Rabu, 21 Oktober 2015

Karam

'Karam'
Ada delapan lembar foto berukuran kecil. Pas untuk di dompet, lalu kita sepakat membaginya sama setengah. Berjanji selalu menyimpannya. Sampai kapanpun, akan tersemat di sana.
Dan di danau inilah pertama kali berjumpa, aku memandangi kembali bergantian foto-foto kita berdua. Ada luka yang menyelinap hati. Tak terasa pipi membasah, beberapa penumpang menoleh. Cepat-cepat aku menyembunyikan wajah sedih.
Matahari membayang permukaan danau. Memecahnya menjadi kilau jingga. Sebentar lagi ia tumbang berganti bulan. Begitupun perahu yang mengantarku sekarang, tidak ada yang berani berkeliling danau di kala malam. Pikiranku melayang ke sebuah restoran seminggu yang lalu.
"Kita putus."
Dua kata yang teramat sakti, membuat sakit hati bagi para penerimanya. Bagai saklar yang mudah  dihidupmatikan, begitukah menurutmu?
Acapkali melihat foto kita yang tersenyum bahagia, tak pernah terlintas bila kau memberi luka padaku.
"Leo, bisakah kau jelaskan mengapa hubungan kita ini harus berakhir?"
Pemuda yang baru saja menyelesaikan gelar sarjana itu mengabaikan pandanganku. Titik air melukis jendela, hujan di luar sana. Juga hujan di dalam hati.
Tanpa memandangku, Kau malah menjawab dingin, "Aku harus pergi ke luar negeri, Patira."
Aku terhenyak, bukan alasan yang cukup menyudahi hubungan delapan tahun lamanya. Tak penting hadiah atau benda yang kami saling berikan, namun waktu. Ya, dua insan yang telah saling mengasihi, akan rela mengorbankan waktunya untuk orang yang mereka cintai. Itu lebih berharga dari apapun. Akhir yang tak menyenangkan hanya menyisakan belati yang menancap di hati. Bahkan aku sendiri tak sanggup mencabutnya.
"Bukankah kita bisa menjalani hubungan jarak jauh?" tanyaku sekali lagi untuk meyakinkanmu.
Kau masih membuang wajah.
"Aku tak bisa."
"Kamu pasti bisa, Leo. Kamu hanya perlu percaya padaku."
Nada suaramu meninggi, "Aku tak mau disiksa oleh jarak."
Dirimu menggebrak meja. Pengunjung yang lain tentu saja terkejut. Kau melangkah pergi menerabas hujan. Membiarkanku sendirian, menangis tersedu tanpa sebuah kepastian jawaban.
Danau kala senja itu menjadi saksi bisu, aku telah mengaramkan kenangan tentangmu. Tentang kita. Empat foto itu pupus semakin jauh ke dasar danau. Dalam genggaman tanganku. Entahlah, apakah engkau masih menyimpan empat lembar lainnya di sana?
~Doddy Rakhmat
19.10.2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar