Hidup adalah kisah-kisah yang tak terduga seperti kopi tanpa gula.
Aroma minyak tanah menguar seisi rumah. Di dapur. Di ruang tamu. Di kamar. Di mana-mana. Aku sedang menyeduh segelas kopi hitam pekat. Seraya mengaduk, aku menatap api lampu yang bergeming di dalam sungkup kaca. Daun dan Dian, dua anak perempuan kembarku tidak pernah mengetahui bahwa hari ini mereka genap berusia tujuh tahun, dan tidak ada satupun perayaan untuk mengingat hal itu.
Dan akulah orang yang paling menolak ketika saudariku menyarankan untuk membuatkan mereka acara ulang tahun. Perdebatan kecil itu berlangsung sore kemarin di belakang rumah, saat kami sedang memilah biji kopi kering.
"Untuk apa merayakan sesuatu yang justru merugikan kita? Kau tahu harga barang pokok semua mahal, aku pun berusaha mati-matian menyekolahkan mereka berdua. Lalu untuk apa kita bersenang-senang untuk sakit kemudian." kilahku.
"Tidak ada yang dirugikan dari semua ini, Kak Ana. Mereka pasti akan bergembira." ucap Ina, adik kandungku satu-satunya
"Umur kita berkurang, apakah itu tidak rugi? Kau hanya membuat mereka mengingat angka-angka, ketidakabadian mereka, sedang mereka masih berumur tujuh tahun."
Ina menghela nafas sambil menyeka peluh di dahi dan pipinya yang gemuk. Ia menyerah. Aku mengangkat tampah berisi sortiran biji kopi yang harus kami jemur esok pagi. Ina menyusul dari belakang. Halaman belakang rumah kami cukup luas. Ada dua sumur dan juga sepetak tanaman sayuran. Rumah kami berdiri tegak ke arah barat. Aku memelihara beberapa ekor ayam dan bebek. Setidaknya rumah kami terasa ramai setiap hari. Adikku Ina tinggal beberapa puluh meter dari rumah kami. Kami semua adalah orang tua tunggal. Suami kami pamit jauh hari dan tidak pernah kembali. Alasannya merantau mencari rezeki, tapi lupa anak bini. Ah, sudahlah aku pun tak peduli lagi, apakah ia masih hidup atau mati.
Ladang kami terletak di sepanjang anakan sungai yang airnya keruh akibat penambang emas. Selain kopi, kami juga menanam sayur mayor dan buah-buahan. Tidak banyak memang, hasilnya pun cukup untuk persediaan makan saja. Namun mereka tak ada yang berani mendekati ladang kami. Mereka yang kumaksud adalah para pencari kayu ranting, yang kadang mereka juga jadi pencuri jemuran atau apapun dianggap berharga di sekitar pekarangan. Aku sudah menulis kalimat ancaman di atas sepotong kardus dengan menggunakan arang.
"HATI-HATI ADA ANJING GALAK"
Padahal kenyataannya kami tidak punya satu ekor pun anjing dan bahkan yang menulis peringatan itu buka aku, tapi Ina. Pendidikannya sedikit lebih tinggi dariku. Ia lulusan SMP sedang aku SD pun tak tamat.
Pabila malam tiba suara anjing yang melolong panjang dan derik jangkrik saling bersahutan. Alunan musik dari petikan kecapi dan sape yang dimainkan oleh beberapa pemuda di depan rumah terdengar indah. Seolah memanggil dan menjemput bidadari agar turun dari khayangan.
Daun dan Dian sedang asik bermain boneka di ruang tengah. Berlarian membuat kegaduhan kecil, sudah saatnya untuk menidurkan mereka. Besok mereka harus bersekolah, berjalan kaki lebih dari 8 kilometer. Jalanan terjal, berbukit dan kadang licin manakala hujan selalu membuatku was-was. Belum lagi binatang-binatang hutan yang melintas. Setiap pagi aku merasa seperti melepaskan kepergian seorang pejuang ke medan perang.
"Daun..Dian…, lekas cuci kaki dan tangan kalian sebelum tidur." Aku mengingatkan dari dapur.
Mereka berlari ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Aku bergegas masuk ke dalam kamar mereka. Menepuk kasur dan merapikan seprai. Dan kembali ke dapur untuk mengambil. Daun dan Dian saling tertawa.
"Malam ini, Mamak akan menceritakan sebuah dongeng istimewa. Dongeng itu tentang Dewi Kopi"
"Apakah itu menyeramkan seperti Mamak sering ceritakan saat malam Jum'at?" tanya Dian sambil memeluk guling. Daun tampak antusias. Matanya dipenuhi rasa ingin tahu. Di antara mereka berdua.
"Tidak menyeramkan, kalian akan tahu sendiri saat mendengarnya nanti."
"Tumben, Mamak buat kopi. Nanti tidak bisa tidur lho." tanya Dian.
Aku mencubit halus hidung Dian. Ia terkekeh. Daun diam saja memasang sikap menyimak.
"Lebih baik Mamak tidak bisa tidur, daripada tidak bisa bangun lagi."
"Ssst.. Dian, kamu tanya terus nanti Mamak tak jadi cerita." protes Daun.
"Sudah, sudah. Mamak mulai dongengnya."
Dari kamar dengan lampu remang-remang, dongeng itu aku sampaikan.
****
Di kaki Bukit Tangkiling, seorang gadis belia bernama Sirta tumbuh di tengah bencana yang melanda desa. Hasil tani turun drastis karena terserang hama. Orang-orang mulai menjual tanah kepada saudagar kaya raya, Kisar. Salah satunya adalah Tewa. Laki-laki pemalas yag dinikahkan oleh orang tuanya dengan gadis yatim. Barang-barang yang ia miliki ia jual satu per satu untuk main judi dan minum kopi.
"Abang mau kemana lagi?." ujar Hayu parau. Suaminya berjalan keluar rumah acuh. Di dalam pikirannya hanya dipenuhi oleh kopi dan judi. Parfum murah yang dipakai sang suami pun begitu menyengat seisi rumah. Hayu hanya bisa menangis, biru luka di dalam dadanya lebih dari birunya langit. Ia hanya bisa bersabar dan berharap keajaiban mengubah kondisi keluarganya.Hasil dari berjualan kerajinan tangan dri kulit kayu tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
"Mak, ayah pergi kemana lagi?" tanya Sirta sembari mengelap peluh di dahi sang Mamak di pembaringan. Sudah seminggu terakhir Hayu jatuh sakit karena terlalu banyak memikirkan suaminya.
"Sudah kau tak perlu tanyakan itu. Kau dan Mamak sudah tahu ia pergi kemana, bukan?"
Tewa menyusuri jalan desa yang masih tanah berbatu. Menuju kedai di ujung desa tempat para penjudi berkumpul. Wajahnya lunglai tak bersemangat. Ia tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Bahkan ia tak sanggup untuk membeli segelas kopi di kedai itu. Sementara meja depan kedai sudah dipenuhi kartu, kacang dan uang yang berserakan. Boto-botol bir pun berdiri menjulang hilir mudik diteguk oleh para penjudi.
Seseorang menghampiri Tewa yang menatap kosong kawan-kawannya yang bersorak sorai. Ada yang menang, ada yang kalah. Seperti itulah kehidupan menurutnya. Tapi bukankah kehidupan ini hanyalah pertarungan dengan diri sendiri. Kalah dan menang hanya
Nius, kawan karib Tewa, menepuk pundaknya dari belakang.
"Hei bang. Lemas kali. Kau mau mencicipinya kopi paling nikmat di pulau ini?" tawar Nius.
Nius adalah seorang pedagang kopi terbaik di daerah mereka. Karena berkawan dengan Niuslah, Tewa bisa mencicipi banyak jenis kopi yang akhirnya membuat candu. Tewa menjadi insomnia. Ia lebih banyak minum kopi daripada air putih.
"Kopi apa itu, Nius?"
Nius mendekati Tewa, lalu berbicara pelan di telinganya, seolah menyampaikan rahasia negara yang pantang bocor. Nius akhirnya menarik Tewa dari kerumunan ke balik bangunan yang dipenuhi barang-barang rongsok dan bercampur aroma busuk tahi ayam. Dibalik jemuran berkibar tertiup angina itulah mereka membicarakan rahasia negara.
"Kopi Mara'uh."
"Apa istimewanya Kopi itu?"
"Kopi ini diolah dari campuran biji kopi robusta terbaik di negeri ini , buah masisin dan rempah-rempah. Dijamin dengan sekali teguk kau akan merasa ditemani bidadari surga. " Nius menjelaskan penuh semangat.
Musik dangdut yang diputar dari kedai kalah riuh dari penjudi yang mengumpat-umpat. Tewa dan Nius berjalan lebih jauh lagi ke pinggiran sungai agar mereka bisa berbicara leluasa tanpa harus berteriak-teriak.
"Sepenting ini kah sampai kau ajak aku kemari hanya karena kopi itu.."
"Kau tahu berapa harganya?" potong Nius.
Tewa menggeleng sembari mengisap rokok.
"1 juta per kilo nya."
"Ah, aku tak percaya bisa semahal itu. Bagaimana bisa?"
Nius menepuk kencang bahu Tewa hingga terguncang.
"Buah masisin cukup langka dicari, Kau hanya bisa mendapatkannya di pedalaman hutan.Belum lagi kau harus siaga dari serangan penyamun. Dan kau juga butuh alat khusus untuk meraciknya."
Tewa melempar batu pipih ke arah sungai. Batu itu melompat-lompat tiga kali di atas air sebelum tenggelam dalam air. Nius tahu bahwa Tewa sedang dalam kondisi susah. Ia punya rencana agar mereka bisa bekerjasama untuk mengubah takdir mereka menjadi pengusaha kopi nomor satu dengan Kopi Mara'uh tadi.
"Lalu bagaimaa caranya untuk mencicipi kopi itu?" Jangan bilang kau menyuruhku untuk masuk ke pedalaman hutan, Nius."
"Tentu saja tidak, Kawan. Aku sudah menemukan penjual Kopi Mara'uh tadi tapi aku butuh modal agar nanti bisa kita kembangkan bersama."
"Bukankah kau sendiri pedagang kopi? Bagaimana bisa kamu butuh bantuan dariku yang seorang pengangguran tak jelas?"
"Kita pinjam uang kepada Juragan Kisar." Kata Nius lugas.
"Bagaimana, Tewa? Apakah kau terima tawaranku ini?" sambungnya lagi
Tewa masih bimbang. Ia tidak yakin betul bisa segera melunasinya. Mengingat ia sendiri yang tak punya pekerjaan tetap. Tapi ia tergiur untuk mencicipi kopi langka itu dan berharap bisa mengubah garis takdirnya dengan berjualan kopi mahal. Akhirnya, Tewa mengiyakan.
Hari beranjak sore, mereka berdua mendatangi rumah Juragan Kisar di ujung kampung. Halamannya dipenuhi oleh peti-peti besar. Di beberapa sudut rumah ada kolam-kolam kecil berisi ikan mas warna merah putih. Pintu rumahnya terbuat dari kayu ulin dengan ukiran burung. Nius mengetuk pintu rumah. Tewa masih kagum melihat sekeliling. Beberapa saat kemudian, seorang perempuan membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Nius dan Tewa duduk di ruang tamu yang dipenuhi oleh patung-patung. Juragan Kisar terkenal sebagai kolektor barang antik.
Nius menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada perempuan itu. Perempuan itu masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, keluar seorang laki-laki berbadan tinggi kurus dengan kumis di wajah. Ia mengenakan sarung dan kaus warna hitam. Nius dan Tewa langsung mengenalinya. Tak lain adalah Juragan Kisar.
"Apa kabar, Juragan Kisar?" sapa Nius berbasa basi.
Mereka mengulurkan tangan untuk bersalaman tapi Juragan tidak menyambutnya dan langsung duduk di kursi. Mereka buru-buru menarik tangan.
"Apa keperluan kalian datang ke tempat saya? Kalian kuli angkut yang belum dibayar sama anak buah ku kah?"
"Bukan juragan, kami ke sini hendak meminjam uang untuk modal usaha."
Juragan Kisar tertawa remeh. Menepuk-nepuk pahanya. Nius dan Tewa hanya diam.
"Kalian? Mau pinjam uang? Apa bisa mengembalikannya?"
"Bisa, tuan. Saya ini seorang pedagang kopi." jelas Nius.
"Kalian mau pinjam berapa? Dan apa jaminannya?"
Tiba-tiba Tewa langsung angkat bicara, "Kami pinjam lima juta dengan jaminan rumah."
Nius tentu saja terkejut dengan pernyataan temannya itu.
"Apa kamu yakin? Saya yakin rumahmu itu pasti harganya lebih murah."
"Kami yakin."
Juragan Kisar masuk sebentar ke dalam kamar dan membawa satu ikat uang dan selembar kertas perjanjian. Ia menyerahkannya kepada Nius dan menyuruhnya untuk tanda tangan. Tewa yang mengambil pena dan membubuhkan tanda tangannya di atas surat perjanjian.
"Kau harus mengembalikannya lima bulan lagi. Kalau lewat daripada itu, tidak ada toleransi. Apa yang menjadi jaminanmu akan kami ambilkan. Sanggup?"
"Sanggup."
Mereka berdua meninggalkan rumah Juragan Kisar ketika hari sudah malam.
"Apa kau sudah gila? Aku hanya berniat meminjam untuk membeli satu kilo Kopi Mara'uh." ujar Nius.
"Tanggung sekali, bukannya kau sendiri yang ingin menjadi pengusaha kopi nomor satu. Ya kita jual kopi
"Tidak. Aku tidak habis pikir kau menjadikan rumahmu sebagai jaminan. Anak istrimu kau mau kemanakan?"
"Kau ternyata kurang cerdas, Nius. Kau tak jenius. Aku akan menjual rumah itu dan pergi jauh-jauh dari kampung ini kalau kopi kita tidak laku."
Nius akhirnya memilih diam. Mereka pulang dan mengambil jalan masing-masing.
Sesampainya di rumah Tewa mengabarkan kabar baik untuk anak istrinya.
"Ayah pulang membawa uang banyak."
"Darimana kau mendapat uang sebanyak itu."
"Aku meminjamnya kepada Juragan Kisar."
"Dengan apa kau mengembalikan uangnya?"
"Aku akan berjualan kopi bersama Nius. Kau dan Sirta bisa membantu kami."
Hayu tidak banyak bicara tapi ia memiliki firasat, sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa keluarga mereka. Sirta mendengar percakapan malam itu juga merasakan hal yang sama. Bukankah sedikit aneh Ayahnya yang pemalas mendadak berubah dalam hitungan jam ingin menjadi pedagang.
Dua bulan kemudian. Setelah mereka berhasil menjual kopi ke seluruh penjuru daerah. Mereka akhirnya membuat pabrik kecil dari keuntungan mereka untuk memproduksi sendiri kopi Mara'uh. Namun tabiat buruk Tewa sebelumnya belum hilang. Ia berjudi setiap malam. Namun hanya kekalahan demi kekalahan yang ia dapatkan. Sirta dan Hayu terlantar dan Tewa diam-diam menjual pabrik dan rumahnya. Ia dan Nius melarikan diri karena terlanjur ketakutan dengan ketidaksanggupan mereka mengembalikan uang kepada Juragan Kisar.
Saat itu Sirta sedang menjemur kerupuk di halaman rumah. Tiba-tiba sekelompok laki-laki berbadan besar dengan parang di tangan. Mengobrak-abrik rumah mereka. Hayu menjerit ketakutan.
"Kalian siapa dan mau apa sebenarnya?"
"Kami menyita rumah ini karena perintah Juragan Kisar. Kalian harus pergi dari sini."
Hayu diseret keluar rumah. Sirta menangis ketakutan memapah Hayu. Juragan Kisar berdiri angkuh dihadapan mereka. Tampangnya yang bengis dengan senyum menyeringai tampak menyeramkan bagi mereka berdua. Seolah-olah mereka akan dihabisi jika melawan.
"Astaga bodoh sekali suamimu itu. Meninggalkan istri dan anaknya yang cantik seperti ini hanya untuk uang." goda Juragan Kisar seraya membelai dagu Sirta dan Hayu. Sirta menepisnya.
"Ooh, kamu berani juga ya. Bawa mereka ke rumah biar kita kasih pelajaran dulu!!" teriak Juragan Kisar kepada anak buahnya. Sirta dan Hayu meronta-ronta berteriak. Namun tenaga mereka kalah kuat daripada tukang pukul Juragan Kisar dan mereka menyerah dibawa pergi. Hayu mengumpat suaminya dalam hati. Betapa kejinya sang suami menukarkan istri dan anaknya hanya untuk kopi. Terjawab sudah firasat buruk yang mereka rasakan jauh-jauh hari.
Warga kampung tidak ada yang berani menolong, Mereka tidak mau ikut campur dan berurusan dengan Juragan Kisar yang tak segan-segan membunuh orang-orang yang menghalanginya. Beberapa waktu kemudian, konon tersiar kabar Sirta dan sang ibu mati dibunuh Juragan Kisar dan beberapa orang percaya mereka menjelma menjadi Dewi Kopi yang menyuburkan lahan petani yang baik hati dan akan menimpakan bencana kerugian kepada petani picik.
Sebagian lagi memercayai Sirta menghilang dan masih hidup di dunia.
***
Daun dan Dian jatuh terlelap saat dongeng berakhir. Aku meminum kopi Mara'uh yang sudah dingin. Lidahku merasakan ampas kopi pertanda tidak terseduh sempurna. Aku berjalan setengah berjinjit keluar dari kamar agar tak menimbulkan suara berisik, menutup pintu pelan-pelan. Sejenak aku bersandar di pintu, merenungi dalam-dalam. Menekuri langit-langit rumah dari rumbia kering. Mereka tidak menyadari bahwa malam ini yang menceritakan langsung adalah sang Dewi Kopi, Sirta yang menghilang.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com