Semua ini tentang jarak, sebuah ruang terukur dan yang tidak.
Memisahkan dua hal.
Entah itu raga ataupun perasaan, terlebih lagi memisahkan takdir.
Akhir musim panas di salah satu sudut kota Santander, Spanyol Utara.
20 Panggilan tak terjawab
Nomor tak dikenal ini sudah mengangguku dalam beberapa jam terakhir. Aku memandangi layar ponsel berukuran yang tidak lebih dari 2 jari di genggaman tanganku itu. Lagi-lagi ponsel berdering, aku sudah tahu siapa yang ada di ujung panggilan sana. Berharap cemas padahal dulunya tidak, entahlah. Aku tak terlalu bisa menebak perasaan.
Namun ada satu hal yang membisik terus menerus di benakku, semenjak pesan singkat darinya itu kuterima. Ya, dari seseorang yang tak pernah suka dengan keberadaanku, sampai saat ini. Mungkin ia ingin aku lenyap di telan bumi. Kilat mulai menyambar-nyambar membelah langit, bergulung gemuruh. Bergegas ku tinggalkan dermaga menuju rumah. Rumah ku saat ini, mungkin selamanya.
**********
Semalam angin berhembus kencang, memukul-memukul jendela flat ku. Flat yang kutinggali ini berada di lantai empat, sengaja aku memilihnya karena menghadap langsung ke pantai Sardinero. Hamparan pasir berbalut birunya El Mar Cantabrico tersuguh setiap hari. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada melempar pandangan sejauh mungkin ke tepi laut.
"Buenos Dias" salah satu pelayan bar menyapaku.
Aku hanya membalas dengan menyunggingkan bibir, tipis.
Entah sudah berapa kali aku menghabiskan pagi ku di tempat penuh dengan canda tawa penduduk Santander itu. Sudah lama rasanya aku tak tertawa lepas, mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Aku melangkah mendekati meja favoritku, pelayan cafe tersebut menghampiriku. Ia sudah tahu apa yang kupesan. Pastelitos de pescado, hidangan khas spanyol dari adonan ikan dori dan salmon dihidangkan dengan saus butter. Serta segelas vermuth, anggur fortifikasi ditambah berbagai jenis rempah-rempah pahit.
Sebelum kuterima segelas vermut dari pelayan, aku sudah tersungkur jatuh bersama gelas yang terlepas dari genggaman pelayan menghantam lantai, berantakan. Suasana cafe pagi itu berubah seketika. Beberapa orang menghampiriku, pandanganku kabur. Menggigil sekujur tubuh seperti tenggelam dalam air es. Yang kudengar hanya jeritan minta tolong dan tangisan panik beberapa pengunjung wanita.
Kemudian gelap.
******
Entah siang atau malam, aku tak bisa membedakan. Hidungku hanya langsung menangkap aroma yang tak kusukai. Rumah sakit. Sudah lama rasanya aku menghindar tempat ini, kenistaan dalam diriku yang menolak berada di tempat tersebut.
Selang infus tergantung di sisi kiri ku, menatap lemah sekitar ruangan serba hijau itu sama seperti baju yang kukenakan sekarang. Gelang pasien bertuliskan namaku dengan huruf kapital tersemat di tangan kiriku. INDRA.
Ponselku berdering, bukan panggilan hanya pesan singkat.
Kamu tidak apa-apa? Aku sedang menuju rumah sakit sekarang
Mata ku memastikan seksama pesan tersebut, dari nomor tak kukenal. Siapa lagi gerangan orang itu. Apakah aku memiliki pengagum rahasia?
Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar.
Aku harap itu dokter. Lebih baik aku berpura-pura tidur, Indra sambil menarik selimut dan tenggelam didalamnya. Dalam selimut, aku mendengar langkah sepatu hak tinggi menggema kamar.
"Indra?"
Aku masih enggan keluar dari selimut walau si tamu misterius itu telah memanggil namaku. Ia kembali memanggil, aku bisa merasakan dia sedang duduk di tepi tempat tidur.
"Aku tahu, kamu sedang tidak tidur" si tamu misterius itu berujar sok tahu seraya membuka selimut yang menutupi diriku.
Seketika, semua kenangan buruk yang kusimpan lima tahun terakhir terkuak kembali. Ketika melihat wajah si tamu misterius yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup itu menyeringai ke arahku.
*********
Surabaya, lima tahun silam
Matahari sudah beranjak dari bumi sebelah timur, hangatnya membelai masuk ke dalam kamar rumahku. Jam wekerku tak berbunyi seperti biasanya, mungkin sudah mulai rusak dimakan waktu. Dirinya lah yang membangunkanku selama masih mengenyam sarjana. Tergantung di dinding, foto empat orang bahagia menatap kamera. Salah satunya ada yang mengenakan toga, itu aku. Tiga bulan yang lalu aku lulus, sekarang aku masih tinggal bersama keluarga ku. Bapak, Mama, dan Indri, adik perempuanku satu-satunya. Kami berempat sudah tinggal di rumah pinggir kota ini saat Indri masih dalam kandungan, aku sudah bersekolah taman kanak-kanak. Tidak jauh memang jarak umur kami, sering kali kalau berjalan bersama adik ku itu orang-orang mengira dia adalah kekasihku. Kenyataan tidak, akupun memang belum pernah memiliki seorang kekasih.
Rumah lengang, hanya Mama yang sedang bernyanyi gembira di dapur bersama acara masak memasaknya. Aku melangkah keluar kamar, meneguk beberapa gelas air putih. Dan segera bersiap-siap, hari itu adalah hari yang penting. Hari pertamaku bekerja. Tak banyak yng aku persiapkan, hanya pakaian rapih dan tas ransel.
"Dra, kamu berangkat jam berapa?" tanya Mama di ujung dapur, suaranya terdengar sampai ruang tamu
"Ini aku mau berangkat Ma" jawabku sambil menyimpul tali sepatu, kuhampiri Mama dan pamit berangkat.
******
Aku sudah menunggu sedari tadi di lobby, menunggu panggilan dari atasanku kemudian resepsionis mempersilahkan masuk
"Selamat datang di Tama Residence and Property"
Pria klimis berwajah oriental menyambutku di ruangannya, Chen. Terpampang papan nama di atas meja kayu klasik di hadapanku.
"Baiklah Indra, to the point saja lah. Perusahaan kita ini perusahaan properti terkemuka, klien kita adalah kaum menengah ke atas. Jadi jangan sampai klien kita merasa tidak puas dengan pelayanan kita. Terlebih lagi kamu menjadi bagian dari divisi sales dan marketing" mata atasan ku itu berbinar-binar, menaruh harapannya pada seseorang yang baru bekerja di depannya
"Baik pak Chen, saya lakukan semaksimal mungkin-" belum selesai aku menjawab.
Atasanku itu menggoyangkan telunjuk sambil mengernyitkan dahi ke arahku, "Tidak ada kata mungkin di dalam perusahaan kita Indra. Everything is possible!"
Sudah seperempat jam aku bersamanya, keluar dari ruangan dan berjalan menuju ruangan ku bekerja. Belajar bersama rekan-rekan senior disana. Meyakinkan diri semoga aku betah bekerja di tempat penjual janji-janji kehidupan yang lebih baik itu.
Aku tidak pernah tahu.
*******
Hampir sebulan aku bekerja, Chen mulai menyukai kinerjaku. Penjualan properti selama aku bergabung meningkat lima persen dari bulan sebelumnya, angka yang patut dipertimbangkan untuk seorang newbie dalam dunia bisnis tersebut. Kemudia Chen mempercayakanku untuk memimpin Bazaar di Property Expo yang diadakan di salah satu pusat perbelanjaan terbesar Surabaya.
Aku berjumpa dengan salah satu klien, prediksiku umurnya mungkin lebih tua dariku lima tahun. Penampilan wanita karir dan sosialita yang melebur menjadi satu.
"Silahkan Bu, kami ada penawaran untuk pembelian hari ini akan mendapat keuntungan berupa cash back sampai 10 juta rupiah"
Perempuan tersebut menoleh ke arahku, "Tidak usah panggil saya dengan sebutan Ibu. Apa saya terlalu tua di mata kamu"
"Tidak sama sekali, maaf kalau saya salah berbicara" jawabku meredam protes perempuan berkulit putih itu
Sekali lagi perempuan itu melihat diriku dari kepala sampai kaki, kemudian ia berkata "Saya akan beli hari ini. Tapi kalau anda berkenan, kita bisa membicarakannya di coffee shop lantai dasar. Bos saya sudah menunggu di sana, ada penawaran kerjasama"
Awalnya aku sedikit meragu, karena expo sedang ramai pengunjung, tapi penawaran kerjasamanya membuatku mengiyakan ajakan perempuan itu. Setelah berkoordinasi dengan rekan kerja yang lain, aku meninggalkan stand mengikuti langkah perempuan tersebut menuju lantai dasar.
Di coffee shop itu aku berjumpa dengan pria paruh baya ber jas putih dengan celana warna sama sedang duduk membelakangiku.
"Bos perkenalkan ini, Indra dari Tama Residence & Property"
Cukup terkejut dengan sepatah kata yang diucapkan perempuan di sampingku itu, Darimana dia tahu namaku? Baru sadar aku mengenakan tanda pengenal pada saku kemeja saat itu. Aku pikir dia seorang cenanyang, ternyata bukan.
Pria itu mempersilahkanku duduk, perempuan yang belum mengenalkan namanya itu duduk di samping ku. Meletakkan tas wanitanya di atas meja, kemudian memasang posisi mendengarkan.
"Perkenalkan nama saya Matsu. Mister Indra, saya akan investasi di perusahaan anda" Pria itu membuka percakapan dengan perkenalan. Sudah dipastikan dia berasal dari negeri sakura Jepang, ditambah dengan dialek bahasa indonesia yang belum terlalu fasih.
Pembicaraan berlanjut, perempuan yang belum aku kenal duduk disampingku itu masih mendengarkan sesekali mengambil telefon genggamnya, mengetik cepat. Mungkin membalas pesan singkat.
"Mr Matsu, terima kasih telah bekerjasama. Kontrak kerja sama akan segera saya bawa. Saya harus mengambilnya di kantor"
Aku menutup pembicaraan.
Mister Matsu melirik perempuan di sampingku,
"Sinta, kamu tunggu disini. Saya harus pergi menjumpai relasi di Jakarta. Beres semua nya kan?"
Perempuan itu mengangguk pelan.
"Jangan lama-lama PAK Indra, saya juga masih banyak urusan"
Aku dan mister Matsu masih berbincang santai bersamaan meninggalkan coffee shop, tak menghiraukan ucapan terakhir Sinta. Perempuan itu kembali mengutak-atik telepon genggamnya. Membuat pesan singkat, mungkin.
Satu jam kemudian aku kembali, ke coffee shop itu. Dari jauh Sinta sudah menangkap kedatanganku, mukanya setengah kesal. Tatapannya sinis, semacam ada kebencian yang tersimpan. Aku duduk di hadapannya. Tidak banyak yang diperbincangkan, aku hanya menyerahkan beberapa dokumen perjanjian kerjasama yang harus di tandatangani.
Sinta mempersilahkanku meminum segelas kopi tersuguh di depanku, ia ikut minum. Aku meneguk setengahnya sebelum aku undur diri. Pandanganku meredup, tubuhku terasa melayang. Langkahku menyilang tak beraturan, tiba-tiba Sinta membantu memegangi lenganku. Sesaat kemudian aku tak sadarkan diri.
********
Sayup-sayup terdengar desing mesin pendingin udara, detik jarum jam yang terpasang di dinding kamar dan cahaya matahari memasuki sebagian ruangan, tirainya terbuka.
Aku dimana. Kepalaku luar biasa berat, berbaring. Aku baru menyadari bahwa tidak ada sehelai benangpun menutupi badanku yang masih dalam selimut. Seketika aku terkejut, melihat ke kanan kiri, memastikan tidak ada orang lain di dalam ruangan tersebut. Sambil meraih pakaianku yang tergeletak di lantai.
Aku mendapati sebuah amplop berwarna biru di atas meja , samping tempat tidur. Perlahan aku membuka dan membaca kertas di dalamnya.
Selamat anda terpilih. Jangan coba-coba melapor. Karena Anda telah mati.
Isi kertas itu begitu singkat tapi membuka ribuan pertanyaan di pikiranku, tak sengaja beberapa kertas yang aku yakin foto. Dunia ku runtuh seketika, langit dan bumi serasa menyatu menghimpitku sampai tak bisa bernafas. Foto-foto tak senonoh itu berisikan aku yang tak sadarkan diri seolah-olah berbuat asusila ke perempuan yang tak kukenal. Keringat dingin mulai membasahi keningku, aku bingung luar biasa. Kalimat penuh misteri yang kubaca masih menggelayut di pikiran.
Tanpa pikir panjang lagi aku melaporkan kejadian itu ke kepolisian. Keluargaku tidak boleh tahu dulu semua kejadian yang menimpaku saat itu. Telah kuceritakan kronologis kejadian tersebut ke pihak berwajib di kantor, bukannya mendapat perlindungan. Aku dituduh sebagai pemerkosa setelah melihat foto-foto yang kutunjukkan kepada mereka. Hei, mana ada pemerkosa yang mengaku? Tidak ada kan. Sialnya mereka tak mau mendengarkan satu pun pembelaan ku, dan akhirnya semua berakhir di sel tahanan. Seumur hidup belum pernah aku mendekam di balik jeruji besi. Untuk malam itu lah aku merasakannya.
Malam belum larut. Petugas jaga memanggilku, memberitahukan ada seseorang yang ingin bertemu. Kuharap itu bukan Indri atau kedua orang tua ku. Tambah kacau urusannya nanti. Aku dibawa ke ruang besuk, disana aku menjumpai perempuan yang baru kujumpai tadi pagi. Sinta.
"Kenapa kamu bisa ada disini?"
Sinta balik bertanya sinis, "Harusnya aku yang bertanya. Bukan kamu tolol"
Tanganku masih terbungkus borgol tak berdaya, kalau saja dia bukan wanita. Mungkin sudah kubuat tak berbentuk wajahnya.
"Apa mau kamu?" tanpa basa basi aku membentak.
"Mudah, aku hanya ingin memberitahukan satu hal kepadamu" Sinta menjawab santai
Aku masih diam, menunggu.
Sinta berdiri mendekatiku, menunduk dan berbisik halus.
"Kamu sudah tertular AIDS" kemudian Sinta berlalu meninggalkanku sendiri.
Aku terdiam. Emosi ku yang meluap-luap serasa tertahan menyisakan kegeraman mendalam. Seketika aku mengejar Sinta, tapi petugas jaga menghalangiku. Sinta menghilang dari pandangan.
"Dasar wanita jalang!" aku berteriak menggema seisi gedung.
*******
Pagi menjelang, tidak ramai. Aku tidak bisa tidur malam itu, menyisakan mataku yang sembab. Masih dibalik jeruji besi, kali ini petugas jaga mendatangiku lagi dan membawa ku tempat pelaporan. Pihak kepolisian mengungkap sudah ada yang mencabut kasus penahananku, aku bertanya lebih lanjut dan kudapat informasi bahwa perempuan bernama Sinta yang melakukannya.
Kalut. Yang kupikirkan saat itu jangan sampai keluargaku tahu masalah ini, bisa bisa menjadi aib buruk di mata tetangga. Bergegas aku ke salah satu rumah sakit, setidaknya aku harus memastikan apakah memang betul aku sudah mengidap penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Selama perjalanan menuju rumah sakit, pikiranku melayang mencari jawaban dan alasan-alasan tepat yang kusampaikan ke keluargaku kelak.
"Mas Indra, ngapain kamu disini mas?" seseorang memanggilku dari belakang
"Indri, lah kamu kok juga disini lagi apa" tanyaku was was campur ketakutan
"Indri lagi jenguk teman yang sakit di sini" jawab Indri seraya membetulkan tas sandangnya yang jatuh
Indri masih menunggu jawabanku
"Iya mas kesini cuma periksa kesehatan" timpalku seadanya
"Bapak sama Mama khawatir kenapa tidak ada kabar semalam, tumben tidak pulang"
"Ada kerjaan sampai menginap di kantor" aku menjawab beralasan kemudian aku pergi meninggalkan Indri bergegas tak ingin kebohonganku terendus.
Lembaran dari amplop yang kubawa itu tak sengaja jatuh terbawa angin, Indri memungutnya sambil membaca hasil analisa darahku. Ia menutup mulut dengan tangannya, serasa tak percaya apa yang sedang dibaca dengan mata kepalanya sendiri.
"Indri, jangan pergi dulu. Mas mu bisa jelaskan" aku mengejar Indri yang sudah sampai di lobby rumah sakit.
"Bapak Mama pasti kecewa mas" Indri menjawab sambil menangis sesenggukan tak memandangiku.
Aku membiarkannya tenang dahulu, mengajaknya duduk di salah satu bangku rumah sakit dan mulai menjelaskan kronologis kejadian yang menimpaku. Tidak ada lagi yang bisa kututup-tutupi.
"Jadi apa yang harus Mas lakukan Indri?"
Tangis adikku itu mereda, "Mas harus jujur sama Bapak dan Mama. Ingat pepatah, sampaikanlah mas kejujuran itu walau amat pahit rasanya"
Aku diam sejenak, mencerna kalimat terakhir adik ku itu. Walau hati ini terasa amat berat, apapun yang terjadi, terjadilah. Lelaki sejati adalah lelaki berani bertanggungjawab terhadap apa yang mereka perbuat. Meski menurutku, aku adalah kambing hitam dari segala masalah yang tak pernah kuperbuat sebelumnya. Inilah takdir, pikirku.
*********
Berjalan ke dalam rumah serasa menginjak hamparan duri, Bapak dan Mama sedang duduk di ruang tamu. Berbincang-bincang santai, kemudian berubah cemas melihat kedatanganku yang menghilang seharian. Segera aku menghampiri mereka, duduk dan menceritakan yang terjadi. Raut cemas yang kulihat saat itu berubah menjadi marah.
"Sampai kapanpun, bahkan sampai diriku hanya tinggal jasad tak bernyawa. Jangan kau sentuh tanah Surabaya ini lagi" teriak Mama disertai jeritan-jeritan kesal. Menampar pipi kananku, pedih. Tingkah lakunya tak menggambar sosok ibu yang lemah lembut terhadap anaknya, malah sebaliknya.
Aku menjawab gemetar menahan perasaanku, "Baik kalau memang ini semua yang kalian inginkan. Aku pergi, tapi jangan pernah memintaku pulang. Camkan itu. Aku kira rumah ini adalah tempatku berlindung ternyata tidak, keluarga ini hanya butuh yang baik-baik saja. Yang nista seperti aku haram tinggal disini"
Indri sambil menangis mendekatiku berniat membujuk, "Mas, jangan bicara seperti itu kepada Bapak Mama nggak baik mas. Kualat nanti sampean"
Tangannya kutepis saat hendak menyentuh pundakku untuk menenangkan, "Kamu sama saja Indri. Tidak usah berlagak baik dihadapanku. Kamu nggak mau kan punya saudara kena AIDS, ngga mau kan!"
Aku berjalan keluar rumah setengah berlari, setiap langkah yang kujejakkan penuh rasa kekecewaan, kesedihan, dan amarah tak tertahankan. Tak ada lagi aku memandang rumah dibelakangku.
********
Sudah tujuh jam lalu kutinggalkan kejadian paling menyakitkan seumur hidupku itu, menjauh dari Surabaya menuju Jakarta. Aku sudah memutuskan untuk menghilang dari kota kelahiranku itu. Rencanaku ke Jakarta akan menjumpai teman kuliahku yang mendapat pekerjaan disana. Harapanku semoga ia bisa membantu mendapatkan pekerjaan baru.
Kupandangi jendela kereta, bingkai yang menyuguhkan pemandangan sekaligus kenangan. Silih berganti bersamaan dengan kenangan masa kecilku. Aku ingat masa-masa kecil penuh kebahagiaan, menanam padi bersama kakek nenek. Bermain dengan kerbau sampai jatuh berlumpur-lumpur. Tidur siang di saung sambil mendengarkan radio memutar lagu Darah Muda nya sang raja dangdut. Atau menikmati senja yang singkat namun begitu melekat.
Lelah pikiran dan perasaan ini membuatku mengantuk, ingin segera tidur melepaskan semua penat yang ada. Setidaknya ketika aku membuka mata, kehidupan yang lebih baik segera datang. Walau aku takkan pernah tahu, apakah diriku masih membuka mata setelah tidurku waktu itu. Hidup dan mati adalah rahasia terbesar yang belum pernah terpecahkan oleh siapapun, kecuali sang Pencipta. Hanya Dia yang tahu.
Tiga bulan berlalu, seolah-olah kejadian petaka itu tak pernah terjadi. Selama itu aku juga berpikiran ingin sembuh, tapi dengan cara apa? Belum ada obat penyembuhannya. Teman kuliah ku itu menemukan sebuah pekerjaan bagiku, jurnalis sebuah majalah travel. Walau tulisanku bisa dibilang ala kadarnya, setidaknya aku bisa berjalan-jalan menyambangi daerah-daerah yang belum pernah kujumpai sebelumnya, kecuali Surabaya.
Pimpinan redaksi ku memberikan ku tawaran untuk menetap di salah satu negara di Eropa, majalah travel kami saat itu sedang mencoba go international. Persaingan media cetak sedang memanas. Tanpa pikir panjang, kuterima tawaran tersebut. Saatnya aku menghilang.
**********
Potongan-potongan memori itu kembali ke dalam ruangan sempit di salah satu sudut kota Santander. Mendadak tubuhku panas, aku merasakan haus yang amat sangat.
"Sinta apa lagi yang kau lakukan padaku, hah!" aku berteriak mengerang kesakitan
Senyum sinis yang masih kuingat itu terngiang di benakku yang kacau. Ia mengeluarkan sebuah suntikan yang sudah kosong terpakai sambil melirik infusku yang berubah menjadi warna hitam. Racun itu sudah terlalu banyak mengalir ke dalam tubuhku saat aku mendekap di dalam selimut.
"Kenapa kau lakukan semua ini? tanyaku dengan suara parau melemah
"Sengaja aku mengejar kamu Indra ke pelosok Spanyol ini. Memastikan tidak ada lagi saksi kejahatanku lima tahun lalu. Sama, Aku tidak mau menanggung derita ini sendirian, aku juga dibuang dari kehidupanku. Sama halnya yang terjadi dengan dirimu bukan? Nista karena AIDS" Sinta menjawab seraya meninggalkanku merasakan sakit luar biasa.
Bergegas meraih ponsel yang ada di sampingku. Menekan tombol panggilan ke nomor yang sudah menelfonku berkali-kali dari kemarin.
Panggilan tersambung di ujung sana. Suara yang lama tak kudengarkan itu menjawab lembut.
Aku berkata patah-patah, "Maafkan aku, Ma"
Distancia (dalam bahasa Indonesia, Jarak) mengajariku bahwa rumah bukan tentang atap atau lantai. Bukan tentang mewah atau sederhana. Rumah bukan hanya tempat bernaung atau berlindung. Rumah adalah ketika kau memilih menjadi dirimu sendiri, dimanapun itu. Maka kamu tak akan merasa seperti orang lain di ragamu sendiri.
Distancia, jarak itu sekarang terlalu jauh. Aku sedang menatapi mereka dari atas langit. (DR)
******************************