Setelah menonton film 1 Kakak 7 Ponakan beberapa minggu lalu ada hal-hal menarik yang menjadi perhatian saya dan bisa menjadi perenungan bagi kita semua.
[Spoiler Alert]
Dari adegan awal, saat Moko harus mendadak ditinggal kakak perempuan dan kakak iparnya dalam satu hari yang sama. Kita semua akan menghadapi kehilangan. Siap tidak siap kehilangan itu datang. Tidak pula permisi. Sementara kehidupan setelahnya harus terus berjalan. Moko yang baru saja lulus kuliah harus membiayai para keponakannya, apalagi saat itu masih ada yang bayi sehingga ia memutuskan untuk merawatnya dan memendam mimpinya sebagai arsitek terlebih dahulu. Karena mereka bukan berasal dari keluarga berada, jadi tentu permasalahan ekonomi menjadi cukup pelik.
Ditambah lagi Moko harus kedatangan satu orang anak bernama Ais dari guru les pianonya yang broken home. Dengan rasa tidak enak hati dan kasihan, ia pun tetap menerima untuk tinggal di rumah tersebut.
Dari kejadian-kejadian tersebut menunjukkan persiapan finansial untuk keluarga itu penting, karena akan dijalani dalam masa panjang. Semua harus sudah dipikirkan dari sejak awal.
Di tengah sulitnya mencari kerja dan ekonomi
Untung saja Moko masih punya teman yang supportif. Maurin. Walaupun Moko sempat tidak percaya diri dengan kondisinya saat itu dan Maurin adalah sosok perempuan yang bisa dibilang kondisi ekonominya lebih baik. Tapi Maurin meyakinkan Moko semua bisa dilewati dan akan baik-baik saja sambil dipikirkan bersama solusinya.
Kedatangan Mba Osa sang kakak dan Mas Eka sang ipar dari Australia juga tidak membuat kehidupan mereka membaik, Moko yang sudah mendapatkan kerja yang stabil malah dimanfaatkan oleh Mas Eka yang kerap meminta biaya dengan dalih untuk keperluan para keponakannya mereka. Namun ternyata uang tersebut malah digunakan untuk investasi bodong dan dia kabur entah kemana dan para keponakannya disuruh kerja cari uang sendiri sama Mas Eka. Tentu saja saat itu Moko tidak tahu.
Saat keponakannya sudah beranjak dewasa dan sudah ada yang sudah kerja.
Moko merasa keponakannya semua tidak perlu bersusah payah dan biarkan ia saja yang bekerja sendiri. Namun itu salah. Dan di adegan menjelang akhir itu memang ditunjukkan oleh Maurin dan para keponakannya Moko.
Intinya berjuang sama-sama itu tidak apa-apa, tidak semuanya harus ditanggung sendiri. Rasa tanggungjawab yang berubah menjadi rasa bersalah dan menyalahkan diri ini tentu saja tidak sehat. Terlebih tanggungjawab itu bukan sepenuhnya ada padanya.
Lalu ada Adegan Ais menanyakan kepada Moko, "Pernah gak sih kita ngelakuin sesuatu hal, supaya bisa ngerasa orang yang kita sayang itu masih ada?" dan saat Moko kilas balik mengingat semua kebersamaannya bersama almarhum kakak di situlah saya tidak bisa membendung air mata. Pecah. Sesak. Saya bisa merasakan sama persis apa yang Moko rasakan. Bahwa ia melakukan sesuatu hal tersebut demi mengingat dan menggantikan posisi kakaknya yang sudah tiada. Ia berusaha menutupi rasa kehilangannya tersebut dengan bertanggungjawab atas apa yang terjadi dengan keluarganya. Sementara bagi para keponakannya, Moko tidak harus berjuang sendirian. Moko juga berhak bahagia dan mengejar mimpi-mimpinya.
Jika film ini masih ditayangkan di bioskop terdekat kalian, boleh luangkan waktu untuk menonton dan merasakannya sendiri.
(DR)