Minggu, 18 Januari 2015

S.U.K.U


Jumat Sore, di akhir tahun 2000

Hujan mengguyur sudut kota dengan derasnya.

Seorang perempuan muda berkemeja hijau tosca dan rok hitam selutut tergesa-gesa mendatangi perempatan jalan sambil memayungi dirinya dengan tas wanitanya. Badannya sudah setengah kuyup. Setengah berlari menuju becak yang ada di tepi jalan di dekat Bank dimana ia bekerja.

"Mas, tolong antarkan saya ke jalan S. Parman" ujarnya sambil membuka penutup becak yang terbuat dari plastik tebal transparan tersebut. Pemuda paruh baya berkulit sawo matang nampak sedikit terkejut dengan kehadiran perempuan yang tiba-tiba membuka penutup becak. Ia yang awalnya sedang berteduh terhindar dari hujan setelah seharian berkeliling mengantarkan penumpang, sedikit melengos harus mengayuh pedal di kondisi hujan deras tersebut.

Dengan sigap pemuda itu keluar dari becak dan mempersilahkan perempuan berkulit putih itu bergegas masuk, memasang penutup plastik agar air hujan tidak masuk membasahi penumpang. Ditengah derasnya hujan , pemuda itu terus mengayuh. Hanya topi yang menutupi bagian kepalanya, sisanya dipasrahkan basah begitu saja. Matanya mengerjap-ngerjap berusaha menghalau air hujan yang terkena ke matanya. Mengusapnya, kemudian berpegangan pada kendali becak.

Hujan semakin deras

Masih sekitar satu kilometer lagi dari tujuan si perempuan. Perempuan tidak banyak berbicara. Biasanya ia sering mengajak tukang becak mengobrol selama perjalanan, tapi kali ini ia memilih diam. Enggan melawan suara hujan.

Tak berapa lama, Pemuda itu merasa ada yang aneh dengan becak yang sedang dikayuhnya, Ia berhenti sebentar untuk mengecek kondisi becak. Ternyata ban depan sebelah kiri kempes, apabila diteruskan akan sedikit beresiko. Bisa saja becak lepas kendali, apalagi dengan kondisi jalan yang saat itu sedang licin.

Tidak mungkin dia tega menurunkan penumpang ditengah derasnya hujan, saat itu ia lupa membawa pompa tangan biasa untuk berjaga-jaga apabila ban mendadak kempes. Akhirnya, pemuda tersebut melanjutkan perjalanan becak dengan cara mendorongnya.

Si perempuan yang awalnya diam saja, mendadak iba melihat pemuda yang sedang mendorong becak di belakangnya itu. Ia hendak bertanya mengapa harus didorong, tapi sudah mendapat jawabannya setelah ia merasakan kejanggalan dengan jalannya becak yang timpang sebelah.

Perempuan tersebut memberhentikan jalan becak dengan kode memukul atap becak. Tibalah mereka di depan sebuah rumah berwarna kuning gading dengan pintu dan jendela di cat putih. Ada teras dan halaman yang tidak lebar di depan rumah tersebut.
Bergegas perempuan tersebut berlari menuju rumah, berteduh, Mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

Pemuda itu bergegas menyusul dan mengambil uang yang ada di tangan perempuan itu. Tampak sekilas oleh pemuda itu, terpampang nama yang begitu singkat tertera di kemeja yang perempuan tersebut kenakan. Tinduh.

"Nama mas siapa!" teriak Tinduh ingin tahu, volume suaranya bersaing dengan gemuruh hujan.

Pemuda itu berlari kembali, mengayuh becak. Tidak mendengar begitu jelas apa yang diteriakkan oleh Tinduh, hanya bisa melihat sebuah senyuman di antara hujan. Senyuman yang tidak pernah ia lupakan sampai kapanpun.

Itulah pertemuan pertama Tinduh dengan si laki laki berkulit sawo matang

Awal tahun 2001, di sebuah pasar tradisional tengah kota.

Tinduh yang berbusana santai seraya membawa kantung belanjaannya sedikit kewalahan saat berjalan. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara lonceng berkali-kali. Belum sempat Tinduh berbalik, sudah mendapati sebuah becak yang berjalan tak memperlihatkan tanda berhenti di depannya.

Mendadak gelap.

"Maaf saya tidak sengaja Bu, remnya mendadak blong"

Masih tidak begitu jelas bagi Tinduh untuk mengenali sesosok penuda yang duduk di hadapannya. Tampak sedang minta maaf bercampur panik. Orang-orang sudah ramai berkerumun di sekeliling mereka.
Tinduh mendapati betis kirinya yang membiru ditabrak becak. Orang orang sekitar memberikan pertolongan seadanya. Sesaat Tinduh kembali berdiri sedikit tertatih, berjalan menghampiri bangku panjang di tepi ruko.

Tinduh masih sedikit shock dan tidak terlalu banyak bicara.

Hanya berkata,  "Tolong bawa becaknya hati-hati dong"

Sekali lagi pemuda itu meminta maaf sambil panik.

"Saya minta ganti rugi kalau seperti ini" keluh Tinduh tak menatap betul siapa yang sudah menabrak dirinya

"Aduh saya tidak punya uang banyak bu. Bagaimana sebagai permintaan maaf, saya gratiskan naik becak saya kapanpun dan kemanapun Ibu mau"

Seketika, Tinduh menoleh mendengar tawaran tersebut. Dan alangkah terkejutnya Tinduh saat melihat pemuda di hadapannya tersebut adalah Si Pemuda berkulit sawo matang yang mengantarkannya ke rumah dua minggu lalu

"Tidak-tidak saya tidak mau, saya harus tetap membayar kamu. Oh iya saat itu saya berteriak bertanya siapa nama Mas tapi tidak di jawab" Mendadak menjawab dengan intonasi berbeda. Seakan tidak mau menyusahkan sang lawan bicara

"Maaf bu, sekali lagi saya minta maaf. Nama saya Majid panjangnya Dul Majid" balasnya seraya meremas jarinya sendiri. Hendak bersalaman tapi tidak dalam kondisi yang tepat.

"Dan satu lagi, mas tidak usah memanggil saya Ibu. Cukup Tinduh saja, dan saya memanggil mas dengan nama Majid. Tidak keberatan?" tanya Tinduh sambil menatap Majid

Majid menggeleng tidak apa apa. Tak membalas tatapan Tinduh dan segera berdiri membantu Tinduh.

Kali ini ia tidak mengantarkan si perempuan dengan senyuman yang menggelayut dipikirannya selama ini. Ia memanggil teman satu profesinya sesama tukang becak untuk mengantarkan. Sementara ia harus berkutat dengan becaknya yang sudah mencelakakan orang tersebut. Orang yang dirindukan dalam diam.

Awal Februari 2001

Matahari kian meninggi, Majid sengaja menunggu agak lama di depan kantor Bank biasa dia beristirahat. Hari ini hanya tiga penumpang yang dia antarkan, selebihnya ia habiskan waktu hampir menjelang sore untuk menunggui Tinduh pulang kerja.

Dari kejauhan sudah tampak perempuan berkemeja putih dengan celana panjang hitam berlari kecil menuruni anak tangga depan kantor Bank milik negara tersebut. Majid spontan melambaikan tangan ke arah Tinduh. Perempuan itu tersenyum dua jari, menunjukkan susunan gigi putihnya yang rapi. Senyum yang disukai Majid, tukang becak kemarin sore.

"Selamat sore Bu, eh, Tinduh" Majid menyapa gelagapan

"Sore bang Majid" sapa Tinduh santai
Majid agak sedikit canggung dipanggil Bang oleh Tinduh,

"Mau diantar kemana hari ini. Langsung pulang?"

Tinduh menggeleng, "Antar saya ke Taman Kota"  seraya masuk ke dalam becak

"Siap" kemudian becak berjalan pelan.

5 menit kemudian

Mereka sudah sampai di taman kota.
Taman kota itu cukup besar, banyak pedagang kaki lima yang berjualan di tiap sisinya. Bentuk taman tersebut persegi empat, di dalamnya ada wahana bermain anak-anak, panggung, dan Menara yang dibawahnya ada relief tentang perjuangan kemerdekaan Negara Indonesia. Di sisi baratnya ada lapangan basket yang ramai oleh anak muda. Di sisi selatannya, terdapat toilet umum dan pos polisi. Di dekat pos polisi tersebut ada patung polisi dengan seragam lengkap berdiri tegak dengan sikap istirahat. Biasanya anak anak sering berfoto dengan patung polisi tersebut, semacam ada kebanggaan di dalamnya.

Tinduh meminta untuk mengitari taman kota tersebut satu kali putaran, kemudian Tinduh mengajaknya untuk memarkirkan becak di sisi selatan taman. Dan mengajak Majid isitrahat sejenak di bangku taman yang  disediakan dengan atapnya agar pengunjung tidak kepanasan atau basah ketika hujan.

Tinduh membuka percakapan,

"Sudah berapa lama Bang Majid kerja di kota ini"

"Ehm, baru satu tahun. Saya merantau dari jawa, lebih tepatnya dari Madura"

Semburat jingga menghias langit kota sore itu. Tak banyak yang berkunjung ke taman, karena tidak sedang akhir pekan. Hanya beberapa anak kecil berlarian bersama sang ayah di halaman rumput yang terhampar di depan Tinduh dan Majid yang sedang berbicara.

"Saya juga merantau, dari pelosok kalimantan ini. Saya keturunan dayak banjar. Ayah saya Dayak, mamah saya banjar" sambung Tinduh

Selama pembicaraan itu tidak ada satupun dari orang itu saling menatap.

Penampilan Majid yang mengenakan celana kargo menggantung dibawah lutut, kaos berkerah warna birunya yang sudah kucel membuatnya merasa tak pantas bicara dengan gadis cantik kalimantan itu.

"Saya sering ke sudut taman kota ini, persis di tempat kita duduk sekarang. Membuang segala beban kerja, merenungi seperti apa masa depan. Membiarkan semuanya menguap bersama senja. Saya lebih suka menyendiri"

Majid tampak serius mencermati setiap perkataan Tinduh.

"Oh iya dari gaya bahasa Bang Majid bicara tidak terdengar lagi logat maduranya" lanjut Tinduh seraya menatap Majid yang tidak menatapnya.

"Saya lahir di Madura, tapi saya dibesarkan di Surabaya. Dan saya tidak begitu paham dengan bahasa Madura. Aneh kan? Orang madura tidak bisa ngomong madura"

Tinduh terkekeh.

"Itu sama saja seperti saya Bang, saya juga walaupun ayah saya Dayak, saya tidak terlalu bisa berbahasa Dayak. Saya lebih suka berbahasa Banjar. Bang Majid sudah setahun disini pasti sudah bisa bahasa Banjar kan?"

Majid mengangguk.

"Kawa, baya sedikit sedikit ja ulun" jawab Majid yang artinya tapi cuma sedikit saja saya bisanya.

Tinduh kembali bertanya,

"Kenapa Bang Majid merantau jauh dari pulau seberang yang jelas lebih ramai dan memilih ke Kalimantan?"

Majid tertegun sejenak, menghela nafas sambil menjawab pertanyaan Tinduh

"Merantau itu jelas pilihan. Bukan suatu kebetulan. Begitu banyak kebahagiaan yang mungkin kita tinggalkan di tanah kelahiran kita sendiri. Tapi dengan merantau sedikit banyak kita belajar bahwa kita harus berprinsip untuk menunda kebahagiaan kecil tersebut untuk kebahagiaan lebih besar"

Tinduh cukup puas dengan jawaban Majid yang tak disangka-sangka begitu bijak.

"Bagi saya kebahagiaan terbesar di dalam hidup ini adalah saat kita bisa membuat bahagia orang yang kita sayangi. Tanpa mereka, orang tua, sanak keluarga saya bukan apa apa dan saya tidak ingin menjadi beban bagi mereka lagi. Sudah terlalu banyak pengorbanan yang mereka berikan kepada saya dari lahir sampai saya lulus sekolah. Sehingga saya harus membalasnya kali ini"

Majid menghela nafas lagi seakan menyampaikan kerinduan akan keluarganya selama ini.

"Suatu hari walaupun saya hanya tukang becak, saya ingin membangun sebuah Mesjid agar amal jariyah terus berjalan. Menurut saya, kita bisa saja mencari uang sebanyak banyaknya di dunia saat ini tapi itu tidak untuk kehidupan yang kekal. Maka harus mempersiapkan tabungan amal untuk di akhirat kelak"

Majid menolehkan pandangannya sejenak ke Tinduh kemudian membalikkannya lagi ke depan.

Walaupun Tinduh tidak berada didalam keyakinan yang sama dan tidak terlalu banyak mengetahui tentang istilah yang diucapkan oleh Majid tapi ia kagum dan mendoakan agar cita cita Majid tercapai.

"Ayo kita pulang, sudah mau Magrib. Bang Majid harus ibadah kan?" ajak Tinduh sekaligus menutup percakapan senja itu.

17 Februari 2001

Senja berganti pekat malam. Tinduh sedang membereskan meja makan nya terkejut mendengar ketukan keras dari pintu rumahnya.

"Tunggu sebentar"

Tinduh membuka pintu dan mendapati Majid yang sudah berdiri didepannya penuh kegelisahan.

"Boleh saya masuk? tanya Majid sambil mengatur nafas. Tampak habis dikejar hantu.

Tinduh mempersilahkan masuk dan menutup kembali pintu rumahnya.

"Maaf kalau saya lancang, tapi ada hal yang saya harus bicarakan. Ini penting"

Majid melanjutkan,

"Besok akan ada penyerangan terhadap suku Dayak dari sekelompok suku saya yang ingin menguasai kota ini. Informasi ini saya dapatkan dari kerabat saya yang terlibat di dalamnya. Kamu harus pergi malam ini juga"

Tinduh menatap bingung, "Tapi saya harus kemana?"

Majid berpikir sejenak, "Ada sanak famili di ibukota provinsi?"

Tinduh mengangguk. Ia tahu harus pergi kemana.

"Nah sekarang kamu bergegas. Ini tentang keselamatan kamu, dan tolong beritahukan ke keluarga kamu tentang hal ini"

Tinduh menjawab sambil gemetar ketakutan

"Maaf sebelumnya Bang Majid. Orang tuaku sudah tidak ada lagi. Mereka mengalami kecelakaan saat pulang mengantarkan saya ke kota ini"

Majid menatap iba perempuan dihadapannya. Ingin rasanya melindungi. Tapi apalah daya, konflik yang akan terjadi sangat bertolak dengan latar belakang suku mereka. Tidak akan mudah, bahkan bisa saja saling membahayakan satu sama lain.

Malam itu senyap.

Tidak ada lagi pertemuan setelahnya. Entah sampai kapan. Keduanya pun tidak ada yang tahu.

18 Februari 2001

Kota yang begitu lengang, warganya masih beraktivitas seperti layaknya di hari libur. Dihebohkan dengan kebakaran di beberapa tempat. Rumah rumah suku dayak dibakar, kendaraan seperti mobil juga ikut menjadi korban. Dan beberapa nyawa suku dayak melayang akibat penyerangan berkelompok oleh suku Madura. Mereka berkonvoi keliling kota. Merayakan kemenangan atas penyerangan tersebut.

Tiga hari berlanjut setelah penyerangan. 

Suku dayak dari pedalaman turun ke kota melakukan perlawanan balik, tidak terima dengan perlakuan terhadap suku mereka.

Kota mendadak lumpuh.
Mencekam. Listrik sering padam.

Sejak 18 Feburari 2001, ratusan nyawa melayang baik dari suku Madura dan Dayak. Ratusan rumah terbakar, dan Becak juga menjadi sasaran pembakaran oleh Suku Dayak. Becak becak tersebut dikumpulkan di jalan taman kota dan dibakar tanpa sisa. Ribuan orang madura diungsikan dengan kapal kembali ke pulau jawa. 

Upaya perdamaian terus dilakukan dari pemerintah pusat baik dari kementerian, kepolisian dan tokoh masyarakat etnis yang terlibat. 

Sebulan berlalu, kota begitu lengang. Seperti ikut berduka atas tragedi kerusuhan etnis yang terjadi. Puing puing bangunan terbakar banyak menghias sudut kota. Aktivitas kembali normal, walaupun tidak seperti sedia kala.

Jauh dari kota tersebut.

Tidak ada kabar dari Majid. Keberadaannya seperti hilang di telan bumi. Tinduh mengamankan diri di tempat keluarganya. Pikiran Tinduh mulai dihantui dengan berbagai macam perkiraan.

"Apakah Bang Majid terlibat perang etnis tersebut"

"Apakah dia pulang ke kampung halamannya"

"Atau jangan jangan dia sudah....."

Tinduh menggelengkan keras kepalanya, ingin memberhentikan semua bayangan buruk itu.

Tidak ada lagi sisa sejarah kerusuhan kota tersebut. Semua kembali damai.

Suku Madura dan Dayak hidup rukun sampai saat ini.

Langit bercorak jingga terhampar di sudut barat. Seorang perempuan duduk di salah satu bangku taman kota. Keramaian di sekitar tidak seramai hatinya saat itu. Sepi. Semacam kelengangan panjang. Tiga belas tahun sudah dilewatinya.

Tinduh masih bekerja di Bank, jabatannya kini sebagai direktur operasional. Di tengah hujan deras yang menyapu kota, membuat tirai air mengelilingi tempat Tinduh duduk sekarang. Mengambil payung dan bergegas menuju mobilnya.

Kembali ke kantor.
Ada sebuah amplop coklat muda tersimpan di dalam laci kerjanya. Surat yang menjawab segala keluh kesah tentang perasaannya selama 13 tahun. Sejatinya surat tersebut sudah dibaca oleh Majid saat itu, tepat sebelum Majid datang memberitahukan dirinya agar segera pergi mengamankan diri.

Namun kini surat itu hanya dibiarkannya melapuk di laci meja. Tidak tahu akan mengirimkannya kemana. Yang pasti ia sudah mengirimkan isi surat itu melalui doa.

Doa seorang perindu dalam diam.

Doa seorang yang dirindukan senyumnnya oleh sang idaman.

Cerita ini hanya fiktif. Kesamaan nama dan alur cerita hanya kebetulan semata.

Tribute for Kota Sampit

Terinspirasi dari Tragedi Kerusuhan Sampit 2001, saya saat itu masih berumur 9 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar