Selasa, 07 Oktober 2014

Masa Depan

Masa depan itu semu. Masa depan itu adalah hari ini yang telah diprediksi kemarin. Meski begiti, masa depan tetap menjadi harapan. Bahwa setiap hal masih memiliki kesempatan.

Kiara menggerutu terhadap hidup yang menimpanya. Terlahir dari golongan keluarga miskin yang dikucilkan masyarakat desa Hilir. Kiara tak terima dengan semua takdir hidupnya. Ia ingin masa sulitnya segera berakhir. Ia begitu menanti masa depan. Yang ia percaya bahwa masa depan akan membawanya pada sebuah kebahagiaan.
Malam itu, Kiara sedang berjalan sendiri di sebuah hutan menuju rumah neneknya. Ketika berada dalam perjalanan, Kiara melihat sebuah cermin tergeletak di antara daun-daun yang berguguran. Segera ia pungut cermin itu dan berkaca. Ia melihat wajahnya dengan senyum. Paras cantiknya menjadi satu-satunya yang ia banggakan juga yang ia andalkan. Tiba-tiba cermin itu bercahaya, Kiara melihat sesuatu yang tak asing baginya. Ia melihat wajahnya sendiri, namun dengan pakaian dan keadaan yang lebih baik. Ia mengenakan pakaian mahal dan bagus, mengenakan perhiasan berlian di setiap lekuk tubuhnya, ia juga mampu makan-makanan enak dan mahal. Kiara tersenyum melihat bayangan itu, ia meyakini bahwa itu adalah masa depannya. Masa depan yang bahagia.

Setiap hari, Kiara semakin malas bekerja. Ia terlalu percaya pada cermin yang tak tahu siapa pemiliknya. Ia selalu mengumbar apa yang ia lihat dalam cermin itu kepada semua orang. Bahwa ia akan kaya raya. Bahwa ia akan hidup bahagia. Ia percaya pada masa depan yang dilihatnya dalam cermin itu.

Sepuluh tahun telah berlalu. Hidup Kiara tak berubah sama sekali. Ia justru semakin terpuruk. Ia tak terima akan nasib yang dialaminya. Ia menyalahkan cermin itu dan juga menyalahkan Tuhan karena tak kunjung memberi hidup bahagai seperti yang ia lihat dalam cermin itu. Kiara menjadi hilang akal sehat. Setiap hari pekerjaannya hanya melihat cermin. Dan bayangan dalam cermin itu tak berubah. Tetap memperlihatkan kehidupan Kiara yang bahagia. Ibu Kiara khwatir, ia membawa Kiara ke seorang ahli tafsir. Tak berapa lama ahli tafsir membaca aura Kiara. Ia menatap Kiara dan memberi petuah.
"Masa depan itu harapan. Tetapi bukan berarti kita bisa mendapatkan dengan keajaiban. Semuanya butuh perjuangan, usaha, dan pengorbanan. Percayalah pada proses, bukan angan."


-Saidahumaira-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar