Minggu, 29 November 2015

Hujan Belum Usai

Kasih, Hujan yang kuhabiskan bersamamu ini belum lah usai. Masih ada hujan lainnya yang turun dari langit. Seperti rasa rindu yang menggebu-gebu, bertubi-tubi menyerang hati.

Kasih, ingatlah bahwa setelah hujan akan selalu ada pelangi yang menghiasi. Begitupun kesedihan, tak usah berlama-lama bermukim dalam muram durja. Karena aku selalu ada, menemani hingga bahagia.

~dr

Minggu, 22 November 2015

Fallen Star

Aku tidak percaya kepada keberuntungan. Bagiku itu hanyalah sebuah kepasrahan kepada hal yang tidak pasti. Dan mungkin, Doni adalah semacam keberuntungan bagiku. Siapa yang tidak mengenali penyanyi yang sedang menggelar karpet kesuksesannya belakangan ini. Seorang Doni tidak akan pernah melupakan Re, melupakan aku.

****

Siang mengembus angin panas. Terik sinar menjalar ke permukaan bumi. Dari semua yang pernah saya alami, ini mungkin paling parah. Menunggu Re berdandan, alangkah lama dunia berputar. Konser solo memasuki H-2, rencana hari ini kami akan pergi berkencan, kali ini ia tidak ikut dalam acara saya. Karena lokasinya terlalu jauh di luar kota. Saya melihat jam dinding sekali lagi, sudah hampir satu jam. Semoga saja masa menunggu ini tidak sia-sia.

****

Doni pasti sudah cukup kesal menungguiku berdandan, aku takut saja kalau ada paparazzi mengambil foto kami berdua. Setidaknya aku bisa tampil maksimal di depan kamera. Menjadi pasangan selebritis seolah tertular Star Syndrome.

Oke, semua sudah siap.

"Hai sayang, ayo berangkat."

****

Akhirnya, Re keluar juga dari rumahnya. Syukurlah, masa penantian saya berakhir. She look pretty, tonite.

Setelah menikmati jalanan kota Jakarta malam hari. Kami tiba di sebuah kedai wedang di tepian kota. Jauh dari hiruk pikuk, dan fans-fans yang kadang lupa diri.

"Aku mengajakmu ke sini untuk merayakan sesuatu."

Re meminum wedang jahe nya, seperti biasa. Menghirup aroma dalam-dalam, baru meneguk sedikit demi sedikit.

"Merayakan apa?"

"Merayakan hari rindu nasional."

Re tertawa.

"Baru pertama kali ini aku dengar ada hari merindu nasional. Siapa pencetusnya, kamu?"

Saya mengangguk. Re tersenyum

*****

Aku tahu, alasan Doni mengajakku malam ini. Dan ide gilanya menciptakan hari merindu nasional, terbilang unik. Aku tidak mau menyebutnya gombal. Karena ia sudah berusaha yang terbaik. Tapi aku selalu menunggu momen, dimana ia bersimpuh memegang sebuah cincin dan bertanya padaku "Will you marry me?" Just simple like that. But, when?

****

Entahlah apa yang di dalam pikiran Re, saya tak mau berprasangka. Ide hari merindu nasional di bulan November ini sudah lama saya persiapkan. Setidaknya pertemuan-pertemuan kami tidak membosankan. Dan beberapa hari lagi kami harus berpisah jauh,

"Gimana kamu mau merayakannya kan?"

"Tentu." Ia tersenyum walau terkesan memaksa.

****
Dan malam ini berakhir seperti biasanya. Nothing special, I guess. But pretending to be happy is more difficult now.

Mungkin Doni hanyalah The Fallen Star dalam kehidupanku. Ia seorang bintang yang telah jatuh hati padaku. Tidak lebih. Hadir hanya untuk memenuhi permintaanku, sama seperti bintang jatuh.

****
Saya tahu Re kecewa. Dan saya memang pasangan yang buruk. Saya selalu bertanya, apakah saya belum siap menjalani komitmen setelah menikah? Atau dunia penuh pujian ini telah menutup segala keberanianku?

****
Keesokan paginya.
'Headline news : Doni, musisi pendatang baru membuat press release bahwa ia akan keluar dari kancah permusikan indonesia'

****
Will you marry me, Re?

~Doddy Rakhmat
22.11.2015

Selasa, 17 November 2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Melupakan Senja

Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.

Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.

"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam

"Bodoh kenapa?"

"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."

Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.

Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.

"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.

"Tidak apa, Nona."

Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.

Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.

Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.

Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.

~Doddy Rakhmat
17.11.2015

Minggu, 15 November 2015

Kadang

'Kadang'

Kadang langit biru pun berganti mendung kelabu. Begitupun kehidupan tak selamanya bahagia, sesekali diliput sendu.

Kadang hujan datang tak disangka-sangka, dan tak tahu kapan akhirnya. Begitupun cinta, hadir tiba-tiba, dan menghilang bisa kapan saja. Bila tak dijaga.

Kadang embun menetes sebelum pagi menyambut, begitupun rezeki yang tak pernah kita minta, tapi bisa muncul di saat yang tak diduga.

Kadang kehidupan ini tak meminta lebih, ia hanya perlu disyukuri dan berharap tidak pernah disia-siakan.

Karena hidup adalah kesempatan. Kesempatan yang diberikan oleh Tuhan.

~Doddy Rakhmat
15.11.2015

Sabtu, 07 November 2015

Suara

Lama tak mendengar suaramu, dan baru kali ini aku merasa bahwa merindukanmu adalah penantian panjang. Seperti hujan di tengah kemarau yang tak kunjung datang. Tanah-tanah retak ditimpa gersang.

Terakhir aku hanya mencuri dengar suaramu dari sebuah puisi yang kau rekam. Aku selalu mendengarkannya saat pikiranku lelah dan jenuh dengan pekerjaan. Jangan berpikiran bahwa dirimu hanya sebuah pelampiasan. Tidak. Karena aku percaya dengan mendengar suaramu, memulihkan tenaga dan semangat yang hampir padam.

Kapankah aku bisa mendengar suaramu lagi? Bercakap hingga waktu berlalu tanpa kita sadari. Di setiap pembicaraaan, kita segan untuk mengakhiri. Karena ada rindu yang hinggap, dan perpisahan yang tak ingin kita temui.

Playlist Theory

Malam minggu tak selamanya suram walaupun hanya berkumpul bersama kawan lama. Di sebuah coffeshop bergaya amerika di tengah kota hujan, aku dan Adri memandangi hilir mudik pengunjung kafe. Walaupun sering dicap homo, bodo amat. Daripada berduaan sama yang belum muhrim. 

"Don, coba kau lihat laki-laki yang sedang pesan kopi. Aku yakin dia penggemar musik pop. Di playlistnya pasti banyak lagu-lagu pop baru"

Aku mendelik. Lelaki berkaos biru muda dengan celana jins biru plus sneakers membalut kakinya. Modis. Anak muda masa kini. Kakinya mengetuk lantai, mengikuti irama musik terbaru yang dimainkan oleh pihak kafe.

"Dapat darimana teori playlist mu itu?"

Berlabuh

Bagaimana bila dia yang pernah singgah di hati, namun kini berlabuh di hidup yang lain.
Bagaimana bila dia yang senyumnya yang dulu mengubah dunia surammu, kini hanya bisa kau pandangi di samping orang lain.

Sehebat apapun kita, hari esok tidak akan pernah tertebak. Kadang ada suka maupun duka. Tinggal bagaimana belajar menerima.

Ada perih yang menyisa, di saat orang yang kau pernah cintai. Menemukan cintanya tapi bukan dirimu.

Ada lirih yang merintih, di saat orang yang pernah rindukan setiap hari, harus kau lupakan dari hati.

Sejauh apapun kita berlayar, yang paling penting adalah tempat terakhir untuk melabuh. Di hati yang tepat.Percayalah, walau di hati yang lain, ada rasa telah yang karam.

~Doddy R
01.11.2015