"Tidakkah salju ini terlalu dingin daripada gurat senyummu?" Dia bertanya padaku.
Aku tak memandangnya. Tak memberinya anggukan atau bahasa tubuh lainnya. Hanya diam.
Aku telah menunggunya di antara kebisingan teater, sudah seperempat jam menunggu, Ia baru datang. Ketahuilah aku teringat saat kali pertama kami bertemu, semua terlihat seperti orang bodoh. Sama-sama sibuk melihat layar ponsel, saling bersinggungan lalu melangkah pergi. Tak peduli. Akupun tak kuasa menahan alasan-alasan diri hingga dia pun berpikiran yang sama. Pria itu kembali dan meminta maaf. Dan saat aku melihat matanya yang berwarna biru emerald, ada desir hangat yang dapat kurasa bergerak dalam diri. Aku jatuh cinta. Di negeri asing kepada orang yang asing.
Sepanjang pertunjukan drama dalam teater. Ia menggenggam tanganku. Ada perasaan yang melesak ingin menolak. Tapi aku terlanjur nyaman dengan perlakuannya. Amarah yang berkobar tadipun mulai reda. Menonton drama menjadi agenda mingguan kami berdua. Ia yang bekerja sebagai penulis artikel literasi menghabiskan banyak waktu di toko buku dan perpustakaan.
Di taman tengah kota, saat aku menggambar hampir setiap objek yang kujumpai. Semisal apel yang telah digigit lalu ditinggal pemilik. Maka ia akan sibuk menceritakan buku-buku yang baru selesai dibacanya. Tentu saja aku selalu menyukai gaya penampilannya. Favoritnya. Kaos warna hijau daun, celana jeans cokelat dan topi bundar anyaman, ibarat sebatang pohon yang tertimpa sinar matahari. Aku suka menggambar dengan pensil. Aroma karbon dan suara gesekan ujung pensil pada kertas adalah perpaduan sempurna. Seperti aku dan dia. Namun di antara kami belum pernah ada yang mengucapkan janji untuk saling memiliki. Hanya rasa nyaman yang membuai hubungan kami berdua. Dan aku tak tahu menyebutnya apa. Cinta? Bisa jadi. Tapi tidak. Dia sudah memiliki tunangan. Seorang model televisi. Aku tahu secara diam-diam. Tapi aku tak mau bertanya kepadanya. Aku tak ingin kehilangan dirinya. Walaupun terkesan kurang ajar, tapi aku menikmati hubungan gelap ini.
Aku sendiri masih lajang. Perempuan asia yang beruntung menginjakkan kaki di tanah eropa. Berkat sketsa-sketsa itulah yang mengantarkan aku kepada kesempatan untuk kuliah jurusan seni lukis.
Pria bermata biru itu yang selalu memuji karya-karyaku. Ia akan memotret dan menyebarkannya ke jejaring sosial. Aku tidak terlalu suka dunia maya. Realita dan hal-hal tidak nyata susah dibedakan. Karena semua bisa menjadi apa saja.
Sudah berhari-hari tidak ada kabar darinya. Aku tidak menjumpainya di seluruh penjuru kota. Aku berjalan di tengah badai salju. Barangkali bertemu dengannya di persimpangan jalan. Lalu kami akan menyesap cokelat hangat berdua. Tapi dia tidak ada. Hanya satu dua kendaraan lewat di jalan. Dan orang-orang lebih memilih mengurung diri dalam rumah yang hangat. Berhibernasi layak beruang kutub. Ini pengalaman pertama kali aku melewati musim dingin. Di daerah asalku kami hanya mengenal dua musim. Hujan dan kemarau. Dan tak terhitung dengan musim buah-buahan lainnya.
Mantelku tidak cukup tebal untuk membentengi diri dari rasa dingin yang menusuk. Sepatuku terlalu tipis hingga telapak kaki terasa nyeri karena menginjak salju dan air beku. Aku mendekap diri dalam-dalam. Dia tidak disini, tidak memberikan kehangatan melalui pelukan-pelukannya. Di tengah badai salju aku menyadari, tidak ada kehangatan yang hakiki selain cinta sejati. Apakah aku telah menjadi benalu antara dia dan tunangannya? Semoga tidak. Kedua mataku terkatup beku. Badan menggigil hebat. Gelap dan dingin.
-----
Aku ingin berterima kasih kepada seorang gadis kecil yang kutemui di jalan setapak. Tanpa izin aku meminjam tubuhnya, untuk menceritakan kisah tentang pria yang kucari, apakah kalian bisa membantu untuk menyampaikannya? Karena aku tersesat dan tak menemukan jalan kembali. Ke dunia.
Doddy R
29.02.2016