Minggu, 30 Agustus 2015

Orang Asing (Episode 1 serial Ode dan Ara)

Ara, tunggu di halaman rumah. Aku akan menjemputmu sebentar lagi.
Aku mengirimkan pesan singkat kepada sahabatku yang tinggal di seberang jalan. Hai perkenalkan namaku Ode. Menyebutnya seperti huruf e dalam kata 'dengan'.  Aku menunggu di depan rumah Ara. Ia muncul dari balik pintu. Menemuiku penu riang seperti biasa.
"Angin hari ini kamu namai siapa De?" 
Aku bergumam, "Kemenangan. Giliranku, embun pagi kali ini kau sebut apa?"
"Rindu yang basah."
Ara menaiki sadel di belakang sepeda. Ia mengenakan topi rajutan berwarna biru muda. Senyum dua jarinya masih sama, tak berubah. 
"Hei, jadi berangkat atau tidak?" Ara menepuk pundak, mengagetkanku. 
"Eh, iya iya." Sahutku gelagapan. Bergegas mengayuh sepeda. Kayuhan pertama cukup berat. Aku menyeletuk,
"Makan apa sih Ra, rasanya makin hari makin berat."
"Ah masa sih... Aku kan sudah diet Ode." Ara menggerutu. 
"Diet gak minum kali ya, hehehhe." lalu Ara memukul pundakku. Kami menyusuri jalan komplek yang lengang. Hanya ada opa Afdi di perempatan jalan. Memotongi bonsai di halaman rumahnya. Seperti biasa kami berteriak memanggil seraya melambai tangan ke arahnya. Opa Afdi hanya menggeleng.  
"Kita kemana De? Cafe biasanya?" 
"Nggak lah, tungguin aja. Kejutan lah."
Ara diam saja tak menjawab. Ia memelukku lebih erat. Jalan sedikit berbatu dan terjal. Aku mengarahkan sepeda ke luar dari kota. Tak jauh dari sana, ada sebuah padang rumput yang luas. Sebuah pohon tumbuh dengan rindang. Daun-daunnya sesekali bergesekan terembus angin. Beberapa kayuhan terakhir cukup menguras tenaga. Kami naik ke sebuah bukit yang tak begitu tinggi. Beberapa kali hampir saja kami terjatuh.  
"Akhirnya sampai juga. Ta-daaaaa! Selamat datang kita yang baru!"  
"Wah, ada ayunannya juga." Ujar Ara sumringah. 
Sebilah papan yang diikat dengan dua tali menggantung di salah satu dahan pohon yang kokoh. Ara langsung menaikinya. Aku menyandarkan sepeda di pohon. Dan membantu mendorong ayunan perlahan.
Dari atas bukit itu, aku dapat merasakan angin. Kecintaanku. Mungkin di suatu pagi, Ara juga akan menemui embun-kecintaannya- di daun-daun pohon yang meranggas rendah. Acara menikmati angin disudahi oleh Ara dengan pertanyaannya. 
"Ode, bagaimana jika esok dunia hanya tersisa kita berdua. Hanya kita dan tidak ada siapa-siapa." 
"Hmm, pertanyaan yang cukup sulit. Kamu habis baca buku filsafat ya? " Jawabku terkekeh.
"Ih aku serius Ode." Ara kesal, memukul lenganku pelan.
"Bagiku itu sudah cukup. Karena yang dibutuhkan manusia adalah teman."
"Benarkah?"
"Ya. Karena teman adalah orang asing yang mempertaruhkan kepercayaannya begitu saja kepada orang yang bukan keluarganya."
"Hmm, jawaban yang bagus. Kamu menyontek dari buku siapa?" Ara seolah tak percaya dengan perkataanku. 
"Dari buku resep memasak Ara."
Ara tertawa, senyum dua jarinya tetap disana. Di paras wajahnya yang manis. 
"Nah, mari kita berjanji di bawah pohon yang aku tak tahu namanya ini. Bahwa apapun yang terjadi, kita tetap berteman."
"Janji."
Sehelai daun putus dari dahan, melayang jatuh di antara kami. Pertanda janji kami telah didengar oleh alam. Aku sedikit keras mendorong ayunan Ara, lalu bergegas lari meninggalkannya. Ia yang masih bersenandung, tak menyadari kepergianku. Dua kali hari itu aku membuat Ara kesal. Semoga esok dia tidak mengerjaiku. Semoga.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar