Rabu, 30 September 2015

Lima Menit Selamanya

Telepon itu berdering.

Suasana gelap gulita dan gema pengeras suara dalam ruang bioskop menenggelamkan nada ponsel, tapi aku merasakan getaran. Aku mengeluarkannya dari saku celana.

Dari Mama.

Harus kuangkat, pasti penting. Selarut ini dia menelpon, tentunya bukan hal remeh temeh. Beberapa detik kemudian layar gelap. Proyektor dimatikan. Dua kali aku menonton di bioskop ini dan memang di setiap pertengahan film selalu ada jeda lima menit. Entah itu untuk mempersilahkan penonton ke kamar kecil atau kepentingan lainnya.

Aku punya waktu lima menit.

"Halo Zid."

"Halo, iya ma."

"Kamu sehat-sehat saja kan?"

"Sehat ma, mama belum tidur jam segini?"

"Mama tak bisa tidur. Bayangan Ayahmu selalu ada. Mama kesepian."

Orang yang duduk disampingku memasang sikap seolah ingin tahu pembicaraan yang berlangsung. Hei bung, dimana sopan santumu. Menguping sama saja dengan mencuri, umpatku dalam hati. Aku memelankan suara.

"Mama kan sedang bersama Ayah. Kenapa harus tak bisa tidur?"

"Kemana saja dirimu Nak, atau apa yang terjadi dalam hidupmu?"

"Apa maksud Mama? Aku tak paham."

Mama menghela nafasnya, "Ayahmu sudah tidak ada.

"Mama tahu kamu sedang menonton di bioskop. Melihat gambar dirinya di layar itu. Tapi terimalah Zidan, Ayahmu sudah tak ada. Kamu pulang ke rumah ya nak." Ujar Mama membujuk.

Empat menit tiga puluh detik.

"Mama sedang tidak bercanda kan, bagaimana mama tahu aku sedang di bioskop?"

"Nak, mama selalu mengkhawatirkan anak laki-laki yang setiap malam keluar, ke tempat yang sama, menonton film yang sama, hanya untuk mendengarkan suara dan gerak gerik Ayahnya di sebuah layar lebar. Dan kamu tidak sedang menonton sendirian kan?"

"Tidak ma, ramai sekali yang menonton disini."

"Sampai kapan kamu mau menyendiri Zidan, luka itu tidak akan sembuh bila dirasakan sendiri tanpa ada yang mengobati."

Lima menit tepat.

Aku termenung lama, suara Mama lamat-lamat menjauh. Ternyata layar dihadapanku sempurna gelap, lampu ruangan nyala sedari tadi. Tinggal aku sendirian. Ternyata aku tidak sedang menonton. Aku hanya sedang berdamai dengan kenyataan.

Kadang kita tidak serta merta menerima sebuah kenyataan dengan begitu mudah. Sakit, pedih, perih menyayat hati tak terperi. Tapi ingatlah pepatah lama, semua rasa sakit ada penawarnya. Penawar itu bagiku ialah memberikan perhatian untuk orang yang masih peduli dengan adanya kita. Kita tidak pernah benar-benar sendirian.

~doddy rakhmat
27.09.2015

2 komentar: