Jumat, 31 Juli 2015

Cerita Katak Tentang Langit Retak

Katak-katak berlompatan di antara dedaunan kering.
Berisik. Pecah. Telingaku ikut-ikutan menolak bunyi-bunyian itu. Berjam-jam di atas teratai danau, aku melihat langit yang tercerai berai karena ranting-ranting pohon yang mulai kehilangan daunnya.

Kemarau terlalu panjang. Aku benar-benar bosan berada di atas tanah. Danau mengering entah diminum siapa airnya. Katak-katak lain merantau ke danau kaya air. Mereka terlalu percaya dari omong-omong terbawa angin. Lantas dalam perjalanan itu mereka kelelahan kemudian melepaskan lompatan terakhirnya

Astaga, aku juga baru ingat bukan langit saja yang retak. Tanah retak. Bibir ku retak. Terakhir yang kulihat badan ku perlahan menjadi kerak.

~doddy rakhmat
27.07.2015

Maaf, Sudah Tutup.

Beberapa jam lalu pusat perbelanjaan itu ramai, namun mereka punya batasan waktu. Hingar bingar berubah menjadi senyap layak kota mati. Eskalator sudah dipadamkan, lampu-lampu yang membias lantai licin mengkilap hanya tersisa gelap.

Aku belum beranjak dari salah satu kedai makanan cepat saji. Pelanggan adalah raja. Begitu istilahnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengusirku. Bergelas-gelas kopi memenuhi meja. Sadis? Tidak. Bagaimana seorang raja harus diusir dari singgasananya. Semua melirik ke arah jam yang tergantung di tengah ruangan. Menguap dan menguap. Tak tega melihat pemandangan itu, aku menggeser posisi duduk. Ada wajah-wajah gembira, tapi aku masih duduk belum beranjak pergi. Kemudian gembira itu sirna.

"Maaf sudah tutup." Kata seorang pelayan saat menghampiri pengunjung di pintu masuk.

Ibu paruh baya itu bertanya sambil melihat ke arahku. Dari tatapannya aku menerka, "Lah, kok dia masih dilayani?"

Setengah berbisik aku mendengar apa yang dikatakan pelayan itu, "Dia adalah seorang raja." Bisikan itu disambut anggukan antara paham atau tidak oleh sang ibu. Kemudian ia melangkah pergi.

Hari beranjak malam, semua pelayan sudah berganti pakaian bersiap pulang. Aku masih tertaut dengan kursi kedai. Aku dihampiri pria tambun. Managernya mungkin. Ia bertanya, "Maaf tuan, kami sudah mau tutup."

Aku diam namun berteriak dalam hati. Mereka tidak tahu rasanya terserang kram dan stroke ringan secara bersamaan.

~doddy rakhmat
31.07.2015

Sumber gambar : www.riversidesurgery.co.uk

Kamis, 30 Juli 2015

Pintu Darurat

Pintu Darurat

Ada seorang pria di sebelah pintu darurat
Malu-malu memotret langit luar dari jendela

Ada seorang pria di sebelah pintu darurat
Membolak-balik halaman buku yang dibaca tanpa tahu maknanya

Ada seorang pria di sebelah pintu darurat
Mendengar dengan seksama suara wanita di atas pesawat

Ada seorang pria di sebelah pintu darurat
Memasang wajah harap harap cemas

Ada seorang pria di sebelah pintu darurat
Bersiap membuka pintu di sebelahnya

Ada seorang pria di sebelah pintu darurat
Baru sadar salah jurusan pesawat

~ puisi dari doddy rakhmat
30.07.2015

Selasa, 21 Juli 2015

Langit Yang Mencari Sebuah Sabit

Bulan di senja kala ini terasa dekat. Entahlah, mungkin bulan yang sudah lama tak mendapatiku menatap langit. Mungkin aku terlalu sibuk dengan urusan-urusan bumi. Hingga malam kadang kuhabiskan dibawah atap kayu-kayu tipis berbentuk persegi. Atau melekatkan pandangan ke sebuah layar berkedap-kedip.

Langit betul-betul peduli. Tak bosannya menyapu pandangan kepada makhluk-makhluk dengan urusan bumi. Kadang ia ada di sudut jendela di sebuah kantor ramai pekerja. Di belakang rumah yang sepi. Atau diacuhkan di atas sana.

Langit telah mengajarkan sesuatu yang penting bagi kita melalui bulan. Bertahun-tahun berlalu, dari kita menangis pertama kali di dunia hingga kadang kita membuat tangis dalam diam bagi mereka. Pernahkah kita benar-benar meresapi dan melihat sesuatu yang membuatmu menemukan alasan untuk hidup? Membahagiakan mereka. Mencari sebuah sabit yang disebut senyum dari parasnya. Melengkung dari ujung bibir ke sisi yang lain, ialah lukisan terindah diciptakan Tuhan. Bahagia orang tua berwujud sabit kecil di wajah yang menua.

Berjanjilah, berdoalah, dan berharaplah kita diberikan lebih banyak waktu untuk mengukir sabit kecil tersebut, seperti langit yang mencari sebuah sabit untuk menghias dirinya. Bulan.

~doddy rakhmat
21.07.2015

Senin, 20 Juli 2015

Sujud Terakhir Dalam Jendela Apartemen

Jakarta dibunuh sepi. Lengang. Lalu lalang angin leluasa tak dibatasi oleh manusia-manusia penghuni jalan. Kendaraan sesekali melintas di jalan protokol. Gang-gang ramai. Orang berduyun-duyun dengan baju rapi berlabel baru menuju masjid. Kumandang takbir semalam suntuk tak menerabas masuk apartemen lantai 16 tempat aku menghabiskan masa mudaku di ibukota. Aku dan seorang perempuan bernama Daisy menghabiskan malam bersama, bergumul hingga lupa dunia. Dosa seolah bukan hal yang ditakuti lagi. Hidup dirasa hanya perkara satu hari, kemudian besok terulang kembali. Begitulah siklus hedonisme masa kini.

Perempuan itu bangun lebih dahulu dariku, menyiapkan sarapan ala kadarnya dari kulkas di dapur. Roti selai dan kopi hitam. Begitupun menu yang dibuat untuknya, tidak begitu banyak pilihan melihat aku yang jarang mengisi kulkas itu.

"Archi, kenapa kau tak pulang berlebaran di kampung halamanmu. Merayakan hari kemenangan, misalnya?" Tanya Perempuan berparas oriental dihadapanku, menyeruput kopi dari gelas sedikit demi sedikit. Tanpa ditiup ia menenggak kopi panas dan pahit. Mungkin hidupnya lebih getir daripada apa yang ia minum.

"Hari kemenangan? Apa yang aku menangkan? Seingatku tadi malam, yang kumenangkan adalah dirimu. Untung saja taruhan tadi malam aku tak kalah. Setidaknya kau akan mendapat bayaran ekstra." Aku menjawab dari atas kasur, setengah badanku tenggelam dalam selimut. Ia menyuguhkan nampan sarapan. Perlahan aku mengambil segelas kopi hitam yang diseduhnya. Semoga pas rasanya.

"Ya, ya, ya. Setidaknya kau bisa merayakan hari ini dengan alasanmu itu Archi."

Perempuan itu membawa dirinya berbenah, merapikan barang-barang yang dibawa. Bersiap pergi entah kemana. Sang fajar sudah semakin meninggi.

"Kau mau pergi kemana?"

"Mungkin ke meja peruntungan berikutnya. Entahlah, harga diriku bergantung pemenang pertaruhan."

"Hidupmu seperti itukah? Sejak berapa lama? Kapan kau akan berhenti?"

Perempuan itu memasang anting hitam di telinganya, lehernya menoleh ke arahku, "Berhenti? Selama manusia-manusia seperti kalian mencari kami, apa kami harus melewatkan kesempatan?"

Lipstik merah delima menghias bibir tipisnya. Rok mini dan jaket yang menurutku ia pilih sengaja ukuran kecil agar mencetak tubuh. Menarik mata-mata yang haus dosa dunia.

Aku terdiam. Ada benarnya yang ia ucapkan. Sarapan sudah kandas. Kembali kuhempaskan badan ke atas kasur. Sebelum pergi ia mengecup manja keningku, terakhir aku melihatnya menghilang di depan pintu apartemen. Kata kata perpisahan klasik terdengar, 'Selamat tinggal'.

Ponselku berbunyi di atas meja, tanganku berusaha meraih.
Sebuah pesan singkat masuk, dari seseorang jauh disana. Namun rekat di raga, melekat di setiap darah yang tiap detik dipompa. Mama. Bayangan orang bersujud  terbingkai di jendela apartemenku. Pesan itu tak panjang, namun mengulir batin hingga terasa sakit. Bahkan di saat sujud terakhirnya, aku tidak berada di sampingnya, satu shaf bersama. Ayah.

Awan-awan berkumpul jauh di depan jendela apartemenku, menggumpal, membentuk siluet manusia yang bersujud. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala. Berharap semuanya hanya mimpi semu, saat bangun semua masalah hilang. Ternyata tidak. Ini nyata. Aku kehilangan. Kesempatan untuk kembali. Yah, apakah aku berdosa? Apakah aku masih bisa kembali? Apakah ayah bisa kembali?

Perlahan kumandang takbir menyusup masuk melalui jendela apartemen. Jelas, tapi semua terlambat. Suara yang familiar, suara ayah beberapa tahun silam. Aku kembali. Dan ayah juga.

~doddy rakhmat
19.07.2015

Rabu, 15 Juli 2015

Nak, Ibu Kangen

[Nak, Ibu Kangen]

Semua media kini berlomba-lomba memberitakan mudik. Ya, acara tahunan yang begitu viral. Dilakoni hampir semua perantau di bumi pertiwi. Terutama bagi orang-orang yang punya kampung halaman. Bagi yang tidak, mereka hanya menjadi penonton setia. Parade orang-orang yang berdesak-desakan dalam kapal, lalu lalang di jalan raya atau kerumunan di bandar udara.

"Alah buat apa aku mudik, toh aku belum bisa bawa istri." Ujar Haryo dengan santainya, mulutnya penuh dengan takjil.

"Ingat, kamu masih punya ibumu." Sahut Edim pelan, menusuk.

"Pesan ibuku, aku diijinkan pulang kalau sudah bawa istri." Sejujurnya kalimat terakhir adalah alasan yang dikarang-karang Haryo. Ia merasa dirinya belum pantas untuk pulang. Bergidik saat membayangkan teman-temannya yang sukses berkumpul di suatu acara. Sedang dirinya, makan tiga kali sehari pun dianggap sebagai sebuah kemewahan. Tapi, apalah arti kesuksesan sesungguhnya? Apakah harus kaya? Atau bahagia? Poin pertama sepertinya yang menggelut di pikiran Haryo. Kaya. Untuk urusan bahagia, tidak ada tolok ukur yang pas. Setiap orang mendefinisikannya berbeda-beda.

"Kamu sendiri, kenapa tak pulang Dim?" Balas Haryo.

"Eh, aku pulang kok. Cuma belum beli tiket saja."

Haryo berdecak, "Halah Dim, pake beli tiket segala. Wong rumahmu cuma seperlemparan batu dari sini kok."

Edim terkekeh, merapikan rambutnya yang diacak-acak Haryo. Mereka bergegas menyelesaikan acara berbuka puasa terakhir. Sebelum kembali ke dok kapal, mengurusi kargo-kargo yang minta disusun.

Sebuah telepon di malam takbiran kala itu, meramaikan ponsel Haryo. Sepertinya dari seseorang nun jauh di belahan indonesia sebelah barat. Melihat kode wilayah nomor ponsel yang menghubunginya itu.

"Nak, Ibu kangen." Tiga potong kalimat yang terngiang di telinga Haryo. Bercampur dengan kumandang takbir. Menurutnya hal tersebut ialah sesuatu yang menyedihkan, ia bertanya-tanya siapa gerangan yang menelponnya dengan nada suara memelas itu. Sudah belasan tahun Haryo yatim piatu.  Mungkin ada seorang ibu di luar sana yang berharap anaknya pulang, namun tidak menemukan nomor ponsel yang tepat, pikir Haryo.

"Pulanglah sejauh apapun kita melangkah, masih ada tempat kembali yang disebut Rumah. Bukankah berkumpul dengan sanak keluarga adalah sesuatu hal indah?"

~doddy rakhmat
15.07.2015

Selasa, 14 Juli 2015

Matahari Terbit Dari Kardus

Hanya debu-debu jalanan yang menjadi saksi hidup bahwa seorang gadis terbuang sepertiku, terperangkap dalam roda-roda kehidupan yang berkarat. Membosankan.  Sejauh mata memandang hanya ada jalan dan lalu lalang kendaraan. Tepian jalan ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa, berayun saat angin melintas dari kendaraan yang melesat.

Sunrise, atau matahari terbit. Jendela kamar belakang rumah makan tempat dimana aku dibesarkan, adalah sudut sempurna melihat matahari muncul dengan gagah di ufuk timur langit.

"Inaaaaaaaai" Suara melengking dari dapur belakang memanggil sepotong namaku. Ya sejujurnya itulah nama lengkapku. Inai. Tidak ada tambahan di depan maupun belakang. Aku pun tak mengenal siapa orang yang memberikan nama itu padaku.

Mungkin umurku sekarang 17 tahun. Ditinggalkan dalam kardus mie instan di tengah belantara kehidupan, bukanlah perkara biasa. Menurut penuturan orang sekitar, aku ditemukan oleh Cik Jalal di suatu pagi yang masih menusuk. Saat tangisanku menarik perhatian seisi rumah makan tanah minang itu. Selepas subuh kala itu, Cik Jalal perlahan membawaku ke 'rumah' baru.

"Duhai bang, apo lah yang nak diolah dari mi instan satu dus pagi-pagi macam ini." Tanya Istri Cik Jalal, orang lebih suka memanggilnya Bu Cik, terkenal galak tapi paling suka musik dangdut lokal.

"Bukan mi instan ini dek, ini bayi." Sahut Cik Jalal pelan-pelan, tidak mau aku terbangun dari kardus mi instan itu. Raut muka Bu Cik berubah seketika, ada ketidaksukaan tergurat dari gestur mata dan bibirnya.

Bertahun-tahun mereka menikah belum jua mendapatkan keturunan. Segalanya usaha sudah ia coba. Dari ujung sumatera sampai ujung jawa. Nihil. Mereka tetap tidak punya anak. Tiap hari Bu Cik bersungut lebih-lebih jika ada pengunjung yang membawa anak-anak mereka yang masih mungil menggemaskan. Maka Bu Cik mengurung diri di dalam kamar yang menyatu dengan rumah makan. Menyalakan lagu-lagu qasidah lama. Kadang membenamkan wajah dalam bantal yang sudah lepek. Kalau sudah begitu, Cik Jalal menghampiri sang istri sekedar menepuk pundak, menenangkan.

Bu Cik tetap menyayangiku walau ia gelagatnya sangat bertolak belakang. Toh, seseorang menyukai kita dengan berbagai macam cara bukan. Mungkin itulah cara Bu Cik menerima kehadiranku. Dengan omelan.

"Inai, tak usah kau lama-lama melamun memandangi jalan. Tak bakal pindah jalan itu." Amru, pemuda seumuran denganku, mengibas-ibaskan kemoceng di wajah kaku terbuai lamunan.

"Aih mengganggu saja kau Am."

Amru terkekeh, melenggang menuju dapur. Entah siapa yang akan dikerjainya di belakang sana. Pemuda yang juga tak seberuntung diriku. Dititipkan oleh sanak familinya beberapa tahun yang lalu, Amru harus putus sekolah karena orang tuanya bercerai dan sama-sama melepas hak asuhnya hingga terlantarlah pemuda berkulit sawo matang itu.

Aku bermimpi ada orang yang dengan gagah berani membawaku dari kungkungan di tepian jalan lintas yang berdebu ini. Aku bermimpi tentang pangeran yang tak berkuda tapi ia mengajakku berkelana ke suatu tempat nun jauh dari tempat aku dibesarkan ini. Sisa mimpi itu kadang kunikmati saat siang tak hanya malam. Di sela melap piring dan gelas. Hingga aku dapat julukan Sang Pelamun dari orang sekitar.

"INAAAI." Suara melengking Bu Cik membubarkan acara lamunanku lagi. Kali ini, bau gosong menyerbak seisi dapur. Astaga, aku lupa mengangkat tempe goreng. Itu artinya tidak dapat jatah makan malam. Sarapan besok pun mungkin hanya segelas teh. Itulah hukuman yang diberikan oleh Bu Cik. Sadis? Tidak juga, bagiku itu mendidik. Pengusaha mana yang mau rugi kalau dagangannya dibuat kacau oleh karyawannya sendiri. Ada puji tentu juga ada pinalti.

"Maaf Bu Cik, maaf." Aku bergegas mematikan kompor. Tempe berwarna aspal itu kuangkat dan kubuang ke tempat sampah.

"Sudah berapa kali Bu Cik bilang Nai, kalau kerja janganlah melamun. Bisa rugi rumah makan ini." Bu Cik setengah memarahi, setengah menasehati.

Aku menunduk memeram wajah merah padam. Amru dari kejauhan tertawa girang. Melihat penderitaan kawannya sendiri. Tawa itu tiba-tiba hilang saat Bu Cik balik badan mulai menyuruhnya membersihkan meja bekas makan.

Sebuah bus ukuran sepanjang sebelas kaki berhenti di depan rumah makan kami. Orang-orang di dalamnya mulai turun. Beberapa diantaranya berolahraga ringan. Menghilangkan penat dan kebas badan setelah perjalanan panjang. Debu jalan menjadi latar belakang. Menambah kesan gersang sudah badan mereka.

Di depan kaca bus itu bertuliskan Masa Lalu - Masa Depan. Aku mengucek mata, membenarkan apa yang sedang kubaca. Apa memang betul trayek bus itu? Kalau benar, aku harus ikut di dalamnya.

Seorang pemuda paruh baya duduk di kursi pojok. Tampaknya ia paling lelah di antara semuanya, kuhampiri ia sembari membawakan segelas teh hangat. Ia menyambut dengan senang.

"Bisakah kau tambahkan beberapa es ke dalamnya? Kerongkonganku cukup kerontang dibuat perjalanan panjang itu."

Aku mengiyakan, kembali ke dapur dan keluar dengan segelas es teh. Meletakkannya di meja. Ia buru-buru meneguknya. Kehausan.

"Apa mau makan sekalian?"

Sambil meneguk es teh, alisnya terangkat ke atas. Mendeham. Pertanda iya. Aku bergegas menyajikan semua masakan di atas piring-piring kecil. Sebakul nasi hangat dan segelas air putih tersaji di atas meja.

"Bisakah aku ikut bis ini pergi?" Aku bertanya kepadanya sambil memberikannya selembar nota makan.

Pemuda itu melihat dari ujung kaki hingga kepala. Seolah-olah dari matanya berkata, "Yakin mau pergi?"

Aku menjauhkan pandangan, kemudian pergi meninggalkannya sendirian. Tiba-tiba, pemuda itu mengejar dan mencengkeram pergelangan tanganku.

"Masa depan sudah menunggu di luar sana. Tunggu apalagi? Kemasi barangmu."

Mendadak hatiku terasa penuh. Ada bahagia yang menyusup masuk tanpa permisi. Mendengar tawarannya itu, aku berlari ke kamar sunriseku. Memasukkan apa saja dalam buntalan seprai yang aku punya. Amru berdiri melongo menatapiku yang siap kabur.

Aku mohon pamit pada Cik Jalal dan Bu Cik, berterima kasih atas jasa-jasa mereka selama ini. Semua penumpang sudah masuk tinggal aku, Sang Pelamun yang belum naik bis. Seorang penumpang terakhir.

Dari jendela belakang bis, pelan-pelan siluet rumah makan ith menghilang ditelan permukaan bumi yang bundar. Sungguh ini semua terasa tidak nyata. Tapi aku benar-benar yakin sudah melangkah pergi dari rumah makan, rumah dimana aku dibesarkan itu. Pemuda sekaligus pengemudi bis menuju Masa Depan itu melempar senyumnya padaku. Senyum yang meyakinkan.

Kehadiran seseorang dalam hidup kita bisa berarti baik atau buruk, tergantung bagaimana cara kita menerimanya. Mungkin aku adalah balasan doa-doa yang dimunajatkan oleh Cik Jalal dan Bu Cik, hanya saja aku datang tidak tepat dari rahimnya. Ya, aku sang matahari terbit dari sebuah kardus. Namun maaf, kardus itu telah dibawa pergi. Jauh sekali. Tak pernah kembali. Aku, doa yang terkabul sementara.

~doddy rakhmat
14.07.2015

Senin, 13 Juli 2015

Ketapang Pekarangan

Daun-daun kering berserakan di pekarangan. Bunyi kerapuhannya terdengar dari telapak sendalku. Sudah bertahun-tahun rumah ini tidak dihuni. Sebuah bangunan kayu berwarna putih berdiri kokoh sama seperti dulu. Dengan pohon ketapang yang tumbuh di seluruh penjuru halaman.

Sepotong kenangan itu tiba-tiba menelisik kepada aku yang termangu. Seperti inikah hati yang kosong? Tidak ada yang tinggal di dalamnya? Hingga ketapang-ketapang itu tumbuh dimana-mana. Rindang, meneduhkan seperti rindu yang dibiarkan. Perlahan-lahan hati dibuatnya sesak.

Ada rahasia yang belum sempat kusampaikan kepadamu. Sudah lama kutanam bersama sebuah pohon ketapang di pekarangan. Sebuah rahasia yang akan menjawab segala rahasia.

Ingatkah kamu saat kita membeli bibit-bibit pohon ketapang di sebuah akhir pekan, awal pernikahan kita. Tentu saja kamu mengingatnya, aku masih hafal parasmu yang begitu gembira kuajak menghias pekarangan rumah kita ini.

Diam-diam di setiap ketapang yang kita tanam, aku membuang segala keraguanku tentangmu. Segala kebencian terhadap masa lalu. Apapun yang membuatku cemas. Termasuk rasa cinta. Mengapa? Bagiku mencintaimu adalah sebuah kecemasan. Karena aku selalu khawatir dengan apa yang sudah aku lakukan padamu. Betulkah kau melihatnya sebagai sebuah cinta? Aku khawatir tidak bisa menepati janji sehidup semati. Dan lihatlah sekarang, rasa cemas itu tumbuh semakin besar. Semakin rindang. Meranggas ke langit-langit seperti ketapang di pekarangan.

Sekarang kau tahu rahasia terbesar dalam hidupku, bagaimana dengan rahasiamu? Maukah kau membisikkannya untukku? Aku tahu kamu cemas, tenang saja. Aku pun sama.

~doddy rakhmat
13.07.2015

Teman

Teman,
Apa itu teman?
Dua orang yang awalnya tak saling mengenal
Memercayakan diri hanya dengan salam, hai dan apa kabar?
Jadilah kita berteman
Sesederhana itu.
Tak pernah lebih rumit

Teman,
Terkadang kita sampai lupa kalau berteman
Lupa dengan adanya batasan-batasan
Waktu dan kenangan

Teman,
Kadang kita lupa cara menangis
Karena kamu telah mengajariku cara tertawa
Untuk menyeka air mata

Teman,
Kita bertemu kemudian berpisah
Memadu beda kisah
Berbagi keluh kesah
Menghadapi dunia yang kadang tak ramah
Tapi, kita tak pernah lelah.

Teman,
Ingatkah malam-malam yang telah terlewati
Saat kita sama-sama tertatih
Belajar hingga letih
Doa-doa dirapalkan demi orang-orang terkasih

Teman,
Jangan pernah lupakan
Tidak ada yang betul-betul memisahkan kita semua
Kecuali Takdir Tuhan Sang Pencipta

Karya Doddy Rakhmat

Untuk seluruh teman dimanapun kamu berada.

Sabtu, 11 Juli 2015

Sepotong Pulang Yang Lebih Baik Pergi

Senja sore ini, pikiranku tak bisa diam. Teringat kampung halaman yang sudah beratus-ratus halaman ditinggalkan.
Ratusan kisah yang ingin kuceritakan dari awal. Semacam itulah siklus kehidupan para perantau, kembali ke halaman pertama. Ke kampung halamannya sendiri. Muara segala mimpi berawal. Menyemai dan menumbuh benih ide-ide brilian yang mengubah dunia.

Tapi, di senja kali ini ada sesuatu yang menelisik hati kecilku. Sebuah kegelisahan yang akhirnya muncul jua, "Apakah aku betul-betul dirindukan untuk pulang?"

Tiga tahun bukan waktu yang singkat, seribu hari lebih kami tak bersua. Ya, bersua mempertemukan rindu-rindu yang telah membeku. Apakah aku betul-betul dirindukan? Setidaknya pertanyaan itu muncul lagi entah sampai ke berapa kali.

"Buat apa kamu pulang?" Sebuah tanya yang kuterima saat menjejakkan kaki di pelataran rumah. Seseorang yang kuanggap saudara itu menatapku dingin.

"Aku hanya memastikan apakah ayahanda dan ibunda terurus disini." Jawabku menimpali pertanyaan yang cukup menampar hati.

Lalu orang yang kuanggap saudara itu menggerutu. Mengeluhkan kekurangan uang bulanan yang kukirim dan segala macam hal.

"Kemana Ayahanda dan ibunda?" Aku bertanya karena sedari tadi rumah lengang, belum bisa aku mengendus kerinduan mereka.

"Mereka kukirim ke panti lansia." Jawabnya singkat namun menohok.

"Kau gila. Jadi untuk apa selama ini aku kirimkan uang bulanan, untuk bisnis-bisnis haram mu itu?" Aku menyala, gemuruh bercampur api berkobar dari dada. Kepala terasa mendidih. Kutinggalkan orang yang kuanggap saudara itu bersama kegilaannya.

Bergegas pergi ke satu-satunya panti lansia di kota ini. Tempat para anak yang tidak mau mengurusi orang tua mereka. Tenpat dimana ladang amal bakti berkumpul. Kini aku harus menemui Ayahanda dan Ibunda.

Dari teras panti lansia yang sederhana itu aku mendapati Ayahanda dan ibunda, mereka juga memandang ke arahku seksama.

"Ayah, Ibu……"

Mereka hanya tersenyum, kemudian melanjutkan pembicaraan. Mereka telah dimakan usia. Pikun. Aku betul-betul terlambat hadir kembali dalam kehidupan mereka. Yang tersisa kini hanya sepotong memori yang tak pernah kembali. Ya, itu aku. Dilupakan oleh orang tuanya sendiri.

Kehadiran kita begitu banyak memberikan arti penting dalam kehidupan seseorang. Sehingga kita tidak dengan mudah menjadi memori yang terlupakan.

Ya, kalau begini lebih baik aku pergi daripada pulang. Karena aku sudah kehilangan kampung halaman. Entah ke halaman mana aku akan mendirikan sebuah kampung.

[DR]
11.07.2015