Kamis, 31 Desember 2015

Selamat Tahun Lama!

Tahun akan segera berganti, aku memandangi foto-foto dari sebuah folder yang tersimpan di laptop. Judulnya 'kita'. Begitu banyak gambar diri yang kita ambil bersama, di tempat yang kita rencanakan setiap tahunnya untuk menghabiskan pergantian masehi.

Kamu tidak suka kembang api, aku tahu saat tahun pertama kita berkenalan. Dimana aku membawamu ke sebuah festival kembang api. Kamu malah mengajak pergi. Bagimu itu hanya kebahagiaan semu. Masih banyak hal yang bisa dinikmati sampai kapanpun kita mau. Akhirnya kamu mengajakku pergi ke danau. Langit malam yang dipenuhi titik bintang. Hanya kita berdua. Padahal aku takut gelap. Namun dirimu tetap bersikukuh mengajak.

"Daripada menikmati kembang api, lebih baik menikmati bintang yang bisa kita lihat berlama-lama." katamu seraya bersandar di badanku.

"Rasanya baru kemarin kita merayakan tahun baru, malam ini di tempat yang sama kita masih belum berubah, hanya sepasang kekasih yang tidak seutuhnya memiliki muara" katamu lagi.

Aku hanya tersenyum.

****

Aku begitu bersemangat ingin berjumpa denganmu, merayakan kembali agenda tahunan bersama. Sebentar lagi malam lama akan berganti malam baru. Aku mendatangimu di tengah keramaian, matamu berbinar, ada harap dan juga rindu yang terpancar. Tepat denting jam menyelesaikan tugasnya detiknya tahun ini, aku mendekapmu erat, mencium pipimu yang basah karena tangis bahagia. Tetapi aku sadar, bahwa bukan aku yang memberikan semua itu. Ada orang lain yang telah menggantikan. Jangankan menyentuh, menyebutkan namamu pun tak sanggup. Kita sudah berbeda dimensi.

Aku menunggui jasad yang jauh dari tempat kamu berdiri dengannya sekarang. Jasadku sendiri. Sebuket bunga krisan terperangkap kaku dalam genggaman. Yang kurencanakan menjadi sebuah kejutan. Ternyata Tuhan punya jawaban untuk menjawab rasa penasaranku, sekarang aku tahu dirimu yang sebenarnya. Orang-orang terlalu larut dalam euforia, sampai mereka terlupa bahwa ada orang yang sedari tadi berjuang keluar dari arus sungai. Jembatan gantung yang kulalui putus. Aku terlalu bersemangat, hingga berlari di atasnya. Padahal sudah ada peringatan agar dilarang lari atau melompat-lompat di atasnya. Tentu kamu tahu, aku tak pandai berenang.

Sungguh aku merasa terlahir kembali. Terlahir kembali. Terlahir dan kembali.

Selamat tahun lama, cinta.

~Doddy R
31.12.2015

Minggu, 27 Desember 2015

Rumah Lama

Manusia ibarat rumah lama. Ia dipenuhi oleh kenangan-kenangan. Suatu saat ia akan mengosongkannya, hingga tidak ada lagi yang melekat. Seperti debu-debu yang disapu bersih, sesungguhnya kenangan itu tidak akan pernah benar-benar pergi. Kenangan hanya berpindah tempat, diingat atau tidak diingat. Kenangan tetap di sana, tidak bergeming sedikit pun.

Begitupun kamu, setahun terakhir aku berusaha untuk melupakan kenangan yang kita cipta bersama. Aku kalah, selalu kalah saat berhadapan dengan yang tersisa darimu pada diriku. Namamu, senyumanmu, tatapanmu, lalu kehangatan yang menjalar saat kita malu-malu berpegang tangan di dalam taksi kala itu.

Aku tidak tahu, apakah genggaman itu tidak akan pernah aku dapatkan lagi? Seolah itu adalah hal yang paling membahagiakan sedunia dari orang yang jatuh cinta.

Aku memang lelaki pemalu dan tak tahu diri. Kadang aku ingin berubah menjadi orang lain, menghilang dari rasa bersalah, hingga kau tidak perlu terluka saat membaca namaku di deretan beranda jejaring sosial.

Rumah lama itu tidak pernah aku tinggalkan, kenanganmu masih tersimpan rapi bersama rindu yang bertumbuh tak tertahan. Apakah aku masih berada dalam rumahmu? Dalam ruang hati yang kau jaga.

~dr
27.12.2015

Minggu, 20 Desember 2015

My Lady, My Anti Fan

Akhir pekan lalu, penerbit bukuku yang terbaru mengadakan acara launching di tempat yang spesial. Mereka mengadakannya di pantai, mengusung konsep pesta bahari, segala makanannya dari hasil kekayaan laut.

Aku berdiri seraya menikmati udang goreng yang diberi saus mayones. Telponku tak berdering sedikitpun. Mungkin dia lupa, seperti biasanya.

Deburan ombak menghantam tepian pantai, karang-karang berdiri kokoh. Anggap saja kehadirannya seperti ombak, dan aku sebagai karang. Aku tak pernah letih menghadapinya. Kalau yang lain sibuk berfoto dengan buku, meminta tanda tangan, ia sungguh berbeda. Saat dalam sebuah talkshow aku pernah dikirim olehnya sebuah gambar. Bukuku dalam kondisi terbakar. Dengan tulisan pengantar, "Selamat buku barunya sudah terbit". Lucunya aku tidak marah dan membalasnya dengan ucapan terima kasih. Mengapa aku mencintai dirinya? Karena aku pikir dia membuatku mawas diri. Ketika yang lain sibuk memuji, dia sibuk mencaci. Seimbang. Dia melengkapi.

Semakin ia membenciku, maka semakin sukar melepaskannya. Entahlah, itu mungkin logika yang aneh dari seorang penulis.

Bagiku terlalu mudah rasanya bila jatuh cinta kepada orang yang jatuh cinta pula kepada kita, aku ingin tantangan. Kehadirannya sudah membuat hidup cukup berwarna.

Kling.

Teleponku bergetar, sebaris kalimat notifikasi muncul di layar. Pesan singkat darinya.

"Temui aku di tepi pantai."

Aku membalas, "Aku sedang menatapmu dari kejauhan."

"Bagaimana bisa?"

"Aku sedang di acara launching buku."

"Di pantai?"

"Ya."

Ia menoleh ke belakang bersamaan dengan lelaki di sampingnya, ia terlihat kikuk. Sang pria melambai seraya tersenyum.

Dia tidak pernah cerita kalau ada pria lain dalam hidupnya. Tapi aku sudah terlanjur menganggapnya kekasih, karena dia berbeda dari yang lain. Tapi aku tidak pernah tahu, apakah dia memiliki rasa yang sama padaku?

Mungkin benci adalah kata lain dari cinta, kurasa.

~Doddy Rakhmat

Kamis, 17 Desember 2015

Percakapan Selepas Senja

Ada sebuah percakapan antara wanita dan pria yang terpisah oleh jarak.

Pria : Aku berjanji akan menjaga dirimu selalu.

Wanita : Dengan apa kau menjagaku dari seberang pulau?

Pria : Dengan menjauh darimu.

Wanita : Bagaimana caranya bila dirimu jauh sedangkan aku begitu dekat dengan hal-hal yang berbahaya.

Pria : Pertama, aku adalah orang yang berbahaya. Berbahaya bila mendekati seseorang yang bukan muhrimnya.

Wanita : Lalu bagaimana jika ada lelaki yang mendekatiku di sini?

Pria : Aku akan menjagamu dalam doa-doa.

Wanita : Seandainya aku menerima ajakan menikah dari pria lain, bagaimana pendapatmu?

Pria : Kalau begitu, aku telah menjaga jodoh orang lain dengan baik.

Wanita : Aku inginnya itu kamu.

Pria : Bukankah jodoh adalah takdir terindah yang disimpan oleh Tuhan.

Wanita : Kalau begitu aku akan menunggu.

Pria : Sampai kapan?

Wanita : Sampai Tuhan memberitahukan rahasia terindahnya.

~Doddy R
17.12.2015

Mantel Terakhir

Angin-angin tepian danau menyapu para pengunjung. Hari beranjak malam, aku menyusuri danau seorang diri. Istriku sedang beristirahat di hotel. Ia terlalu lelah selepas berkeliling kota seharian penuh. Beberapa meter dariku seorang gadis kecil berambut keriting terbaring lemas. Beberapa orang hanya lalu lalang, tanpa menanyai keadaannya. Mungkin mereka terlalu sibuk, bisa jadi. Atau sudah mengalami kegagalan empati.

Aku mendekatinya, ia tak bergeming. Hanya menatap nanar kepadaku. Tanganku memegang dahinya. Astaga, panas. Dia pasti demam.

"Kemana orang tuamu, gadis kecil?"

Ia diam. Mulutnya hendak menjawab namun segera mengatup, seolah ada yang menahannya untuk berbicara.

"Badanmu panas. Biarkan aku membawamu pulang ke rumah."

Ia masih diam, kepalanya menggeleng. Perlahan ia berbicara.

"Aku menjual mantel terakhir peninggalan dari nenek. Semenjak itu Mama marah besar dan mengusirku dari rumah.

"Mengapa kamu menjualnya? Bukankah itu begitu berharga?"

"Mantel itu biasa saja. Yang membuatnya istimewa adalah warisan satu-satunya yang ditinggalkan oleh leluhur kami. Aku menjualnya untuk membeli obat untuk mama. Ia bersikeras untuk tidak meminum obat apapun. Selama Mama sakit kami tak memiliki uang. Ayah sudah pergi ditelan rimba. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan adalah mantel pemberian nenek."

Mendengar hal demikian, aku bergegas membawanya ke klinik terdekat. Membelikan obat untuknya sekaligus sang mama. Ia tidak banyak bertanya.

Di perjalanan menuju klinik, ia bercerita. Sang mama marah bukan karena ia menjual mantel pemberian sang nenek. Namun karena sang mama khawatir sudah masuk musim dingin, mantel itu lebih berharga untuk si gadis daripada obat-obatannya.

Setelah berobat, ia mengucapkan terima kasih. Gadis itu cukup manis bila tersenyum. Walau bibirnya masih kering, akibat menahan dingin.

"Akan selalu ada pengorbanan demi kebahagiaan seseorang, walaupun ia harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri."

~Doddy R
14.12.2015

Rabu, 16 Desember 2015

Opor Kalkun

"Diam, Rani."

Kami mengendap-endap dari pintu belakang rumah Paman Wery. Menuju pekarangan luas sekaligus lumbung gandum. Di dekatnya ada kandang kalkun. Isinya puluhan ekor.

Setidaknya perayaan lebaran tahun ini, kami bisa menyantap opor kalkun. Paman Wery terlalu pelit dengan keponakannya sendiri. Untuk itulah aku dan Rani berniat meminjam kalkunnya satu ekor.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sana!" Paman Wery berteriak, berlari ke arah kami sembari membawa garu rumput.

Kami ketahuan, namun aku dan Rani berhasil membawa kabur satu ekor kalkun ke dalam keranjang yang ku gendong.

Berlari dan terus berlari, hingga kami menghilang di ujung jalan. Tibalah kami di rumah, Ibu menyambut dengan muka bersungut-sungut. Di sampingnya berdiri Paman Wery. Entah bagaimana dia bisa sampai lebih dahulu.

"Cepat kembalikan kalkun Paman Wery." ujarnya dengan nada kecewa.

Dengan pasrah, kalkun itu berpindah tangan pada sang pemilik. Aku menunduk malu.

Paman Wery bergegas pergi.

"Kenapa kalian mencuri kalkun itu?"

"Kami tidak mencurinya, Bu. Kami hanya meminjamnya." sanggah Rani

"Bohong."

"Benar bu. Kami hanya ingin keluarga kecil kita bisa menyantap makanan lezat. Sudah berminggu-minggu kita hanya menyantap gandum dan garam."

"Lebih baik ibu tidak makan daripada makan dari bukan hak kita."

Kumandang takbir menggema langit. Opor kalkun pudar dari harapan. Tetapi kami belajar bahwa demi membahagiakan orang lain tidaklah harus membenarkan segala cara.

~Doddy R
#FlashFiction

Sabtu, 05 Desember 2015

Murai Murai

Murai Murai

Aku bagai murai
Di langit sepi
Mengarungi lepasnya angkasa
Bertahan dalam kesendirian

Aku bagai murai
Di tengah senyap
Mendekam dalam perih
Rindu sang kekasih

Aku bagai murai
Di taman rindu
Mencengkeram erat ranting
Seperti kenangan tentangmu

Aku bagai murai
Sendiri

~dr
05.12.2015