[Hujan Tanpamu]
Where is good in goodbye?
Where is nice in nice try?
I can take this mistake but i can't take the ache from heart break
Sebait lagu No Good In Goodbye dari The Script memenuhi ruang kamar, terpantul-pantul ke dinding dan sebagian suara dikalahkan oleh deru hujan yang turun luar biasa.
Aku pernah menunggumu di antara derai hujan yang teramat deras hingga aku tak dapat mendengar suara isak tangis sendiri. Kau tak akan percaya bahwa seorang pria pun bisa menangis. Dan setelah itu di setiap hujan turun semesta seolah memberi isyarat agar aku bersiap menghadapi kembali masa lalu. Diiringi gemuruh petir yang membuat jantung berdebar. Masa lalu itu datang kembali.
-------
Kala itu hujan berderai membasahi setiap sudut kota. Rintiknya berdenting di antara genangan yang tercipta di jalanan. Ada yang terburu-buru melangkah dan membuat air melompat sembarang ke mana-mana. Dan aku tergesa-gesa untuk pergi untuk memenuhi janji kita.
Kafe buku yang menghadap ke pertigaan jalan selalu jadi tempat favorit. Karena kita pertama kali bertemu di sana. Masih ingatkah dirimu ketika aku tak sengaja menumpahkan cokelat panas di meja dan membasahi buku pinjamanmu, kau marah dan aku hanya diam melongo. Aku terpesona ekspresi wajah marahmu. Dan setelah itu kita menjadi akrab dan hangat. Aku mulai mengagumimu, dan rasa kagum itu berubah menjadi rindu yang menjalar setiap kita terpisah, dan aku kemudian berjanji untuk mendampingimu selamanya menjadi sepasang kekasih. Setiap minggu kita bertukar buku bacaan dan menyelipkan beberapa larik puisi yang kita tuliskan sendiri di dalamnya. Atau kadang menari bebas di tengah derasnya hujan ketika buku-buku kadang terasa membosankan. Kau selalu menyukai hujan, dan selalu mengajakku untuk memberi nama setiap kali hujan turun. Semisal Bravi, Kute, Wohoo, dan nama-nama yang terdengar menarik bagimu.
Dan dunia sudah terasa sempurna.
Namun malam itu raut wajahmu lebih dingin dari kebekuan puncak musim salju, tidak ada sedikitpun senyuman atau antusias yang terpancar dari kedua matamu. Kau menatap nanar jauh keluar jendela sembari menungguku mengambilkan minuman.
"Minggu depan aku menikah."
Hampir saja aku menumpahkan kembali gelas cokelat hangat yang sedang kubimbing ke atas meja. Aku langsung menatapmu, ada rasa cemburu yang mendadak tumbuh melesak memenuhi dada. Tapi aku berusaha untuk tenang.
"Benarkah? Tidak mungkin. Dengan siapa?" aku menyerbumu dengan pertanyaan.
"Anak kolega ayah." katamu lirih.
Ada jeda panjang yang tercipta setelah kau menjawab. Aku pun bingung menemukan kata-kata. Sepenuhnya aku ingin berteriak tapi tertahan di bibir dan dalam dada.
"Lalu apa?"
"Ya aku akan menikah, Rayan."
"Aku ingin kau menolaknya."
Kau menggeleng, aku memasang wajah kecewa.
"Kenapa, Nya? Kenapa kamu tak bisa menolaknya? Tidak bisakah kau menungguku."
"Sampai kapan, Ray. Sampai kapan aku harus menunggu kamu. Aku anak pertama, adik-adikku selalu mengalah untuk tidak menikah duluan. Aku tidak mau jadi beban mereka."
"Itu hanya pemikiran orang-orang kolot."
"Kau tidak pernah merasakannya , Ray. Kau anak tunggal. Kolot katamu? Setidaknya kau bisa datang dengan gagah berani melamarku. Bukan menyebut kolot seperti itu. Aku hanya ingin kepastian. Aku lelah menunggu, Ray. Tidakkah kau bisa sedikit berjuang untuk memperjuangkanku. Ke mana kata-katamu yang kau tuliskan untukku itu? Memilikimu selamanya." ucapmu dengan berlinang air mata.
Aku memilih diam. Aku salah. Aku bodoh. Aku adalah orang paling bersalah yang membuatmu menangis. Belum usai hujan mendera bumi. Kau melangkah pergi, aku menyusulmu setengah berlari untuk memberi jawaban. Aku tidak pernah menyangka itu malam perpisahan kita; malam tak yang paling kuinginkan sedunia. Kau enggan ku antar pulang.
"Mungkin ini pertemuan terakhir kita, Ray. Jangan menghubungi aku lagi." Tangismu tersamar oleh rintik hujan dan meninggalkanku berdiri di tepi jalan.
"Begitu sajakah kau menyerah karena aku belum memberimu kepastian, Nya? Benarkah kau tidak memberi kesempatan kita untuk bersama lagi? Hanya karena orang lain kau korbankan dirimu."
Kau sempat menghentikan langkah untuk mendengarkan. Bahumu terguncang, kau pasti menangis. Tapi kau tidak menoleh. Dan aku kehilangan harapan.
Satu hari, dua hari, satu minggu, satu bulan setelah malam itu tidak satupun pesan singkat yang kukirim kau jawab. Bahkan ketika aku menelpon, kau langsung menolaknya. Mungkin kau benar-benar ingin hilang dari hidupku, dan aku hanyalah lelaki bodoh yang melepaskanmu pergi begitu saja. Apakah aku harus jadi pengacau di hari berbahagia orang lain? Bukankah ada prinsip sebelum janur melengkung, kita masih bisa memperjuangkannya. Ya, aku harus menemui keluargamu. Aku akan merebutmu kembali, tetapi langkahku terhenti saat sebuah amplop warna kuning gading dengan diikat pita emas bertuliskan namamu Kanya dan Tyo,suamimu, yang terpampang jelas di depan undangan tergeletak di teras rumah.
Gelegar petir terdengar megah dari atas langit. Mendung dengan awan kelabu keliling berarakan perlahan. Aku berdiri mematung memandangi namamu dan namanya lagi. Berulang-ulang. Hingga aku mengurungkan niat untuk melakukannya.
Bagiku kesedihan adalah kamu yang kehilangan air mata dan aku kehilangan alasan untuk memilikimu lagi. Hujan tak akan pernah terasa sama lagi tanpa kehadiranmu, tanpa kita yang menari di bawahnya.
-Doddy Rakhmat
(Cerita ini juga di post storial.co dalam buku 30 Things I Want To Do and Keep Doing It beraama penulis storial lainnya)