Sabtu, 28 Februari 2015

Akasia Kering

Pagi itu aku membuang tatap sejauh bukit di depan rumahku.  Dedaunan dari akasia telah mengering sejak seminggu lalu.  Menyisakan permadani coklat kala di pandang.

Kopi di meja sudah tandas, yang tersisa hanyalah ampas dan sedikit kisahku tentangmu.  Teringat menghabiskan musim dingin setahun silam.  Masih menggantung di langit kamarku tawamu yang khas, dengan gigi putih sebagai penghiasnya.

Kepergianmu adalah awal kedatangan menjalani kehidupan yang baru.  Sungguh teramat berbeda setiap harinya.  Aku memutar-mutar gelas di hadapanku.  Mencari dirimu disana.  Terima kasih atas hadiah pemberianmu dengan gambar kita berdua.  Terpatri indah di sisinya.

Sesekali daun akasia kering itu tertiup menggulung, bersama rasa rindu yang menggunung.

Surga - Bumi itu terlalu jauh kah?

-Doddy R-

Jumat, 27 Februari 2015

Senyum Uci

Ini semua tentang kamu Uci
Senyum menggemaskan terlukis di pipi
Membawa diri jauh terbang membelah langit tinggi

Sayang sekali Uci
Kini kamu hidup di panti
Bukan ditinggal orang tua mu mati
Mereka terlalu mengiyakan ego diri
Dan kamulah yang berbaik hati
Pergi melangkah sendiri
Muak sudah mendengar basa basi  tiap hari
Yang berujung tamparan di pipi

Uci, sudah cukup kau menyiksa diri
Aku hanya ingin melihat  lagi lengkung tipis antar pipi
Senyummu Uci yang selalu membuatku jatuh hati

Aih, Uci tak patut dirimu tercampak sana sini
Apalah dayaku seorang kuli
Hidup sehari untuk sehari
Namun hadirmu menghujam berarti

Maafkan aku Uci, mungkin aku hanya sepenggal kisah tak diminati
Tapi senyum dari mu buatku abadi
Walaupun dirimu hanya ada di mimpi

Jambi, 26 Feb 2015
12:47

Kamis, 26 Februari 2015

Monitor Tua

Senja itu sedikit mendung, suasana kantor lengang. Hanya Diro yang masih sibuk mengutak-atik data di depan monitor. Ruangannya paling pojok menghadap langsung ke arah gudang. Gudang yang menyimpan berkas dan perkakas kantor yang sudah usang.

Monitor tua merek perusahaan komputer ternama tampak memenuhi salah satu sudut gudang. Persis menghadap ruangan Diro.

Diro adalah seorang analis data perusahaan mikro blogging, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan komputer daripada manusia.

Akhir akhir ini bisa sampai larut malam lembur di kantor, menurut Diro lebih menyenangkan tinggal di ruangan kantor yang sejuk daripada kamar kosnya yang sempit dan sumpek.

Malam itu malam minggu, bukan malam jum'at kliwon. Diro yang sedang serius di depan monitor komputernya, teralihkan dengan suara benda jatuh yang berasal dari gudang.

Untuk pertama, ia tidak mempedulikan. Kemudian terdengar bunyi yang kedua, akhirnya ia beranjak untuk mengecek.

Tidak ada yang aneh dari gudang itu, hanya monitor berdebu tampak seperti menunjukkan tanda tanda ingin menyala. Ia seka debu yang ada monitor itu, dan alangkah terkejutnya dia mendapati layar monitor yang memunculkan tulisan pada layar.

"Pergi sekarang juga"

Diro tunggang langgang, meninggalkan gudang berlari, cepat cepat ia menuju pintu keluar kantor. Lampu kantor mendadak mati, semua gelap. Menyisakan diro dan kegelapan.

Diro merasakan pusing yang luar biasa, kepalanya berputar sampai ia ingin muntah. Tiba -tiba, semua senyap. Ada satu cahaya disudut ruangan yang begitu menyilaukan, ia dekati cahaya itu. Ia melihat ruangan kerjanya dengan sangat jelas, orang hilir mudik sibuk kesana kemari. Ketika ia melangkah kedepan, ia terhalang kaca yang sangat besar.

Setelah memandangi sekitar dengan seksama, Diro menyadari dirinya di dalam monitor tua di gudang kantornya. Ya, ia berada di dalamnya. Dan semua orang tidak menyadari.

Diro tak pernah kembali.

Sesekali monitor itu menyala, walau tidak terhubung arus listrik.

Tulisan yang terpampang : Tolong Keluarkan Aku.

-Doddy Rakhmat-

Terinspirasi dari film TRON.

Dimensi Kegelapan

Aku terus berlari. Berlari keluar dari ruangan gelap ini berharap menemukan sedikit cahaya. Aku takut semua momok bayangan menakutkan menghantuiku di dimensi kegelapan itu. Aku tak berani menatap makhluk makluk itu, semuanya sedang menatapku. Aku ketakutan, berusaha menampar diri sendiri, berusaha menyadarkan bahwa hanyalah mimpi. Sudah kulakukan. Tapi aku tetap berdiri di dimensi kegelapan.

Tak tahu aku harus kemana, aku hanya menunduk. Melewati sosok sosok menakutkan itu, aku terus berharap ini hanya mimpi dan aku terbangun. Ternyata tidak.

Aku bingung di dimensi kegelapan ini tak ayal seperti tempat para setan, demit, jin dan para leluhurnya berkumpul. Aku ada dimana? Keluarkan aku dari dimensi kegelapan ini.

Teriakan itu hanya terdengar di hati, tidak pernah terucap. Tidak pernah terbangun dan tidak pernah tertidur. Dimensi kegelapan ini telah menjebakku, ke dalam ketakutan yang tak berkesudahan.

-Doddy Rakhmat-

Terinspirasi dari kejadian 'ketindihan' atau sleep paralysis.

Selasa, 24 Februari 2015

Malam Tanpa Bulan

MALAM.  Bukan tentang gelap, pekat atau kesunyian.  Tapi tentang sebuah penantian.  Penantian menyambut pagi.

Riz tertawa melihat langit, bulan menghilang entah kemana. Ia melirik jam di tangan kirinya, masih pukul 9. Ia menunggui bulan saat itu.  Sepekan belakangan, Riz menghabiskan malam di atap rumahnya. Memandangi langit hitam jelas tak berpenghalang.  Beruntung pikirnya tinggal di pesisir kota.  Tak ada gedung-gedung pencakar langit yang merobek indahnya hamparan angkasa malam.  Namun bulan tak juga muncul barang separuh.

Tak ada yang lebih menyegarkan saat menghirup dingin udara malam bagi Riz. 

"Bulan, bisakah datang sejenak? Aku tidak lelah menunggu tapi aku sudah terlalu rindu" kemudian Riz mulai bersenandung mengusir sepi.

Satu malam terlewati, belum ditemuinya juga sang Bulan.  Mungkin besok akan berjumpa, pikirnya.

Keesokan malam,Riz bersama kawan sepermainannya.

"Kenapa engkau menunggui bulan Riz? " tanya kawannya itu setelah melihat Riz asik termenung memandangi langit.  Seakan-akan terhipnotis. Menoleh sejenak ke pertanyaan yang dilontarkan kawannya tersebut.

Hening, kemudian Riz menatap kembali lamat-lamat langit malam itu,

"Aku menunggu bulan karena aku rindu.  Rindu akan hakikat ku sebagai manusia, yang mengagumi sekitar tapi terkadang lupa cara bersyukur .  Aku mencari Bulan, agar tahu aku masih di bumi. Bukan di planet lain"

Sedikit tercengang kawan Riz,  dengan pemikiran yang melampaui usianya menunjukkan bahwa Riz adalah seorang dewasa yang terperangkap di dalam tubuh anak kecil.

Pun seperti malam itu bulan tetap tak ia jumpai.  Berganti salju yang mulai turun. Berpadu menjadi sebuah lukisan indah di angkasa berbintang.  Dingin mulai menyelinap, Riz pulang ke rumah dengan sebuah jawaban. Meluncur membelah lapisan salju di jalan. Meninggalkan kawannya yang masih tercengang.

Riz belajar bagaimana tentang menerima, tidak semua apa yang kita tunggu selama ini akan datang.  Boleh jadi diganti dengan yang terbaik bagi kita, sejatinya masih menjadi Rahasia Indah dari-Nya. Takdir.

Terima kasih bulan dan salju telah mengajarkan.

Kegagalan Monster

Aku bukan monster
Yang perlu kau takuti

Aku bukan monster
Yang perlu kau caci maki

Aku bukan monster
Yang harus dibasmi

Aku bukan monster
Yang menghancurkan sana sini
Termasuk hati

Aku bukan monster
Yang kau cari-cari

Aku bukan monster
Yang berjuang hidup
Di atas bumi

Aku gagal menjadi monster
Di bagian hidup yang kau jalani

Aku bukan monster
Hanya sepotong kenangan pahit
Yang tak perlu kau ingat lagi

Jambi, 24 Februari 2015
12:47

-DR-

Senin, 23 Februari 2015

Apa Arti Menulis Buat Kamu?

Menulis itu membekukan kenangan ke dalam aksara yang kekal.

Itu definisi menulis menurut saya, mengapa demikian?  Karena dengan menulis saya mengingat apa yang sudah saya lihat atau lalui.  Menuangkannya dalam aksara-aksara tersusun rapi dan memiliki arti.

Kenangan tentang menulis pertama kali saya ingat betul adalah menulis tangan sebuah cerpen setebal 40 halaman, ada juga buku-buku puisi yang saya tulis langsung karena saya dulu belum punya komputer. Dan yang paling berkesan adalah saat saya menulis sebuah cerpen penuh narasi pada selembar kertas HVS, teman dekat saya Giri Prahasta Putra pertama kali membacanya dan dia salut dengan penekanan batin dalam setiap bubuh tulisan saya.

Terima kasih kawan.

Kalau definisi menulis bagi kalian?

Bubuhkan di komentar ya!

Kamis, 19 Februari 2015

Satu Menit di Dunia Nyamuk

SATU MENIT DI DUNIA NYAMUK

"Tunggu aku Nyai"

Kum mengejar pujaan hatinya, terbang di atas genangan air. Menyelinap melalui celah tembok, mengeluarkan bunyi dengung khas miliknya.  Nyai masih tidak berhenti, terus berlalu.

Kum mempercepat terbangnya, bermanuver dengan gagah.  Melayang zig zag, walau di ruangan itu ia bertarung dengan obat pembunuh baginya.  Tapi Kum tak menyerah.

Tiba-tiba, Nyai berbalik arah, Kum senang bukan main. Terbang mendekati riang gembira.  Dengungnya semakin kencang.

Tapi…

Plakk.

Baginya cinta yang perih bukan cinta bertepuk sebelah tangan.  Kum terbenam di antara kedua tangan Nyai.  Tragis. Cinta bertepuk tangan, itu pedih baginya.

Jambi, 19 Februari 2015
9.23

DR

Senin, 16 Februari 2015

Sajak Sang Iblis

Pernah kah kau melihatku?
Padahal darimu ada yang mengikutiku

Pernahkah kau mendengarku?
Padahal aku tidak langsung berbicara padamu
Tapi begitu banyak yang menyimak

Pernahkah kau menyentuhku?
Padahal saling tatap barang sedetik pun tidak

Percayakah kau dengan ada ku?
Percayalah aku selalu ada di setiap kaki yang melangkah
Sejahat apapun orang itu
Sebaik apapun orang itu
Setidakpeduli apapun orang itu

Aku selalu ada
Hingga akhir dari dunia

Jangan sampai kita berjumpa disana
Itu pesanku

Minggu, 15 Februari 2015

KLAUSTRO

Malam mendung, rembulan dimakan awan.

Perlahan melangkah di luar kendali menuju ruang itu. Hanya ada sebilah pintu tak lebar, cukup untuk menyelinap ke dalamnya. Aku diantara enam sisi putih tak berbatas. Pintu masuk tadi sudah lenyap entah kemana. Sekarang hanya memandangi kehampaan.

"Aku dimana? Jawab  pertanyaanku"

Berjalan mengitari ruang tak berujung, membuatku lelah. Sejenak aku duduk di atas lantai berwarna putih susu itu. Seketika aku terhanyut masuk ke dalamnya, lantai begitu kokoh melunak seperti gumpalan awan. Terhempas tapi tak jatuh, aku masih di ruang yang sama. Dinding-dinding berubah tak lagi polos. Ada semacam relief kehidupan disana, tak pandai aku menerka maksud. Yang ku tahu, ukiran itu berkisah tentang manusia dari lahir hingga menjumpai ajal.

Mendadak badan ku basah padahal tak ada air yang tumpah, aku tak tahu. Hanya ada mendung di sisi atas ruang tersebut, tak menunjukan kalau menjadi hujan. Relief itu tergerus perlahan bersama penglihatan yang ikut meredup, hitam. Tak ada cahaya yang kujumpai, hanya gelap dan aku. Badanku masih basah. Entah kenapa.

Mendung berganti bianglala, menjuntai dari sudut ke sudut ruangan. Gelap menjadi cerah, kembali aku bisa melihat diriku disana. Cukup lama kunikmati bianglala tersebut, enggan menghilang. Itu yang kuharapkan.

"Aku ada dimana? Jawab pertanyaanku"

Tidak ada yang menjawab, hanya diriku yang berbicara. Didengar oleh ruang tersebut.

Bianglala perlahan berubah warna. Seperti kehilangan keceriaan. Ruangan berubah menjadi putih abu. Termasuk badanku, apakah ada yang salah dengan  mata ku? Bukan mata ku yang salah, jelas-jelas ruang ini yang berubah.

Kakiku melangkah perlahan, perih. Serasa berjalan di atas pecahan kaca. Tetes merah mengalir di sisi bawah ruangan. Pedang-pedang entah darimana datangnya berjatuhan dari atas ruangan menyayat badanku tanpa ampun. Sakit teramat sangat, ruangan ini terbelah menjadi dua. Aku tenggelam di antara rongganya. Kembali gelap.

Diriku masih meradang, menahan segala perih. Sejenak aku bangkit tapi jatuh kembali. Ruang itu menjadi ruang hampa. Tak ada sisi yang bisa kupijak kokoh. Aku meringkuk ketakutan. Semakin lama ruang itu kian menyempit, menghimpit hingga aku tak bisa tinggal di dalamnya. Termasuk kamu.

"Aku dimana? Jawab pertanyaanku"

Kubuka perlahan kedua kelopak mata, dan terdengar suara

"Klaustro. Ruang sempit tapi luas. Dalam hati mu"

Suara dalam diri menjawab.

Sungai Bengkal, 15 Februari 2015
09 : 28 AM
Meja makan.

Kamis, 12 Februari 2015

Akhir yang Awal

Dalam tatih langkahku, aku ingin sedikit bertutur.  Bukan kisah sedih tapi tentang sebuah kejujuran yang pahit.  Entah terbuat dari apa hatimu, kokoh tegar tanpa cela sedikitpun walau aku yang sering mencela dalam bisik atau fisik. Mulutmu tak henti bermunajat walau sudah tahu kelakuanku bejat.  Aku bukan orang yang perasa tapi aku merasa.  Merasa dalam setiap diammu , tersirat sebuah kesimpulan jelas bahwa kau mencintaiku hidup dan mati. Tak memandang kembali cinta atau tidak. Mengajarkan sebuah hakikat terpenting dalam perkara dua insan, bahwa sejatinya cinta tak perlu banyak alasan. 

Kata maaf hanya tinggal mengangkasa.  Sudah kau dengar semua kisah dalam pundakku yang merapuh, runtuh bersamaan dengan keterlambatan.  Untuk pertama dan terakhir mengantarkanmu ke tempat peristirahatan paling dinanti makhluk bernama manusia, di muka bumi. Sebuah pergi yang tak kembali.
Ibu.

-Doddy R-

Selasa, 10 Februari 2015

Telfon untuk Ayah

Semua tentang jarak, rindu dan kasih sayang sejati

Sudah lama berhubungan jarak jauh dengan ayah. Hampir lima tahun aku dan ayah berpisah. Berpisah karena aku pergi bekerja merantau ke negeri orang. Berada di daratan yang berbeda dan dipisahkan oleh lautan itu tidak nyaman sebetulnya. Dalam waktu 5 tahun terakhir ini aku hanya bisa membayangkan dari imaji yang dikirimkan sesekali melalui pesan multimedia olehnya.

Kerinduan kepada Ayah sedikit terobati dengan mendengarkan suaranya melalui kecanggihan teknologi. Bersyukur rasanya di zaman ini tidak perlu lagi mengirim surat hanya untuk mendengar tulisan terbatas, menyampaikan rasa rindu dan baru dijawab beberapa waktu kemudian. Segalanya menjadi instan.

Biasanya aku meluangkan waktu selepas sholat Isya untuk memulai percakapan via telfon dengan Ayah. Selalu ada hal baru yang muncul dari percakapan itu, mulai hal hal lucu, nasehat nasehat bahkan terkadang keluhan. Keluhan ini lah yang sebetulnya aku tidak ingin dengarkan, bukan karena aku apatis. Bukan.

Aku hanya ingin selalu mendengar kebahagiaan dari setiap perkataan yang ia lontarkan. Akhir-akhir ini Ayah sedang mengalami sakit di bagian kaki nya. Hal itu yang kadang membuat khawatir ku semakin bertambah.

Kekhawatiran itu berujung pada kepanikanku mengingatkannya untuk pergi ke dokter memeriksa kondisi kesehatannya.

"Gak usah le, ini mungkin sakit biasa saja" jawab Ayah di suatu percakapan

Kalau sudah bilang begitu, aku malah lebih memaksa lagi agar beliau betul betul pergi ke dokter. Karena semua itu tentang Ayah, mau sejauh manapun kaki mu melangkah, tetap akan ada bayangan dan dukungan Ayah. Ayah yang selalu mencemaskanmu walau kamu tidak pernah suka untuk dicemaskan. Ayah yang selalu menyayangimu walaupun kamu belum pernah bilang sayang kepadanya.

Ya, aku pun begitu. Selama 22 tahun aku berada di muka bumi ini, rasanya aku belum pernah mengatakan sekencang-kencangnya dan seromatis-romatisnya kepada Ayah, bahwa aku menyayanginya. Belum pernah.

Di suatu malam, aku terbangun. Terbangun dari tidur dengan mimpi yang tidak begitu aku harapkan. Ini tentang Ayah, apakah ada hal buruk yang menimpanya. Aku menjadi gelisah, segera membasahi raga dengan wudhu,mendirikan sholat dan memunajatkan doa kepada Sang Maha Kuasa

Tuhan Ampunilah dosa dosa Orang Tua ku, Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sedari kecil. Berikanlah keselamatan dan kesehatan selalu kepada Mereka. Jauhkanlah dari godaan setan yang terkutuk, marabahaya yang mengancam dan siksa api neraka Ya Allah. Amin

Perasaan gelisah itu berkurang, tapi aku belum bisa memejamkan mata. Maka malam itu
kutuliskan perasaan yang sedang bergemuruh di hati di secarik kertas,  sambil menatap dalam dalam foto ayah yang  terpajang di sudut kamarku. Seraya ditemani alunan sendu lagu Ayah dari pemutar musik komputerku.

Ayah, kamu memang bukan ibu
Tapi tanpamu aku belum tentu ada
Kau ada sebelum aku ada
Aku ada dan aku ingin kau selalu ada

Ayah, entah apa yang ada dibenakmu
Setiap melihat diriku
Apakah kagummu selalu ada untuk ku?
Atau
Kekecewaan karna aku belum bisa hadir
Menjumpaimu?

Ayah, aku tidak pernah bisa mengukur dalamnya
Rasa sayang itu
Sekalipun aku meminta ahli matematika
termahsyur di dunia ini
untuk menghitungnya

Ayah, Aku mengagumimu
Entah darimana energi itu
Energi yang selalu membuatmu tersenyum
Walau banyak hal buruk yang menimpa

Ayah masih banyak yang aku perlu pelajari
Untuk menghadapi dunia yang penuh dengan ancaman ini
Mari kita saling berjanji
Berjanji untuk saling melindungi
Apapun yang terjadi

Aku tidak tahu cara membalas kebaikan itu sampai saat ini
Dan kurasa itu tidak ternilai
Yang bisa ku janjikan untuk selamanya adalah
Membuat senyum itu
Tidak akan pernah hilang dari sudut bibirmu
....

Lalu, kertas yang sudah basah karena bulir bulir air mata selama menuliskan puisi itu aku simpan dalam laci kamarku. Membiarkannya terkurung bersama kerinduan-kerinduanku yang lain.
Malam itu aku tidur dengan tenang.

25 November
Tanggal yang selalu aku ingat setiap tahunnya, dimana pada tanggal itu telah lahir seorang jagoan yang melebihi superhero manapun. Seseorang yang tidak pernah tahu menjadi inspirasi bagi anaknya. Ayah.

Suasana kantor yang begitu tenang, tiba-tiba menjadi bising oleh sebuah teriakan. Teriakan gembira oleh pemuda yang raut wajahnya senang bukan main. Ya itu aku. Kegembiraan itu muncul dari secarik kertas permohonan untuk menjalani cuti kerja telah divalidasi oleh pimpinanku di kantor. Sebuah rezeki yang patut disyukuri.

Kali ini aku menyiapkan kejutan spesial untuk Ayah, mungkin ini merupakan kado terindah yang pernah aku berikan selama ini. Aku akan menemuinya. Langsung. Bukan via suara lagi.

Sudah aku putuskan untuk mengambil cuti kerja selama satu pekan, semuanya aku rencanakan dengan matang. Dan yang lebih istimewa lagi aku tidak memberitahukan kejutan ini kepada Ayah. Ya kalau aku beritahu sudah bukan kejutan namanya.
Seminggu sebelum cuti, aku sudah tidak begitu fokus dengan pekerjaanku. Pikiran ku terbagi kepada sebuah pertemuan yang begitu bernilai untukku. Namun lamunan ku buyar dari sebuah memo yang baru kuterima di mejaku siang itu. Sebuah penundaan. Penundaan cuti ku oleh pimpinan regional. Sebuah hantaman keras untuk perasaanku. Dimana momen momen kebahagiaan yang sudah kurancang sedemikian rupa menjadi sirna.

Di dalam memo penundaan itu tidak disebutkan sampai kapan aku boleh mengambil cuti kerja ku. Hal itu didasari oleh permintaan oleh pimpinan regional ku yang menginginkan untuk menerima proyek baru di minggu depan.

Aku tidak bisa berkata-kata. Malam itu aku putuskan untuk menelfon ayah tentu saja bukan untuk memberitahukan hal itu kepada nya. Aku tetap merahasiakan sampai waktunya tiba. Menelfon untuk sekedar melepas gundah yang kusimpan dalam diam.

Akibat penundaan itu, aku menjadi kurang bergairah bekerja. Entah kenapa, seakan menunda kebahagiaan itu menjadi penyakit baru yang muncul di dunia kedokteran. Rekan kerjaku pun mulai bertanya mengenai perubahan performa ku akhir-akhir ini, aku tidak mau membicarakan hal itu kepada orang lain. Aku harus tetap profesional dengan pekerjaan ku, walau itu terasa berat. Seminggu sudah kulalui, tanggal 25 November aku lewatkan begitu saja. Tentu aku mengucapkan selamat kepada Ayah, biasanya aku kirimkan melalui video.

Dalam video itu aku mengucapkan selamat, doa, dan pengharapan serta ucapan maaf kalau belum bisa hadir menemaninya. Hatiku basah. Sepertinya Ayah menangkap kegelisahanku, dan menghiburku dengan ledekan-ledekan khasnya.

Dibalik tertawaku menyimpan beribu rasa rindu yang tak terbendung, kekhawatiran seakan kesempatanku untuk bertemu dengan Ayah tidak boleh gagal dan sia-sia begitu saja.

Proyek baru di kantor telah aku selesaikan dalam kurun waktu cepat . Dengan segenap pengharapan kali ini aku menemui sekali lagi pimpinanku pada suatu kesempatan untuk meminta cuti kerja  lagi. Aku pun mengutarakan segala permohonan, saking jujurnya aku bilang kepada Pimpinanku itu agar tidak melakukan penundaan lagi. Dan kali ini aku pasrah terhadap keadaan. Apapun keputusannya aku harus terima.

Hari itu mendung.

Kali ini aku berdiri di sebuah sudut kota yang kecil, di persimpangan jalan. Sambil menatap sebuah rumah dari balik kacamataku. Bergegas mengambil telefon genggam dari saku, aku menekan beberapa tombol dan menyambungkan ke sebuah percakapan yang sangat aku nantikan sejak lama.

Aku datang, Ayah

Dari balik pintu rumah kayu itu, melangkah keluar seseorang yang aku kenal. Lebih tepatnya, orang yang mengenalku sejak lama. Seseorang dengan jenggot putinya yang mengayun tertiup angin. Dengan baju koko dan sarungnya berjalan menghampiri pagar rumah.
Aku cium lembut tangannya seperti waktu aku berangkat ke sekolah zaman dulu, kemudian kudekap erat tubuhnya yang sudah sedikit membungkuk. Mendekapnya hingga tak ingin melepaskannya.

Dekapannya begitu hangat.
Sehangat  sinar mentari  yang memeluk bumi setiap hari

Selamat Ulang Tahun Ayah

"Cerpen ini menjadi 20 finalis Lomba Kado Terindah yang diadakan oleh LeutikaPrio Publisher"

Sabtu, 07 Februari 2015

Distancia

Semua ini tentang jarak, sebuah ruang terukur dan yang tidak.
Memisahkan dua hal.
Entah itu raga ataupun perasaan, terlebih lagi memisahkan takdir.

Akhir musim panas di salah satu sudut kota Santander, Spanyol Utara.

20 Panggilan tak terjawab

Nomor tak dikenal ini sudah mengangguku dalam beberapa jam terakhir. Aku memandangi layar ponsel berukuran yang tidak lebih dari 2 jari di genggaman tanganku itu. Lagi-lagi ponsel berdering, aku sudah tahu siapa yang ada di ujung panggilan sana. Berharap cemas padahal dulunya tidak, entahlah. Aku tak terlalu bisa menebak perasaan.

Namun ada satu hal yang membisik terus menerus di benakku, semenjak pesan singkat darinya itu kuterima. Ya, dari seseorang yang tak pernah suka dengan keberadaanku, sampai saat ini. Mungkin ia ingin aku lenyap di telan bumi. Kilat mulai menyambar-nyambar membelah langit, bergulung gemuruh. Bergegas ku tinggalkan dermaga menuju rumah. Rumah ku saat ini, mungkin selamanya.

**********

Semalam angin berhembus kencang, memukul-memukul jendela flat ku. Flat yang kutinggali ini berada di lantai empat, sengaja aku memilihnya karena menghadap langsung ke pantai Sardinero. Hamparan pasir berbalut birunya El Mar Cantabrico tersuguh setiap hari. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada melempar pandangan sejauh mungkin ke tepi laut.

"Buenos Dias" salah satu pelayan bar menyapaku.
Aku hanya membalas dengan menyunggingkan bibir, tipis.

Entah sudah berapa kali aku menghabiskan pagi ku di tempat penuh dengan canda tawa penduduk Santander itu. Sudah lama rasanya aku tak tertawa lepas, mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Aku melangkah mendekati meja favoritku, pelayan cafe  tersebut menghampiriku. Ia sudah tahu apa yang kupesan.  Pastelitos de pescado, hidangan khas spanyol dari adonan ikan dori dan salmon dihidangkan dengan saus butter. Serta segelas vermuth, anggur fortifikasi ditambah berbagai jenis rempah-rempah pahit.

Sebelum kuterima segelas vermut dari pelayan, aku sudah tersungkur jatuh bersama gelas yang terlepas dari genggaman pelayan menghantam lantai, berantakan. Suasana cafe pagi itu berubah seketika. Beberapa orang menghampiriku, pandanganku kabur. Menggigil sekujur tubuh seperti tenggelam dalam air es. Yang kudengar hanya jeritan minta tolong dan tangisan panik beberapa pengunjung wanita.

Kemudian gelap.

******

Entah  siang atau malam, aku tak bisa membedakan. Hidungku hanya langsung menangkap aroma yang tak kusukai. Rumah sakit. Sudah lama rasanya aku menghindar tempat ini, kenistaan dalam diriku yang menolak berada di tempat tersebut.

Selang infus tergantung di sisi kiri ku, menatap lemah sekitar ruangan serba hijau itu sama seperti baju yang kukenakan sekarang. Gelang pasien bertuliskan namaku dengan huruf kapital tersemat di tangan kiriku. INDRA.

Ponselku berdering, bukan panggilan hanya pesan singkat.

Kamu tidak apa-apa? Aku sedang menuju rumah sakit sekarang

Mata ku memastikan seksama pesan tersebut, dari nomor tak kukenal. Siapa lagi gerangan orang itu. Apakah aku memiliki pengagum rahasia?

Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar.

Aku harap itu dokter. Lebih baik aku berpura-pura tidur, Indra sambil menarik selimut dan tenggelam didalamnya. Dalam selimut, aku mendengar langkah sepatu hak tinggi menggema kamar.

"Indra?"

Aku masih enggan keluar dari selimut walau si tamu misterius itu telah memanggil namaku. Ia kembali memanggil, aku bisa merasakan dia sedang duduk di tepi tempat tidur.

"Aku tahu, kamu sedang tidak tidur" si tamu misterius itu berujar sok tahu seraya membuka selimut yang menutupi diriku.

Seketika, semua kenangan buruk yang kusimpan lima tahun terakhir terkuak kembali. Ketika melihat wajah si tamu misterius yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup itu menyeringai ke arahku.

*********

Surabaya, lima tahun silam

Matahari sudah beranjak dari bumi sebelah timur, hangatnya membelai masuk ke dalam kamar rumahku. Jam wekerku tak berbunyi seperti biasanya, mungkin sudah mulai rusak dimakan waktu. Dirinya lah yang membangunkanku selama masih mengenyam sarjana. Tergantung di dinding, foto empat orang bahagia menatap kamera. Salah satunya ada yang mengenakan toga, itu aku. Tiga bulan yang lalu aku lulus, sekarang aku masih tinggal bersama keluarga ku.  Bapak, Mama, dan Indri, adik perempuanku satu-satunya. Kami berempat sudah tinggal di rumah pinggir kota ini saat Indri masih dalam kandungan, aku sudah bersekolah taman kanak-kanak. Tidak jauh memang jarak umur kami, sering kali kalau berjalan bersama adik ku itu orang-orang mengira dia adalah kekasihku. Kenyataan tidak, akupun memang belum pernah memiliki seorang kekasih.

Rumah lengang,  hanya Mama yang sedang bernyanyi gembira di dapur bersama acara masak memasaknya. Aku melangkah keluar kamar, meneguk beberapa gelas air putih. Dan segera bersiap-siap, hari itu adalah hari yang penting. Hari pertamaku bekerja. Tak banyak yng aku persiapkan, hanya pakaian rapih dan tas ransel.

"Dra, kamu berangkat jam berapa?" tanya Mama di ujung dapur, suaranya terdengar sampai ruang tamu

"Ini aku mau berangkat Ma" jawabku sambil menyimpul tali sepatu, kuhampiri Mama dan pamit berangkat.

******

Aku sudah menunggu sedari tadi di lobby, menunggu panggilan dari atasanku kemudian resepsionis mempersilahkan masuk

"Selamat datang di Tama Residence and Property"

Pria klimis berwajah oriental menyambutku di ruangannya, Chen. Terpampang papan nama di atas meja kayu klasik di hadapanku.

"Baiklah Indra, to the point  saja lah. Perusahaan kita ini perusahaan properti terkemuka, klien kita adalah kaum menengah ke atas. Jadi jangan sampai klien kita merasa tidak puas dengan pelayanan kita. Terlebih lagi kamu menjadi bagian dari divisi sales dan marketing" mata atasan ku itu berbinar-binar, menaruh harapannya pada seseorang yang baru bekerja di depannya

"Baik pak Chen, saya lakukan semaksimal mungkin-" belum selesai aku menjawab.
Atasanku itu menggoyangkan telunjuk sambil mengernyitkan dahi ke arahku, "Tidak ada kata mungkin di dalam perusahaan kita Indra. Everything is possible!"

Sudah seperempat jam aku bersamanya, keluar dari ruangan dan berjalan menuju ruangan ku bekerja. Belajar bersama rekan-rekan senior disana. Meyakinkan diri semoga aku betah bekerja di tempat penjual janji-janji kehidupan yang lebih baik itu.

Aku tidak pernah tahu.

*******

Hampir sebulan aku bekerja, Chen mulai menyukai kinerjaku. Penjualan properti selama aku bergabung meningkat lima persen dari bulan sebelumnya, angka yang patut dipertimbangkan untuk seorang newbie dalam dunia bisnis tersebut. Kemudia Chen mempercayakanku untuk memimpin Bazaar di Property Expo yang diadakan di salah satu pusat perbelanjaan terbesar Surabaya.

Aku berjumpa dengan salah satu klien, prediksiku umurnya mungkin lebih tua dariku lima tahun. Penampilan wanita karir dan sosialita yang melebur menjadi satu.

"Silahkan Bu, kami ada penawaran untuk pembelian hari ini akan mendapat keuntungan berupa cash back sampai 10 juta rupiah"

Perempuan tersebut menoleh ke arahku, "Tidak usah panggil saya dengan sebutan Ibu. Apa saya terlalu tua di mata kamu"

"Tidak sama sekali, maaf kalau saya salah berbicara" jawabku meredam protes perempuan berkulit putih itu

Sekali lagi perempuan itu melihat diriku dari kepala sampai kaki, kemudian ia berkata "Saya akan beli hari ini.  Tapi kalau anda berkenan, kita bisa membicarakannya di coffee shop lantai dasar. Bos saya sudah menunggu di sana, ada penawaran kerjasama"

Awalnya aku sedikit meragu, karena expo sedang ramai pengunjung, tapi penawaran kerjasamanya membuatku mengiyakan ajakan perempuan itu. Setelah berkoordinasi dengan rekan kerja yang lain, aku meninggalkan stand mengikuti langkah perempuan tersebut menuju lantai dasar.

Di coffee shop itu aku berjumpa dengan pria paruh baya ber jas putih dengan celana warna sama sedang duduk membelakangiku.

"Bos perkenalkan ini, Indra dari Tama Residence & Property"
Cukup terkejut dengan sepatah kata yang diucapkan perempuan di sampingku itu, Darimana dia tahu namaku? Baru sadar aku mengenakan tanda pengenal pada saku kemeja saat itu. Aku pikir dia seorang cenanyang, ternyata bukan.

Pria itu mempersilahkanku duduk, perempuan yang belum mengenalkan namanya itu duduk di samping ku. Meletakkan tas wanitanya di atas meja, kemudian memasang posisi mendengarkan.

"Perkenalkan nama saya Matsu. Mister Indra, saya akan investasi di perusahaan anda" Pria itu membuka percakapan dengan perkenalan. Sudah dipastikan dia berasal dari negeri sakura Jepang, ditambah dengan dialek bahasa indonesia yang belum terlalu fasih.

Pembicaraan berlanjut, perempuan yang belum aku kenal duduk disampingku itu masih mendengarkan sesekali mengambil telefon genggamnya, mengetik cepat. Mungkin membalas pesan singkat.

"Mr Matsu, terima kasih telah bekerjasama. Kontrak kerja sama akan segera saya bawa. Saya harus mengambilnya di kantor"
Aku menutup pembicaraan.

Mister Matsu melirik perempuan di sampingku,
"Sinta, kamu tunggu disini. Saya harus pergi menjumpai relasi di Jakarta. Beres semua nya kan?"

Perempuan itu mengangguk pelan.
"Jangan lama-lama PAK Indra, saya juga masih banyak urusan"

Aku dan mister Matsu masih berbincang santai bersamaan meninggalkan coffee shop, tak menghiraukan ucapan terakhir Sinta. Perempuan itu kembali mengutak-atik telepon genggamnya. Membuat pesan singkat, mungkin.

Satu jam kemudian aku kembali, ke coffee shop itu. Dari jauh Sinta sudah menangkap kedatanganku, mukanya setengah kesal. Tatapannya sinis, semacam ada kebencian yang tersimpan. Aku duduk di hadapannya. Tidak banyak yang diperbincangkan, aku hanya menyerahkan beberapa dokumen perjanjian kerjasama yang harus di tandatangani.

Sinta mempersilahkanku meminum segelas kopi tersuguh di depanku, ia ikut minum. Aku meneguk setengahnya sebelum aku undur diri. Pandanganku meredup, tubuhku terasa melayang. Langkahku menyilang tak beraturan, tiba-tiba Sinta membantu memegangi lenganku. Sesaat kemudian aku tak sadarkan diri.

********

Sayup-sayup terdengar desing mesin pendingin udara, detik jarum jam yang terpasang di dinding kamar dan cahaya matahari memasuki sebagian ruangan, tirainya terbuka.

Aku dimana. Kepalaku luar biasa berat, berbaring. Aku baru menyadari bahwa tidak ada sehelai benangpun menutupi badanku yang masih dalam selimut. Seketika aku terkejut, melihat ke kanan kiri, memastikan tidak ada orang lain di dalam ruangan tersebut. Sambil meraih pakaianku yang tergeletak di lantai.
Aku mendapati sebuah amplop berwarna biru di atas meja , samping tempat tidur. Perlahan aku membuka  dan membaca kertas di dalamnya.

Selamat anda terpilih. Jangan coba-coba melapor. Karena Anda telah mati.

Isi kertas itu begitu singkat tapi membuka ribuan pertanyaan di pikiranku, tak sengaja beberapa kertas yang aku yakin foto. Dunia ku runtuh seketika, langit dan bumi serasa menyatu menghimpitku sampai tak bisa bernafas. Foto-foto tak senonoh itu berisikan aku yang tak sadarkan diri seolah-olah berbuat asusila ke perempuan yang tak kukenal. Keringat dingin mulai membasahi keningku, aku bingung luar biasa. Kalimat penuh misteri yang kubaca masih menggelayut di pikiran.

Tanpa pikir panjang lagi aku melaporkan kejadian itu ke kepolisian. Keluargaku tidak boleh tahu dulu semua kejadian yang menimpaku saat itu. Telah kuceritakan kronologis kejadian tersebut ke pihak berwajib di kantor, bukannya mendapat perlindungan. Aku dituduh sebagai pemerkosa setelah melihat foto-foto yang kutunjukkan kepada mereka. Hei, mana ada pemerkosa yang mengaku? Tidak ada kan. Sialnya mereka tak mau mendengarkan satu pun pembelaan ku, dan akhirnya semua berakhir di sel tahanan. Seumur hidup belum pernah aku mendekam di balik jeruji besi. Untuk malam itu lah aku merasakannya.

Malam belum larut. Petugas jaga memanggilku, memberitahukan ada seseorang yang ingin bertemu. Kuharap itu bukan Indri atau kedua orang tua ku. Tambah kacau urusannya nanti. Aku dibawa ke ruang besuk, disana aku menjumpai perempuan yang baru kujumpai tadi pagi. Sinta.

"Kenapa kamu bisa ada disini?"

Sinta balik bertanya sinis, "Harusnya aku yang bertanya. Bukan kamu tolol"

Tanganku masih terbungkus borgol tak berdaya, kalau saja dia bukan wanita. Mungkin sudah kubuat tak berbentuk wajahnya.

"Apa mau kamu?" tanpa basa basi aku membentak.

"Mudah, aku hanya ingin memberitahukan satu hal kepadamu" Sinta menjawab santai
Aku masih diam, menunggu.
Sinta berdiri mendekatiku, menunduk dan berbisik halus.

"Kamu sudah tertular AIDS" kemudian Sinta berlalu meninggalkanku sendiri.
Aku terdiam. Emosi ku yang meluap-luap serasa tertahan menyisakan kegeraman mendalam. Seketika aku mengejar Sinta, tapi petugas jaga menghalangiku. Sinta menghilang dari pandangan.

"Dasar wanita jalang!" aku berteriak menggema seisi gedung.

*******

Pagi menjelang, tidak ramai. Aku tidak bisa tidur malam itu, menyisakan mataku yang sembab. Masih dibalik jeruji besi, kali ini petugas jaga mendatangiku lagi dan membawa ku tempat pelaporan. Pihak kepolisian mengungkap sudah ada yang mencabut kasus penahananku, aku bertanya lebih lanjut dan kudapat informasi bahwa perempuan bernama Sinta yang melakukannya.

Kalut. Yang kupikirkan saat itu jangan sampai keluargaku tahu masalah ini, bisa bisa menjadi aib buruk di mata tetangga. Bergegas aku ke salah satu rumah sakit, setidaknya aku harus memastikan apakah memang betul aku sudah mengidap penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Selama perjalanan menuju rumah sakit, pikiranku melayang mencari jawaban dan alasan-alasan tepat yang kusampaikan ke keluargaku kelak.

"Mas Indra, ngapain kamu disini mas?" seseorang memanggilku dari belakang

"Indri, lah kamu kok juga disini lagi apa" tanyaku was was campur ketakutan

"Indri lagi jenguk teman yang sakit di sini" jawab Indri seraya membetulkan tas sandangnya yang jatuh

Indri masih menunggu jawabanku
"Iya mas kesini cuma periksa kesehatan" timpalku seadanya

"Bapak sama Mama khawatir kenapa tidak ada kabar semalam, tumben tidak pulang"

"Ada kerjaan sampai menginap di kantor" aku menjawab beralasan kemudian aku pergi meninggalkan Indri bergegas tak ingin kebohonganku terendus.

Lembaran dari amplop yang kubawa itu tak sengaja jatuh terbawa angin, Indri memungutnya sambil membaca hasil analisa darahku. Ia menutup mulut dengan tangannya, serasa tak percaya apa yang sedang dibaca dengan mata kepalanya sendiri.

"Indri, jangan pergi dulu. Mas mu bisa jelaskan" aku mengejar Indri yang sudah sampai di lobby rumah sakit.

"Bapak Mama pasti kecewa mas" Indri menjawab sambil menangis sesenggukan tak memandangiku.

Aku membiarkannya tenang dahulu, mengajaknya duduk di salah satu bangku rumah sakit dan mulai menjelaskan kronologis kejadian yang menimpaku. Tidak ada lagi yang bisa kututup-tutupi.

"Jadi apa yang harus Mas lakukan Indri?"

Tangis adikku itu mereda, "Mas harus jujur sama Bapak dan Mama. Ingat pepatah, sampaikanlah mas kejujuran itu walau amat pahit rasanya"

Aku diam sejenak, mencerna kalimat terakhir adik ku itu. Walau hati ini terasa amat berat, apapun yang terjadi, terjadilah. Lelaki sejati adalah lelaki berani bertanggungjawab terhadap apa yang mereka perbuat. Meski menurutku, aku adalah kambing hitam dari segala masalah yang tak pernah kuperbuat sebelumnya. Inilah takdir, pikirku.

*********

Berjalan ke dalam rumah serasa menginjak hamparan duri, Bapak dan Mama sedang duduk di ruang tamu. Berbincang-bincang santai, kemudian berubah cemas melihat kedatanganku yang menghilang seharian. Segera aku menghampiri mereka, duduk dan menceritakan yang terjadi. Raut cemas yang kulihat saat itu berubah menjadi marah.

"Sampai kapanpun, bahkan sampai diriku hanya tinggal jasad tak bernyawa. Jangan kau sentuh tanah Surabaya ini lagi" teriak Mama disertai jeritan-jeritan kesal. Menampar pipi kananku, pedih. Tingkah lakunya tak menggambar sosok ibu yang lemah lembut terhadap anaknya, malah sebaliknya.

Aku menjawab gemetar menahan perasaanku, "Baik kalau memang ini semua yang kalian inginkan. Aku pergi, tapi jangan pernah memintaku pulang. Camkan itu. Aku kira rumah ini adalah tempatku berlindung ternyata tidak, keluarga ini hanya butuh yang baik-baik saja. Yang nista seperti aku haram tinggal disini"

Indri sambil menangis mendekatiku berniat membujuk, "Mas, jangan bicara seperti itu kepada Bapak Mama nggak baik mas. Kualat nanti sampean"

Tangannya kutepis saat hendak menyentuh pundakku untuk menenangkan, "Kamu sama saja Indri. Tidak usah berlagak baik dihadapanku. Kamu nggak mau kan punya saudara kena AIDS, ngga mau kan!"

Aku berjalan keluar rumah setengah berlari, setiap langkah yang kujejakkan penuh rasa kekecewaan, kesedihan, dan amarah tak tertahankan. Tak ada lagi aku memandang rumah dibelakangku.

********

Sudah tujuh jam lalu kutinggalkan kejadian paling menyakitkan seumur hidupku itu, menjauh dari Surabaya menuju Jakarta. Aku sudah memutuskan untuk menghilang dari kota kelahiranku itu. Rencanaku ke Jakarta akan menjumpai teman kuliahku yang mendapat pekerjaan disana.  Harapanku semoga ia bisa membantu mendapatkan pekerjaan baru.

Kupandangi jendela kereta, bingkai yang menyuguhkan pemandangan sekaligus kenangan. Silih berganti bersamaan dengan kenangan masa kecilku. Aku ingat masa-masa kecil penuh kebahagiaan, menanam padi bersama kakek nenek. Bermain dengan kerbau sampai jatuh berlumpur-lumpur. Tidur siang di saung sambil mendengarkan radio memutar lagu Darah Muda nya sang raja dangdut. Atau menikmati senja yang singkat namun begitu melekat.

Lelah pikiran dan perasaan ini membuatku mengantuk, ingin segera tidur melepaskan semua penat yang ada. Setidaknya ketika aku membuka mata, kehidupan yang lebih baik segera datang. Walau aku takkan pernah tahu, apakah diriku masih membuka mata setelah tidurku waktu itu. Hidup dan mati adalah rahasia terbesar yang belum pernah terpecahkan oleh siapapun, kecuali sang Pencipta. Hanya Dia yang tahu.

Tiga bulan berlalu, seolah-olah kejadian petaka itu tak pernah terjadi. Selama itu aku juga berpikiran ingin sembuh, tapi dengan cara apa? Belum ada obat penyembuhannya. Teman kuliah ku itu menemukan sebuah pekerjaan bagiku, jurnalis sebuah majalah travel. Walau tulisanku bisa dibilang ala kadarnya, setidaknya aku bisa berjalan-jalan menyambangi daerah-daerah yang belum pernah kujumpai sebelumnya, kecuali Surabaya.

Pimpinan redaksi ku memberikan ku tawaran untuk menetap di salah satu negara di Eropa, majalah travel kami saat itu sedang mencoba go international. Persaingan media cetak sedang memanas. Tanpa pikir panjang, kuterima tawaran tersebut. Saatnya aku menghilang.

**********

Potongan-potongan memori itu kembali ke dalam ruangan sempit di salah satu sudut kota Santander. Mendadak tubuhku panas, aku merasakan haus yang amat sangat.

"Sinta apa lagi yang kau lakukan padaku, hah!" aku berteriak mengerang kesakitan

Senyum sinis yang masih kuingat itu terngiang di benakku yang kacau. Ia mengeluarkan sebuah suntikan yang sudah kosong terpakai sambil melirik infusku yang berubah menjadi warna hitam. Racun itu sudah terlalu banyak mengalir ke dalam tubuhku saat aku mendekap di dalam selimut.

"Kenapa kau lakukan semua ini? tanyaku dengan suara parau melemah
"Sengaja aku mengejar kamu Indra ke pelosok Spanyol ini.  Memastikan tidak ada lagi saksi kejahatanku lima tahun lalu.  Sama, Aku tidak mau menanggung derita ini sendirian, aku juga dibuang dari kehidupanku. Sama halnya yang terjadi dengan dirimu bukan? Nista karena AIDS"  Sinta menjawab seraya meninggalkanku merasakan sakit luar biasa.

Bergegas meraih ponsel yang ada di sampingku. Menekan tombol panggilan ke nomor yang sudah menelfonku berkali-kali dari kemarin.

Panggilan tersambung di ujung sana. Suara yang lama tak kudengarkan itu menjawab lembut.

Aku berkata patah-patah, "Maafkan aku, Ma"

Distancia (dalam bahasa Indonesia, Jarak)  mengajariku bahwa rumah bukan tentang atap atau lantai. Bukan tentang mewah atau sederhana. Rumah bukan hanya tempat bernaung atau berlindung. Rumah adalah ketika kau memilih menjadi dirimu sendiri, dimanapun itu. Maka kamu tak akan merasa seperti orang lain di ragamu sendiri.

Distancia, jarak itu sekarang terlalu jauh. Aku sedang menatapi mereka dari atas langit. (DR)

******************************

Jumat, 06 Februari 2015

Move On

Tulisan ini saya ambil dari blog zaman kuliah saya yang tak bisa diakses melalui web lagi.  Sekalian bernostalgia lika-liku masa mahasiswa dulu.

Maaf gaya bahasanya masih ber -gue- dan -elo-.

Selamat membaca!

Setelah seminggu penuh ujian, Bertarung melawan soal-soal dalam ruangan ber-cctv. Mumpung ada libur panjang gue sempetin buat posting lagi. Walau hari selasa nanti masih ada ujian lagi. Pembaca pasti udah pada haus akan ketidakwarasan gue *ge-er*. Aku datang membawa telaga kegilaan pada kalian.

Well, bagi anak SMA pasti lagi sibuk-sibuknya nih buat UN. Yap, ujian nasional memang menjadi semacem ceremony yang dirayakan secara nasional di seluruh penjuru Indonesia. Bimbel, les-les dan belajar untuk mengulang materi mulai kelas 1 sampai kelas 3 memang tidak mudah. Gue pengen berbagi sedikit pengalaman menghadapi ujian dari dulu sampai sekarang. Izinkan saya.. *Suar nge bass Rhoma Irama*

1. Persiapkan diri dengan baik

Sebagai seorang siswa atau mahasiswa, kesehatan tubuh perlu dijaga baik sebelum, selama maupun sesudah ujian. Lakukan lah olahraga, misal Jalan-jalan keliling komplek rumah, push up, sit up atau main tangkap-tangkapan sama kucing tetangga. Jangan tetangganya yang kalian tangkep.

2. Sarapan di pagi hari

Sebelum ujian sempatkanlah untuk sarapan. Gak mau kan pada saat ujian pikiran kita malah kepikiran Nasi Goreng di Kantin Sekolah atau Cireng Mbok Minten di sebelah sekolah. Sarapannya juga yang bergizi dan secukupnya aja. Jangan menghabiskan kambing guling di pagi hari. Yang ada kalian malah kekenyangan, susah mikir dan ngantuk pas ujian. Sesuaikanlah porsinya dengan kondisi dompet juga buat kamu yang tinggal gak bareng sama orang tua. Hemat pangkal kaya. *curcol*

Hindari makan yang pedas-pedas atau yang mengandung bahan yang bisa bikin perut kalian mules. Kalau udah begitu, teknik “menahan” kurang ampuh di saat ujian. Gak lucu kan saat semuanya fokus ujuian. Tiba-tiba ada bau amoniak merebak di kelas. Terus temen lu keracunan, terus muntah darah atau mereka harus mendengarkan the sound of fart from your ass. It’s not cool.

3. Kartu ujian

Ini merupakan benda yang nggak bisa kalian tinggalkan selama ujian. Kartu ujian adalah benda sakral pertama. Usahakan setelah selesai ujian masukkan lagi ke dalam tas. Jangan kalian kalungin terus. Bagi mahasiswa mungkin Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) jangan sampai lupa dibawa. Kalau ketinggalan, hasilnya ntar kalian ikut ujian susulan. Simpen KTM kalian di dompet kesayangan. 

4. Bawa alat tulis lebih dari satu

Pernah mengalami dimana saat-saat genting seperti ujian kalian lupa bawa alat tulis? Atau Cuma bawa alat tulis satu tapi gak berfungsi dengan baik? Siapkan lah semuanya dengan cadangan. Gak Cuma pemain bola yang perlu pemain cadangan. Alat tulis pun perlu ada cadangannya juga.
Lisnep : *lagi asik ngerjain soal*
Soal kok dikerjain? Berasa mau bilang, Soal, April Mop!

Oke lanjut Lisnep sedang asik mengerjakan soal. Baru beberapa soal yang dia kerjakan. Pensil yang dia pakai patah, temen-temennya juga gak ada bawa pensil lagi atau serutan pensil. Lisnep frustasi. Dia memandang ke luar ke arah jendela. Menunggu hujan yang tak kunjung hadir #galau
Di dalam kegalauannya lisnep mendapat pencerahan. Doi bakalan nunggu temennya yang beres ujian baru dia pinjem pensilnya. Dan dia tersadar yang dihadapannya adalah matematika.
Mampus gue..
Untungnya pengawas yang melihat kegalauan Lisnep menghampirinya dan mengeluarkan sebuah tongkat eh pensil *berasa di
Harry Potter jadinya, tiba-tiba Lisnep mengeluarkan patronus Cacing Minta Kawin* Untung pengawasnya baik saudara-saudara. Kalau tidak apa yang terjadi pada Lisnep. Pasrah dengan nilai seadanya, pasrah dalam kegalauannya atau pasrah mengeluarkan patronus Cacing Minta Kawin. Aneh memang.

5. Jangan lupa berdoa

Sebelum ujian alangkah baiknya dimulai dengan berdoa dulu. Bahkan sebelum kalian mengerjakan sesuatu juga harus dimulai berdoa bukan? Tapi doanya jangan seperti Lisnep ya
Lisnep : Ya Tuhan semoga pengawasnya gak galak dan matanya gak kelayapan. Jadi saya bisa nyontek
Dan tiba-tiba gue teringat doa yang diajarkan salah satu guru gue pas lagi bimbel di sekolah. Menurut gue doanya tersebut gak egois.
Guru : “ Berdoalah dengan menggunakan kata kami jangan aku. Karena suatu ketika, misalkan salah satu diantara kita dikabulkan doanya. Maka semuanya akan terijabah”
Guru yang lain : “Berdoalah, Ya Tuhan Berikan lah kami kemudahan dalan ujian ini. Dan berikanlah petunjuk ketika kami kebingungan. Amin”

6. Baca instruksi soal secara teliti

Instruksi jangan dianggap remeh. Fatal akibatnya kalau kalian ngisi jawaban bener-bener tapi instruksinya gak kalian lakuin. Kalau UN mungkin instruksinya ngga berubah-berubah. Pakai pensil, suruh ngelingkerin lembar jawaban komputer. Nah kalau kuliah. Dosen bakalan ngasih instruksi yang berbeda-beda. Ada jawaban yang harus di silang, di lingkari, harus pake pulpen gak boleh pake pensil atau warna pulpennya harus hitam. Kalau udah begini, pertama kali dapet soal ujian baca semua petunjuknya sampai halaman terakhir baru mulai ngerjain soal. Jangan buru-buru.

7. Kerjain soal yang dianggap mudah dulu

Startegi dalam mengerjakan soal juga perlu dibikin. Kerjakan lah soal yang kalian anggap mudah. Kalau kalian anggap semua mudah ya udah gampang, tapi kalau semuanya kalian anggap sulit. Ya udah jangan dokerjain, hloh!?. Kerjakan semampu yang kalian bisa. Percaya diri sendiri. Karena ini ujian, sifatnya menguji. Jadi ujilah diri kalian buakn orang di sebelah kalian.

8. Cek lagi sebelum lembar jawaban dikumpul

Sebelum lembar jawaban dikumpul. Usahakan cek ulang lagi jawaban kamu, mungkin ada beberapa jawaban yang menurutmu belum yakin atau salah karena faktor salah baca soal. Jangan karena pengen dianggap hebat kalian keluar duluan. No body perfect’s

Lisnep berjalan keluar ruangan ujian dengan kaki enteng. Waktu ujian padahal baru berjalan 30 menit. Seorang guru bertanya padanya, “Nep, kamu kok udah keluar. Pasti udah belajar keras ya jadi gampang aja jawabnya” Lisnep diam saja, ngeloyor pergi ke WC sekolah.
*nyalain keran* terus showeran dibawah keran.
“Kenapa soalnya susah banget!!!!!!!!”

9. MOVE ON

Sering gak kalian ngebahas soal-soal pas udah beres ujian. Saran gue, tinggalkanlah kebiasaan itu. Karena kalian bakalan kepikiran sama jawaban yang kalian isi di lembar jawaban.

Lisnep : Eh, kalian tadi jawaban yang nomer 1 itu tadi A ya?
Temen lisnep: Bukan, masa A sih. Itu kan yang ditanya kan kecuali?
Lisnep : *Jleb*
Lisnep ke WC sekolah, nyalain keran, ngegalau dibawah keran. “Kenapa semua ini terjadi!!!”
“Kenapa gak ada air!!!!”

Lisnep gagal keran-an. Daripada kalian kepikiran seperti itu mending Move On deh. Kalian harus menatap ke depan, jangan menatap ke belakang. Kalau mau bahas, ya cari taunya pas udah berakhir masa-masa ujian. Lanjut ke Lisnep, doi jadi kepikiran ama jawaban-jawaban. Lagi makan inget jawaban, lagi jalan inget jawaban, lagi inget jawaban inget soal,hloh?!
Kalau ada temen kalian yang ngajak bahas, ubahlah topik pembicaraan.

Temen lisnep : Eh, jawaban kamu tadi yang terakhir apa?
Lisnep : Eh apa. Oh iya gimana nasib cinta jessica sama olga y?
Temen lisnep : *pembicaraan teralihkan* Iya tuh olga lidya sama jessica alba, gaje beudh.
Lisnep : #$@%^&@@$^*&& Yang gaje itu elu!!!

Oke, Ke sembilan poin diatas adalah tips yang bisa kalian coba walau ada beberapa poin yang rada gak waras. Tolong jangan diikuti. Itu adalah kesalahan monitor anda. Semangat bagi yang mau UJIAN.

Salam Doddysabilitas?!

Lisnep, nama tokoh di atas adalah kebalikan dari Pensil.
Quiz postingan ini : Ada berapa kata “Jangan” dalam postingan ini?

Over and out

Ikhlas

Apa yang tak terlihat belum tentu ia tak berwujud?

Apa yang tak terdengar belum tentu ia tak bersuara?

Semua yang kita simpan dalam diam
Menyimpan rahasia kita bersama Tuhan

Semua yang kita berikan dalam diam
Menyimpan pahala tersendiri di Mata Tuhan

Segelintir ikhlas yang tak pernah disebutkan
Ikhlas yang tak perlu dikumandangkan
Karena itulah sejatinya Ikhlas.

Tak perlu diperlihatkan
Tak perlu disuarakan
Tapi diwujudkan dalam diam dan tanpa meminta pengharapan kembali

Jangan pernah meminta ikhlas
Karena ikhlas bukan benda
Yang bisa diminta

Tapi berilah keikhlasan itu seperti angin yang lupa dari mana dia datangnya dan tak tahu akan kemana

Sesungguhnya Ikhlas sangat dekat dengan Rendah hati.

DR

Rabu, 04 Februari 2015

Thanks sudah Confirm!

Thanks sudah confirm!

Kata-kata sakti itu tak asing lagi bagi para pengguna Facebook. Khususnya saya, kurang lebih sudah hampir 6 tahun melalang buana di dunia biru buatan Mark Zuckerberg ini. Pertama kali mengenal Facebook saat kelas 2 SMA, dan mulai aktif saat semester pertama kuliah. Awalnya saya masih terlalu malas untuk membuka jejaring sosial tersebut, belum bisa berpindah dari Friendster (sekarang sudah menjadi social media gaming). Namu beberapa waktu, teman-teman saya sudah banyak yang menggunakan Facebook. Begitu mudah kita berteman dengan siapapun itu, baik yang sudah dikenal bahkan belum pernah kita jumpai sekalipun. Tinggal tekan tombol perintah Add Friend

Saya sangat berterima kasih dengan Facebook, karena hanya dialah satu-satunya jejaring sosial yang konsisten memberitahukan kalau teman kita ada yang berulang tahun setiap harinya. Tapi tidak bagi saya, tiga tahun terakhir, saya lebih memilih untuk menghide informasi tentang tanggal lahir saya di kolom about me. Mengapa hal tersebut saya lakukan? Bukankah baik bila seseorang mengingat atau mendoakan temannya yang sedang berulang tahun? Alasan saya untuk tidak menampilkan tanggal lahir saya sederhana, tidak mau dimintai traktiran. Agak sedikit aneh memang, namun itulah saya. Saya tidak mau pelit sebenarnya, cuma keuangan saat zaman kuliah saat itu sangat terbatas. Hanya mengandalkan uang saku dari program beasiswa saja untuk hidup hampir 3 tahun di kota hujan, Bogor. Saya tidak mau meminta kepada orang tua untuk hal-hal yang menurut saya tidak terlalu penting. Yeah anak laki-laki itu harus mandiri! Prinsip itulah yang saya pegang selama merantau di tanah orang.

Adanya Facebook juga menambah julukan teman-teman saya di kampus, si Update Staus. Entah saya baru menyadari akhir-akhir ini saat membaca ulang activity log  di Facebook beberapa tahun silam ternyata saya termasuk spesies ALAY. Dimanapun, kapanpun, apapun, semua dituliskan dalam status. Mulai dari nyeduh mie sampai kata-kata huft, baru pulang praktek di kebun. Aih. Teman kuliah saya juga sudah bisa menebak kalau saya sudah pegang handphone, seketika mereka meledek  'langsung update status.......' Ah sudahlah.

Doddy SafelyBorn, nama facebook saya dulu. Yang artinya, Doddy lahir dengan selamat. Saya terinspirasi dari salah satu perkataan ayah saya. Saat itu saya menanyakan arti dari nama saya. Dan beliau mengatakan lahir dengan selamat tersebut. Belakangan ini saya baru tahu, kalau arti sebenarnya adalah kasih sayang. Uhuy, kasih sayang. Ayo, Siapa yang mau disayang? Lupakan.

Tapi ada satu hal yang tak pernah saya lupakan dari facebook. Terutama pada salah satu note facebook yang masih saya simpan sampai sekarang. Ada seorang teman kuliah, sebut saja Maira. Suatu ketika pada akhir tahun 2011, ia membagikan note sebuah lomba kepenulisan bertemakan disabilitas. Ada lomba puisi dan lomba cerpen, akhirnya saya mencoba untuk mengirimkan salah satu puisi saya yang berjudul 'Puisi Tuna Wicara dan Penyair Tuli Tuna Aksara', puisi yang saya buat terdiri atas 300 kata tersebut berhasil masuk ke dalam 30 besar dan dikompilasi menjadi sebuah antologi  yang diterbitkan. Walaupun saya tidak memenangkan lomba tersebut, justru itu menjadi titik awal saya bangkit kembali untuk menulis. Saya percaya akan tetap ada orang yang menghargai karya abstrak saya entah itu puisi atau kisah fiksi. Walaupun tidak banyak tapi saya tetap bahagia. Karena menulis bagi saya adalah untuk kebahagiaan diri sendiri jika orang tertarik dengan tulisan kita, itu sebagai bonusnya.

Kepadamu Maira, terima kasih telah menyemangatiku tanpa sengaja. Melalui note Facebook.

Facebook tidak akan pernah mampu mengukur kesetiaan seorang teman, tidak akan pernah bisa menghitung semua teman sejati kita di dunia nyata. Bisa saja mereka bertemanmu sekarang, esok mungkin sudah masuk dalam block list mereka. (DR)
************

Teriknya Malam

Menunggu dan selalu menunggu
Meneriakan sekeras-kerasnya di dalam gaung sepi ini
Sepotong hati yang baru ku ada dimana?

Milyaran manusia
Adakah di salah satunya?

Wahai Dewi Cinta
Teriknya malam ini, membuatku tidak beranjak
Enggan menyentuh dinginnya embun malam ini
Biarkan aku menikmati teriknya saja

Lalu kulalui malam ini dengan hanya menikmati bulan yang juga menatap kosong para pujangga
Mencari sepotong kata dan hati yang baru.

Senin, 02 Februari 2015

Fiksi Mini : Bintang Kecil

BINTANG KECIL. Hamparan langit kehilangan dirinya, malam ini.
                                                           
BINTANG KECIL.  Tersemat gagah di seragam suamiku,  sang pengarung langit.

BINTANG KECIL. Bersamamu aku mencari,  di langit malam tak bertepi.

BINTANG KECIL.  Perempuan berdiri menatap ke arahnya,  berharap jatuh ke bumi.

BINTANG KECIL.  Tak terhitung,  tak ternilai.

BINTANG KECIL.  Bersinar tanpa meminta izin. Selamanya.

BINTANG KECIL. Eksploitasi usia dini, rupiah tak pandang umur.

BINTANG KECIL.  Terima kasih sudah hadir,  bercahaya kemudian pergi saat beranjak pagi.

BINTANG KECIL.  Pria itu menjanjikanmu untuk sang kekasih, di bawah langit malam.

BINTANG KECIL.  Lihatkan ayah Nak, anak itu menunjuk segilima cahaya.

Karya Doddy Rakhmat dalam malam Fiksi Mini bersama OneWeekOnePaper

Minggu, 01 Februari 2015

Sajak Penipu Waktu

Maafkan aku telah menipu
Menipu waktu yang tak bersalah

Maafkan aku telah menipu
Menipu waktu yang terus berlalu

Maafkan aku telah menipu
Menipu diriku untuk membunuh waktu

Maafkan aku telah menipu
Menipu perasaanku yang tergerus waktu

Maafkan aku telah menipu
Kamu yang tak pernah salah
Kamu yang terus berlalu
Kamu yang tak pernah mati

Waktu, maafkan aku.

Pemenang Giveaway 100 Post

Akhirnya selama 10 hari giveaway dilangsungkan saatnya mengumumkan dua pemenang yang akan mendapatkan buku Draf 1 : Taktik Menulis Fiksi Pertamamu karya mba Winna Efendi

Saya akui semua karya teman teman yang masuk keren-keren bahkan saya mau buat kompilasinya nanti di blog ini. Tunggu ya.
Bagi yang belum beruntung jangan berhenti untuk mengembangkan bakat menulis fiksinya, kedepannya saya akan buat giveaway dengan hadiah yang lebih seru lagi dan saya juga buat agenda blogwalking berhadiah, bagi blognya yang saya sukai secara keseluruhan mulai dari layout dan kontennya akan saya berikan hadiah.

Baik tanpa panjang lebar. Inilah karya pemenang pertama #Giveaway100post

"Bolehkah Aku Meninggalkanmu"
Karya Rindang Yuliani

Sebuah pertanyaan yang tak kau ucapkan. Tapi aku tahu, itu yang tersirat di balik penjelasan panjang lebarmu.
Mungkin tak ada yang mengangguk jika orang yang dicintai bertanya seperti itu. Namun, kau tak menanyakannya. Kau menggantinya dengan pernyataan, “aku akan meninggalkanmu”.

Tak ada yang bisa kulakukan selain membiarkanmu karena aku mencintaimu. Aku yakin kau akan lebih bahagia jika kau pergi meninggalkanku, menuju tujuan hidupmu.

Telah berkali-kali aku merasa kehilangan. Awalnya terasa sakit. Tapi pada kehilangan yang kesekian, aku telah mati rasa. Terbiasa. Seseorang yang lain–yang kucintai, bahkan meninggalkanku tanpa kata. Ia hanya menyunggingkan senyum dalam diam sebagai tanda perpisahan. Pertanda ia bahagia saat meninggalkanku.
**

Aku baru selesai membaca cerpenku yang ke-100 yang masuk media kali ini. Ya, aku bertahan hidup dari tulisan sekarang. Honornya cukup untuk menopang hidupku. Tapi tetap saja, itu tak membuatku bahagia. Adakah bahagia dalam sepi?
Awalnya aku menulis hanya untuk mengisi kekosongan hidup yang kujalani. Hingga sekarang, aku menulis karena kebutuhan. Menghabiskan waktu bersama tinta dan kertas yang menjadi saksi bisu kesendirianku.

Isak tangis mengelilingiku. Aku terdiam.
“Bolehkah aku meninggalkanmu?” Mungkin ini saatnya giliranku yang mengucapkan kalimat itu.

“Ibu, kami tak bermaksud meninggalkanmu” kata Desy –si sulung, di sela isak tangisnya. Mungkin ia telah membaca buku harianku.

Kini kalian pergi meninggalkanku. Aku kesepian sekarang. Satu-persatu menghilang dari kehidupanku.

“Maafkan kami bu, kami bukan anak yang berbakti padamu” Derra –gadis keduaku, air mata deras mengalir di pipi cantiknya.
Aku tak melarang kalian pergi. Hanya saja jenguklah aku sesekali. Tak hanya saat lebaran tiba. Itu lebih berarti dari uang yang kalian kirimkan tiap bulan sayang-sayangku.

“Aku berjanji mulai sekarang, aku akan selalu di sampingmu. Menemani dan merawatmu bu” Ditto –bungsuku, satu-satunya yang masih lajang pun ikut menyeka air matanya.

Kalian hebat, nak. Cita-cita kalian sungguh tinggi dan kalian mampu mencapainya. Aku bangga mempunyai putra-putri seperti kalian. Hanya saja, mengapa aku merasa kalian meninggalkanku? Meninggalkanku demi cita-cita dan kehidupan yang lebih baik.

“Kami tak pernah tahu kalau selama ini ibu kesepian setelah kepergian ayah. Maafkan kami bu” Daru –anak keduaku, terlihat paling tegar karena tangisnya tak nampak dimataku.

Aku tak perlu mengatakan ini pada kalian. Karena mungkin kalian memang jauh lebih bahagia di tempat yang jauh dariku.
Lidahku seperti tak mampu mengeluarkan suara, mengatakan semua kata yang tertulis di buku harianku. Mereka sudah tahu, itu cukup bagiku.
“Bolehkah aku meninggalkanmu?”
Tak butuh jawaban, aku pun akan pergi sekarang seperti kalian dulu meninggalkanku.

Selamat tinggal, dunia.

**************

Dan pemenang kedua..... *drum roll*

"Telepon"
karya Zaitun Hakimiah

"Sekali lagi kau berdering, aku tak akan segan-segan membantingmu!" Gerutuku pada handphone yang sedari tadi mengganggu ketenangan batinku.
Sehari ini sudah ada tujuh panggilan tak terjawab dari nama yang sama. Berkali-kali dia bertanya, berkali-kali pula aku menjawab. Jawabanku tetap sama. Aku tak pernah mengganti jawabanku meski orang di seberang sana mengemis-ngemis kepadaku.
"Tak sudi aku datang. Buat apa? Tak ada gunanya. Buang waktu saja." Kesalku.

Aku masih tak mengerti mengapa ia terus memaksaku. Apa dia benar-benar tak bisa mencerna kata 'TIDAK' yang entah harus berapa kali ku katakan agar dia mengerti.

'Aku harus mengakhiri ini semua. Aku bosan dihantuinya. Dan satu lagi, aku tak peduli padanya.' Batinku.

Ku ambil handphoneku. Dan sebelum ia menerima panggilan lagi dari orang yang sama, maka aku akan menelponnya terlebih dahulu. Tanpa menunggu berapa lama, suara orang diseberang terdengar bersemangat menerima teleponku.

"Apakah kau berubah pikiran?" Tanyanya girang.
"Tidak sama sekali."
"Ayolah. Aku akan penuhi semua keinginanmu jika lusa kau bisa datang."
"Tidak. Harus berapa kali ku bilang, aku tidak akan datang. Ini adalah jawaban akhirku. Aku akan sangat membencimu jika kau terus memaksaku."
"Mengapa? Mengapa kau tega padaku? Apa kau tak suka jika aku bahagia?" suaranya terdengar lemah, sedih.
"Ha? Tega kau bilang? Kau yang lebih tega. Lusa adalah hari ke seratus ibu meninggal. Dan kau, kau justru melangsungkan pernikahan dengan wanita lain. Ayah macam apa kau ini?"

Tuuuuut. Telepon ku tutup dengan penuh amarah. Namun, sempat terdengar lirih satu kalimat sebelum sambungan telepon benar-benar tertutup. "Itu permintaan ibumu, Nak."

**************

Selamat kepada dua orang pemenang, buku akan saya kirimkan ke alamat masing-masing. Mohon bersabar ya :))
Saya akan konfirmasi kalau buku telah dikirim.

Salam Fiksi, Diksi, Doddy

29 Februari

Awal tahun 1984

Malam itu langit dimeriahkan oleh kehadiran bintang yang tak terhitung. Hutan hujan dibawahnya tampak terang dengan cahaya sang bulan. Terpantul sebuah siluet manusia yang berdiri menghadap hamparan air. Siluet itu menatap ke arah bayangan bulan yang terombang-ambing indah di atas permukaan danau.

Siluet itu menghilang, hilang karena permukaan air pecah karena botol botol kaca. Hanyut bersama arus danau yang tenang. Hari sudah larut, tidak ada orang lagi selain dirinya duduk di tepian danau beratapkan langit malam yang megah. Suara jangkrik bersahutan, sayup sayup kejauhan terdengar lolongan serigala menyibak rimbunnya hutan.

Ia tidak takut, sudah terbiasa bagi dirinya mendengar simfoni malam seperti itu. Untuk kali ini semua terasa sangat berbeda. Perlahan menurunkan kakinya ke dalam air, berjalan menuju ke tengah, kemudian ia menghanyutkan diri mengejar botol-botol kaca yang dilepaskannya beberapa saat lalu. Berenang, bersama hening malam.

Tak beberapa lama, deburan air mendadak riuh. Tidak jauh ia berenang dari tepi danau, kakinya tersangkut dengan tanaman danau yang merambat dibawah air. Segenap tenaga ia curahkan untuk melepaskan dari jerat tersebut, tapi tak mampu. Yang ada hanya kecipak air semakin riuh, dan teriakan minta tolong timbul tenggelam.

Gelap.

*****
Matahari memeluk bumi. Hangat menerpa paras wajah yang lelah. Menelisik dari celah jendela, sepoi-sepoi angin beranjak ikut masuk ke ruangan berdinding kayu.
Akhirnya kau siuman nak suara penuh kekhawatiran menyambutnya pagi itu
Paras manis yang terbaring lemas di sisi Ibu nya itu sudah tampak sedikit segar.
Fatamorgana Waruna.

Tulisan di atas pintu kamar bagian dalam tersebut pertama kali yang di baca si Gadis berparas manis itu ketika mencoba untuk bangun. Sang Ibu membantu.
Waruna, kamu selalu saja membuat ibu mu ini khawatir Nak ujar Sang Ibu
Gadis itu diam saja, sedang mengumpulkan kesadarannya

Waruna memegang kepalanya, mengeluh sakit. Sang Ibu mengusap kepala anak gadisnya tersebut dengan lembut, merapikan rambut sebahu yang sedikit berantakan.

Sebaiknya kamu istirahat Nak, ibu sudah buatkan jahe hangat untuk kamu. Diminum ya  seraya mengecup kening Waruna
Sebelum keluar dari kamar, sang Ibu kembali memperingatkan,
Ibu tidak mau kamu keluar malam-malam ke tepi danau lagi. Berbahaya buat kamu dan juga tidak baik untuk kesehatan
Pintu kamar ditutup, mengeluarkan suara derit halus antara gesekan lantai dan pintu.
Waruna kembali merebahkan diri setelah meminum separuh gelas minuman jahe buatan sang Ibu.

********

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Jelaskan aku hakikat cinta
Karena cinta yang kurasa
Sepertinya berbeda dari orang yang lain punya
Apakah cinta itu tentang memiliki?

Setiap malam, saat bulan menampakkan diri. Selalu ada kata-kata yang dibubuhkan oleh Waruna untuk Dewi Bulan dan Danau. Tak terhitung sudah berapa kalimat yang ia tuliskan, dalam lima tahun terakhir sejak tinggal di tepian Danau jauh dari keramaian, jauh dari masa-masa pedihnya kehilangan.

Pada awalnya Waruna merasa hidup dalam pengasingan. Semenjak kepergian ayahnya, ia menjadi gadis pemurung, sejatinya tidak terpancar dari raut wajahnya yang manis. Waruna mulai menyukai rumah kayu yang ia tinggali bersama ibunya itu saat ia tak sengaja, setela  tidak keluar rumah dalam waktu lama. Tidak jauh dari rumahnya tersebut, ia mendapati sebuah danau yang tidak terlalu luas. Danau tersebut dikelilingi pepohonan cemara.

Waruna menyalahkan dirinya sendiri karena selama ini ia tidak menyadari berada ditengah semesta yang begitu indah. Sang Ibu sudah sering menasehati dirinya agar tidak keluar malam hari. Binatang buas banyak berkeliaran, juga para perampok yang berpinda-pindah dari hutan ke hutan. Sangat berbahaya.

Malam, waktu yang tepat untuk melepaskan segala gundah perasaan. Malam begitu tenang untuk mendamaikan hati dan pikiran bersama Dewi Bulan dan Danau. Menghanyutkan segala kerisauannya itu dalam botol-botol kaca. Semacam ada kelegaan yang dirasakan.
Itulah alasan Waruna sering keluar rumah di malam hari. Mendengarkan simfoni malam, memandangi langit, dan memberanikan diri berenang di danau malam hari.

Tidak ada ketakutan yang terpancar dari matanya yang sayu.
Saat tengah malam, Waruna kembali ke rumah. Tentunya selalu dalam keadaan basah kuyup.

***********

Prangggg!!!

Suara vas bunga jatuh pecah dilempar ke dinding. Rambut dan wajahnya kusut tak beraturan. Matanya tak menampakkan seorang gadis berparas manis. Ia berubah menjadi kebalikannya. Waruna mengidap sindrom Bipolar disorder. Suatu sindrom dimana penderita mengalami perubahan mood yang dramatis, mudah marah dan tersinggung. Karena mereka jauh dari kota, dan tidak cukup biaya untuk menemui dokter kejiwaan yang sangat jarang di daerah tersebut . Sang Ibu yang seorang penjahit hanya mengerjakan pesanan baju yang tidak banyak. Pesanannya itu didapatkan setiap pergi ke kota di akhir pekan.

Sang Ibu selalu memeluk erat anaknya tersebut untuk menenangkan, membiarkan Waruna meraung-raung dalam peluknya. Menangis bercampur marah-marah. Berteriak-teriak ingin ayahnya kembali.
Sang Ibu hanya menangis dan memeluk lebih erat. Membiarkan gemuruh perasaan anaknya itu meredam sendiri. Dulu sang ibu selalu membujuk agar anaknya itu diam. Telinga Waruna seperti disumpal oleh kesedihannya yang mendalam, kemarahannya yang begitu luar biasa. Tidak ada seorang pun dimuka bumi ini, rela ditinggal pergi oleh orang yang ia cintai. Sudah menjadi sebuah korelasi dimana setiap kepergian akan selalu ada peratapan. Kesedihan menghujam. Kemarahan akan ketidakberdayaan untuk menahan kepergian.

Tepat saat Waruna hari kelulusan sekolah menengah atas, Ayahnya berjanji akan menghadiri acara kelulusan anak semata wayangnya itu. Namun sampai acara selesai sang Ayah juga belum datang. Tak berapa lama Waruna mendapat kabar bahwa ada sebuah kecelakaan berantai tak jauh dari sekolahnya. Pengendara sepeda motor yang mencoba menyalip bis didepannya itu tergelincir dan seketika bis yang berusaha menghindar dari motor tersebut membanting setir sehingga terhempas ke luar jalur.

Semua kejadiaan naas tersebut tepat di atas jembatan,  bis menabrak pagar jembatan yang terbuat dari kayu dan terjun bebas ke sungai. Ia tahu Ayahnya menaiki bus tersebut dari desa mereka tinggal. Waruna yang bahagia beberapa saat lalu, seketika lemas. Hanya ada satu bis yang ditumpangi untuk menuju ke sekolahnya dari tempat Waruna tinggal. Kecelakaan itulah yang menyebabkan keterlambatan sang Ayah. Sang Ayah pergi untuk selamanya.

Hari itu.

Tanggal 29 Februari 1980, tanggal yang tak pernah dilupakan oleh Waruna.
Saat itulah Waruna berubah.

Tangis Waruna mereda. Ruang tamu sudah berantakan tak berbentuk. Sang Ibu menuntun dirinya ke dalam kamar. Mendamaikan hati dan pikiran.

*********

Akhir Februari 1984

Hembusan angin membelai lembut Waruna. Tak ada lolongan serigala, jangkrik pun tak bersuara. Hanya menyisakan keheningan antara dirinya dan semesta. Memandang jauh hingga bibir danau seberang.

Trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu, Waruna membuyarkan pikirannya sendiri dengan membalik badan menjauh dari danau. Naas. Kakinya tergelincir, terhempas seketika ke danau. Lagi, kejadian itu kembali terulang. Kali ini tidak sengaja.

Teriakan minta tolong bercampur riuh kecipak air. Waruna teringat pesan sang ibu, mungkin ini jawaban dari kesabaran ibu selama ini. Keluar diam-diam malam hari bukanlah hal yang baik, terlebih tanpa sepengetahuan ibu.
Kemudian gelap.

******

Pagi mendung, belum terlihat sinar sinar jingga menerabas awan.
Antara hujan atau tidak. Mendung menawarkan kebimbangan.

Sama seperti yang dirasakan seorang pemuda yang duduk bersama ibu Waruna, merasa dirinya tidak ingin berlama-lama tapi sekaligus ingin mengetahui keadaan gadis yang di selamatkannya tadi malam. Akhirnya ia memilih pergi meninggalkan rumah tersebut, memohon pamit dan hanya meninggalkan nama, Dwipa.

Waruna bangkit dari tempat tidurnya, melihat sepintas kalender yang tergantung penuh coretan di dinding kamarnya. Ada sebuah tanggal dilingkari besar dengan tinta merah, tanggal 29 Februari. Berarti sudah 4 tahun lalu kepergian ayahnya. Tergesa-gesa keluar dari kamar, Waruna sudah berkeringat dingin, melihat tanggal itu hanya memperburuk perasaannya saja. Menjumpai sang ibu yang sedang duduk dengan dua gelas teh masih mengepul di atas meja.

"Ada tamu bu?" tanya Waruna sambil memegangi pintu rumah
Ibunya menghela nafas, mengangguk.
Waruna ingin tahu, ia segera duduk di samping ibunya
"Siapa?"
Ibunya masih membuang pandangan ke depan, menjawab dengan sedikit nada kecewa

"Yang menolongmu tadi malam"

Timbul lebih banyak pertanyaan di benak Waruna. Sang ibu beranjak pergi masuk ke dalam rumah. Meninggalkan anak gadisnya dengan pertanyaan yang belum sempat terucapkan dan juga setengah gelas teh yang sudah diminum. Diminum oleh sang penyelamat.

********

29 Februari kali ini sungguh berbeda. Segan Waruna menanyakan lebih lanjut ke sang ibu. Rasa bersalah masih menyelimuti dirinya, sudah terlalu banyak nasehat ibunya yang dilanggar. Waruna lebih memilih menyimpan pertanyaannya dalam diam, mungkin Sang Dewi Bulan dan Danau bisa memberikan jawaban.
Malam menjelang, cahaya lilin menerangi kamar Waruna. Fatamorgana. Seolah-olah nyata tapi tak pernah ada.

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Jelaskan kepadaku hakikat pertemuan
Bukan pertemuan fisik tapi tentang perasaan
Perasaan ingin tahu

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Jelaskan kepadaku siapa penyelamat itu
Mungkin untuk kedua kali ia menyelamatkanku
Aku tak pernah tahu

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Pertemukanlah aku dan sang penyelamat itu
Di bawah bulan dan di atas danau milikmu

Waruna mengeluarkan salah satu botol kaca dalam kardus di bawah tempat tidurnya, botol yang ia dapatkan kota jauh dari tempat ia tinggal. Hanya surat-surat istimewa yang berhak mendapatkannya, khusus untuk Dewi Bulan dan Danau. Menggulung surat tersebut hingga kecil, memasukkannya dalam botol kaca tersebut dan menutupnya rapat-rapat.
29 Februari terlewati dengan tanda tanya.

Jauh di seberang danau, bunyi kampak menghantam kayu menggema ke sudut danau. Seorang pemuda sedang menyeka peluh yang membasahi wajah berjambangnya. Mungkin sudah ada puluhan kayu dibelahnya sejak tadi pagi, sebelum embun jatuh dari dedaunan.

Desir angin menelisik di rerimbunan pohon cemara sekitar rumahnya, dengan kampak itulah ia menyambung hidup. Tinggal sebatang kara, tak ada sanak famili lagi. Wajahnya menunjukkan tak lagi sesuai dengan usianya. Menghidupi diri sendiri tak ada yang bisa diajaknya berbagi. Berbagi kisah atau setidaknya keluh kesah yang ia rasakan.

Dwipa tuna aksara. Ia tak bisa membaca. Yang dia tahu hanyalah mengumpulkan uang-uang sen yang diterimanya dari menjual kayu bakar. Belakangan ini setiap pagi, sebelum ia mulai bekerja. Dwipa menemukan botol-botol kaca terombang-ambing yang di tepi danau depan rumahnya itu. Mengambilnya dari danau dan menyimpannya dalam sebuah peti kayu di gudang rumah. Sesekali di antara botol kaca tersebut menggoda hati kecilnya untuk membuka. Tapi ia tidak berani, ia mengingat betul pesan dari orang tuanya yang terakhir.

"Dwipa, Jangan pernah sekalipun mengambil hak orang lain baik itu dari orang yang kenal bahkan tidak dirimu kenal. Kejujuran itu datangnya dari diri sendiri bukan karena dinilai orang lain"

Sesampainya suatu hari, Dwipa berkeliling hutan saat hari menjelang senja. Kayu kayu hasil pencariannya satu hari itu digendong dalam keranjang besar. Tubuh Dwipa tetap tegap walau beban setiap hari dipikul pundaknya. Badannya yang tinggi membentuk siluet panjang di jalan bebatuan tepi danau. Sampailah saat itu, ia mendengar bunyi kecipak air yang riuh dari danau. Segera dirinya mendekati arah suara, tapi Dwipa malah panik. Teringat dirinya tak bisa berenang. Dwipa berpikir cepat, ada nyawa yang harus segera diselamatkan.

Dwipa melepaskan gendongannya dan berlari sekencang-kencangnya menuju danau. Melompat tepat di samping riuh kecipak air bersama sebatang kayu yang ditemukannya di tepi danau. Ia tahu jenis kayu tersebut bisa mengapung.

Berbekal keberanian, Dwipa menyelam membantu melepaskan sulur yang menjerat gadis itu. Selang beberapa saat, gadis itu dapat berenang bebas. Dwipa menjejakkan kakinya keras-keras secara bergantian agar dapat sampai permukaan kembali. Gadis itu pingsan. Dibantu Dwipa yang setengah panik takut dirinya juga ikut tenggelam, ia berhasil menyilangkan tangan tangan gadis tersebut di kayu mengapung. Bersama dirinya ikut memegangi kayu dan mendorongnya ke tepi danau, perhitungannya tak meleset. Kayu itu tetap mengapung walau dibebani dengan dua orang.

Mereka berdua tiba di tepi danau. Dwipa dua kali lebih panik. Bagaimana dengan keadaan wanita tersebut, ia belum pernah menolong orang tenggelam sebelumnya. Merebahkan dirinya yang sudah basah kuyup, memandangi langit malam. Pikirannya berkecamuk. Akhirnya Dwipa berteriak minta tolong. Tidak ada pilihan lain. Dari kejauhan, lari tergopoh-gopoh seseorang dengan lampu minyak di tangannya.  Seseorang yang sangat mencemaskan putrinya, sang ibu.

Lamunannya buyar saat mendengar suara barang pecah belah jatuh dari gudang. Bergegas ke arah bangunan belakang rumahnya tersebut. Dwipa mendapati salah satu botol kaca tersebut sudah pecah berkeping-keping di lantai gudang. Merasa tidak enak hati, akhirnya Ia memutuskan harus mencari tahu pemilik semua botol kaca itu. Seraya membersihkan pecahan kaca, kertas yang tergeletak di lantai tersebut diambilnya dan dimasukannya ke dalam lemari. 

************

Agar memudahkan dirinya melintasi danau untuk mencari kayu bakar di sisi lain danau.  Dwipa membuat sebuah sampan kecil, berharap lebih banyak hasil yang ia bawa.

Suatu senja, Dwipa mencoba sampan kecil nya tersebut, mulai mendayung membelah permukaan air danau. Sambil membawa botol-botol kaca yang tak tahu tuannya.

Mendekati tepi danau seberang dari tempat tinggal dirinya, Dwipa yang sedang mendayung pelan terkejut melihat dari kejauhan seorang gadis, berdiri di tepi danau sambil melepaskan botol-botol kaca sama seperti yang dibawanya saat itu. Segera ia mengarahkan sampan ke tepi danau, dan mengangkat botol-botol kaca dalam kotak kayu tersebut mendekati gadis tersebut.

Waruna melihat pemuda yang sangat hati-hati membawa kotak kayu tersebut sedikit takut bercampur bingung. Tidak pernah ia bertemu dengan seorang pun di tempat ia sering menikmati indahnya semesta saat malam. Takut pria itu menyakiti dirinya dan juga bingung dengan apa yang dibawa oleh pria kurus tinggi tersebut.

"Maaf, kalau saya boleh bertanya. Apakah betul ini barang-barang kamu?" tanya Dwipa sambil membuka kotak kayu

Waruna menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu, botol-botol kaca yang sama persis dengan dipegangnya sekarang. Darimana pemuda itu mendapatkannya, itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Waruna. Menatap pemuda itu penasaran.

"Saya menemukan botol-botol kaca ini di depan rumah di sisi barat danau ini, tapi saya tidak bisa membukanya" jawab Dwipa
Dwipa melanjutkan seraya mengeluarkan kertas yang masih tergulung dari saku bajunya.

"Mohon maaf saya tidak sengaja memecahkan satu botol kaca ini. Dan ini kertas yang ada di dalamnya"

Waruna membuka gulungan tersebut dan membaca tulisannya sendiri,

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Pertemukanlah aku dengan orang yang menyelamatkanku
Siapapun dia, ia pantas mendampingiku di sisa hembus nafas ini

Senja begitu cepat berubah menjadi malam. Bintang-bintang hadir lebih banyak meramaikan langit malam itu, tidak ada awan-awan penghalang.

"Apakah kamu mengenalku?" tanya Waruna

Dwipa mengangguk.

"Aku bertemu denganmu, tepat di sisi danau ini. Tanpa tahu siapa dirimu, karena yang kutahu hanyalah seseorang yang berteriak minta tolong  dari permukaan danau"

Sekejap hening. Angin berbisik lembut, seakan menjawab semua pertanyaan.

********

Sebuah kalender meja mendampingi Waruna tenggelam dalam imajinasinya,  menulis surat untuk Dewi Bulan dan Danau. Sama seperti dahulu.

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Telah kau pertemukan aku dengannya
Dibawah bulan di atas danau
Engkau telah menjawab suratku

29 Februari 1988

Terdengar bunyi langkah mengarah dari belakang Waruna, sesosok pemuda yang dikenalnya beberapa tahun lalu tanpa sebuah perkenalan, memegang pundaknya dengan mesra. Waruna berhenti menulis.

Waruna balik menoleh, memandangi tatapan teduh dari pemuda di belakanganya. Terlukis lengkung tipis di paras keduanya. Saling melempar senyum bahagia.

Dalam hatinya membisik,
 
Dwipa, aku tidak sedang mencari tapi menemukan. Menemukan hakikat sejati tentang cinta. Menemukan orang yang tepat untuk menerima sisa hidupku ini.

Saat itu, empat tahun yang lalu. Mereka berpisah untuk bertemu.

Bertemu untuk selamanya.

DR