Rabu, 21 Oktober 2015

INTRO

'INTRO'

Kosong, tidak ada satu pun lagu di dalam ponsel maupun komputerku. Kalian tak perlu heran.  Aku memang tak menyukai musik. Namun sejak bertemu dengannya, aku belajar mencintai apa yang tidak kusukai.

"Lala!"

Seseorang meneriakkan namaku di tengah riuhnya Terminal Baranangsiang. Dari jauh, sesosok pria menggendong gitar di punggungnya. Berkali-kali, ia harus meminta maaf karena tak sengaja menyenggol, penumpang lain yang hilir mudik. Apalagi direpotkan dengan bawaannya.

"Akhirnya, kesampaian juga datang ke kota Hujan."

"Welcome to the roti unyil home" ujarnya berlagak menyambut turis. Aku tertawa, begitupun dirinya.

Hujan memang tak pernah meminta izin untuk turun, seperti sore itu. Baru beberapa puluh menit yang lalu datang, aku benar-benar diterima kota Hujan dengan baik.

Kami berlarian mencari tempat berteduh, Adie tak membiarkanku kebasahan. Ia mengangkat tas gitarnya untuk melindungi kami berdua dari guyura hujan. Ia mengajakku ke sebuah warung soto tak jauh dari terminal.

"Kamu dari Bandung belum makan kan?"

Aku menggeleng malu-malu. Beberapa orang juga menunggu di teras warung. Adie menarik lenganku. Kami melangkah masuk warung. Hidungku bersekutu dengan perut, menghirup aroma dari kepulan kuah soto yang menggugah selera.

"Ya sudah kita makan aja sekalian. Belum pernah nyoba soto kuning bogor kan?"

"Wah jadi gak enak, ngerepotin kamu, Die."

"No, I'm not." jawabnya sambil berlalu. Datar, tak berubah sejak dulu kalau menyikapi basa-basi.

Kami memilih meja dekat jendela, lampu warung temaram. Setidaknya ada cahaya dari luar dan pemandangan kota Hujan yang bisa kami nikmati. Mobil-mobil angkot yang berhenti mencari penumpang, suara peluit dari pengatur lalu lintas, dan juga tukang gorengan yang bersedekap di bawah payung tempat jualannya.

"Kamu jadi mau ambil penelitian di sini?" tanya Adie seraya mengaduk mangkuk sotonya.

"Jadi dong, nanti aku minta bantuan kamu ya. Nunjukin jalan di sini. Aku belum hafal, takut kesasar."

"Kan ada Google Maps, hehehe." candanya. Ya Tuhan, tawanya lebih renyah daripada bawang goreng yang jadi garnis soto dihadapanku.

Aku memukul pelan pundaknya. Ia berpura-pura mengaduh kesakitan. Oh, iya kalian pasti belum tahu siapa Adie. Dia tetanggaku saat di Bandung. Tapi ia pindah saat kami sudah SMA. Dia kembali ke kota kelahirannya. Bogor. Mengikuti Ayahnya yang dipindah tugaskan. Kami sudah sering belajar dan bermain bersama, mengelilingi setiap sudut kota parahyangan. Walau selalu berujung kemarahan oleh kedua orang tua kami

Lagu-lagu pop dari pengeras suara warung mengiringi percakapan. Adie menatap ke arahku, aku seolah tahu apa yang mau dikatakannya.

"Masih gak suka musik?"

Benar, tidak salah lagi tebakanku. Aku mengiyakan, suapan terakhir soto kuning pertama. Kandas. Tak tersisa. Segan aku untuk menambah, tengsin. Masa perempuan makannya banyak.

"Berarti kamu masih termasuk gadis langka." ujarnya.

"Kenapa begitu?"

Adie menyuapkan sendok terakhir. Membersihkan mulut dengan tisue ”makan. Ia lalu menjawab.

"Jelas langka. Di zaman iTunes, Dahsyat, Billboard seperti ini masih ada yang nggak suka musik."

Aku tertawa, tak sadar menimpuknya dengan tisu bekasku. Buru-buru minta maaf, ia malah balik tertawa.

"Ah mungkin sudah bawaan dalam gen ku, Die."

"Cepat atau lambat, kamu harus belajar menyukai apa yang kamu nggam sukai. Karena begitulah kehidupan sekarang ini, kita nggak pernah tahu ternyata dari hal yang tidak suka justru memberi manfaat lebih." Ia menjelaskan.

"Oke mas gitaris, berarti sudah suka sayur dong?" Aku menggoda balik bertanya.

Adie melihatkan mangkuk sotonya yang kandas. Aku paham. Itu artinya dia mau tambah. Bercanda, maksudnya dia sudah mau makan sayur. Kalau dulu, lihat timun di atas nasi goreng saja langsung di buang. Anti sayur banget lah.

Hujan telah reda. Aku meminta Adie mengantarkan ke tempat kos dimana aku harus tinggal selama sebulan untuk penelitian. Baru kali ini aku naik angkot di Bogor, tentu saja Adie kerepotan membawa tas gitarnya yang super besar itu ke dalam angkot.

"Kumaha yeu, nanti penumpang lain gak bisa masuk." ujar supir angkot sedikit kesal.

"Nanti saya bayar double kang, santai wae." sahut Adie.

Sesampai di kos yang terletak di sebuah komplek perumahan asri. Jalanan masih basah, malam belum terlalu larut. Adie tampak letih membawa tasgitarnya, jalan yang dilalui cukup terjal. Karena kontur daerah Bogor adalah pegunungan.

Aku menawarinya untuk singgah. Tapi dia menolak, gak baik main ke tempat perempuan malam-malam, ujarnya.

Dua minggu berjalan, penelitianku tentang kualitas air bersih di perkampungan warga sudah mulai menunjukkan kemajuan. Data-data sudah terkumpul. Tak jauh beda dari Bandung, di Bogor penduduknya juga ramah-ramah. Apalagi masih satu bahasa, jadi lebih akrab bawaannya.

Ponsel berdering, panggilan masuk dari Adie. Aku bergegas mengangkat meninggalkan sejenak kuisioner-kuisioner yang sedang kuperiksa.

"La, nanti kamu datang ke Taman Kencana ya. Kamu sudah tahu tempatnya kan?"

"Iya aku tahu."

"Apa mau dijemput?"

"Nggak usah. Emang disana ada acara apa, Die?"

"Acara manggung kecil-kecilan sih. Dari komunitasku. Seru deh."

Malampun datang, aku berdiri di depan kerumunan menghadap stage. Di tengah  panggung, Adie duduk hanya disorot lampu dari atas. Lampu lain dimatikan. Lalu ia mulai memetik gitar kesayangannya. Menyanyikan sebuah lagu dari Michael Buble. Home. Baru saja aku melihat video klipnya di tivi.

Maybe surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home..

Suaranya Adie begitu lembut tak jauh dari penyanyi Aslinya apalagi diiringi kepiawaiannya memetik senar gitar. Selesai penampilan, Adie mengajakku duduk di salah satu bangku taman. Ia membersihkannya sebelum aku duduk.

"Gimana penampilanku tadi?"

"Seperti biasanya"Aku mengacungkan dua jempol.

"Hai, Die!" Seorang wanita berparas ayu bak artis papan atas mengarah ke tempat kami, melambaikan tangannya. Mendadak, aku sedang dikhianati oleh ketidaktahuanku. Siapa dia? Tiba-tiba dia mencium pipi Adie mesra. Diam-diam ada gemuruh di dalam hati. Aku cemburu. Tapi kenapa aku cemburu?

"Hei kalian lagi kencan ya?" tanya lagi. Aku tersadar. Astaga, itu hanya lamunanku. Beruntunglah, Ya Tuhan kamu masih melindungi Adie dari godaan wanita lain, batinku.

"Eh, Amel. Long time no see. Sudah jadi artis ya sekarang." ujar Adie.

"Ah biasa saja. Oh iya ini siapa ya?" ujarnya sambil menoleh ke arahku.

"Kalian belum kenalan ya. Lala, ini Amel. Amel, ini Lala."

Aku setengah tak percaya, dihadapanku berdiri seorang aktris ternama negeri. Dan dia mengenal Adie. Luar biasa.
Ia mengulurkan tangan, aku terima seolah takut mengotori tangannya.

"Kamu ngapain ke sini, Mel?"

"Aku iseng aja. Mau survey lokasi buat syuting nanti. Eh, ketemu kamu deh, Die. Aku sempat lihat kamu tampil. Keren. Kenapa ga ke dapur rekaman aja sih?"

"Aku takut jadi Artis. Takut terkenal. Lagipula aku sukanya di dapur kosan. Banyak makanan" canda Adie. Disusul tawa Amel. Ia izin pamit karena dipanggil seorang laki-laki, kurasa sang manager.

Aku menggenggam erat tanganku sendiri karena kedinginan. Tiba-tiba tubuhku terasa hangat, jaket Adie telah berpindah tempat. Ia melepaskannya

"Kamu nanti masuk angin, Die."

"Gak apa-apa, ada si Jojo yang ngerokin kok. Kalau kamu kan jauh ga ada yang ngerawat kalau sakit.

"Kan ada kamu." Aku keceplosan.

Suasana canggung cukup lama.

Lalu ia memecah kebekuan.

"Ada sesuatu yang harus aku omongin malam ini ke kamu, La."

"Iya." Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Ibarat intro dalam lagu yang kumainkan. Kamu, ialah awal dari perjalananku yang panjang."

"M-maksudnya?" tanyaku tergagap.

"Karena kamu, La. Aku tak mau berhenti bermain musik. Agar kamu menyukainya, bahwa di setiap lagu selalu ada makna yang ingin disampaikan. Dan lagu tadi, aku mainkan spesial untuk kamu. Kamu, adalah rumah dari perasaan cintaku. Yang selalu membuatku ingin cepat bertemu." jawab Adie mantap.

How cute, isn't? Jantung berdebar tak seperti biasanya. Ada yang melesak dalam diri. Ingin rasanya memeluk langsung. Sebelum aku berpikiran ke sana. Tanpa kusadari, Adie telah mengecup pipiku sekejap. Membuatku terpana cukup lama. Pipi terasa hangat.

Hujan perlahan mulai turun. Bukan dari langit tapi dalam hati. Aku tak sedih, kurasa ini hanyalah kebahagiaan tak terbendung. Meluap-luap tak tertampung.

Ia tersenyum, sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tidak ada cela di setiap lengkung tipis bibirnya.

Adie, aku berjanji. Aku tidak hanya menjadi intro, tapi juga menjadi lagu yang kau nyanyikan sepanjang hidupmu.

****

Doddy Rakhmat
20.10.2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar