Minggu, 20 September 2015

Tak Selamanya Cantik

Selepas senja, aku berjalan sebentar di komplek Ayasofya Camii. Ini kali pertama kali aku mengunjungi tanah Turki. Ada suatu alasan yang mendorong langkahku untuk menyambangi kota yang identik dengan penganan kebab ini, tapi aku tak tahu apa.

Aku berhenti sejenak di kedai teh. Sekadar ingin tahu rasa teh di negeri ini. Menikmati riuh para turis dan warga yang hilir mudik. Berbicara dengan bahasa asing dari belahan dunia masing-masing.

Tiba-tiba, mataku tertumpu pada satu titik di seberang kedai teh tersebut. Seorang perempuan dengan garis wajah yang rupawan. Hidung mancung melancip. Bibir tipis. Dan rambut panjang berwarna hitam diikat rapi. Bajunya semacam rompi panjang yang warnanya lusuh.
Ia duduk bersimpuh. Menunggu belas kasih di sebuah mangkuk plastik.

Aku tertarik untuk mengenalnya. Apakah dia pengemis? Atau seorang artis yang sedang menjual paras menawan?

Kuberanikan diri mendekati perempuan yang umurnya sebaya denganku itu. Dia tersenyum.

"Can you speak english?" Tanyaku.

"Ya, a little bit." jawabnya. Kemudian aku mulai bertanya.

"Boleh tahu namamu siapa?"

"Aya, tuan."

"Sudah lama 'bekerja' disini?"

"Sudah."

"Mengapa kamu lebih memilih menjadi seperti ini? Bukankah kamu itu cantik?" Aku agak ragu saat mengatakan kata terakhir. Takut ia merasa risih seolah dirayu turis asing.

"Ternyata menjadi cantik hanya berakhir ke sebuah mangkuk plastik yang kupegangi setiap hari." Ujarnya.

"Andai saja dirimu pergi ke negara kami."

"Mengapa dengan negaramu? Cantik adalah segalanya. Cukup memasang sedikit pose, dipotret lalu mendapatkan uang."

"Tuan sedang membawa kamera bukan?"

"Eh, iya benar."

"Nah silahkan saja potret saya. Siapa tahu saya bisa mendapat sedikit uang dengan itu."

Lidahku kelu. Hati terasa Basah. Ingin rasanya kutumpahkan air mata saat perempuan itu berbicara demikian. Aku merasa dipukul balik dari ucapanku sebelumnya. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana kalau hari ini kamu mengajakku berkeliling? Saya baru saja tiba. Dan belum mendapat tour guide?"

"Baiklah, tuan." Ia mengemas barang-barangnya ke dalam tas sandang. Badannya lebih tinggi sedikit daripadaku.

Aya mengajakku berkeliling malam itu. Ia menceritakan keluarganya dan kehidupannya. Ternyata ia adalah seorang yatim piatu. Keluarganya yang lain terlahir dengan kulit sawo matang, lalu menganggap Aya bukan bagian dari silsilah keluarganya. Ia pun sebenarnya tidak ingin menjadi pengemis. Menurutnya, mangkuk plastik yang ditunggui oleh seseorang berpakaian lusuh juga bisa mendatangkan uang. Banyak turis-turis yang mengajaknya berkeliling seperti ini. Tapi semuanya berakhir dengan tawaran-tawaran nakal.

"Mengapa kamu mau menemani saya berkeliling?"

"Saya rasa tuan bukan orang jahat." Jawabnya singkat.

Sebelun tengah malam, aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami berpisah di depan Ayasofya Camii, aku memberikan sejumlah uang atas tourguiding yang berkesan.

Satu hal yang aku pelajari malam itu.

"Kecantikan bukanlah alat untuk meraih segalanya. Karena ia bukan materi yang bisa dijual beli. Tak selamanya cantik itu perkara fisik."

Keesokan harinya aku mendatangi lagi tempat itu. Sudah tidak ada Aya disana. Tidak ada lagi perempuan dengan mangkuk plastik.

~doddy rakhmat
20.09.2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar