Senin pagi ini.
Cuaca cerah berawan sama seperti hari kemarin. Aku masih berkutat dengan Novel karya suami istri Hanum-Rangga. Sampai bab terakhir aku membaca, tepat sebelum epilog aku menutup buku dan bergegas mandi untuk berangkat kerja.
Hari senin ini aku mendapat jadwal untuk dinas luar kunjungan ke pabrik. Pabrik yang jarang kukunjungi sebelumnya,sesekali hanya untuk mengambil dokumen saja di pagi hari. Jarak pabrik dari rumah kurang lebih 30 kilometer. Jam sepuluh lewat dua puluh menit, aku tiba di tempat yang masih belum begitu familiar denganku.
Seperti biasa aku melapor diri ke kantor mengenal semua staf disana agar mempermudah komunikasi kerja. Siang menjelang, kami (saya dan rekan kerja saya) beristirahat sejenak. Dan pukul dua siang kami berangkat lagi ke lokasi. Saat itu kondisi biasa saja tidak ada yg aneh.
Pada pukul 5 sore tepatnya saat itu saya dan rekan saya yang ingin bergegas pulang, tapi kami diikutkan dalam rapat koordinasi harian. Mendadak suasana di luar menjadi ricuh, pagar plat besi sudah dipukul pukul, atap kantor sudah dilempari entah dengan batu atau benda keras lain.
Dan akhirnya runtuhlah pagar besi yang kokoh itu dengan sekali tubrukan mobil truk. Massa yang anarkis merangsek masuk menuju kantor. Kami terjebak. Semua ini karena sebuah perjanjian.
Ya tentang perjanjian yang dilanggar!
Massa sudah memecahkan jendela kaca, keadaan semakin memanas. Beberapa staff hendak diributi massa yang anarkis. Seketika aku merasa tempat ini menjadi kotak sempit, susah untuk bergerak keluar. Akhirnya aku memilih diam di dalam ruangan. Berlindung. Aku tahu anarki tak kenal hukum lagi. Yang dipakai adalah primitivitas, ego dan kekalutan yang membabi buta.
Teringat belum menunaikan sholat Ashar, aku bergegas mengambil wudhu, sholat di ruangan file dengan celana pendek ku yang antara menutup aurat atau tidak. Di tempat ini tidak ada sarung. Tapi aku yakin Allah mengerti dengan keadaan hamba-Nya sekarang.
Pihak keamanan setempat baru datang setelah acara "anarki" selesai, sampai Ba'da Magrib negosiasi belum selesai. Pimpinan tertinggi dan keamanan daerah sedang berunding memutuskan yang terbaik.
Massa masih berjaga jaga di depan pabrik. Dalam beberapa jam terakhir, seketika aku mulai hafal bentuk kantor ini. Perdebatan kembali terjadi. Entah kenapa aku fobia dengan hal hal seperti ini. Bukannya aku takut menghadapi keributan ini, tapi aku hanya tidak mau mencampuri urusan orang lain yang bukan tanggung jawabku.
Perjanjian yang dilanggar ini memang sedikit berlebihan kurasa. Kesepakatan yang dilanggar sendiri itu memang layaknya pengecut yang bertindak semau sendiri.
Sampai saat ini aku belum pulang, masih menunggu keputusan.
Pukul 20.30 WIB masih juga belum ada keputusan yang berarti.
Perut terasa mulai melilit, nasi tadi siang sepertinya sudah berkurang efek kenyangnya. Tapi aku tak berpikir lapar. Dalam situasi ini, terkadang malah membuat ku susah tidur. Keputusan adalah sesuatu yang sifatnya harus adil secara pandangan hukum dan agama, bukan mengikutkan ego semata. Beginilah frekuensi kehidupan, layaknya sebuah radio. Naik dan turun. Tinggal kita yang men-tuning nya secara tepat.
Masih menunggu.
Sudah pukul 9 kurang, Entah aku masih tahan berkendara nanti atau tidak. Rasa kantuk ini terkalahkan dengan rasa lapar yang mulai merongrong.
Pukul 9 lewat 15 menit, akhirnya kami mendapat jatah nasi
bungkus. Layaknya korban pengungsian kami menerimanya dengan rasa syukur dan
suka cita.
15 menit kemudian. Rapat telah usai, keputusan masih
mengambang berlanjut dengan pertemuan besok pagi. Massa menarik diri. Akhirnya
kami diperbolehkan pulang.
Bergegas menuju parkiran, aku merogoh kantong celana yang
ternyata sudah robek. Untung saja kunci motor saya masih tersangkut. Dengan
penuh kehati-hatian kami meninggalkan lokasi. Tiba lah kami di jalan lintas.
Jujur saja, saya bukanlah tipikal orang yang pandai
berkendara malam hari. Lampu lampu kendaraan terlalu menyilaukan mata bagi ku.
Kupacu kendaraan antara 40-50 KM/jam . Aku tak berani ngebut atau menyalip kendaraan.
Jarak pandang hanyalah sebatas lampu sorot motor. Aku memutuskan untuk santai
saja. Lagipula rekan ku dibelakang tidak membawa helm. Dan ban depan motor saya
sedikit kempes.
Selang beberapa saat sampailah kami ke jalan desa, yang
sebagian beraspal sebagian masih tanah berbatu. Selama perjalanan kami tidak
ada berbicara. Aku fokus membawa kendaraan, sedangkan rekanku mungkin sedang
menggerutu kenapa aku membawa kendaraan terlalu lamban atau karena hentakan
hentak tak mengenakkan saat aku menghantam jalan berlubang.
Perjalanan bagiku cukup menakutkan dilalui sendirian.
Khayalan makhluk gaib, rampok, maupun hewan terkadang membayangi. Untunglah Bos hari ini memberiku rekan yang
bisa dibagi rasa ketakutan itu.
Pukul 22.30 WIB
Saya sudah masuk ke dalam rumah, memasukkan kendaraan dan mengunci
pintu. Aroma pengharum ruangan yang baru kubeli langsung menyambutku. Segera
kubasuh kaki dan ambil air wudhu. Menunaikan Sholat Isya yang tertunda.
Setelah itu aku ingin mengakhiri bacaan Novel Hanum dan
Rangga, tepatnya melanjutkan bagian epilog. Sungguh tadi pagi baru saja saya dibuat
tegang dengan kisah heroik di dalam novel itudan ternyata dilanjutkan
ketegangan tadi sore. Sungguh Allah Maha Penguasa Segala Isi Hati dan
Kehidupan.
Hari ini bisa kusimpulkan ada beberapa pelajaran hidup yang
bisa diambil. Pertama, Jangan sesekali kita melanggar keputusan yang telah
disepakati bersama. Tuhan tidak suka kan kita sudah bernazar lantas kita
mengingkarinya. Kedua, Detik ini kita bisa hidup tenang dan damai, detik
berikutnya bisa saja ricuh, segala sesuatu bisa terjadi atas kehendaknya. Ketiga,
Bawalah kain sarung kemana saja, menutup aurat laki laki dan wanita itu wajib.
Selamat malam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar