Kamis, 05 Oktober 2017

Sepatu Usang

Musim penghujan baru saja mulai. Jalan-jalan menuju desa yang masih tanah akan berubah menjadi lumpur setelah hujan turun. Dalam langkah terseok-seok, aku berjalan menuju rumah yang ada di ujung desa. Orang-orang memilih tidur karena cuaca yang dingin terlengkapi dengan langit mendung. Tiba di depan rumah, aku menemukan sebuah sepatu usang berwarna hitam yang basah. Tergeletak hanya sepasang, menghadap ke arahku. Talinya menjuntai berubah warna dari putih menjadi cokelat karena lumpur. Aku tidak tahu pemilik sepatu itu. Yang pasti ada perasaan janggal setiap melihatnya seakan-akan sepatu itu ingin menemukan pasangannya yang lain. Dan acapkali menimbulkan rasa sakit setiap kali aku berusaha memikirkannya.

Kunci rumah yang menyatu dengan deretan kunci lainnya seringkali membuatku kesal. Bentuknya yang sama dan kadang aku harus berulang kali mencobanya sampai menemukan kunci yang tepat. Baru saja masuk, aku mencium aroma anyir menyengat menguar ke seisi rumah. Aku pikir ada tikus mati lagi diburu oleh kucing kampung yang kupelihara.
“Gori.” Aku memanggil kucing kampung itu. Biasanya dia akan segera datang jika aku memanggilnya. Namun kali ini tidak ada tanda-tanda Gori akan muncul, bahkan mengeong pun tidak. Aku meletakkan mantel dan topi di gantungan pakaian di belakang pintu kamar. Kemudian menyalakan lampu pijar, suasana kamar berubah menjadi jingga remang-remang. Kasur dan meja rias masih berantakan. Aku tinggal seorang diri. Sebelum berangkat bekerja aku tidak pernah sempat merapikan kamar. Rasa lelah yang mendera tubuh dan mata selalu membuatku bangun kesiangan.

Dok. Dok. Dok.
Ada yang mengetuk pintu rumah dengan tempo cepat dan keras. Setelah berganti pakaian, aku bergegas menjumpai seseorang yang tidak sabaran itu. Tidak ada orang yang berdiri di balik pintu. Aku pikir ini pasti ulah anak-anak yang jahil. Belum jauh aku meninggalkan pintu yang telah kututup. Suara ketukan itu muncul lagi, lebih keras. Disertai dengan orang yang memanggil namaku. Dengan cepat aku membuka pintu, dan di sana hanya ada sepatu bagian kiri yang tadi kulihat. Ia telah berpindah tempat dari pekarangan ke depan pintu rumah.

“Kembalikan sepatu saya. Kembalikan sepatu saya. Kembalikan sepatu saya”

Suara itu terdengar seperti di langit-langit rumah. Berulang-ulang. Bau anyir pun semakin menjadi-jadi. Aku mengutuk Gori yang kuyakini tidak bersih menyantap hasil buruannya. Aku kembali ke kamar dan melupakan suara-suara itu. Aku rasa aku hanya terlalu lelah hingga muncul halusinasi yang aneh-aneh. Apalagi dari sepatu usang entah punya siapa itu. Aku meraih radio di atas meja. Dan menyalakannya, memutar tuas volume keras-keras.

Ternyata radio sedang menyiarkan program berita. Aku mendengarkan sang narator membacakan tiap kalimat beritanya. Tentang kriminal.

“Seorang pembunuh berdarah dingin yang mengalami gangguan ingat jangka pendek telah berhasil kabur dari penjara kota seminggu yang lalu. Pembunuhan terakhir memakan korban yang tak lain adalah ayah pelaku sendiri. Diduga pelaku kabur menuju desa seberang.”

Bau anyir itu kini berpindah ke kamar. Aku memerhatikan sesuatu yang familier terjulur dari bawah ranjang. Sebuah sepatu sebelah kanan yang sama dengan kutemui di depan rumah tadi. Aku berusaha meraihnya, dan ternyata cukup berat.

“Astaga.” Aku melompat kaget. Itu bukan hanya sebuah sepatu tapi juga sesosok mayat bersimbah darah dengan luka tusuk yang mengenaskan di sekujur tubuhnya. Gori, kucing kampung itu berada di dada mayat tersebut dengan posisi tertancap pisau yang menembus si mayat.

“Kembalikan sepatu saya. Kembalikan sepatu saya. Kembalikan sepatu saya.”

Suara itu terdengar lagi dari langit-langit rumah. Aku bergidik ngeri dan berlari ke luar dari rumah. Namun naas, aku terjatuh tersandung sepatu sebelah kiri di depan pintu. Belum sempat aku bangkit, sosok mayat itu berdiri di depan saya. Dan ia berkata, “Kembalikan sepatu Ayah, Anakku.”

-----
Warga desa seberang heboh. Radio-radio menyiarkan berita yang sama pada keesokan harinya.

“Seorang warga desa seberang yang diyakini sebagai pembunuh berdarah dingin  yang menjadi buronan beberapa hari lalu telah ditemukan tewas berdampingan bersama dengan korban terakhirnya, yakni ayahnya sendiri.”

ditulis oleh Doddy Rakhmat
26.03.2017

Rabu, 06 September 2017

Menyelamatkan Jodoh Orang Lain

Kadang ada orang-orang ditakdirkan hanya untuk hadir sementara dalam kehidupan. Tugasnya adalah memberi pelajaran bagaimana kita untuk lebih tabah menghadapi sebuah pilihan. Menjadi wanita sabar yang menunggu, menjadi lelaki berani memberi kepastian.

Ratusan hari menunggu, menyimpan rindu diam-diam, dan yang kau tunggu tak kunjung datang memberimu kepastian adalah bukti kesabaranmu. Namun tidakkah kita pernah bersepakat sebelumnya? Saling memantaskan diri sebelum ikatan suci.

Aku tahu kau pasti lelah, waktu kadang terlalu tega membiarkan kita menjalani hal-hal yang tidak kita inginkan. Kau seperti sekuntum mawar yang menantikan embun di musim kemarau. Tetap mekar dan berduri walau melalui masa sulit. Dan aku hanya seperti angin kering berembus yang tidak akan pernah menjadi setetes air.

Untuk keduakalinya, perpisahan seperti menemukan jalan terakhir. Aku memilih untuk tidak menyelamatkan hubungan ini karena aku merasa bukan pilihan terbaik. Kau pantas mendapatkan seseorang yang tidak membiarkanmu tertatih dalam penantian.

Di tengah terik siang kadang hujan juga tetap turun, namun setelahnya akan hadir pelangi. Pun begitu pula kesedihan, hari ini kau merasakannya, esok atau lusa semua akan diliputi bahagia. Jemputlah kebahagiaan itu walau bukan denganku. Karena aku hanya bisa mengantarkanmu dengan doa-doa. Terima kasih atas segala yang pernah kau beri, atas kenangan-kenangan baik.

Setidaknya, kepergianku adalah sebuah upaya menyelamatkan jodoh orang lain. Yang bisa memberimu kepastian sesegera mungkin. Ditemukan oleh seseorang dan membawamu kepada kebahagiaan hakiki, sebuah pernikahan.

Doddy Rakhmat
06092017

Jumat, 31 Maret 2017

Memintamu Untuk Melupakan

Satu-satunya hal terbodoh yang pernah terjadi adalah memintamu untuk melupakan. Melupakan segala hal tentangku. Melupakan kenangan-kenangan yang pernah bersemayam. Kiranya aku meminta maaf dan berharap kau dapat menyimpan apapun tentangku yang membuatmu baik-baik saja. Sebab membuatmu terluka, menangis dalam kehilangan, dan menunggu ketidakpastian bukanlah hal yang aku inginkan. Aku tahu bagaimana kesedihan bekerja. Senantiasa menumpahkan airmata agar dada terasa lega.

Luka kehilangan ini sesungguhnya perjalanan waktu yang harus kita tempuh bersama, atau hanya aku saja yang melaluinya. Kau sepertinya tidak pantas. Waktu adalah jarak teramat panjang, kau tidak tahu batas akhirnya. Kau hanya diberi kesempatan untuk memulainya. Dan kau tumbuh dalam hati seperti luka yang perih tapi aku merasa bahagia walau harus menerimanya tertatih.

Dan yang tak pernah sedikitpun tercetus dalam pikiran. Dalam angan-angan. Bahwa mungkin pada awalnya orang jatuh cinta tak pernah berpikir bagaimana akhir perjalanan cintanya nanti. Apakah bahagia atau menyedihkan? Tapi mereka tetap menjalani, untuk melatih seberapa kuat dan teguhnya hati. Kita memilih bagian yang menyedihkan setelah berbahagia sejenak. Aku tahu keputusan berpisah ini adalah keputusan bersama. Tetapi mendadak menjadikanmu seseorang yang asing dan saling mengasingkan diri adalah kenyataan pahit. Tidak semudah membalikkan telapak tangan, lalu semuanya terlupa seperti diserang amnesia.

Lagu-lagu yang pernah kita dengar dan nyanyikan bersama telah membentuk kenangan tersendiri dalam memori. Dimanapun kita mendengarnya kelak, aku yakin kita pasti kembali mengingat bagaimana kita menghabiskan waktu bersama. Saling bertukar mimpi masa depan dan kisah masa lalu yang kadang lucu, kadang haru.

Sekarang kita berdua telah berada dalam sebuah jalan dan keputusan. Masing-masing telah memilih dan berjalan tegar berbeda arah walau hati terasa nanar saat harus melewatkanmu dalam perjalanan panjang ini. Terima kasih telah pernah bersama dan terima kasih jika kau tidak menghapusku dalam hidupmu selamanya.

(Doddy Rakhmat)

Rabu, 08 Maret 2017

Mungkin Bukan Aku

Mungkin bukan aku. Bukan aku yang kau tunggu di senja kala itu. Di sebuah tepian dermaga dengan angin laut yang menyibak rambutmu perlahan atau di dalam ruang hatimu.

Mungkin bukan aku. Dari sederet nama yang kau nantikan dalam hidup. Satu demi satu mereka gugur seperti daun di pepohonan tua. Dan salah satunya aku.

Mungkin bukan aku. Yang kelak menghabiskan detik demi detik kebahagiaan bersamamu. Karena aku hanya bisa memberimu harapan yang tak bisa kau genggam seperti udara di tangan hampa.

Mungkin bukan aku. Bersanding manis denganmu di pelaminan biru warna kesukaanmu. Karena aku terlalu sibuk menyesali kehilangan yang aku buat.

Mungkin bukan aku. Menimang bayi mungil yang kau beri nama-nama indah seperti parasmu. Menikmati hangatnya sinar mentari di taman asri bersama si buah hati.

Mungkin aku. Yang akan menghapus kesedihan di matamu, kepedihan di batinmu, dan keberadaanku di hidupmu.

Mungkin.

Doddy Rakhmat
07.03.2017

Jumat, 03 Maret 2017

Residu Kehilangan

Jalanan sehabis hujan menyisakan genangan-genangan kecil yang harus kulalui penuh hati-hati.  Malam itu aku tidak berniat langsung pulang ke rumah. Dan aku memilih singgah di sebuah minimarket. Hanya untuk membeli segelas cokelat hangat instan. Kursi-kursi di depan minimarket itu kosong dan sedikit basah karena tempias air hujan. Aku menyekanya perlahan. Duduk dan memandangi uap dari cokelat hangat yang masih meliuk-liuk di atas gelas.

Tidak ada keramaian di jalan, lengang, karena sudah beranjak larut malam. Aku menenggak tegukan pertama, sekujur tubuh menghangat. Jaket parka yang kukenakan tidak cukup tebal menahan dingin saat itu.

Aku kembali memeriksa telepon pintar. Tidak ada balasan darimu. Mungkin lebih tepatnya tidak ada niat untuk membalas. Karena aku tahu kau sudah membacanya.

"Apakah kau sedang dekat dengan seseorang belakangan ini?"

Begitu pertanyaanku yang seharusnya tidak terlalu sulit kau jawab. Aku mengaduk gelas, mengacaukan residu yang mengendap di dasarnya. Seperti aku yang tiba-tiba hadir lagi di kehidupanmu yang mungkin saja tidak ada ruang untuk namaku di sana.

Entah kenapa aku masih merasa berdebar-debar menunggu jawabanmu. Padahal kita sama-sama tahu, bahwa tidak ada lagi hal yang bisa menghubungkan kita satu sama lain. Hujan di bulan Februari adalah saksi bagaimana kita masing-masing mengambil jarak. Apakah kita pernah bertengkar sebelumnya? Tidak pernah, kan? Lantas aku masih heran dengan keputusan yang kita buat.

Lalu aku menceritakan apa yang terjadi di antara kita kepada temanku. "Bagaimana kamu masih mencintai dia bahkan kalian tidak ada berkomunikasi lagi setelah sekian lama?" Ia bertanya.

Aku hanya diam. Dan dalam hati aku masih yakin, bahwa cinta tidak butuh banyak alasan. Aku percaya kita akan berjodoh. Tapi aku juga takut. Apakah ada seseorang yang berada di dekatmu? Maka aku putuskan untuk mengirimkan pertanyaan itu kepadamu.

Dan aku masih menunggu. Mataku mulai lelah. Aku bergegas pulang. Sepanjang perjalanan aku tidak tenang. Belum jua kuterima balasanmu. Ah, mungkin kau sudah tidur. Tapi mengapa kau sudah membacanya?

Apakah kita memang tercipta hanya untuk menjadi residu kehilangan? Sisa-sisa harapan yang kemudian ingin bersatu kembali?

(Doddy Rakhmat)
03.03.2017

Rabu, 08 Februari 2017

#8 Jatuh Cinta Kepadamu

Manusia adalah makhluk sosial. Ia membutuhkan manusia lain. Membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Baik dari keluarga maupun pasangan hidupnya kelak.

"Jika jatuh cinta bisa diatur, maka kamu ingin jatuh cinta kepada siapa?" Sebaris pertanyaan yang membuat saya berpikir dua kali. Ada benarnya. Jatuh cinta sebenarnya tidak bisa kita atur. Karena sejatinya jatuh cinta adalah ketika mengikuti kata paling jujur dari hati. Tidak dipengaruhi logika maupun faktor dari luar diri.

Jatuh cinta sebaiknya tidak cukup sekali. Musti berkali-kali dan kepada orang yang sama. Jatuh cinta adalah pengorbanan, menyerahkan sepenuhnya hidup kepada orang yang kita percayai. Lalu orang-orang mungkin akan protes. "Ah kebanyakan teori. Praktik dong." Lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan, "Kapan nikah?","Kapan punya pasangan?", untungnya saya masih cukup sabar menghadapinya. Kalau saya balik tanya, "Kapan kamu mau jadi jomblo lagi?" Bagaimana? Berhentilah bertanya, walaupun alasan klasik ngelesnya nanti  adalah "Kitakan mendoakan semoga cepat." Dalam hati saya, "Aamin." Tapi menikah bagi saya bukan cepat-cepatan. Karena itu bukan sebuah lomba. Ada menang atau kalah.

Oke kembali kepada jatuh cinta. Jika bisa diatur, maka saya akan pilih jatuh cinta kepada orang yang membuat pertanyaan ini. Kenapa?

Jatuh cinta itu, kala jantung berdegup lebih kuat saat mengingat segala tentangnya. Saat senyumnya yang manis menghapus harimu yang pahit. Walau sekedar sapaan, tapi kau menjadi dua kali lebih merindukannya. Suaranya, tatapan matanya, dan kau tidak menyadari bahwa kau sedang jatuh cinta. Melainkan menemukan potongan surga yang bisa kau raih dan menjadikannya pendamping hidup kelak dunia dan akhirat.

"Jatuh cinta kepadamu, adalah jatuh cinta terhebat yang pernah aku rasakan. Karena di dalam diriku, aku tidak menemukan jeda untuk melupakanmu walau sejenak."

(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #hari8

Selasa, 07 Februari 2017

#7 JIKA WAKTU DAPAT DIPUTAR KEMBALI

Jika waktu dapat diputar kembali, hal apa yang ingin kamu perbaiki? Pertanyaan dari 28harimenulis untuk hari ke 7. Jawaban saya adalah saya ingin kembali pada saat pasca operasi usus buntu kakak saya dan saya harus memastikan beliau sembuh total

Sudah 19 hari kepergian kakak perempuan saya dari dunia sementara ini. Setiap bangun dari tidur saya masih berpikir bahwa yang saya lalui hanyalah mimpi. Namun saya sadar, semuanya adalah nyata. Kehilangan adalah realita yang tidak bisa keluarkan dari benak sejenak. Bahwa manusia diciptakan tidak abadi.

Beberapa waktu lalu, dalam sambungan telepon dengan Mamak. Beliau bercerita dengan tangis terisak-isak. Di awali dengan hening sejenak kemudian beliau berkata,

"Mamak kalau lagi kangen sama Mba Uwi, sekarang nyiumin bajunya yang terakhir kali dipakai. Mamak udah pesan ke Bapak sebelumnya jangan dicuci dulu baju Mba Uwi."

Saya terdiam. Biarkan tangisan Mamak reda sendirinya sampai beliau lega. Lalu kotak memori dalam pikiran saya menelusuri kenangan demi kenangan yang kami ciptakan bersama Kakak saya. Belanja bulanan kebutuhan dapur rumah sakit di swalayan. Saya senang walau sekedar mendorong troli belanjaan.

Lalu berpindah lagi ke kenangan berikutnya, saat beliau melepaskan kepergian saya merantau untuk pertama kalinya di pertengahan tahun 2010. Beliau memeluk saya erat. Dan selama kuliah beliaulah yang banyak membantu saya. Dengan uang saku yang diberikan oleh perusahaan pemberi beasiswa. Saya cukupkan untuk bayar kos, makan dan transpor. Hanya sesekali saya minta itupun karena kebutuhan urgen di luar pengeluaran bulanan saya. Yang penting saya tidak ingin merepotkan beliau maupun orang tua. Saya masih teringat impian saya untuk beliau untuk mengajaknya suatu saat naik pesawat dan jalan-jalan di jakarta. Tapi kita semua manusia hanya pandai merencanakan, yang memutuskan tetap Allah Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta Bumi dan Langit, Penulis Takdir yang Maha Sempurna.

Jika waktu dapat diputar kembali. Maka saya ingin mencegah dengan amat serius agar kakak saya tidak usah bekerja dulu sampai beliau sembuh total. Saya ingin beliau mendapat perawatan yang mumpuni dari tenaga medis rujukan provinsi jika memang diperlukan. Dan waktu ternyata hanya mendengar satu perintah, dan perintah itu adalah berjalan terus ke depan. Meninggalkan kenangan-kenangan menjadi usang, lalu manusia mengumpulkannya agar tak lekang.

Merindukan seseorang yang telah tiada itu berarti kita harus siap menghadapi kehilangan hebat. Seperti halnya sebuah belati yang tertancap pada jantungmu. Walau perih dan menyakitkan, namun kau harus bertahan dan rasa itu harus kalian bawa selama seumur hidup. Waktu seperti berjalan lebih lambat daripada biasanya.

"Dalam dada Bapak, masih tersimpan gemuruh kehilangan yang belum padam. Dalam mata Mamak, kerinduan kian tak berbendung. Dalam kehampaan aku masih mengingatnya. Dan mengikhlaskan kepergian adalah jalan terbaik untuk merindukan seseorang yang sudah berubah menjadi kenangan"

(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #hari7

Senin, 06 Februari 2017

#6 Kabhi Khushi Kabhie Gham

Jangan tanya saya sudah berapa kali menonton film india yang dibintangi oleh Shahrukh Khan, Kajol, Hritik Roshan, Karena Kapoor, Amitabh Bachchan dan Jaya Bachchan ini. Film india yang saya kategorikan legendaris setelah Kuch Kuch Hita Hai ini tidak pernah bosan saya tonton sampai sekarang.

Kabhi Khushi Kabhie Gham (Kadang Senang, Kadanf Sedih) rilis di tahun 2001 tepat saat masa kerusuhan di Sampit. Film yang disutradari Karan Johar ini, saya tonton pertama kali saat masih SD, kami mendapatkan filmnya dari tempat penyewaan CD yang masih sangat ramai peminat kala itu.  Rata-rata film india bisa sampai 3 kaset karena durasi film yang panjang sedangkan kapasitas CD R masih kecil. Lain hal dengan zaman sekarang, hanya perlu satu kaset dvd. Setelah itu film KKKG sering ditayangkan di televisi melalui channel TPI (sekarang MNC TV), tentu saya tidak pernah absen menonton filmnya.

Bercerita tentang seorang anak yang rela pergi dari rumahnya saat tidak direstui cintanya oleh sang orang tua. Rahul (Shah Rukh Khan) anak angkat dari Yash Raichand (Amitabh Bachchan) seorang konglomerat terhormat, jatuh cinta kepada Anjali (Kajol) seorang gadis dari kalangan rakyat jelata. Sang Ayah tidak setuju, namun Rahul bersikeras untuk pergi dan memilih minggat ke London bersama sang istri. Sang Ibu (Jaya Bachchan) terpukul dan merasa kehilangan. Mengharu biru kalau melihat adegan pamitannya itu. Diceritakan dengan alur mundur berawal dari sang pengasuh mengisahkan kronologi kepergian Rahul kepada sang adik Rohan (Hritik Roshan) yang baru pulang sekolah asrama. Ia merasa bertanggungjawab untuk mempersatukan keluarganya lagi. Akhirnya  menyusul ke London, ia menyembunyikan rahasia identitasnya yang sebenarnya. Dan tinggal bersama abangnya tanpa dikenali karena sudah bertahun-tahun ia tidak ketemu. Hebat ya.

Jujur saya menangis setiap melihat scene sang ibu menunggui Rahul pulang. Saya berpikir suatu saat apakah saya hal mengalami hal tersebut. Dirindukan kepulangannya oleh orang tua. Dan yap, semua itu ternyata terjadi. Bedanya saya tidak disambut dengan joget joget sambil nyanyi saja kalau pulang ke rumah. Lagipula rumah saya kecil. Tidak cukup menampung orang beramai-ramai berjingkrak ria di dalamnya. Dan juga saat pengakuan Rohan kepada Rahul di bangku taman yang begitu dramatis, itu rasanya nyes nyes pyar. Sudah menjadi hal lumrah kalau kami nangis berjamaah nonton film india bersama keluarga di rumah. Kalau dilihat dan dibandingkan wajah Mamak saya mirip dengan Jaya Bachan. Apa ada program tivi ASAL di india sana ya? Bisa ikutan Mamak saya nanti.

Yang menurut saya berkesan dan paling diingat dari film tersebut adalah kalimat yang disampaikan Rahul untuk adiknya sebelum meninggalkannya di sekolah asrama. Rahul berkata, "Zindagi mein kuch banna ho. Kuch hasil karna ho. Kuch jeetna ho To hamesha apne dil ki suno. Aur ager dil se bhi koi jawaab na aaye. To apni aankhein band karke apni Maa aur Baba ka naam lo. Phir dekhna tum her manzil paa sakoge, Her mushkil aasan ho jayegi, Jeet tumhari hogi. Sirf tumhari."

Jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia artinya adalah "Kalau kau mau jadi orang dalam hidupmu, kalau ingin menghasilkan sesuatu, kalau ingin menang, selalu ikuti kata hatimu.
Tapi bila hati tidak menemukan jawaban,
tutup mata sebut nama AYAH & IBU. Lihatlah segala kesulitan akan menjadi mudah, kau akan memperoleh segala tujuan dan kau akan menang. Hanya kau."

(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #hari6 #FilmMemorable

Minggu, 05 Februari 2017

#5 Kekuatan Melupakan

Kalau kamu dikasih Tuhan punya kekuatan super. Kekuatan apa yang pengin kamu punya? Ini adalah tema hari ke 5 dari tantangan #28harimenulis

Jika memang ada, maka saya akan memilih kekuatan untuk melupakan. Membantu orang melupakan kenangan-kenangan buruk yang mereka miliki. Yang tidak harus ia rasakan sepanjang hidupnya. Tidakkah menyakitkan jika kita harus menanggung seumur hidup kenangan-kenangan pahit selama perjalanan hidup kita. Karena kenangan seperti bom waktu. Bisa meledak kapan saja dan tidak mengenal tempat.

Saya tidak perlu memakai kostum aneh, berwarna-warni ataupun membawa alat-alat. Saya hanya perlu menepukkan kedua tangan di hadapan orang yang akan saya tolong. Maka sekejap kenangan buruk yang ia miliki hilang. Apakah perlu kita menyimpan kenangan buruk? Kadang perlu sebagai pembelajaran, agar kita menjaga langkah dan keputusan kita dalam kehidupan.

Tentu saya akan sering bepergian mengunjungi tempat-tempat yang penuh dengan orang-orang sakit. Baik fisik maupun batin mereka. Saya akan muncul di mana-mana melalui jejaring internet. Setiap tulisan yang mereka buat ataupun unggahan video curahan hati mereka saya akan saring dengan kata kunci. Kenangan - Buruk - Hapus - Hilang. Kemudian saya akan mengirimkan sebuah email atau pesan kepada mereka. Kami akan membuat janji di tempat mereka yang dikehendaki. Jika jauh di luar kota maka butuh waktu untuk ke sana.

Apakah seorang superhero adalah makhluk yang sempurna. Tentu tidak. Pada suatu titik saya pun akan mengalami hal-hal yang buruk dan akan menjadikannya kenangan yang tidak perlu saya ingat. Lalu bagaimana? Apakah saya harus melupakannya juga? Justru saya akan menyimpannya, mengumpulkan segala kenangan-kenangan buruk orang yang saya tolong. Karena itu adalah sumber kekuatan saya. Sepahit dan separah apapun, setiap kenangan memiliki makna yang tak bisa kita nilai hanya dari satu sudut pandang.

Tapi tentu saja kekuatan melupakan ini sangat berbahaya jika dimiliki oleh orang yang salah. Misal digunakan untuk melupakan hutang-hutang yang ia miliki atau melupakan janji-janji manis yang pernah ucapkan. Sungguh kejam, bukan?

"Melupakan adalah sebuah usaha untuk mengingat yang tanpa kita sadari. Kenangan itu abadi. Yang fana hanya manusianya."

(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #hari5

#4 Sampit, Kota Sejuta Kenangan

Sampit adalah kota sejuta kenangan dan kesempatan. Bumi Habaring Hurung, demikian semboyan kabupaten Kotawaringin Timur menunjukkan bahwa dengan Gotong Royong kita semua bisa membangun sebuah tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi semua masyarakatnya.


Kata Sampit menurut referensi yang pernah saya baca, asalnya dari bahasa cina yaitu angka 31. Konon zaman dahulu kala, ada 31 Pedagang Tiongkok yang datang mengunjungi daerah tersebut. Saat ini Sampit sebagai ibukota Kotawaringin Timur telah berusia 64 tahun. Banyak hal yang sudah dilewati oleh kota Sampit. Terutama yang tidak terlupakan adalah kerusuhan antar etnis di tahun 2001. Butuh waktu untuk memulihkan perekonomian dan pembangunan kota. Namun 16 tahun kemudian, Sampit maju demikian pesatnya. Warga-warganya damai dan rukun. Perekonomian membaik. Investor-investor banyak membangun daerah. Perusahaan besar multinasional yang bergerak di bidang industri kelapa sawit maupun pertambangan membangun usaha mereka. Dan yang paling penting, Sampit menjadi kota yang mempunyai sejuta kesempatan. Lapangan kerja terbuka lebar dan usaha kecil menengah semakin banyak bermunculan.


Saya lahir 24 tahun lalu di sebuah rumah yang terletak di jalan kelapa sawit sekarang Jalan S.Parman. Kenapa di sebut kelapa sawit karena dulu di sepanjang jalan baik sisi kiri maupun kanan ada pohon kelapa sawit yang tinggi menjulang. Berdasarkan informasi dari orang tua saya, kelapa sawit itu ditanam oleh orang belanda. Namun sekitar menjelang tahun 2000, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menumbang semua pohon kelapa sawit karena faktor keselamatan. Beberapa kali kejadian saat cuaca kurang baik, angin kencang maupun hujan deras. Pohon kelapa sawit tua itu tumbang ke jalan. Beruntungnya tidak ada korban jiwa maupun kerugian material yang ditimbulkan. Sekarang, pohon-pohon ketapang tumbuh tinggi di sepanjang tepian jalan. Upaya pemerintah untuk melakukan penghijauan nampaknya membuahkan hasil. Namun kondisi pohon ketapang yang sudah terlalu tinggi juga membahayakan terlebih lagi akan mengganggu instalasi kabel listrik.


Dari zaman kecil sampai remaja, sepeda menjadi andalan saya untuk mengelilingi kota Sampit, saya sudah paham betul jalan maupun gang di sana. Tapi yang paling saya sering takutkan adalah kalau sudah ada anjing. Maka saya harus memutar jalan lain. Walaupun jarak saya dengan anjing itu masih 20 meter. Karena saya punya pengalaman buruk dikejar anjing.


Tempat favorit saya sampai sekarang adalah Sungai Mentaya. Letaknya kurang lebih 1 km arah timur dari rumah saya. Hampir setiap sore yang luang, saya selalu menyempatkan berkunjung ke sana. Apalagi kini pemerintah telah membangun Monumen Ikan Jelawat persis di tepian Sungai Mentaya sehingga menjadi potensi wisata yang baik bagi penduduk lokal maupun luar. Seolah-olah saya sedang berkontemplasi tentang kehidupan ketika memandangi riak sungai Mentaya. Dan kalau ada teman-teman, biasanya kami menyusuri sungai Mentaya menggunakan kelotok (perahu bermotor). Suara ciap burung di langit yang hendak pulang kala senja, deru mesin kelotok, deburan air sungai, menjadi hal yang saya selalu rindukan.
Monumen Ikan Jelawat. (Credit : Drone.sampit)


Setiap saya pulang cuti sekarang rasanya belum afdol kalau belum mencicipi kuliner-kuliner yang ada di Sampit. Mulai dari telur mata gajah, nasi kuning, lontong banjar, sampai dengan pentol. Tentu yang paling saya idamkan adalah masakan mamak saya. Apalagi kalau beliau sudah buat Lempeng. Alias pancake ala sampit. Hehehe. Hampir setiap tahun ada saja tempat makan yang baru. Entah itu kafe-kafe kecil, sampai dengan restoran jepang. Zaman saya sekolah dulu, tidak ada namanya coffeshop, resto siap saji seperti KFC, namun sekarang sudah banyak jumlahnya. Dan untuk pusat perbelanjaan pun sekarang sudah di bangun Borneo City Mall. Akhirnya Sampit punya Mall. Walaupun satu. Dan yang membahagiakan lagi, tahun ini akan dibuka bioskop Cinemaxx. Ini adalah kabar baik untuk warga Sampit dan sekitarnya. Karena kalau mau ke bioskop selama ini harus ke ibukota provinsi dulu di Palangkaraya sana.


Sampit, Kota Sejuta Kenangan. Kenangan-kenangan yang baik dengan orang-orang yang saya sayangi. Keluarga, sahabat maupun guru-guru di sekolah saya dulu. Saya berkeinginan kuat untuk pulang ke Sampit, ikut mengembangkan kota yang saya cintai, menghabiskan waktu bersama orang tua, dan membangun keluarga baru kelak.


"Karena muara dari segala rindu adalah tempat di mana kita dilahirkan, dibesarkan oleh harapan-harapan baik."
(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #hari4

Sabtu, 04 Februari 2017

#3 Paris Yang Manis

Di bawah langit malam yang diterangi bulan, Sungai Seine mengalir indah membelah kota Paris, kemegahan Menara Eiffel yang menjulang dan  menjadi daya tarik semua orang yang bertandang ke salah satu negara Eropa tersebut. Paris, Perancis yang manis.

Saya selalu berangan-angan nanti bisa menghabiskan bulan madu bersama pasangan saya di sana, menuliskan puisi romantis dan membacakan untuknya langsung di hadapan Eiffel.

Dari zaman SMA, saya sudah bermimpi untuk ke sana. Sebelum Novel Edensor karya Andrea Hirata rilis, hati kecil saya berkata suatu saat saya akan menjejakkan kaki ke sana. Jalan-jalan gratis,  sambil kuliah sastra di sana. Mimpi yang indah. Saya melihat Paris tidak hanya sebagai sebuah pusat mode, tapi juga keindahan tata kotanya yang bernyawa. Bangunan-bangunan yang berkarakter yang kuat. Bahkan keinginan saya semakin menjadi-jadi setelah menonton film 99 Cahaya Di Langit Eropa. Menapak tilas sejarah sebaran ajaran agama Islam yang ternyata berpengaruh besar di sana. Jika ditarik garis lurus ke arah timur maka Champs-Elysees, Tugu Emas (Obelisk Monument), Air Mancur Besar, hingga Museum Louvre, dan Arc De Triomphe atau Gerbang Kemenangan yang dibangun oleh Napoleon masih dalam satu lini yang sama dengan Ka'bah di Makkah.

Beberapa tahun lalu, saya juga sempat tergabung di grup Whatsapp belajar Bahasa Prancis, tidak dipungut biaya alias gratis. Namun grup tersebut tidak bertahan lama, sudah tidak aktif dan ditinggal oleh para mentornya. Padahal saya sedang semangat-semangatnya belajar. Baik segi pelafalan maupun penulisannya. Walau baru di tahap awal, mulai dari sapaan hingga percakapan ringan untuk pemula. Yah, setidaknya sekarang sudah ada Google Translate. Sudah cukuplah buat jadi modal jalan-jalan ke luar negeri. Ya, nggak? Dan entah kenapa, saya senang mendengarkan aksen orang-orang perancis. Dengan kondisi saya yang cadel, rasanya tidak terlalu susah untuk melafalkan kosakatanya.

Belakangan saya iseng-iseng melihat harga tiket Jakarta- Prancis, dan yang paling murah ada dari maskapai Thai Airways dengan satu kali transit di Bangkok, waktu perjalanan menjadi 22 jam 45 menit. Harganya Rp 6.468.600 sudah termasuk pajak. Dan yang paling mahal sampai 102 juta untuk sekali penerbangan. Sudah bisa beli mobil satu sepertinya. Atau bangun perpustakaan kecil yang saya idam-idamkan.

Tiba-tiba saya mau mengurus paspor saya yang masih belum jadi dibuat. Kali saja, ada tawaran trip gratisan, hehehe. Saya siap menerimanya.

"Sejauh apapun perjalanan yang kita tempuh kelak, mimpi dan doa kita bergerak lebih jauh dari apa yang kita bayangkan, menembus langit, jangan pernah biarkan diri kita berhenti bermimpi."

(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #hari3

Kamis, 02 Februari 2017

#2 Menjemput Jodoh

Awal bulan Februari ini saya sedang mencoba menjajal aplikasi Facebook Ads. Mengembangkan halaman-halaman facebook yang saya kelola selama ini agar bisa menjangkau lebih banyak orang lagi. Tentunya harapan saya, apa yang diperjuangkan selama ini baik itu dari usaha maupun pengembangan diri bisa tercapai sesuai keinginan dan juga kebutuhan.

Hujan akhir-akhir ini sering turun saat sore menjelang malam. Jalanan tanah menjadi licin dan saya harus berhati-hati mengendarai motor. Apalagi ban motor saya masih standar. Risiko kerja di site kebun yang harus saya alami. Tidak terbayang saat berpuluh-puluh tahun lalu Bapak saya bekerja di hutan belantara tanpa teknologi seperti sekarang dan menjalani kehidupan jauh dari kota yang serba terbatas juga. Salut sama Beliau!

Bulan ini jika melihat target membaca buku tahunan saya, maka setidaknya saya harus menyelesaikan bacaan sekurang-kurangnya 3 judul buku. Minggu pertama ini saya sedang membaca buku salah satu karangan teman saya, Ariqy Raihan berjudul Lampion Senja. Saya termasuk orang yang pilih-pilih buku untuk dibaca. Biasanya yang menjadi pilihan utama saya adalah buku kumpulan cerpen, sinopsisnya menarik, bukan terjemahan. Untuk novel saya biasanya pilih penulis-penulis terkenal dalam negeri seperti Dee, Tere Liye, atau Eka Kurniawan. Tidak terkecuali juga kadang saya pilih penulis penulis besar lainnya namun juga dipertimbangkan untuk isi bukunya. Karena kalau tidak sesuai dengan keinginan, dipastikan buku itu hanya terbaca beberapa halaman dan mengendap di lemari koleksi buku saya saja.

Harapan terbesar saya di bulan Februari ini dan tentunya juga harapan kalian semua, ingin rezeki yang didapat semakin berkah dan berlimpah. Keluarga dan kita diberikan kesehatan dan perlindungan. Dan jodoh agar segera dipertemukan jika belum memilikinya.

Saya masih teringat target tahun ini harus turun berat badan 20 kg atau lebih. Itu artinya setiap bulan saya harus menurunkan badan setidaknya 2 kg. Tidak terlalu enak juga menjadi orang gemuk. Susah cari pakaian yang pas ukurannya. Kalaupun ada stoknya terbatas dan tentunya mahal. Jarang ada diskonan.

Untuk jodoh, harapan besar bagi para lajang-lajang seperti saya ini. Sebagai lelaki tentunya tugas kami adalah memilih, memutuskan dan menjemput jodoh. Ya kan? Bagaimana cara menjemput jodoh? Berikhtiar, berdoa, minta pada Yang Maha Kuasa, yang menuliskan ketetapan takdir untuk kita. Niscaya, hati akan mendapat energi luar biasa untuk meyakinkan diri dan dia bahwa kita adalah pilihan terbaik untuk mereka miliki. Dia dan seluruh lapisan keluarganya. Dan setelah kita lakukan semua itu, kita hanya bisa menunggu. Tuhan akan memberikan kita orang yang tepat dan di waktu yang tepat. Biarkan takdir bekerja dengan indahnya.

"Percayalah, Tuhan itu Maha Baik kepada kita. Jangan lupa bersyukur atas nafas yang ia berikan setiap detik untuk kita. Agar kita tetap sadar bahwa keberadaan kita akan membuat orang yang kita cintai lebih bahagia."

(Doddy Rakhmat)

#28harimenulis #Tantangan #Hari2

Rabu, 01 Februari 2017

#1 Mengabarkan Ketiadaan

Bercerita tentang bulan januari tahun 2017, rasanya tidak menyangka sudah bertemu dengan bulan februari. Detik berlalu begitu cepat  Awal tahun yang sebenarnya tidak ingin saya ingat-ingat lagi. Karena saya kehilangan kakak perempuan saya untuk selamanya.

Sebelumnya saya ingin bercerita tentang hadiah iPhone 5 yang telah saya terima di bulan Januari tadi. Hadiah apakah itu? Hadiah itu saya dapatkan dari memenangkan kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan oleh ampaskopi.com dan bekerjasama dengan Generasi Kreatip Garuda Keadilan. Temanya adalah Movement alias Hijrah. Kompetisi ini sebenarnya diadakan di tahun 2015. Karena sesuatu lain hal terkait teknis dari penyelenggara akhirnya hadiah baru dikirimkan tahun 2017. Yap, bersabar adalah kunci dari segala penantian. Dan saya semakin bersemangat menulis cerita-cerita baru. Semoga jika tidak ada halangan tahun ini saya ingin menerbitkan sebuah buku lagi. Ditunggu saja.

Setiap ada kegembiraan di sisi lain akan ada kesedihan. Dan inilah sisi duka di Januari 2017.

Rury Annalisa, atau yang lebih saya sapa dengan panggilan Mba Uwi. Adalah kakak perempuan saya yang lahir 34 tahun lalu. Beliau adalah personal yang ceria dan gigih untuk keluarganya. Beliau sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang lucu. Kakak yang saya sangat sayangi, yang berjuang agar adiknya bisa sekolah dengan baik.

Dan di tanggal 19 Januari 2017, suatu pagi di antara keriuhan lalu lalang bandara saya mendapatkan kabat bahwa beliau meninggal dunia. Apa yang saya rasakan saat itu? Patah hati. Patah hati yang teramat dalam karena kehilangan salah satu bidadari kehidupan. Belahan jiwa yang tak pernah terganti.

Beliau sudah sakit sejak bulan september 2016, saat itu beliau menjalani operasi usus buntu. Namun bulan demi berjalan setelahnya kondisinya tidak stabil. Sempat kekurangan Hb dan harus transfusi. Kemudian sempat infeksi pada bagian bekas operasi, bed rest selama dua minggu pada akhir November karena mengalami luka di bagian dalam ususnya.

Di awal Desember 2016, saya berkesempatan pulang cuti setelah menghadiri pernikahan sahabat saya di Bandung. Awalnya saya tidak terpikir untuk pulang. Namun dari takdir yang digariskan oleh Tuhan melalui teman saya, Giri dan ibunya. Saya memutuskan untuk pulang ke Sampit untuk menjenguk kakak saya.
Alhamdulillah saat itu beliau sudah boleh keluar dari rumah sakit dan masa bed rest pun selesai. Namun saat pertama kali saya menjumpai beliau di rumah sakit. Terkulai lemas dengan badan kurus dan tatapan sayu. Saya menabahkan diri. Apakah sakit kakak saya ini biasa-biasa saja? Saya tidak ingin menangis dan saya tetap optimis bahwa kakak saya bisa sembuh. Beliau tentunya kaget dengan kedatangan saya karena saya tidak mengabari sebelumnya.

Tentang kepergian kakak saya ini, saya tidak mendapatkan firasat apapun sebelumnya tapi saya memiliki keyakinan yang kuat saat setiap saya pulang mengurus beliau seperti membawakan jus ataupun buah-buahan yang beliau minta dan memijat kaki beliau serta mengecup kening beliau ketika hendak pulang. Lima kecupan di dalam lima hari perjumpaan kami itu adalah lima kecupan perpisahan yang tidak pernah saya bayangkan menjadi untuk terakhir kalinya. Seolah-olah hati kecil saya meyakinkan kamu tidak punya kesempatan lagi untuk melakukan hal itu lagi nanti.

Dan saya masih ingat beliau pernah bilang seperti ini saat saya membesuk beliau, "Mbak ini sudah mimpi dikafanin dod." Hati saya terhenyak mendengar perkataan beliau itu. Saya tetap semangati beliau, bahwa pasti akan sembuh dan akan jalan-jalan liburan lagi nanti pas lebaran. Ketika pamit pulang untuk kembali merantau beliau berpesan, "Bujur-bujur lah begawi." (Dalam Bahasa Indonesia : Benar-benar ya kerjanya).

Tiga minggu berlalu. Di suatu siang saya dikejutkan dengan sms dari Bapak saya yang mengabarkan bahwa kakak saya masuk ICU. Sejak kejadian itu, saya harap cemas-cemas setiap handphone berbunyi. Malam hari pertama di ICU, sahabat saya Chandra membesuk bersama istrinya. Saya minta dia fotokan kakak saya yang terbaring di kamar ICU dan sempat menelpon. Dalam telpon itu saya diminta oleh orang tua saya untuk berdoa dan berkata, "Doddy di Sampit." untuk diperdengarkan ke telinga kakak saya yang belum sadar.

Keesokan paginya saat subuh, orang tua saya menelpon kembali memberitahu bahwa kakak saya belum sadar dan agak cemas dengan kondisinya karena kesusahan mencari tempat untuk menusukkan jarum infus di badan kakak saya. Bersyukur 3o menit kemudian sudah ketemu tempatnya.

Saat itu saya tidak berpikir panjang lagi, saya mengajukan cuti ke perusahaan dan langsug berangkat pagi itu ke Jambi dan menginap semalam di sana. Karena pesawat jakarta-sampit hanya ada satu jam 11.55 siang dan saya tidak sempat mengejarnya pada hari itu.

Tanggal 19 Januari 2017 pagi saya tiba di Bandara Soekarno Hatta, setibanya saya sempatkan diri untuk makan dan berjalan di sekeliling bandara. Sambil memantau keadaan kakak saya di Sampiy via telpon ke keluarga saya di Sampit. Keadaannya memburuk. Saya terus berdoa semoga beliau cepat sadar. Dan jam sekitar jam 09.40 saat saya sudah di ruang tunggu terminal pesawat, saya mendapatkan kabar bahwa kakak saya telah meninggal dunia melalui jejaring sosial facebook. Salah satu teman kakak saya membuat status dan memention saya terkait berita duka tersebut disusul dengan komentar-komentar ucapan belasungkawa. Keluarga saya tidak mau memberitahukan secara langsung karena takut saya kenapa-kenapa di jalan. Rasanya dunia seketika mendadak hampa. Seolah saya hanya seorang diri, debu di antara dunia yang maha luas. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi inilah kehidupan yang sudah ditakdirkan.

"Apa yang kau rasakan saat kabar buruk
Menghampiri ketidakberdayaanmu untuk memutar balik waktu, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang tak harusnya terjadi dan berujung penyesalan.

Kau tidak ingin air mata tumpah
Tapi hatimu sendiri basah
Menampung segala lara
Menggenangi pelupuk mata

Tidak ada yang lebih tabah dari mengabarkan ketiadaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Tidak ada yang lebih tabah saat kita harus melepaskan orang yang kita sayangi menjadi kenangan yang abadi."

Saya tidak sempat melihat kakak saya untuk terakhir kalinya dan setiba saya di Sampit, beliau sudah dimakamkan. Sesampainya saya di sana Pusara itu masih basah. Bunga-bunga bertaburan di atasnya. Saya menggenggam bunga-bunga itu. Saya harus menabahkan hati. Air mata saya simpan tidak untuk dicurahkan di atas makam. Saya merasa terjebak di alam mimpi saat itu. Semua kejadian berlalu dengan cepat.

Saya hanya bisa berpesan kepada diri saya sendiri, kepada hati kecil saya.

"Kamu bisa saja kehilangan uang sebanyak apapun di dunia, tetapi kehilangan waktu dan kesempatan berkumpul dengan keluarga yang kita cintai tidak akan pernah bisa tergantikan."

(Doddy Rakhmat)

#Tantangan28HariMenulisFebruari #Hari1

Minggu, 29 Januari 2017

Shoji Sampit : Cita Rasa Negeri Sakura di Bumi Mentaya

Shoji Japanese Restaurant
"If You Love Sushi Then You'll Love Us'

Kelezatan berbagai hidangan negeri sakura kini bisa kita rasakan di Bumi Mentaya. Pada hari minggu tanggal 29 Januari 2017, Shoji Sampit mengadakan soft opening khusus untuk tamu undangan. Beruntungnya saya menjadi salah satu pemenang giveaway invitation yang mereka adakan dari jejaring sosial instagram dan berkesempatan hadir di acara tersebut. 


Shoji Japanese Restaurant Sampit 


Sore itu langit mendung, tidak hujan seperti biasanya, motor saya pun tidak mogok-mogok lagi seolah memperlancar jalan menuju Shoji yang jaraknya lumayan jauh dari rumah saya.
Shoji Japanese Restaurant adalah sebuah restoran yang menyajikan kuliner khas jepang mulai dari ramen sampai sushi. Shoji merupakan cabang dari restoran sushi pertama di Kalimantan Tengah yaitu Zushioda di Palangkaraya. Untuk di kota Sampit sendiri, kita sedikit kesulitan mendapati makanan khas jepang seperti sushi. Tentu kehadiran Shoji Sampit yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Sampit- Pangkalanbun komplek Ruko samping Kantor DPRD Kotim ini memberikan referensi baru untuk para pecinta kuliner di Kota Sampit dan sekitarnya.

Sampai di Shoji Sampit saya disambut dengan pelayan berseragam merah dengan ramah. Saya pilih meja paling dekat dengan pintu masuk. Pelayan memberikan buku menu dan setelah saya tanya, saya boleh memilih dua jenis makanan untuk dipesan. Alhamdulillah,rejeki anak sholeh. Lalu saya jatuhkan pilihan ke salah satu menu,yaitu Tokushima Ramen. Karena saya termasuk orang yang tidak terlalu suka makanan berkuah. Jadi saya pilih menu tersebut. 
Tokushima Ramen


Dan menu satu lagi saya pilih Salmon Salad Roll. Ini dia penampakannya. 

Salmon Salad Roll dan Ocha

Untuk minumannya saya pilih Ocha. Baru kali ini saya melihat Ocha disajikan dengan poci kecil dan gelas keramik bertuliskan huruf kanji. Menarique!

Untuk desain interior Shoji Japanese Restaurant. Perpaduan warna hitam dan putih dengan typography di bagian dinding sebelah kanan maupun kiri ruangan yang kekinian banget. Pas buat kamu yang hobi foto-foto. Pokoknya instagramable deh. Tersedia empat meja di bagian dalam, dan dua meja bagian luar. Yang cocok untuk hangout bersama teman, keluarga maupun kerabat.
Dinding yang instagramable banget

Secara keseluruhan untuk persoalan rasa saya suka sama ramennya yang gak pakai mie instan. Soalnya dulu pernah punya pengalaman kurang menyenangkan di tempat lain tentang bahan utama Ramennya. Porsinya lumayan bikin kenyang untuk orang sebesar saya ya, hehehe.

Kalau harga dari minuman dan makanan berkisar dari 8 k - 50 k sebandinglah dengan pelayanan, kualitas, dan kuantitas yang disajikan. Dijamin kalau sudah nyicip bakalan nagih terus!

Yuhuuuu sedap dipandang dan di lahap

Saran saya buku menunya ditambah foto setiap jenis makanannya biar pelanggan lebih ngiler dan memudahkan pas mau pesen.

Pantau terus social media mereka di instagram @shojisampit ya! Karena untuk acara grand opening mereka ada rencana mau mengadakan giveaway lagi lho!

Arigatou, Shoji!

Senin, 16 Januari 2017

SERATUS KALI BAHAGIA

Satu demi satu kawan-kawan lama telah menemukan pasangan hidupnya, hampir setiap minggu aku menerima undangan pernikahan mereka. Sementara di sisi lain aku masih sibuk menentukan kepada siapa hati akan berlabuh dan membangun bahtera rumah tangga. Kadang aku memilih diam dan merenungi setiap pertanyaan yang ditujukan kepadaku tentang "Kapan kamu menikah?

Dan aku sepertinya terlalu sulit menemukan jawaban yang tepat. Aku percaya takdir yang ditetapkan oleh Tuhan tentang jodoh tidak akan pernah berubah. Dan itu masih menjadi rahasia besar yang hanya bisa kita ketahui saat doa dan usaha bergerak seirama. Terijabah. Lalu aku hanya memberi senyum kecil, hanya aku yang mengerti artinya. Dan mereka tidak akan pernah bosan menanyakan hal yang sama di berbeda tempat. Tapi pertanyaan itu membuat aku sadar, bahwa menikah adalah salah satu tujuan hidup yang sebenarnya.

Tentu ada kerisauan saat berjalan seorang diri, melalui dunia yang tidak pernah kau tahu kapan akhirnya, sementara kita masih menyisakan ruang kosong pada hati menunggu untuk disempurnakan. Kita ingin berjalan seiring dalam satu genggaman tangan. Menuju berbagai cerita pahit manis kehidupan.

Memilikimu tentu akan menjadi kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kata seorang teman, menikah akan menyempurnakan seutuhnya kebahagiaan hidup. Setiap hari kau akan disambut dengan wajah orang terkasih. Yang melepasmu pergi dengan segala rasa cemas. Yang menunggumu dengan penuh rindu dan doa yang melindungimu di setiap langkah.

Saat menikah kelak, kau akan merasakan seratus kali lipat bahagia daripada biasanya. Kekasih dunia akhiratmu yang mengembangkan senyumnya tanpa pamrih, dan kemudian diikuti langkah-langkah kecil anakmu yang jatuh ke dalam pangkuanmu. Dunia sudah lebih dari sempurna.

Tidakkah kita semua ingin kebahagiaan itu berlipat ganda? Tidak hanya seratus kali lipat mungkin semilyar kali lipat. Tuhan akan mendengar doa-doa makhluknya yang meminta sungguh dan penuh ketulusan. Dan aku ingin menyelipkan namamu dalam setiap doa yang kumunajatkan. Karena mengaminimu dalam setiap doa, adalah gerilya untuk mendapatkan hatimu diam-diam. 

(Doddy Rakhmat)

Sabtu, 14 Januari 2017

Tidak Cukup Menjadi Kenangan

Kita diberi kesempatan untuk dipertemukan dan saling jatuh hati, tapi mengapa banyak dari kita menyia-yiakan di akhir? Tidakkah kita sebaiknya kita jujur pada perasaan sendiri, sepicik itu kah kita kepada diri sendiri?

Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, lalu untuk apa kita hanyut dalam kesendirian dan kesepian yang kita ciptakan hanya sebagai alasan karena kita takut melangkah ke depan? Tidak ada yang bisa mengatur hati jatuh cinta kepada siapa, tapi kita bisa memilih untuk tidak patah hati. Melupakan segala rasa egois untuk bertukar sapa. Bukankah lebih damai rasanya saat seseorang yang kau cintai, memerhatikanmu dan selalu berusaha melindungimu. Tapi saat dia memutuskan untuk pergi, apakah kita bisa mencegahnya? Memaksanya untuk tetap tinggal? Tentu saja bisa. Kita manusia kadang sering menyimpulkan sesuatu sebelum mencoba. Kita seolah-olah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita sering memilih untuk bersembunyi di balik bayangan daripada berjalan keluar, menentang cobaan. Tapi kita tidak pernah mendapat apa-apa selain penyesalan dan pertanyaan mengapa kita tidak lagi bersama.

Tidak ada yang lebih baik saat waktu kita habiskan bersama. Tetaplah tinggal dan jangan pergi, karena tidak cukup menjadi kenangan untuk mencintaimu. Sungguh tidak cukup.

Minggu, 01 Januari 2017

Duradero

"Aku ingin ke Spanyol, Mas."

Saya menatap mas Astri yang memohon sangat untuk dikabulkan. Aku tidak mengiyakan. Senyumnya menciut berubah jadi cibiran, diikuti dengan sumpah serapah setelahnya yang mungkin tidak ingin kalian denar. Malam itu saya baru saja pulang dari kantor. Lembur setiap malam untuk mengejar target penjualan sebagai sales. Upah tak seberapa namun Astri seakan tidak mengerti itu.

Prang.

Dia melempar vas bunga yang berada di atas meja ke arah saya. Meleset. Saya berhasil menghindar. Astri tambah gusar, ia menjambal rambutnya sendiri. Tatapan matanya yang menyala-nyala seolah ada kobaran api di dalamnya.

"Keluar kau sekrang dari rumahku, laki-laki miskin!"

Ia mengacungkan jarinya ke arah pintu rumah. Saya tidak beranjak. Astri meninggalkan saya dengan menggerutu sampai suaranya hilang di lantai dua rumah dan ditutup dengan suara pintu kamar yang ditutup keras. Anjing tetangga yang dari tadi menyalak mendadak terdiam. Menjelang tengah malam, saya yang berbaring di sofa mendengar suara isakan tangis dari lantai atas. Disusul dengan lolongan anjing yang panjang, membuat bulu kuduk saya meremang.

Tumben-tumbenan pikir saya Astri menangis sekencang itu. Tapi saya memilih untuk tetap di lantai bawah, mungkin dengan kesendirian Astri lebih tenang.

Keesokan harinya, saya mendapati Astri tampak muram. Dingin. Astri tidak pernah sedingin itu kepada saya. Ia lebih suka menyalak daripada berdiam diri. Gadis yang saya nikahi lima tahun silam itu awalnya adalah pribadi ceria yang murah senyum. Ia tiba-tiba begitu menggemari hal-hal berbau spanyol belakangan ini. Saya yang duduk di seberang meja makan melihat kehampaan pada matanya. Seolah ia tidak melihat saya di sana.

Ia hanya duduk diam. Melipat kedua tangan di atas meja.

"Kamu kenapa sih, Sayang? Saya mencoba memecah kebekuan suasananya.

Astri tidak menjawab. Saya pikir dia masih marah atas kejadian semalam.

"Aku akan berusaha agar kamu bisa ke Spanyol." rayu saya.

Dan dia tetap memilih diam.

Seminggu berlalu, tidak ada perubahan sikap dari Astri. Dia tetap dingin. Dan anjing tetangga selalu melolong lebih tepatnya seperti meraung setiap tengah malam.

Hingga suatu malam, saat hujan sedang turun rintik. Saya terbangun dengan suara langkah kaki terburu-buru yang melewati saya tidur di sofa. Pelan-pelan saya beranikan diri untuk memeriksa. Tapi tidak ada sesuatu di sana. Astri tetap tertidur seperti tidak ada gangguan. Namun dari jendela kamar lantai dua yang terbuka. Aku melihat bayangan hitam yang sedang berdiri di pekarangan rumah kami. Matanya merah menyala melihat ke arah saya. Saya mundur sejenak. Ada ketakutan yang muncul dalam diri saya. Dan entah mengapa saya ingin mengambil telepon genggam untuk merekam apa yang saya lihat. Namun makhluk itu tidak ada lagi di sana. Apakah dia hantu? Saya tidak yakin, tapi dengan mata merahnya. Itu semua bisa jadi.

Ajaibnya, keesokan hari Astri tampak riang, lebih bahagia dari sebelumnya. Ia ramah dan menyiapkan segala perlengkapan kerja saya. Dan mengingatkan saya agar tidak terlambat makan. Saya turut bahagia Astri telah kembali seperti saya mengenalnya pertama kali.

Malam hari ketika saya pulang dari kantor. Astri menyambut saya dengan kelembutan. Memijat hingga penat seharian saya hilang. Tak lama saya jatuh tertidur.

Saya terbangun pada tengah malam, saya rasa. Udara terasa amat dingin. Terdengar seseorang masuk ke dalam rumah. Seorang pria yang tidak aku kenali kecuali dari matanya yang merah menyala. Ia disambut oleh Astri dengan rangkulan mesra. Mereka berpelukan erat. Saya dapat melihat tangan Astri yang berlumuran darah. Saya menjadi khawatir. Laki-laki itu pasti punya niat buruk kepadanya. Tapi tunggu dulu, kenapa saya tidak bisa bergerak. Dan saya baru menyadari  sepertinya tidak ada yang bisa saya usahakan selain melihat Astri sepanjang malam bercumbu dengan laki-laki misterius itu dari celah pintu kulkas yang terbuka sedikit. Tempat Astri dan laki-laki bermata merah menyala menyimpan kepala saya. 

Duradero, bahasa spanyol yang berarti Awetan.