikul karung-karung beras di pasar. Karena belum memiliki rumah, Pang menumpang tinggal di rumah mertuanya. Itupun ia jalani dengan berat hati mengingat rumah sempit itu dipaksakan ditinggali dua keluarga. Ibu mertuanya bagai burung berkicau kesana kemari, menceritakan aib keluarganya sendiri. Menyesal atas restu yang diberikannya kepada Pang untuk menikahi anak gadisnya. Hingga tercetus pemikiran bodoh oleh kedua mertuanya untuk menjodohkan Ulis kepada pria lain.

Warga-warga yang masih mengingat kejadian itu memilih masuk rumah. Enggan menegur sapa dengan orang yang pernah membunuh keji. Pang terus berjalan, seakan tak peduli dengan masa lalunya. Sudah cukup 23 tahun baginya memikirkan dan merenungi di balik gelapnya hotel prodeo.

Rumah yang ditujunya hanya tersisa puing-puing kebakaran, dalam akalnya bermunculan dugaan-dugaan dangkal. Apakah istrinya hangus terbakar di dalamnya saat kejadian atau sempat melarikan diri dan menghilang selamanya dari peredaran Pang. Pang tersenyum. Senyum yang ditahannya selama 23 tahun

~Doddy R
09.02.2016

Sabtu, 06 Februari 2016

Tanpa Cinta

Di suatu malam yang tak begitu ditunggu-tunggu oleh Odin namun begitu didamba banyak sejoli memadu kasih. Ia memilih duduk di antara keramaian sebuah warung di salah satu sudut kota. Deru mesin dan knalpot yang dipacu kencang menggerung jalan bersaing dengan teriakan para penonton bola. 

Di tengah keramaian itu, Odin semacam mendapat ketenangan. Suara-suara sekitar menciptakan gua yang nyaman untuknya bersemayam. Ia tak begitu peduli dengan si kulit bundar ditayangkan di sebuah televisi layar datar di dekatnya. Ia hanya ingin menghabiskan waktu. Ia ingin menyambut hari esok lebih cepat. Sampai warung tak tersisa pengunjung barulah dirinya pulang. Walaupun esok ia gamang membawa hidupnya kemana. 

Rabu, 03 Februari 2016

Giveaway buku Tere Liye

Selamat pagi, siang dan malam para pembaca setia

Semoga selalu berbahagia :)

Setahun terakhir tentunya sudah banyak cerita dan puisi yang teman sekalian baca dari blog Doddy Rakhmat. Untuk menghargai hal tersebut di tahun 2016 saya akan mengadakan Giveaway Buku dari penulis kenamaan Indonesia sekaligus penulis favorit saya yaitu Tere Liye.

Syarat untuk mengikuti Giveaway buku Tere Liye ini adalah dengan melanjutkan cerita yang belum selesai di post blog berjudul Sambung Cerita (silahkan klik disini)

1. Copy postingan blog Sambung Cerita kemudian tulis kelanjutannya versimu hingga menjadi sebuah keutuhan cerita di file Word dengan ketentuan margin normal, times new roman 12 pt, spasi 1,5 maksimal 8 halaman.
2. Berikan judul sesuai dengan isi cerita. Pada halaman akhir naskahmu lengkapi dengan biodata singkat, alamat lengkap dan no.hp
3. Kirim naskahmu melalui email dengan melampirkan file Word nya ke doddyrakhmat92@gmail.com dengan subjek : SC_Judul cerita_Nama lengkap
4. Periode penerimaan naskah 3 Februari -  20 Maret 2016
5. Pemenang diumumkan melalui blog www.doddyrakhmat.com pada tanggal 25 Maret 2016
6. Satu orang pemenang dengan lanjutan cerita yang paling menarik akan mendapatkan satu paket buku terbaru Tere Liye (Hujan dan Pulang) edisi tanda tangan penulisnya langsung!

Jangan sia-siakan kesempatan emas ini, mulailah menulis, keluarkan kemampuan terbaikmu dan dapatkan hadiah eksklusifnya!

Salam literasi,

Doddy Rakhmat

Sambung Cerita

Kabut tipis menuruni kaki bukit menyertai kepulangan Ayah dari perantauannya. Kokok ayam masih belum usai. Sisa hujan semalam membuat udara pagi ini dingin menusuk. Ia menggendong sebuah tas ransel lusuh. Langkahnya tegap di tangan kirinya membawa sepasang sepatu baru berwarna putih bersih. Kontras dengan baju kemeja yang dipakainya. Kami baru saja selesai menimba air,  mengisi tong-tong besar untuk kebutuhan sehari-hari.

Aku -Mada- dan ketiga saudaraku, Gani, Rumpun dan Lara berdiri di depan rumah menyambut kedatangan Ayah. Hampir dua tahun ia pergi. Dan sebelum musim panen padi inilah dirinya pulang. Mata kami tertuju pada satu hal yang sama. Sepatu.
"Mak, Ayah pulang…" teriak kami serempak memberitahu Mamak.

Prang.

Terdengar bunyi barang pecah belah menghantam lantai. Kami tersontak kaget lantas berlarian ke sumber suara dan….

------

Copy tulisan di atas sebagai awal cerita kemudian tulis lanjutannya sesuai versimu dan dapatkan satu paket buku Tere Liye versi TTD untuk satu orang pemenang.
Info lebih lanjut klik disini