Sabtu, 08 Februari 2025

Setelah Menonton Film : 1 Kakak 7 Ponakan

 Setelah menonton film 1 Kakak 7 Ponakan beberapa minggu lalu ada hal-hal menarik yang menjadi perhatian saya dan bisa menjadi perenungan bagi kita semua.



[Spoiler Alert]


Dari adegan awal, saat Moko harus mendadak ditinggal kakak perempuan dan kakak iparnya dalam satu hari yang sama. Kita semua akan menghadapi kehilangan. Siap tidak siap kehilangan itu datang. Tidak pula permisi. Sementara kehidupan setelahnya harus terus berjalan. Moko yang baru saja lulus kuliah harus membiayai para keponakannya, apalagi saat itu masih ada yang bayi sehingga ia memutuskan untuk merawatnya dan memendam mimpinya sebagai arsitek terlebih dahulu. Karena mereka bukan berasal dari keluarga berada, jadi tentu permasalahan ekonomi menjadi cukup pelik.


Ditambah lagi Moko harus kedatangan satu orang anak bernama Ais dari guru les pianonya yang broken home. Dengan rasa tidak enak hati dan kasihan, ia pun tetap menerima untuk tinggal di rumah tersebut.


Dari kejadian-kejadian tersebut menunjukkan persiapan finansial untuk keluarga itu penting, karena akan dijalani dalam masa panjang. Semua harus sudah dipikirkan dari sejak awal.


Di tengah sulitnya mencari kerja dan ekonomi

Untung saja Moko masih punya teman yang supportif. Maurin. Walaupun Moko sempat tidak percaya diri dengan kondisinya saat itu dan Maurin adalah sosok perempuan yang bisa dibilang kondisi ekonominya lebih baik. Tapi Maurin meyakinkan Moko semua bisa dilewati dan akan baik-baik saja sambil dipikirkan bersama solusinya.


Kedatangan Mba Osa sang kakak dan Mas Eka sang ipar dari Australia juga tidak membuat kehidupan mereka membaik, Moko yang sudah mendapatkan kerja yang stabil malah dimanfaatkan oleh Mas Eka yang kerap meminta biaya dengan dalih untuk keperluan para keponakannya mereka. Namun ternyata uang tersebut malah digunakan untuk investasi bodong dan dia kabur entah kemana dan para keponakannya disuruh kerja cari uang sendiri sama Mas Eka. Tentu saja saat itu Moko tidak tahu.


Saat keponakannya sudah beranjak dewasa dan sudah ada yang sudah kerja.

Moko merasa keponakannya semua tidak perlu bersusah payah dan biarkan ia saja yang bekerja sendiri. Namun itu salah. Dan di adegan menjelang akhir itu memang ditunjukkan oleh Maurin dan para keponakannya Moko.


Intinya berjuang sama-sama itu tidak apa-apa, tidak semuanya harus ditanggung sendiri.  Rasa tanggungjawab yang berubah menjadi rasa bersalah dan menyalahkan diri ini tentu saja tidak sehat. Terlebih tanggungjawab itu bukan sepenuhnya ada padanya.


Lalu ada Adegan Ais menanyakan kepada Moko, "Pernah gak sih kita ngelakuin sesuatu hal, supaya bisa ngerasa orang yang kita sayang itu masih ada?" dan saat Moko kilas balik mengingat semua kebersamaannya bersama almarhum kakak di situlah saya tidak bisa membendung air mata. Pecah. Sesak. Saya bisa merasakan sama  persis apa yang Moko rasakan. Bahwa ia melakukan sesuatu hal tersebut demi mengingat dan menggantikan posisi kakaknya yang sudah tiada. Ia berusaha menutupi rasa kehilangannya tersebut dengan bertanggungjawab atas apa yang terjadi dengan keluarganya. Sementara bagi para keponakannya, Moko tidak harus berjuang sendirian. Moko juga berhak bahagia dan mengejar mimpi-mimpinya.

Jika film ini masih ditayangkan di bioskop terdekat kalian, boleh luangkan waktu untuk menonton dan merasakannya sendiri.


(DR)

Rabu, 14 Februari 2024

Menghidupkan Kembali Demokrasi



Hari ini 
Kembali meraya demokrasi
Dalam suaramu ada amanah
Ada tanggungjawab untuk para penguasa

Dalam suaramu 
Ada doa dan harap
Ada keluh kesah yang belum terjawab
Ada juga impian yang belum terwujud

Suaramu adalah masa depan
Walau kadang suaramu terbungkam
Ataupun tak didengar
Tapi jangan sampai engkau diam bisu

(DR)

Minggu, 11 Februari 2024

Filosofi Asap

 Filosofi Asap



Terbakar-terbakar semuanya

Membumbunglah asap

Tak peduli ras, suku, agama

Semua sama hirup sesak


Setelah habis semua lenyap

Akhirnya tinggal abu

Yang ditiup angin jadi debu

Juga buat sesak


Semua bertahan

Di tengah sesak

Sementara asap dan debu

Masih abadi


(DR)

Jumat, 28 April 2023

Televisi



Malam hari tanpa sinar bulan. Kelam. Aku kembali berangkat menuju kantor mengambil chargerku yang tertinggal. Televisi kubiarkan menyala saat pergi. 30 menit kemudian aku kembali dan saat berdiri di depan pintu rumah. Sayup sayup terdengar suara tidak jelas dan bising dari dalam rumah. Seperti bunyi kursi yang digeser dan juga langkah kaki. Aku memberanikan diri untuk masuk. Pintu perlahan kubuka, posisi kursi masih seperti semula. Kondisi televisi masih menyala namun menayangkan cuplikan video seperti kaset rusak yang tidak jelas. Terlihat sebuah ruangan yang tidak aku kenali.

Dari sudut layar, sosok dengan kain putih lusuh tercabik-cabik, wajah hancur berdarah dengan mata hitam pekat bergerak terseok-seok mendekati kamera dan dari layar televisi ia berteriak ke arahku

AWAS DI BELAKANGMU!!!

Aku tersentak dan refleks menoleh ke belakang.

Berdiri sosok dengan wajah yang sama persis ada di layar televisi tadi. Sekejap ia mendekat ke arahku. Di balik hancurnya wajah itu, perlahan aku mengenalinya.

Seorang teman beralih musuh.

Terakhir aku melihatnya 15 tahun lalu saat kukubur jasadnya di tengah kebun sawit dengan pisau penuh darah tertancap sebagai nisannya.