Minggu, 01 Februari 2015

29 Februari

Awal tahun 1984

Malam itu langit dimeriahkan oleh kehadiran bintang yang tak terhitung. Hutan hujan dibawahnya tampak terang dengan cahaya sang bulan. Terpantul sebuah siluet manusia yang berdiri menghadap hamparan air. Siluet itu menatap ke arah bayangan bulan yang terombang-ambing indah di atas permukaan danau.

Siluet itu menghilang, hilang karena permukaan air pecah karena botol botol kaca. Hanyut bersama arus danau yang tenang. Hari sudah larut, tidak ada orang lagi selain dirinya duduk di tepian danau beratapkan langit malam yang megah. Suara jangkrik bersahutan, sayup sayup kejauhan terdengar lolongan serigala menyibak rimbunnya hutan.

Ia tidak takut, sudah terbiasa bagi dirinya mendengar simfoni malam seperti itu. Untuk kali ini semua terasa sangat berbeda. Perlahan menurunkan kakinya ke dalam air, berjalan menuju ke tengah, kemudian ia menghanyutkan diri mengejar botol-botol kaca yang dilepaskannya beberapa saat lalu. Berenang, bersama hening malam.

Tak beberapa lama, deburan air mendadak riuh. Tidak jauh ia berenang dari tepi danau, kakinya tersangkut dengan tanaman danau yang merambat dibawah air. Segenap tenaga ia curahkan untuk melepaskan dari jerat tersebut, tapi tak mampu. Yang ada hanya kecipak air semakin riuh, dan teriakan minta tolong timbul tenggelam.

Gelap.

*****
Matahari memeluk bumi. Hangat menerpa paras wajah yang lelah. Menelisik dari celah jendela, sepoi-sepoi angin beranjak ikut masuk ke ruangan berdinding kayu.
Akhirnya kau siuman nak suara penuh kekhawatiran menyambutnya pagi itu
Paras manis yang terbaring lemas di sisi Ibu nya itu sudah tampak sedikit segar.
Fatamorgana Waruna.

Tulisan di atas pintu kamar bagian dalam tersebut pertama kali yang di baca si Gadis berparas manis itu ketika mencoba untuk bangun. Sang Ibu membantu.
Waruna, kamu selalu saja membuat ibu mu ini khawatir Nak ujar Sang Ibu
Gadis itu diam saja, sedang mengumpulkan kesadarannya

Waruna memegang kepalanya, mengeluh sakit. Sang Ibu mengusap kepala anak gadisnya tersebut dengan lembut, merapikan rambut sebahu yang sedikit berantakan.

Sebaiknya kamu istirahat Nak, ibu sudah buatkan jahe hangat untuk kamu. Diminum ya  seraya mengecup kening Waruna
Sebelum keluar dari kamar, sang Ibu kembali memperingatkan,
Ibu tidak mau kamu keluar malam-malam ke tepi danau lagi. Berbahaya buat kamu dan juga tidak baik untuk kesehatan
Pintu kamar ditutup, mengeluarkan suara derit halus antara gesekan lantai dan pintu.
Waruna kembali merebahkan diri setelah meminum separuh gelas minuman jahe buatan sang Ibu.

********

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Jelaskan aku hakikat cinta
Karena cinta yang kurasa
Sepertinya berbeda dari orang yang lain punya
Apakah cinta itu tentang memiliki?

Setiap malam, saat bulan menampakkan diri. Selalu ada kata-kata yang dibubuhkan oleh Waruna untuk Dewi Bulan dan Danau. Tak terhitung sudah berapa kalimat yang ia tuliskan, dalam lima tahun terakhir sejak tinggal di tepian Danau jauh dari keramaian, jauh dari masa-masa pedihnya kehilangan.

Pada awalnya Waruna merasa hidup dalam pengasingan. Semenjak kepergian ayahnya, ia menjadi gadis pemurung, sejatinya tidak terpancar dari raut wajahnya yang manis. Waruna mulai menyukai rumah kayu yang ia tinggali bersama ibunya itu saat ia tak sengaja, setela  tidak keluar rumah dalam waktu lama. Tidak jauh dari rumahnya tersebut, ia mendapati sebuah danau yang tidak terlalu luas. Danau tersebut dikelilingi pepohonan cemara.

Waruna menyalahkan dirinya sendiri karena selama ini ia tidak menyadari berada ditengah semesta yang begitu indah. Sang Ibu sudah sering menasehati dirinya agar tidak keluar malam hari. Binatang buas banyak berkeliaran, juga para perampok yang berpinda-pindah dari hutan ke hutan. Sangat berbahaya.

Malam, waktu yang tepat untuk melepaskan segala gundah perasaan. Malam begitu tenang untuk mendamaikan hati dan pikiran bersama Dewi Bulan dan Danau. Menghanyutkan segala kerisauannya itu dalam botol-botol kaca. Semacam ada kelegaan yang dirasakan.
Itulah alasan Waruna sering keluar rumah di malam hari. Mendengarkan simfoni malam, memandangi langit, dan memberanikan diri berenang di danau malam hari.

Tidak ada ketakutan yang terpancar dari matanya yang sayu.
Saat tengah malam, Waruna kembali ke rumah. Tentunya selalu dalam keadaan basah kuyup.

***********

Prangggg!!!

Suara vas bunga jatuh pecah dilempar ke dinding. Rambut dan wajahnya kusut tak beraturan. Matanya tak menampakkan seorang gadis berparas manis. Ia berubah menjadi kebalikannya. Waruna mengidap sindrom Bipolar disorder. Suatu sindrom dimana penderita mengalami perubahan mood yang dramatis, mudah marah dan tersinggung. Karena mereka jauh dari kota, dan tidak cukup biaya untuk menemui dokter kejiwaan yang sangat jarang di daerah tersebut . Sang Ibu yang seorang penjahit hanya mengerjakan pesanan baju yang tidak banyak. Pesanannya itu didapatkan setiap pergi ke kota di akhir pekan.

Sang Ibu selalu memeluk erat anaknya tersebut untuk menenangkan, membiarkan Waruna meraung-raung dalam peluknya. Menangis bercampur marah-marah. Berteriak-teriak ingin ayahnya kembali.
Sang Ibu hanya menangis dan memeluk lebih erat. Membiarkan gemuruh perasaan anaknya itu meredam sendiri. Dulu sang ibu selalu membujuk agar anaknya itu diam. Telinga Waruna seperti disumpal oleh kesedihannya yang mendalam, kemarahannya yang begitu luar biasa. Tidak ada seorang pun dimuka bumi ini, rela ditinggal pergi oleh orang yang ia cintai. Sudah menjadi sebuah korelasi dimana setiap kepergian akan selalu ada peratapan. Kesedihan menghujam. Kemarahan akan ketidakberdayaan untuk menahan kepergian.

Tepat saat Waruna hari kelulusan sekolah menengah atas, Ayahnya berjanji akan menghadiri acara kelulusan anak semata wayangnya itu. Namun sampai acara selesai sang Ayah juga belum datang. Tak berapa lama Waruna mendapat kabar bahwa ada sebuah kecelakaan berantai tak jauh dari sekolahnya. Pengendara sepeda motor yang mencoba menyalip bis didepannya itu tergelincir dan seketika bis yang berusaha menghindar dari motor tersebut membanting setir sehingga terhempas ke luar jalur.

Semua kejadiaan naas tersebut tepat di atas jembatan,  bis menabrak pagar jembatan yang terbuat dari kayu dan terjun bebas ke sungai. Ia tahu Ayahnya menaiki bus tersebut dari desa mereka tinggal. Waruna yang bahagia beberapa saat lalu, seketika lemas. Hanya ada satu bis yang ditumpangi untuk menuju ke sekolahnya dari tempat Waruna tinggal. Kecelakaan itulah yang menyebabkan keterlambatan sang Ayah. Sang Ayah pergi untuk selamanya.

Hari itu.

Tanggal 29 Februari 1980, tanggal yang tak pernah dilupakan oleh Waruna.
Saat itulah Waruna berubah.

Tangis Waruna mereda. Ruang tamu sudah berantakan tak berbentuk. Sang Ibu menuntun dirinya ke dalam kamar. Mendamaikan hati dan pikiran.

*********

Akhir Februari 1984

Hembusan angin membelai lembut Waruna. Tak ada lolongan serigala, jangkrik pun tak bersuara. Hanya menyisakan keheningan antara dirinya dan semesta. Memandang jauh hingga bibir danau seberang.

Trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu, Waruna membuyarkan pikirannya sendiri dengan membalik badan menjauh dari danau. Naas. Kakinya tergelincir, terhempas seketika ke danau. Lagi, kejadian itu kembali terulang. Kali ini tidak sengaja.

Teriakan minta tolong bercampur riuh kecipak air. Waruna teringat pesan sang ibu, mungkin ini jawaban dari kesabaran ibu selama ini. Keluar diam-diam malam hari bukanlah hal yang baik, terlebih tanpa sepengetahuan ibu.
Kemudian gelap.

******

Pagi mendung, belum terlihat sinar sinar jingga menerabas awan.
Antara hujan atau tidak. Mendung menawarkan kebimbangan.

Sama seperti yang dirasakan seorang pemuda yang duduk bersama ibu Waruna, merasa dirinya tidak ingin berlama-lama tapi sekaligus ingin mengetahui keadaan gadis yang di selamatkannya tadi malam. Akhirnya ia memilih pergi meninggalkan rumah tersebut, memohon pamit dan hanya meninggalkan nama, Dwipa.

Waruna bangkit dari tempat tidurnya, melihat sepintas kalender yang tergantung penuh coretan di dinding kamarnya. Ada sebuah tanggal dilingkari besar dengan tinta merah, tanggal 29 Februari. Berarti sudah 4 tahun lalu kepergian ayahnya. Tergesa-gesa keluar dari kamar, Waruna sudah berkeringat dingin, melihat tanggal itu hanya memperburuk perasaannya saja. Menjumpai sang ibu yang sedang duduk dengan dua gelas teh masih mengepul di atas meja.

"Ada tamu bu?" tanya Waruna sambil memegangi pintu rumah
Ibunya menghela nafas, mengangguk.
Waruna ingin tahu, ia segera duduk di samping ibunya
"Siapa?"
Ibunya masih membuang pandangan ke depan, menjawab dengan sedikit nada kecewa

"Yang menolongmu tadi malam"

Timbul lebih banyak pertanyaan di benak Waruna. Sang ibu beranjak pergi masuk ke dalam rumah. Meninggalkan anak gadisnya dengan pertanyaan yang belum sempat terucapkan dan juga setengah gelas teh yang sudah diminum. Diminum oleh sang penyelamat.

********

29 Februari kali ini sungguh berbeda. Segan Waruna menanyakan lebih lanjut ke sang ibu. Rasa bersalah masih menyelimuti dirinya, sudah terlalu banyak nasehat ibunya yang dilanggar. Waruna lebih memilih menyimpan pertanyaannya dalam diam, mungkin Sang Dewi Bulan dan Danau bisa memberikan jawaban.
Malam menjelang, cahaya lilin menerangi kamar Waruna. Fatamorgana. Seolah-olah nyata tapi tak pernah ada.

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Jelaskan kepadaku hakikat pertemuan
Bukan pertemuan fisik tapi tentang perasaan
Perasaan ingin tahu

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Jelaskan kepadaku siapa penyelamat itu
Mungkin untuk kedua kali ia menyelamatkanku
Aku tak pernah tahu

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Pertemukanlah aku dan sang penyelamat itu
Di bawah bulan dan di atas danau milikmu

Waruna mengeluarkan salah satu botol kaca dalam kardus di bawah tempat tidurnya, botol yang ia dapatkan kota jauh dari tempat ia tinggal. Hanya surat-surat istimewa yang berhak mendapatkannya, khusus untuk Dewi Bulan dan Danau. Menggulung surat tersebut hingga kecil, memasukkannya dalam botol kaca tersebut dan menutupnya rapat-rapat.
29 Februari terlewati dengan tanda tanya.

Jauh di seberang danau, bunyi kampak menghantam kayu menggema ke sudut danau. Seorang pemuda sedang menyeka peluh yang membasahi wajah berjambangnya. Mungkin sudah ada puluhan kayu dibelahnya sejak tadi pagi, sebelum embun jatuh dari dedaunan.

Desir angin menelisik di rerimbunan pohon cemara sekitar rumahnya, dengan kampak itulah ia menyambung hidup. Tinggal sebatang kara, tak ada sanak famili lagi. Wajahnya menunjukkan tak lagi sesuai dengan usianya. Menghidupi diri sendiri tak ada yang bisa diajaknya berbagi. Berbagi kisah atau setidaknya keluh kesah yang ia rasakan.

Dwipa tuna aksara. Ia tak bisa membaca. Yang dia tahu hanyalah mengumpulkan uang-uang sen yang diterimanya dari menjual kayu bakar. Belakangan ini setiap pagi, sebelum ia mulai bekerja. Dwipa menemukan botol-botol kaca terombang-ambing yang di tepi danau depan rumahnya itu. Mengambilnya dari danau dan menyimpannya dalam sebuah peti kayu di gudang rumah. Sesekali di antara botol kaca tersebut menggoda hati kecilnya untuk membuka. Tapi ia tidak berani, ia mengingat betul pesan dari orang tuanya yang terakhir.

"Dwipa, Jangan pernah sekalipun mengambil hak orang lain baik itu dari orang yang kenal bahkan tidak dirimu kenal. Kejujuran itu datangnya dari diri sendiri bukan karena dinilai orang lain"

Sesampainya suatu hari, Dwipa berkeliling hutan saat hari menjelang senja. Kayu kayu hasil pencariannya satu hari itu digendong dalam keranjang besar. Tubuh Dwipa tetap tegap walau beban setiap hari dipikul pundaknya. Badannya yang tinggi membentuk siluet panjang di jalan bebatuan tepi danau. Sampailah saat itu, ia mendengar bunyi kecipak air yang riuh dari danau. Segera dirinya mendekati arah suara, tapi Dwipa malah panik. Teringat dirinya tak bisa berenang. Dwipa berpikir cepat, ada nyawa yang harus segera diselamatkan.

Dwipa melepaskan gendongannya dan berlari sekencang-kencangnya menuju danau. Melompat tepat di samping riuh kecipak air bersama sebatang kayu yang ditemukannya di tepi danau. Ia tahu jenis kayu tersebut bisa mengapung.

Berbekal keberanian, Dwipa menyelam membantu melepaskan sulur yang menjerat gadis itu. Selang beberapa saat, gadis itu dapat berenang bebas. Dwipa menjejakkan kakinya keras-keras secara bergantian agar dapat sampai permukaan kembali. Gadis itu pingsan. Dibantu Dwipa yang setengah panik takut dirinya juga ikut tenggelam, ia berhasil menyilangkan tangan tangan gadis tersebut di kayu mengapung. Bersama dirinya ikut memegangi kayu dan mendorongnya ke tepi danau, perhitungannya tak meleset. Kayu itu tetap mengapung walau dibebani dengan dua orang.

Mereka berdua tiba di tepi danau. Dwipa dua kali lebih panik. Bagaimana dengan keadaan wanita tersebut, ia belum pernah menolong orang tenggelam sebelumnya. Merebahkan dirinya yang sudah basah kuyup, memandangi langit malam. Pikirannya berkecamuk. Akhirnya Dwipa berteriak minta tolong. Tidak ada pilihan lain. Dari kejauhan, lari tergopoh-gopoh seseorang dengan lampu minyak di tangannya.  Seseorang yang sangat mencemaskan putrinya, sang ibu.

Lamunannya buyar saat mendengar suara barang pecah belah jatuh dari gudang. Bergegas ke arah bangunan belakang rumahnya tersebut. Dwipa mendapati salah satu botol kaca tersebut sudah pecah berkeping-keping di lantai gudang. Merasa tidak enak hati, akhirnya Ia memutuskan harus mencari tahu pemilik semua botol kaca itu. Seraya membersihkan pecahan kaca, kertas yang tergeletak di lantai tersebut diambilnya dan dimasukannya ke dalam lemari. 

************

Agar memudahkan dirinya melintasi danau untuk mencari kayu bakar di sisi lain danau.  Dwipa membuat sebuah sampan kecil, berharap lebih banyak hasil yang ia bawa.

Suatu senja, Dwipa mencoba sampan kecil nya tersebut, mulai mendayung membelah permukaan air danau. Sambil membawa botol-botol kaca yang tak tahu tuannya.

Mendekati tepi danau seberang dari tempat tinggal dirinya, Dwipa yang sedang mendayung pelan terkejut melihat dari kejauhan seorang gadis, berdiri di tepi danau sambil melepaskan botol-botol kaca sama seperti yang dibawanya saat itu. Segera ia mengarahkan sampan ke tepi danau, dan mengangkat botol-botol kaca dalam kotak kayu tersebut mendekati gadis tersebut.

Waruna melihat pemuda yang sangat hati-hati membawa kotak kayu tersebut sedikit takut bercampur bingung. Tidak pernah ia bertemu dengan seorang pun di tempat ia sering menikmati indahnya semesta saat malam. Takut pria itu menyakiti dirinya dan juga bingung dengan apa yang dibawa oleh pria kurus tinggi tersebut.

"Maaf, kalau saya boleh bertanya. Apakah betul ini barang-barang kamu?" tanya Dwipa sambil membuka kotak kayu

Waruna menutup mulutnya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu, botol-botol kaca yang sama persis dengan dipegangnya sekarang. Darimana pemuda itu mendapatkannya, itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh Waruna. Menatap pemuda itu penasaran.

"Saya menemukan botol-botol kaca ini di depan rumah di sisi barat danau ini, tapi saya tidak bisa membukanya" jawab Dwipa
Dwipa melanjutkan seraya mengeluarkan kertas yang masih tergulung dari saku bajunya.

"Mohon maaf saya tidak sengaja memecahkan satu botol kaca ini. Dan ini kertas yang ada di dalamnya"

Waruna membuka gulungan tersebut dan membaca tulisannya sendiri,

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Pertemukanlah aku dengan orang yang menyelamatkanku
Siapapun dia, ia pantas mendampingiku di sisa hembus nafas ini

Senja begitu cepat berubah menjadi malam. Bintang-bintang hadir lebih banyak meramaikan langit malam itu, tidak ada awan-awan penghalang.

"Apakah kamu mengenalku?" tanya Waruna

Dwipa mengangguk.

"Aku bertemu denganmu, tepat di sisi danau ini. Tanpa tahu siapa dirimu, karena yang kutahu hanyalah seseorang yang berteriak minta tolong  dari permukaan danau"

Sekejap hening. Angin berbisik lembut, seakan menjawab semua pertanyaan.

********

Sebuah kalender meja mendampingi Waruna tenggelam dalam imajinasinya,  menulis surat untuk Dewi Bulan dan Danau. Sama seperti dahulu.

Wahai Dewi Bulan dan Danau
Telah kau pertemukan aku dengannya
Dibawah bulan di atas danau
Engkau telah menjawab suratku

29 Februari 1988

Terdengar bunyi langkah mengarah dari belakang Waruna, sesosok pemuda yang dikenalnya beberapa tahun lalu tanpa sebuah perkenalan, memegang pundaknya dengan mesra. Waruna berhenti menulis.

Waruna balik menoleh, memandangi tatapan teduh dari pemuda di belakanganya. Terlukis lengkung tipis di paras keduanya. Saling melempar senyum bahagia.

Dalam hatinya membisik,
 
Dwipa, aku tidak sedang mencari tapi menemukan. Menemukan hakikat sejati tentang cinta. Menemukan orang yang tepat untuk menerima sisa hidupku ini.

Saat itu, empat tahun yang lalu. Mereka berpisah untuk bertemu.

Bertemu untuk selamanya.

DR

2 komentar: