Ada dirimu yang menyapa embun, memanggil bahagia. Kemudian aku tertawa , terluka dan berusaha melupakan senja. Karena saat senja, aku menemukan dirimu yang berbeda, semacam masa lalu yang tak layak dibawa ke masa depan.
Di antara kita, tidak ada yang benar maupun salah. Karena kita ialah makhluk penuh kesalahan dan berusaha selalu melakukan pembenara. Egois. Tidak ada yang mau mengalah. Aku tidak rela dirimu pergi jauh, pergi tanpa tujuan. Dan aku, belum tentu menjadi rumah untukmu pulang. Menjadi muara rindu-rindu yang kau tahan.
"Rana, mungkin aku memang bodoh." ucapmu kemarin malam
"Bodoh kenapa?"
"Aku bodoh, baru menemukanmu sekarang."
Kau baru menganggap dirimu bodoh, setelah mengenalku tiga tahun lamanya. Tidak ada orang yang benar-benar pandai di dunia ini, semua memiliki cela. Hanya saja, tinggal bagaimana cara menerima kekurangannya.
Kau tidak bodoh, Al. Sungguh. Aku yang mungkin salah bertemu denganmu di pekan raya saat itu. Di kala kemarau menyisa debu sepanjang jalan, air sungai yang mengering, di sela embusan angin malam, aku terjatuh dalam pelukanmu. Pasak yang membuatku tersandung seolah menjadi bagian takdir pertemuan kita. Kembang api menyala-nyala, aroma arum manis yang menyeruak, serta musik-musik gembira dari pengeras suara.
"Maaf, lain kali aku hati-hati berjalan." Buru-buru aku melepaskan diri dari dekapanmu.
"Tidak apa, Nona."
Aku masih menunduk malu. Tanpa melihatmu lagi, aku berpaling. Dan, kedua kalinya aku tersandung. Sekelebat, ada yang meraih tanganku, aku tidak jadi terjatuh. Mengejutkan, yang menarik tanganku itu adalah kamu, Al. Dan dirimu tersenyum, di balik bias senja. Membentuk siluet yang terekam dalam ingatan.
Setelah semua yang kita lalui, ternyata ini mungkin akhir dari hujan.
Karena kamu, aku belajar bagaimana jatuh hati. Dan denganmu lah, aku mendapati rasa patah hati. Memang bukanlah sesuatu yang kuharapkan, namun sejauh apapun diri menghindar, takdir dan kenyataan tidak pernah terelakkan. Kenapa kau tidak membiarkan aku jatuh ke tanah saja saat itu, Al? Kenapa? Bukankah lebih baik aku merasakan sakitnya jatuh di badan, daripada harus hatiku meradang sakit karena ucapan dan perasaan yang selalu melukai. Kau biarkan aku jatuh dan patah hati seorang diri.
Katamu, kau begitu menyukai senja. Begitupun pertemuan pertama kita. Untuk itulah aku datang ke tempat yang sama di penghujung waktu matahari bersinar, menutup mata dan menghirup nafas dalam-dalam. Saat membuka mata, semuanya menjadi gelap. Tidak ada lagi senja yang kutemui kala itu. Hanya ada malam. Namun senja selalu datang esok hari, tidak pernah bisa dihindari. Aku mulai menyadari. Bahwa luka ini bukan untuk dilepaskan, tapi didekap perlahan-lahan. Berdamai. Karena ia tetap bersemayam dalam ingatan.
~Doddy Rakhmat
17.11.2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar