Selasa, 30 Juni 2015

Tentang Tuhan, Yang Tak Bisa Tuan Tentang

Sebatang rokok kretek dibakar Tom di ruang penjemputan. Untung saja tidak ada larangan No Smoking yang tertera di ruangan itu, bisa-bisa ia ditendang keluar oleh petugas keamanan bandara. Mungkin sudah ada sepuluh kali bolak balik Ia melihat deretan angka jam digital di atas pintu keluar ruang tunggu.

Nama aslinya Utomo. Namun ia lebih suka dipanggil Tom. Biar kebarat-baratan katanya. Jauh-jauh merantau dari Jakarta ke pulau terbesar ketiga di dunia. Ya, Kalimantan. Baginya tidak ada lagi yang bisa diharapkan di kampung halamannya dulu. Kota impian itu berubah menjadi kota yang penuh dengan tekanan. Semua orang mempertaruhkan impiannya di kota tak lebih luas dari pulau yang di tempatinya sekarang.

Pikirannya melayang-layang seiring asap rokok yang dibuat bulat-bulat. Asap-asap itu memerangkap pikiran-pikiran jenuhnya. Omelan istri yang menuntut uang belanja dinaikkan, mertua yang kebelet umroh, anak-anaknya yang minta jatah harian lebih banyak lagi. Ah, sudahlah pikir Tom. Nikmatilah dunia ini sejenak, melalui sebatang tembakau dan nikotin.

Sudah setengah tahun ia menjadi driver di salah satu perusahaan swasta. Pekerjaan menyenangkan baginya, sekaligus tidak menyenangkan. Bagian menyenangkan, Ton merasa memiliki mobil yang dibawanya. Berfoto dan mengunggahnya di jejaring sosial. Lalu ia tersenyum puas mendapat komentar kawan-kawannya yang melihat dirinya 'sukses'.

"Astagah, kenapa pakai acara delay segala. Bisa mati kelaparan aku di bandara sialan ini." Tom mengumpat dalam hati, menghela nafas panjang. Mengutuk bandara yang menjual makanan-makanan berbumbu pajak tinggi. Andai saja tanggal gajian datang lebih awal, itulah alasan mengapa Tom mengumpat.

Dua jam berlalu, Tom dengan sepotong papan bertuliskan nama tamu yang akan dijemputnya, berdiri di deretan para penjemput. Mr. Atan Alig. Nama yang aneh di telinga Tom. Ia sudah sering mendengar nama yang lebih mentereng daripada itu. Charles, Frank, Collins atau Peter. Untuk kali ini, ia memilih tak terlalu banyak memperdebatkan sepotong nama aneh tamunya itu. Di sampingnya ada seorang gadis perawakan jepang tampak bersemangat menanti. Mengangkat papan nama tinggi-tinggi. Menurutnya gadis itu Tom

"Konichiwa Atan-san." Tom menyapa seorang pria yang diyakininya senagai tamu yang ditunggunya.

"Saya bukan orang jepang." Tukas Mister Atan, tangannya membawa tas dokumen.  Tom memilih bungkam. Rokoknya masih terselip di bibir. Membawakan koper Mister Atan ke bagasi mobil.

"Tolong matikan rokoknya, saya benci bau rokok." Tanpa basa basi Mister Atan menegur, bahkan mereka belum sempat mereka berkenalan. Awalnya Tom ingin mengenalkan diri ke Mister Atan. Semenjak si tamu nya itu mengeluh tentang rokok, buru-buru ia mengurungkan niat baiknya itu. Apalah arti sebuah nama. Atan Alig. Nama apa pula itu, geram Tom dalam hati.

"Untuk apa kamu merokok?" Mister Atan bertanya ketus, matanya tak terlepas dari layar ponsel. Tom bersungut-sungut, ia menggerutu mengapa tamu kali ini lebih cerewet dari mertua dan istrinya. Mukanya kusut, tapi berusaha untuk senyum.

"Karena saya suka pak. Bapak sukanya apa?" Jawab Tom tak serius, malah balik bertanya.

"Saya sukanya uang."

Mobil melaju meninggalkan bandara. Berbelok keluar dari jalan raya, menuju ke arah proyek tujuan tamunya itu. Ke perkebunan kelapa sawit. Bibirnya masam, perutnya menabuh genderang perang.

"Langsung ke lokasi atau makan malam dulu Tuan." Tanya Tom mencoba mencairkan suasana.

"Langsung saja, saya sudah makan tadi di pesawat." Mister Atan menekan layar sentuh ponselnya, membuat panggilan. Perut Tom mengeluarkan bunyi keras. Ia pun sengaja tak menutupi. Memberi kode-kode minta diisi. Ternyata Mister Atan malah asik bertelfon ria. Mengacuhkan segala bunyi-bunyian di seklilingnya. Seandainya ada bom meledak pun ia tak peduli. Sudah tenggelam dalam percakapan bisnisnya. Merasa gagal memberi kode, Tom memilih menguping-lebih tepatnya mendengarkan, karena dalam mobil suara Mister Atan menggelegar.

"Hahahaha, bagaimana proyek baru kita? Lancar? Kalau macet-macet, sudah suap saja orang-orang penting disana. Dijami beres semuanya, tidak ada satupun yang berani menentang kita." Ujar Mister Atan dalam salah satu telfon, nada bicaranya semangat, namun licik. Menggampangkan urusan-urusan dengan duit.

Setengah perjalanan, Tom meminggirkan mobil ke sebuah surau di pinggir jalan. Melaksanakan ibadah salat maghrib sejenak, meregangkan letih pikiran dan juga perut yang keroncongan.

"Hey, hey , hey kemana kita ini?" Sergah Mister Atan tahu mobilnya disetir keluar dari jalan.

"Saya mau ibadah sebentar pak"

"Wah wah wah, apa tidak bisa ditunda. Saya bisa terlambat nanti ini, bisa kehilangan duit banyak saya."

Bagaimanapun Tom tetap meneruskan niat ibadahnya. Tak digubris celotehan Mister Atan. Baginya, uang bukanlah segala. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan iman. Iman tidak bisa dibeli dan dijual dimanapun, berapapun.

Selesai ibadah, Tom kembali ke dalam mobil yang dipenuhi kebusukan-kebusukan percakapan Mister Atan. Beserta sumpah serapahnya. Tom menyumpal telinganya dengan ketidakpedulian. Tapi ada satu pertanyaan yang

"Kau beribadah untuk siapa?"

"Saya beribadah kepada Tuhan untuk diri saya pak!" Tom mulai naik pitam. Lubang-lubang di jalan dihajarnya saja, membuat mobil terhentak keras. Mister Atan mengumpat. Telinga Tom memerah, kepalanya kadung mendidih ibarat ketel air yang mendesis.

"Siapa itu Tuhan? Kenalkan saya pada orang itu, seberapa hebat dia, sampai-sampai bisa menyita waktu saya." Mister Atan masih sibuk dengan ponselnya, tapi kali ini ia lebih sibuk mengurusi Tuhan.

"Tuhan adalah Sang Pencipta Semesta Alam. Tuhan yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang tak patut dipertanyakan atau diragukan lagi." Jawab Tom matanya tetap mengarah ke jalan. Sesekali menoleh, bibirnya sampai maju-maju seolah mengolok tamu 'sial' nya itu.

"Wah hebat berarti ya. Bisa ia ciptakan uang untuk saya sekarang juga?"

Tom bungkam. Pertanyaan terakhir jelas-jelas terkesan meremehkan Tuhannya. Laju mobil semakin tinggi. Kiri kanan jalan berdiri tegak tanaman perkebunan. Karet, kelapa sawit atau hutan-hutan yang masih 'perawan'. Kurang lebih satu jam lagi mereka sampai ke tujuan. Tapi Tom sudah tak tahan dengan tamunya itu.

"Bisa, tapi tidak sekarang. Dan tak berupa uang."

Mister Atan mendelik, "Oh ya, saya maunya sekarang. Berarti Tuhan mu tidak sehebat saya. Saya bisa menciptakan uang banyak selama perjalanan ini tadi." Mister Atan mendengus sombong.

"Tuhan memberikan kita bukan hanya uang Tuan. Bumi dan seisinya diberikan murah hati oleh Nya. Bahkan tuan bisa bernapas pun karena rezeki udara oleh-Nya."

Mister Atan mendecak, memasukkan ponsel ke dalam sakunya, "Kalau diberikan murah hati? Mengapa saya harus bersusah mendapatkannya? Membayar sana sini, pajak, jatah premanlah, dimana murah hatinya?"

Diam-diam Tom mengemudikan mobil keluar dari rute biasanya, tamu 'sial' nya itu harus diberi pelajaran. Menurutnya, Mister Atan lebih menyebalkan daripada mertuanya yang tiap hari menagihi uang belanjaan. Kilat lampu mobil yang berpas-pasan membias. Tak banyak, jalanan itu ialah jalan pintas menuju sebuah hutan. Hanya orang-orang mesum yang mengarah kesana. Menghabiskan kemaksiatan dengan harga murah.

Tamu sial nya itu tak peduli dengan jalanan. Tenggelam dalam obrolan-obrolan ponsel. Dari seberang sana suara perempuan cekikikan diselingi desahan-desahan. Mister Atan tampak gelisah. Mengatur posisi duduknya. Melancarkan janji-janji manis, yakinlah itu bukan istrinya. Entah gundik-gundiknya yang keberapa. Namun beberapa saat, ia kesal. Memukul-mukul sisi ponselnya. Menggerutu.

"Ah, payah bahkan Tuhan mu tidak bisa memberikan sinyal."

Tom diam saja. Sudah terlalu malas menimpali. Pandangannya seakan menunggu sesuatu. Mencengkeram erat kemudinya. Dan di sebuah tikungan tajam, mobil mengarah keluar jalur jalan.

"INILAH TUAN.. INILAH DIA…" Tom berteriak menjejakkan dalam-dalam pedal gas. Ia tersenyum puas.

"KAU SUDAH GILA HAH?!"

Delapan detik sebelum mobil menyentuh dasar jurang, Tom berkata lantang,

"INILAH TENTANG TUHAN, YANG TAK BISA TUAN TENTANG. SAMPAI BERTEMU DI AKHIRAT MISTER ATAN"

Bunga api mekar dari kejauhan, malam yang dingin mendadak hangat. Tidak ada kepulan asap rokok kretek lagi. Tidak ada omelan istri dan mertua lagi. Tidak ada lagi yang melarangnya merokok. Tidak ada lagi yang menganggap Tuhan itu orang yang bisa ditentang.

*****

Berselang sehari pemberitaan di media mengabarkan biang korupsi di negeri ini telah musnah dalam sebuah kecelakaan. Satu per satu pengusaha dan pejabat korup yang berkongkalikong, tertangkap dan menghuni hotel prodeo hingga akhir hayat. Sampai satu sama lain bertemu di akhirat. Bertemu Mister Atan dan Tom.

Sejatinya Tuhan tak patut diragukan apalagi dipertanyakan, sebagai makhluk kita patut meyakini dan beriman kepada-Nya. Manusia terkadang merasa dirinya 'tuhan' kecil saat mereka diberikan rezeki dan kuasa yang tak pernah disyukuri.

Doddy Rakhmat
29.06.2015

1 komentar: