Diana menatap peralatan membuat roti dengan pilu. Setelah lima tahun, sudah saatnya ia berteman kembali dengan dunianya itu. Sebisa mungkin Diana menepis kenangan masa lalunya, namun lagi-lagi ia tak mampu membendung air matanya. Ia sungguh merindu dengan....ibunya.
Ibunya seorang pembuat roti terkenal di desa Kincir. Roti buatan ibunya adalah roti paling nikmat yang selalu saja habis terjual bahkan dalam waktu kurang dari dua jam. Diana, putri tunggal keluarganya, tak pernah absen membuat roti setiap hari. Dalam waktu sehari, mereka biasa membuat roti lima sampai enam kali. Dan sudah dipastikan, semuanya laris tak bersisa. Namun, kehidupan mereka sebagai pembuat roti yang akhirnya juga merenggut nyama ibunya.
Kejadian itu sudah lima tahun berlalu. Saat itu ibunya sedang membuat sebuah roti spesial untuk Diana, roti manis. Roti kesukaan Diana, yang akan ibunya persembahkan di hari ulang tahun Diana ke-17 saat itu. Kendati tetap menerima orderan dan harus membuat kue untuk dijual, sang ibu terlihat begitu sibuk hingga belum tidur saat hari menjelang pagi. Peralatan membuat kue yang berantakan tak digubrisnya. Dan sebuah margarin yang berceceran di lantai menjadi sebuah pertanda buruk bagi ibu Diana. Matanya tak awas, langkahnya yang tak hati-hati membuatnya terpeleset oleh margain cair itu. Hingga ibunya terjatuh dan terbentur lantai dengan cukup keras. Usianya yang menjelang senja, kesehatannya yang tak lagi sekuat muda, membuat ibunya tak mampu lagi bertahan. Ibunya berteriak menyebut nama Diana, Diana terbangun dari lelapnya mimpi dan mendapati ibu tercinta tergeletaj tak berdaya hingga menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya. Diana sedih, menangis, meronta. Namun itu tak mampu mengembalikan hidup ibundanya.
Diana buru-buru menghapus air matanya. Meski setiap kali melihat peralatan membuat kue membuatnya ingat tentang kematian ibunya, namun Diana tetap harus kembali bersahabat dengan dunianya. Bersahabat dengan hidup tanpa ibunya.
-Saidahumaira-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar