Jalan depan rumah ramai bukan main, bukan karena presiden lewat. Di ujung gang, di rumah Pak RT lagi ada pesta sunatan anaknya. Panggung dangdutan itu persis menutup jalan, menghalangi lalu lalang kendaraan. Alhasil, semua pemakai jalan memutar arah, tak sedikit juga yang malah terjebak menonton dangdutan. Aku bertanya sama Mang Ali sewaktu lewat depan rumahku, ia menjawab, "Lumayan neng, tadinya mau beli rokok di warung, eh malah dapat hiburan gratis."
"Mah, aku berangkat ke kampus dulu ya!" Teriakan pagi itu menyita perhatian Abah. Masih lengkap dengan sarung dan kaos putihnya, ia keluar sambil membawa helm yang baru dibelinya semalam. Warnanya pink dengan stiker bunga di belakangnya. Bukan aku banget.
"Tuti, pake helm ini. Abah udah beli yang standar. Copot helm kodokmu itu." Perintah Abah tangannya menyodorkan Si Helm Pinky. Tak kuambil. Sengaja.
Aku merengut, tak suka. Setengah hati melepas helm kesayanganku. Baru setengah senti helm terangkat, langsung kukenakan lagi. Dan buru-buru pergi, Abah langsung berteriak. Sumpah serapah untuk anak gadisnya yang tak tahu di untung. Mengejarku sampai luar pagar.
"Jangan merengek ke Abah, kalau kamu kenapa-napa di jalan." ujarnya setengah mengancam.
Aku tak menghiraukannya. Lagipula suaranya sudah kalah dengan pengeras suara musik dangdut acara pak RT. Tiba di perempatan sebelum jalan raya, ada yang memotong jalanku. Belok tanpa lampu sein,hampir saja aku jatuh. Lantas aku berteriak memekakan telinga.
"KALAU BELOK, KASIH LAMPU DONG!"
Abang tukang ojek perempatan ikut menimpali dengan senyum mesem-mesem, Udah neng. Jangan marah-marah, entar cepat tua lho. Disusul gelak tawa abang-abang lainnya. Kalau saja masih banyak waktu, mungkin kuladeni sindiran abang-abang itu. Tapi cepat-cepat aku kembali focus untuk sampai di kampus tepat waktu. Ada Pop Quiz dari salah satu dosen killer, terlambat sedikit bisa mengulang mata kuliah semester depan.
Hampir dekat kampus, lagi-lagi ada yang hampir menyerempetku, kali ini ibu-ibu begajulan. Sudah memberi lampu sein ke kiri, eh malah belok ke kanan. Ini ujian dapat SIM nya remedi atau bagaimana sih? Heran, pikirku.
Beruntunglah, aku tak telat. Kuliah pagi ini lancar jaya. Dan baru sadar, kalau ibu-ibu begajulan tadi itu dosen killerku. Tugas-tugas mingguan masih menumpuk, daripada di kampus. Aku memilih pulang. Jalanan tak terlalu sepi. Belum jauh dari kampus, di sebuah simpang jalan. Ada razia kendaraan dari satuan Polantas. Dua sejoli yang sedang berboncengan mesra tiba-tiba berbalik arah. Aku tertawa melihat tingkah mereka berdua. Si pria sudah keringat dingin, aku sudah bisa menebak, pasti dia belum punya lisensi berkendara. Jadi perlu diingat buat yang mau boncengin pacaranya sambil naik motor atau mobil. Pastikan dulu selain punya STNK juga harus punya SIM, Surat Izin Mencintai, eh Mengemudi.
Simpang itu kulalui dengan aman. Tanpa pemeriksaan. Terbayang masa lalu dulu, si Ayip yang rela memboncengku ke sekolah, padahal kami masih berseragam putih biru. Tentu belum cukup umur membawa sepeda motor, aku mengira itu termasuk salah satu hal heroik. Ternyata nggak sama sekali.
Bruk.
Aku mengaduh. Karena asik melamun, aku tak melihat lubang besar di jalan. Dan terjatuh ke dalamnya. Abang-abang di perempatan jalan tadi ramai-ramai menolong. Syukurlah hanya lecet di tangan dan lutut. Kalau sampai di wajah, kan harus operasi plastik. Aku berterima kasih kepada mereka, impas. Pupus sudah niat pembalasan sindiran tadi pagi.
****
Sepanjang jalan kenangan, kita kan selalu bergandeng tangan..
Sepanjang jalan kenangan, kau memeluk diriku mesra..
Sepanjang jalan kenangan, kita kan selalu bergandeng tangan..
Sepanjang jalan kenangan, kau memeluk diriku mesra..
Lagu lama diputar dari radio butut milik Abah, ia sambil mengelap helm yang masih mengkilap. Aku sampai di teras rumah. Memarkirkan kendaraan di garasi. Burung-burung peliharaan Abah menyambut dengan celetukan nakal.
"Neng, bagi pin BB nya dong."
Entah darimana burung beo itu meniru, kurasa Abah sering menggoda tukang sayur komplek.
Abah dengan semena-mena mengubah lirik lagunya dengan sedikit memaksa dan menyanyi dengan suara seadanya.
Sepanjang jalan S.Parman, kita selalu pake helm standar..
Sepanjang jalan Sudirman, lampu sorot kita nyala..
Sepanjang jalan Sudirman, lampu sorot kita nyala..
"Eh sudah pulang Tut?" sahutnya sesaat kemudian ia menoleh ke arahku. Abah langsung tertawa lepas. Melihat baju dekil plus luka-luka lecet di tanganku. Bukannya ditolongin, malah diketawain, batinku.
"Tuh kan, apa yang Abah bilang. Harusnya tadi nurutin kata-kata Abah. Kualat kan?"
"Abah, kolot banget sih. Kan malu pake helm begitu ke kampus."
"Kenapa musti malu,Tut? Kenapa?"
Mendengar keributan dari teras rumah, Mamah keluar dari balik pintu. Ia membawa sutil penggorengan. Disusul aroma semerbak ikan asin goreng. Roll rambutnya masih terpasang sejak pagi. Rencananya mau persiapan ke acara pak RT, jadi dandannya harus maksimal. Biar gak kalah sama ibu-ibu komplek yang lain.
"Mah, jelasin ke Abah deh. Dari tadi maksa pake Helm SNI." ujarku mengadu.
Mamah mendelik ke Abah.
"Kamu mau ngebela si Tuti? Ini aku nyiapin perlengkapan buat dia aman berkendara lho, Mah. Helm SNI. Abah kan baru ikutan sosialisasi di kantor lurah. Pak Polisi lalu lintas mengajarkan yang baik untuk masyarakatnya. Eh, kenyataan malah masih banyak yang ngelanggar juga." Abah sambil menunjuk kendaraan yang lalu lalang di depan rumahnya. Ada yang tak pakai helm. Lampu sorot mati. Belok tak pakai lampu sein. Kaca spion yang cuma satu. "Mau dibawa kemana muka Indonesia ini, Mah? Kalau budaya berkendaranya saja masih begitu." lanjutnya lagi.
Mamah hanya diam membiarkan Abah menjelaskan panjang lebar. Ia tahu Abah belum puas menceramahi. Tak berapa lama Jukri, anak tetangga sebelah lewat. Menuntun motornya sambil memegangi kepalanya yang berdarah.
Tuh, tuh lihat si Jukri. Pasti gara-gara gak pake helm tuh. Kepalanya sampai bedarah-darah gitu. Abah menunjuk-nunjuk si Jukri yang lagi lewat.
"Astaga, Juk. Kenapa kepalanya?" tanya Mamah prihatin.
"Biasalah mpok, gara-gara ada yang tawuran dekat sekolah. Eh, malah kena timpuk batu nyasar. Apes. Apes."
"Rasain. Makanya Juk, pakai helmnya. Biar gak tambah berabe urusannya. sahut Abah penuh kemenangan. Jukri menangis sepanjang jalan. Bapaknya terkenal galak. Apa jadinya kalau lihat anaknya macam begitu.
Kembali ke perdebatan yang belum usai. Ikan asin yang di goreng mendesis.
"Iya, Abah. Tuti itu bakal nurut semua yang Abah sampaikan kalau memang sudah tepat waktunya." Ujar Mamah.
Aku diam, tak menatap Abah. Melihat jalanan yang masih ramai. Lututku masih perih bekas terjatuh tadi. Perlahan-lahan aku berjalan meraih kotak obat di ruang tamu. Membersihkan luka, sambil menahan sakit. Abah ikut pindah, Mamah kembali ke dapur menyelesaikan urusan ikan asinnya. Lalu kembali bergabung bersama kami.
"Tepat waktunya gimana? Nih Abah kasih tahu ya, kalau namanya Safety Riding itu banyak manfaatnya. Selain melindungi diri sendiri, juga orang lain. Kalau belok ya harus pasang lampu sein ke arah yang benar. Kalau malam ya harus dinyalain lampu sorotnya, jangan dimatiin. Apa dikira pengemudi di jalan ini bisa sulap kayak di tivi-tivi itu apa, yang pakai ditutup matanya. " jelas Abah menatap kami bergantian.
"Ya itu kalau Tuti sudah dibelikan motor sama Abah. Masa Abah mau suruh Tuti pake helm SNI tapi dianya naik sepeda. Kan lucu, Bah." jawab Mamah.
"Tapi kan harus tetap Safety Riding, Mah. Berkendara itu harus mengutamakan keselamatan." Abah tak mau kalah berkilah.
"Duh, Abah ini apa mau nanti dibilang anaknya gak waras atau gimana sih. Kan Tuti udah benar pake helm sepeda. Nanti kalau kemana-mana pakai itu, disangka Alien salah jurusan lagi." Aku membela diri.
Abah langsung garuk-garuk kepala. Sepertinya tidak gatal, tapi karena malu dan tengsin.
Berkendara secara tertib dan aman bukan saja melindungi diri kita, tapi juga orang lain, orang-orang yang melanggar aturan tertib lalu lintas itu berarti hanya mementingkan ego nya saja. Kita harusnya sadar bahwa jalanan adalah tempat rentan terjadinya kecelakaan, urusannya bisa sampai membuat nyawa melayang. Sayangi diri kita dan keluarga, caranya? Dengan patuh berkendara.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen, 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar