Kamis, 24 Maret 2016

Pujangga Lantai Dua

Orang-orang memanggilnya Pujangga Lantai Dua. Hampir setiap malam dari kamarnya terdengar sajak-sajak pilu. Kata-kata yang dipilihnya tak jauh dari kesedihan atau kegagalan. Aku curiga ia tenggelam dalam patah hati tak berkesudahan.

Sebagai tetangga, aku pernah sekali berbincang dengannya. Dan ia bercerita banyak hal yang memikat hingga aku bingung untuk memutuskan jatuh cinta padanya atau tidak. Malam dituruni gerimis, teras rumah terasa sejuk. Pemuda itu keluar dari pintu rumah.  Membawa sebuah buku bersampul abu-abu. Ia mengenakan kaus abu-abu berpadu dengan celana panjang kotak-kotak semata kaki.

Aku menawarinya minum teh jahe dan semangkuk mie rebus pedas. Ia tak menolak. Malam itu ia tidak membacakan sajak-sajak.

"Aku membeli buku-buku itu dari bayaran manggung yang tak seberapa. Hanya ada 12 buku puisi yang tersusun dalam kamarku. Semua kuletakkan dalam rak berbentuk dahan pohon yang meranggas mengarah ke jendela. Aku punya empat jendela mata angin. Di setiap dinding kamar, aku memiliki satu jendela. Karena aku menyukai lanskap kota tua ini. Kota penuh kepedihan hidup."

"Kau tahukan orang-orang memanggilmu di sini apa?"

"Pujangga lantai dua. Benar kan?"

Aku mengangguk. Ia balik bertanya, "Menurutmu apa yang kau ketahui dari istilah pujangga?"

Dedaunan pohon tertiup angin. Suasana teras semakin senyap. Hanya ada suara jangkrik sayup-sayup dari semak belukar.

"Pujangga menurutku adalah manusia sok bijak yang hobinya bersajak."

"Hmm, terdengar menarik." Ia mengagumi jawabanku. Tatapan matanya seolah menarik keluar kebohongan.

"Aku penasaran dengan apa kau menafkahi kebutuhan sehari-harimu?"

Ia mengalih pandangan sejenak ke arah tumpukan kue kering di meja. Lalu ia mengambil satu dan menggigit perlahan. Seolah mencipta jeda untuk berpikir.

"Aku membacakan puisi-puisi di radio. Di acara kampus. Atau kalau lebih beruntung diundang ke festival."

Aku menaikkan alis, "Cukupkah?"

Ia tertawa renyah, "Tentu saja. Walau aku harus mengurangi jatah makan malamku."

Aku balik tertawa, "Beruntung sekali malam ini dapat mie rebus dariku kan?"

Ia hanya mengangguk sembari meneguk teh jahe buatanku. Matanya teduh. Aku buru-buru membalik pandangan saat ia memergokiku menatap dirinya.

"Apa hal yang paling membuatmu bahagia di dunia ini?"

Ia mendeham. "Menuliskan puisi dengan hati untuk orang yang kucintai. Lalu membacakannya lirih."

*****

Aku mungkin jatuh hati padanya. Bukan karena kisah hidupnya yang terkatung-katung di antara sajak-sajak yang dituliskannya. Tapi kepada cara ia menatapku dalam-dalam. Memberi ruang terbaik kepada wanita yang ingin tinggal dalam mata teduhnya.

"Bisakah kau buatkan satu puisi untukku?"

Pemuda itu menoleh dan meletakkan mangkuk mie rebus ke meja.

"Kamu mau aku buatkan?"

"Tentu saja, dengan hati ya."

~Doddy Rakhmat
24.03.2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar