Kamis, 11 Juni 2015

IRENG

Petir menggelegar. Hujan turun tanpa ampun menghantam bumi yang gersang. Gersang alam, gersang pikiran. Dari kejauhan, Ireng menyusuri setapak becek tak berumput. Membawa sebungkus nasi entah darimana asalnya. Satu-satunya yang kumiliki sekarang hanya Ireng. 

Kutukan keluarga di pertengahan musim paceklik menyibak apa yang mereka sembunyikan selama ini, harta. Mereka menyayangiku karena harta. Sungguh, pedih memang. Tapi, dunia ini memang perkara uang. Cinta itu uang. Tidak ada uang tak makan. Tidak ada uang maka terlupakan. Semua butuh uang. Alasan terkuat hidup seseorang juga uang.
Zaman sekarang bukan zaman batu, sistem barter tak berlaku. Kecuali mau menukar harga diri dengan uang. Tapi itu tak akan kulakukan. Masih ingatlah aku dengan martabat.

"Dabo, makanlah dulu." Ireng menatap iba, melihat tampilanku yang kuyu. Baju sudah jauh dari deterjen dan air, melekat badan.

Ireng tampak mengibas-ibaskan ekornya. Sambil menikmati sebungkus nasi hasil curian Ireng, aku menangis. Ireng mengelus pundakku, menenangkan. Menangisi tentang diabaikan. Di dunia ini orang hanya perlu dianggap ada, tak lebih tak kurang. Pabila sudah dilupakan, ia menjelma bagai mayat berjalan.

Malam itu seorang gembel sejatinya bernasib kaya. Mengapa? Rumahnya hamparan bumi luas, beratap langit yang maha canggih. Dan seorang anjing bernama Ireng, tak membeda-bedakan manusia karena harta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar