Kamis, 21 April 2016

Filosofi Patah Hati

Hujan gerimis turun dari langit dan dari matamu, kesedihan tak teramat mudah ditaklukan hanya dengan tangisan. Kadang kau hanya diam. Menatap bulir air jatuh menerpa daun bonsai teras rumah yang lama tak dipangkas.

Kopi yang kau seduh tetap pahit walaupun setengah toples gula sudah kau campur ke dalamnya. Dan tatapanmu masih nanar. Tegukan kesekian kau memilih meringkuk di bawah selimut. Buku-bukumu berserakan dan terbuka pada halaman-halaman yang bercerita tentang kepiluan. Ketika kita patah hati kadang kita bukan mencari cara untuk mengobati. Namun membiarkan perih itu sembuh dengan sendirinya dan mengajak semesta untuk ikut merayakan. Kau tak ingin merasakannya seorang diri.

Kita sama sama jatuh cinta dan patah hati. Aku mencintaimu tapi kau mencintainya. Kau tak pernah tahu hal itu. Mengagumi dari kejauhan, kau yang dirundung kegelisahan, aku tersenyum tipis. Masih adakah celah yang dapat kususupi ke dalam hatimu?

Kau mungkin juga tidak tahu, pria juga pernah patah hati. Hanya saja mereka berpura-pura untuk tabah. Mereka cepat tertawa bersama teman-temannya padahal semua yang dilakukan untuk menghibur dirinya sendiri. Aku tidak termasuk dalam golongan itu. Aku lebih memilih mengurung diri dalam kamar. Menuliskan puisi-puisi cengeng, mendengar lagu-lagu luar negeri yang menyayat hati lalu meminum secangkir cokelat hangat. Dan mulai melupakan.

Dari balik jendela, memandangmu, aku berdiri tegak. Tapi sesungguhnya aku sedang terduduk di dasar jurang.

"Karena patah hati membuatmu dua kali lebih hebat saat jatuh cinta (lagi) nanti"

*****

Flashfiction ini dibuat untuk challenge dari tututlaraswati03.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar