"Nirva, tutup matamu sejenak." Hela nafasku melalui tengkuknya, membuat gadis itu sedikit bergidik.
Aku memasangkan penutup mata, selembar kain hitam. Selesai menyimpul aku menuntun langkahnya ke sebuah undakan. Aroma-aroma bambu setelah hujan mudah dikenali.
"Kau jangan membawaku ke tempat aneh-aneh, Oda."
Aku menggelak senyum. Kejutan ini sudah aku persiapkan sejak seminggu yang lalu. Jalan setapak dengan bambu tumbuh menjulang di kiri kanan meneduhkan.
"Dan kamu membuatku takut sekarang. Jangan bilang di depanku ada jurang." tanya Nirva gugup, tangannya menggenggam pergelangan tanganku.
Aku melepaskan penutup matanya. Cicit suara burung bergabung dengan suara rintik dari ujung dedaunan menghantam genangan, menghasilkan denting indah. Seindah senyuman Nirva. Menampilkan sederet rapi gigi putihnya.
"Wow, Oda. Aku belum pernah ke tempat seindah walau sudah lama aku tinggal di kota ini." Mata Nirva berbinar, semacam ada kekaguman tersembunyi dibaliknya.
"Ah masa, aku kira kau akan kecewa kubawa kesini. Dari tadi harap-harap cemas bila tak sesurprise yang diharapkan" Aku menggaruk rambut belakang, tak gatal sebetulnya. Gugup lebih tepat.
Nirva tertawa, "Untung ya, kalau nggak bakal malu deh."
Ada keheningan mendesir melalui hati bersama bisikan angin mengayun dedaunan. Momen yang kunanti, dalam lima tahun terakhir ini.
"Nirva.."
"Iya Da" Nirva memutar badannya memberi perhatian seutuhnya kepadaku.
"Rebung itu semakin lama semakin tinggi, kokoh, meneduhkan. Menjadi sebuah bambu yang tangguh. Seperti itulah sosok dirimu dalam hidupku Nirva. Membuat kokoh dan meneduhkan. Bersamamu aku tak merasa rapuh."
Giliran Nirva menutup mataku dengan kedua tangannya. Belum sempat aku bertanya, ia mengunci pertanyaanku dengan sebuah kecupan di pipi.
Wajahku terasa hangat. Menyemu sama seperti paras Nirva sekarang. Kini rebung itu betul-betul tumbuh Nirva, tumbuh tinggi hingga menggapai langit.
[Doddy Rakhmat]
08.06.2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar