Rabu, 16 Desember 2015

Opor Kalkun

"Diam, Rani."

Kami mengendap-endap dari pintu belakang rumah Paman Wery. Menuju pekarangan luas sekaligus lumbung gandum. Di dekatnya ada kandang kalkun. Isinya puluhan ekor.

Setidaknya perayaan lebaran tahun ini, kami bisa menyantap opor kalkun. Paman Wery terlalu pelit dengan keponakannya sendiri. Untuk itulah aku dan Rani berniat meminjam kalkunnya satu ekor.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sana!" Paman Wery berteriak, berlari ke arah kami sembari membawa garu rumput.

Kami ketahuan, namun aku dan Rani berhasil membawa kabur satu ekor kalkun ke dalam keranjang yang ku gendong.

Berlari dan terus berlari, hingga kami menghilang di ujung jalan. Tibalah kami di rumah, Ibu menyambut dengan muka bersungut-sungut. Di sampingnya berdiri Paman Wery. Entah bagaimana dia bisa sampai lebih dahulu.

"Cepat kembalikan kalkun Paman Wery." ujarnya dengan nada kecewa.

Dengan pasrah, kalkun itu berpindah tangan pada sang pemilik. Aku menunduk malu.

Paman Wery bergegas pergi.

"Kenapa kalian mencuri kalkun itu?"

"Kami tidak mencurinya, Bu. Kami hanya meminjamnya." sanggah Rani

"Bohong."

"Benar bu. Kami hanya ingin keluarga kecil kita bisa menyantap makanan lezat. Sudah berminggu-minggu kita hanya menyantap gandum dan garam."

"Lebih baik ibu tidak makan daripada makan dari bukan hak kita."

Kumandang takbir menggema langit. Opor kalkun pudar dari harapan. Tetapi kami belajar bahwa demi membahagiakan orang lain tidaklah harus membenarkan segala cara.

~Doddy R
#FlashFiction

Tidak ada komentar:

Posting Komentar