Manusia Salai
Aku tinggal di sebuah kampung bernama Salai. Sebut saja namaku Daja. Hanya perantauan yang mencoba peruntungan di negeri orang. Tepatnya di tanah Borneo. Sebenarnya kampung itu baru saja dinamakan demikian. Karena atas ide kepala desa yang sudah letih menghadapi musim baru di kampungnya itu.
Pagi, siang, malam. Di luar maupun dalam rumah kami semua harus menghirup asap nan pekat. Warnanya tak lagi putih melainkan kuning. Seperti warna langit senja. Padahal pagi baru beranjak menuju siang. Kemana-mana warga kampung tak peduli lagi dengan masker atau semacamnya. Asap-asap itu ibarat oksigen yang hilir mudik di paru-paru mereka. Beberapa kadang terbatuk-batuk, kerongkongan perih, atau mata memerah. Termasuk aku.
Sepulang dari mengurus ladang untuk ternak, aku singgah di warung kopi Bang Jo. Segelas kopi hitam pekat dengan kue basah di atas tampah semakin nikmat dilengkapi dengan bincang-bincang.
"Daja, di daerahmu dulu pernah kena asap seperti ini juga?"
"Wah ndak pernah sama sekali bang."
"Beruntungnyalah kalian di pulau seberang sana ya. Lama-lama kami disini jadi manusia salai."
"Kenapa begitu bang?"
"Habisnya kami diasapi mulai pagi sampai malam, hahaaha." Bang Jo tertawa. Tidak lucu, tapi ia menertawakan kenyataan yang harus dihadapi. Dan satu-satunya cara ialah dengan tertawa, mengadu ke pak lurah pun percuma. Karena Jawabannya pun teramat pasrah, "Kita tunggu saja pemerintah membuat hujan buatan. Sementara kita hidup seperti biasa saja."
"Dan kau tahu apa yang lebih menguntungkan dari asap begini Ja?"
"Apa itu bang?"
"Aku bisa menghemat rokok, tinggal hirup saja asap yang ada. Sama toh?, hahahahaha" Sekali lagi Ia tertawa. Aku hanya menyengir.
"Kenapa ya pemerintah sini, tak usahlah kita bilang pemerintah pusat nun jauh disana. Tidak cepat menindak si pembuat asap ini. Logikanya kan sederhana, ada asap ada api. Darimana mereka berasal tentulah dari sesuatu yang dibakar. Apa mungkin apinya tidak kelihatan ya, menjalar di bawah karena ini tanah gambut?"
"Entahlah Ja, kurasa mereka bernafas tak lagi pakai paru-paru dan hidung, hahahaha. Dan kurasa api itu juga bukan hanya membakar lahan saja. Tapi diam diam juga rasa peduli mereka."
Mungkin perlu bergelas-gelas kopi di warung Bang Jo berdebat perihal siapa yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa kampung kami. Tidak akan ada habisnya.
Entahlah berapa lama lagi kami bertahan di kampung ini, kudengar di daerah kota semakin parah. Itu berarti tidak ada tempat untuk sembunyi atau menghindar. Aku menobatkan asap menjadi Massive Silent Killer, aku suka pelafalannya. Sisa-sisa pelajaran bahasa inggris melekat di pikiran. Tak rugi aku berpendidikan.
Dan di luar sana jauh dari kampung salai aku percaya, tentu masih banyak orang berpendidikan yang tidak berdiam diri saat saudaranya dibunuh pelan-pelan. Dibunuh oleh ketidakpedulian, keserakahan dan ketamakan. Asap.
~doddy rakhmat
27.09.2015
asap di kalimantan dan riau memang parah ya :( Kemarin sempat ngerasain sendiri pas jelajah borneo :|
BalasHapus