Selasa, 10 Februari 2015

Telfon untuk Ayah

Semua tentang jarak, rindu dan kasih sayang sejati

Sudah lama berhubungan jarak jauh dengan ayah. Hampir lima tahun aku dan ayah berpisah. Berpisah karena aku pergi bekerja merantau ke negeri orang. Berada di daratan yang berbeda dan dipisahkan oleh lautan itu tidak nyaman sebetulnya. Dalam waktu 5 tahun terakhir ini aku hanya bisa membayangkan dari imaji yang dikirimkan sesekali melalui pesan multimedia olehnya.

Kerinduan kepada Ayah sedikit terobati dengan mendengarkan suaranya melalui kecanggihan teknologi. Bersyukur rasanya di zaman ini tidak perlu lagi mengirim surat hanya untuk mendengar tulisan terbatas, menyampaikan rasa rindu dan baru dijawab beberapa waktu kemudian. Segalanya menjadi instan.

Biasanya aku meluangkan waktu selepas sholat Isya untuk memulai percakapan via telfon dengan Ayah. Selalu ada hal baru yang muncul dari percakapan itu, mulai hal hal lucu, nasehat nasehat bahkan terkadang keluhan. Keluhan ini lah yang sebetulnya aku tidak ingin dengarkan, bukan karena aku apatis. Bukan.

Aku hanya ingin selalu mendengar kebahagiaan dari setiap perkataan yang ia lontarkan. Akhir-akhir ini Ayah sedang mengalami sakit di bagian kaki nya. Hal itu yang kadang membuat khawatir ku semakin bertambah.

Kekhawatiran itu berujung pada kepanikanku mengingatkannya untuk pergi ke dokter memeriksa kondisi kesehatannya.

"Gak usah le, ini mungkin sakit biasa saja" jawab Ayah di suatu percakapan

Kalau sudah bilang begitu, aku malah lebih memaksa lagi agar beliau betul betul pergi ke dokter. Karena semua itu tentang Ayah, mau sejauh manapun kaki mu melangkah, tetap akan ada bayangan dan dukungan Ayah. Ayah yang selalu mencemaskanmu walau kamu tidak pernah suka untuk dicemaskan. Ayah yang selalu menyayangimu walaupun kamu belum pernah bilang sayang kepadanya.

Ya, aku pun begitu. Selama 22 tahun aku berada di muka bumi ini, rasanya aku belum pernah mengatakan sekencang-kencangnya dan seromatis-romatisnya kepada Ayah, bahwa aku menyayanginya. Belum pernah.

Di suatu malam, aku terbangun. Terbangun dari tidur dengan mimpi yang tidak begitu aku harapkan. Ini tentang Ayah, apakah ada hal buruk yang menimpanya. Aku menjadi gelisah, segera membasahi raga dengan wudhu,mendirikan sholat dan memunajatkan doa kepada Sang Maha Kuasa

Tuhan Ampunilah dosa dosa Orang Tua ku, Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sedari kecil. Berikanlah keselamatan dan kesehatan selalu kepada Mereka. Jauhkanlah dari godaan setan yang terkutuk, marabahaya yang mengancam dan siksa api neraka Ya Allah. Amin

Perasaan gelisah itu berkurang, tapi aku belum bisa memejamkan mata. Maka malam itu
kutuliskan perasaan yang sedang bergemuruh di hati di secarik kertas,  sambil menatap dalam dalam foto ayah yang  terpajang di sudut kamarku. Seraya ditemani alunan sendu lagu Ayah dari pemutar musik komputerku.

Ayah, kamu memang bukan ibu
Tapi tanpamu aku belum tentu ada
Kau ada sebelum aku ada
Aku ada dan aku ingin kau selalu ada

Ayah, entah apa yang ada dibenakmu
Setiap melihat diriku
Apakah kagummu selalu ada untuk ku?
Atau
Kekecewaan karna aku belum bisa hadir
Menjumpaimu?

Ayah, aku tidak pernah bisa mengukur dalamnya
Rasa sayang itu
Sekalipun aku meminta ahli matematika
termahsyur di dunia ini
untuk menghitungnya

Ayah, Aku mengagumimu
Entah darimana energi itu
Energi yang selalu membuatmu tersenyum
Walau banyak hal buruk yang menimpa

Ayah masih banyak yang aku perlu pelajari
Untuk menghadapi dunia yang penuh dengan ancaman ini
Mari kita saling berjanji
Berjanji untuk saling melindungi
Apapun yang terjadi

Aku tidak tahu cara membalas kebaikan itu sampai saat ini
Dan kurasa itu tidak ternilai
Yang bisa ku janjikan untuk selamanya adalah
Membuat senyum itu
Tidak akan pernah hilang dari sudut bibirmu
....

Lalu, kertas yang sudah basah karena bulir bulir air mata selama menuliskan puisi itu aku simpan dalam laci kamarku. Membiarkannya terkurung bersama kerinduan-kerinduanku yang lain.
Malam itu aku tidur dengan tenang.

25 November
Tanggal yang selalu aku ingat setiap tahunnya, dimana pada tanggal itu telah lahir seorang jagoan yang melebihi superhero manapun. Seseorang yang tidak pernah tahu menjadi inspirasi bagi anaknya. Ayah.

Suasana kantor yang begitu tenang, tiba-tiba menjadi bising oleh sebuah teriakan. Teriakan gembira oleh pemuda yang raut wajahnya senang bukan main. Ya itu aku. Kegembiraan itu muncul dari secarik kertas permohonan untuk menjalani cuti kerja telah divalidasi oleh pimpinanku di kantor. Sebuah rezeki yang patut disyukuri.

Kali ini aku menyiapkan kejutan spesial untuk Ayah, mungkin ini merupakan kado terindah yang pernah aku berikan selama ini. Aku akan menemuinya. Langsung. Bukan via suara lagi.

Sudah aku putuskan untuk mengambil cuti kerja selama satu pekan, semuanya aku rencanakan dengan matang. Dan yang lebih istimewa lagi aku tidak memberitahukan kejutan ini kepada Ayah. Ya kalau aku beritahu sudah bukan kejutan namanya.
Seminggu sebelum cuti, aku sudah tidak begitu fokus dengan pekerjaanku. Pikiran ku terbagi kepada sebuah pertemuan yang begitu bernilai untukku. Namun lamunan ku buyar dari sebuah memo yang baru kuterima di mejaku siang itu. Sebuah penundaan. Penundaan cuti ku oleh pimpinan regional. Sebuah hantaman keras untuk perasaanku. Dimana momen momen kebahagiaan yang sudah kurancang sedemikian rupa menjadi sirna.

Di dalam memo penundaan itu tidak disebutkan sampai kapan aku boleh mengambil cuti kerja ku. Hal itu didasari oleh permintaan oleh pimpinan regional ku yang menginginkan untuk menerima proyek baru di minggu depan.

Aku tidak bisa berkata-kata. Malam itu aku putuskan untuk menelfon ayah tentu saja bukan untuk memberitahukan hal itu kepada nya. Aku tetap merahasiakan sampai waktunya tiba. Menelfon untuk sekedar melepas gundah yang kusimpan dalam diam.

Akibat penundaan itu, aku menjadi kurang bergairah bekerja. Entah kenapa, seakan menunda kebahagiaan itu menjadi penyakit baru yang muncul di dunia kedokteran. Rekan kerjaku pun mulai bertanya mengenai perubahan performa ku akhir-akhir ini, aku tidak mau membicarakan hal itu kepada orang lain. Aku harus tetap profesional dengan pekerjaan ku, walau itu terasa berat. Seminggu sudah kulalui, tanggal 25 November aku lewatkan begitu saja. Tentu aku mengucapkan selamat kepada Ayah, biasanya aku kirimkan melalui video.

Dalam video itu aku mengucapkan selamat, doa, dan pengharapan serta ucapan maaf kalau belum bisa hadir menemaninya. Hatiku basah. Sepertinya Ayah menangkap kegelisahanku, dan menghiburku dengan ledekan-ledekan khasnya.

Dibalik tertawaku menyimpan beribu rasa rindu yang tak terbendung, kekhawatiran seakan kesempatanku untuk bertemu dengan Ayah tidak boleh gagal dan sia-sia begitu saja.

Proyek baru di kantor telah aku selesaikan dalam kurun waktu cepat . Dengan segenap pengharapan kali ini aku menemui sekali lagi pimpinanku pada suatu kesempatan untuk meminta cuti kerja  lagi. Aku pun mengutarakan segala permohonan, saking jujurnya aku bilang kepada Pimpinanku itu agar tidak melakukan penundaan lagi. Dan kali ini aku pasrah terhadap keadaan. Apapun keputusannya aku harus terima.

Hari itu mendung.

Kali ini aku berdiri di sebuah sudut kota yang kecil, di persimpangan jalan. Sambil menatap sebuah rumah dari balik kacamataku. Bergegas mengambil telefon genggam dari saku, aku menekan beberapa tombol dan menyambungkan ke sebuah percakapan yang sangat aku nantikan sejak lama.

Aku datang, Ayah

Dari balik pintu rumah kayu itu, melangkah keluar seseorang yang aku kenal. Lebih tepatnya, orang yang mengenalku sejak lama. Seseorang dengan jenggot putinya yang mengayun tertiup angin. Dengan baju koko dan sarungnya berjalan menghampiri pagar rumah.
Aku cium lembut tangannya seperti waktu aku berangkat ke sekolah zaman dulu, kemudian kudekap erat tubuhnya yang sudah sedikit membungkuk. Mendekapnya hingga tak ingin melepaskannya.

Dekapannya begitu hangat.
Sehangat  sinar mentari  yang memeluk bumi setiap hari

Selamat Ulang Tahun Ayah

"Cerpen ini menjadi 20 finalis Lomba Kado Terindah yang diadakan oleh LeutikaPrio Publisher"

1 komentar: