Bercerita tentang bulan januari tahun 2017, rasanya tidak menyangka sudah bertemu dengan bulan februari. Detik berlalu begitu cepat Awal tahun yang sebenarnya tidak ingin saya ingat-ingat lagi. Karena saya kehilangan kakak perempuan saya untuk selamanya.
Sebelumnya saya ingin bercerita tentang hadiah iPhone 5 yang telah saya terima di bulan Januari tadi. Hadiah apakah itu? Hadiah itu saya dapatkan dari memenangkan kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan oleh ampaskopi.com dan bekerjasama dengan Generasi Kreatip Garuda Keadilan. Temanya adalah Movement alias Hijrah. Kompetisi ini sebenarnya diadakan di tahun 2015. Karena sesuatu lain hal terkait teknis dari penyelenggara akhirnya hadiah baru dikirimkan tahun 2017. Yap, bersabar adalah kunci dari segala penantian. Dan saya semakin bersemangat menulis cerita-cerita baru. Semoga jika tidak ada halangan tahun ini saya ingin menerbitkan sebuah buku lagi. Ditunggu saja.
Setiap ada kegembiraan di sisi lain akan ada kesedihan. Dan inilah sisi duka di Januari 2017.
Rury Annalisa, atau yang lebih saya sapa dengan panggilan Mba Uwi. Adalah kakak perempuan saya yang lahir 34 tahun lalu. Beliau adalah personal yang ceria dan gigih untuk keluarganya. Beliau sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang lucu. Kakak yang saya sangat sayangi, yang berjuang agar adiknya bisa sekolah dengan baik.
Dan di tanggal 19 Januari 2017, suatu pagi di antara keriuhan lalu lalang bandara saya mendapatkan kabat bahwa beliau meninggal dunia. Apa yang saya rasakan saat itu? Patah hati. Patah hati yang teramat dalam karena kehilangan salah satu bidadari kehidupan. Belahan jiwa yang tak pernah terganti.
Beliau sudah sakit sejak bulan september 2016, saat itu beliau menjalani operasi usus buntu. Namun bulan demi berjalan setelahnya kondisinya tidak stabil. Sempat kekurangan Hb dan harus transfusi. Kemudian sempat infeksi pada bagian bekas operasi, bed rest selama dua minggu pada akhir November karena mengalami luka di bagian dalam ususnya.
Di awal Desember 2016, saya berkesempatan pulang cuti setelah menghadiri pernikahan sahabat saya di Bandung. Awalnya saya tidak terpikir untuk pulang. Namun dari takdir yang digariskan oleh Tuhan melalui teman saya, Giri dan ibunya. Saya memutuskan untuk pulang ke Sampit untuk menjenguk kakak saya.
Alhamdulillah saat itu beliau sudah boleh keluar dari rumah sakit dan masa bed rest pun selesai. Namun saat pertama kali saya menjumpai beliau di rumah sakit. Terkulai lemas dengan badan kurus dan tatapan sayu. Saya menabahkan diri. Apakah sakit kakak saya ini biasa-biasa saja? Saya tidak ingin menangis dan saya tetap optimis bahwa kakak saya bisa sembuh. Beliau tentunya kaget dengan kedatangan saya karena saya tidak mengabari sebelumnya.
Tentang kepergian kakak saya ini, saya tidak mendapatkan firasat apapun sebelumnya tapi saya memiliki keyakinan yang kuat saat setiap saya pulang mengurus beliau seperti membawakan jus ataupun buah-buahan yang beliau minta dan memijat kaki beliau serta mengecup kening beliau ketika hendak pulang. Lima kecupan di dalam lima hari perjumpaan kami itu adalah lima kecupan perpisahan yang tidak pernah saya bayangkan menjadi untuk terakhir kalinya. Seolah-olah hati kecil saya meyakinkan kamu tidak punya kesempatan lagi untuk melakukan hal itu lagi nanti.
Dan saya masih ingat beliau pernah bilang seperti ini saat saya membesuk beliau, "Mbak ini sudah mimpi dikafanin dod." Hati saya terhenyak mendengar perkataan beliau itu. Saya tetap semangati beliau, bahwa pasti akan sembuh dan akan jalan-jalan liburan lagi nanti pas lebaran. Ketika pamit pulang untuk kembali merantau beliau berpesan, "Bujur-bujur lah begawi." (Dalam Bahasa Indonesia : Benar-benar ya kerjanya).
Tiga minggu berlalu. Di suatu siang saya dikejutkan dengan sms dari Bapak saya yang mengabarkan bahwa kakak saya masuk ICU. Sejak kejadian itu, saya harap cemas-cemas setiap handphone berbunyi. Malam hari pertama di ICU, sahabat saya Chandra membesuk bersama istrinya. Saya minta dia fotokan kakak saya yang terbaring di kamar ICU dan sempat menelpon. Dalam telpon itu saya diminta oleh orang tua saya untuk berdoa dan berkata, "Doddy di Sampit." untuk diperdengarkan ke telinga kakak saya yang belum sadar.
Keesokan paginya saat subuh, orang tua saya menelpon kembali memberitahu bahwa kakak saya belum sadar dan agak cemas dengan kondisinya karena kesusahan mencari tempat untuk menusukkan jarum infus di badan kakak saya. Bersyukur 3o menit kemudian sudah ketemu tempatnya.
Saat itu saya tidak berpikir panjang lagi, saya mengajukan cuti ke perusahaan dan langsug berangkat pagi itu ke Jambi dan menginap semalam di sana. Karena pesawat jakarta-sampit hanya ada satu jam 11.55 siang dan saya tidak sempat mengejarnya pada hari itu.
Tanggal 19 Januari 2017 pagi saya tiba di Bandara Soekarno Hatta, setibanya saya sempatkan diri untuk makan dan berjalan di sekeliling bandara. Sambil memantau keadaan kakak saya di Sampiy via telpon ke keluarga saya di Sampit. Keadaannya memburuk. Saya terus berdoa semoga beliau cepat sadar. Dan jam sekitar jam 09.40 saat saya sudah di ruang tunggu terminal pesawat, saya mendapatkan kabar bahwa kakak saya telah meninggal dunia melalui jejaring sosial facebook. Salah satu teman kakak saya membuat status dan memention saya terkait berita duka tersebut disusul dengan komentar-komentar ucapan belasungkawa. Keluarga saya tidak mau memberitahukan secara langsung karena takut saya kenapa-kenapa di jalan. Rasanya dunia seketika mendadak hampa. Seolah saya hanya seorang diri, debu di antara dunia yang maha luas. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi inilah kehidupan yang sudah ditakdirkan.
"Apa yang kau rasakan saat kabar buruk
Menghampiri ketidakberdayaanmu untuk memutar balik waktu, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang tak harusnya terjadi dan berujung penyesalan.
Kau tidak ingin air mata tumpah
Tapi hatimu sendiri basah
Menampung segala lara
Menggenangi pelupuk mata
Tidak ada yang lebih tabah dari mengabarkan ketiadaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Tidak ada yang lebih tabah saat kita harus melepaskan orang yang kita sayangi menjadi kenangan yang abadi."
Saya tidak sempat melihat kakak saya untuk terakhir kalinya dan setiba saya di Sampit, beliau sudah dimakamkan. Sesampainya saya di sana Pusara itu masih basah. Bunga-bunga bertaburan di atasnya. Saya menggenggam bunga-bunga itu. Saya harus menabahkan hati. Air mata saya simpan tidak untuk dicurahkan di atas makam. Saya merasa terjebak di alam mimpi saat itu. Semua kejadian berlalu dengan cepat.
Saya hanya bisa berpesan kepada diri saya sendiri, kepada hati kecil saya.
"Kamu bisa saja kehilangan uang sebanyak apapun di dunia, tetapi kehilangan waktu dan kesempatan berkumpul dengan keluarga yang kita cintai tidak akan pernah bisa tergantikan."
(Doddy Rakhmat)
#Tantangan28HariMenulisFebruari #Hari1