Pagi awal Juni. Istriku memasak semangkuk ikan sardin kaleng untuk sarapan. Ia menambahkan irisan bawang putih dan tomat. Kreatif. Setidaknya, ada usaha di dalamnya. Putra tunggalku, Sim. Terlalu asik bertanya tentang pekerjaan baruku. Tangan mungil nan gempal menggores-gores crayon, mulut Sim penuh sarapan pagi. Aku terkekeh melihat tingkahnya.
"Pah, kantornya jauh gak?"
"Pah, bosnya galak gak pah?"
"Pah, jangan sering pulang malam lagi ya"
Sambil menyuap nasi ke mulut, aku mengangguk. Mendeham. Mengiyakan. Mukanya cemberut, tampak belum puas dengan jawabanku. Aku menengok jam tangan yang terikat di tangan kiri. Hampir saja tersedak air. Terlambat. Bergegas menuju garasi mobil. Istriku membawakan tas kerja.
"Sim, ayo berangkat. Nanti terlambat" ujar Istriku, disahut iya panjang dari Sim.
Aku berlalu, tak sempat mencium kening istri. Menekan pedal gas, meluncur keluar dari komplek perumahan. Syukurnya jalanan lengang, tak seperti ibukota.
Setelah mengantar Sim, aku melesat menuju pekerjaan yang sudah menunggu di kantor. Seharian itu suasana hati terasa berbeda. Ada sesuatu yang menyelubungi langit dan hati. Mendung. Khawatir. Ada sesuatu yang terlupakan. Tapi aku kesusahan dalam mengingatnya. Sekejap, sebuah sms singkat kukirim kepada Mai. Istri tersayang.
"Siang cantik, kamu nanti pulang mau dibawain apa?"
Satu menit.
Setengah jam.
Sejam.
Dua jam lebih.
Tidak ada juga balasan dari Mai. Aku mulai khawatir. Biasanya ia sigap membalas sms-sms dariku. Bahkan Mai lah yang lebih dahulu mengirimi kata-kata romantis. Sampai-sampai Robi teman seberang kubus kerjaku meledek. Melihat aku sering nyengir-nyengir saat membacanya.
Senja berjumpa jua. Dalam perjalanan pulang aku membeli sebuket bunga mawar merah. Sim sudah dijemput oleh Mai pertengahan hari.
Sampai di rumah, bunga mawar itu kuberikan pada Mai. Ia menerima setengah hati. Meletakkannya di meja. Mai merajuk. Gestur badan seolah berbicara, protes, tak ingin didekati. Perlahan aku duduk di sampingnya,
"Kenapa kamu sayang.."
Ia masih diam, membuang wajah ke arah luar.
"Aku minta maaf kalau ada salah hari ini"
Perlahan ia melunak, sesekali melirik ke arahku. Tapi wajahnya masih kusut. Aku menarik pandangannya, memalingkan wajah ke arahku. Ia menurut namun menunduk.
"Sayang, kadang diam tak menyelesaikan masalah"
Mulutnya sedikit demi sedikit membuka, "Kamu lupa berterima kasih padaku"
Aku langsung menemukan potongan yang terlupa itu.
"Tadi pagi, begitu saja kamu pergi. Tanpa mengucap terima kasih atas sarapan yang sudah kumasak. Aku tahu, aku belum pandai memasak. Tapi aku ingin melayanimu dengan baik."
Aku mendekapnya perlahan, membiarkan sesenggukan dalam pundak pelukan.
"Kalau begitu maafkan aku sayang, tenggat waktu membuatku melupakan kebaikan-kebaikan dari orang yang kusayang. Mas, janji tak pernah absen lagi berucap terima kasih " Aku memeluknya lebih erat. Nyaman.
"Ciyeee mamah papah romantis" ledek Sim.
Aku dan Mai mengejarnya bersama. Sim lari kegirangan, senang melihat orang tua mereka akur kembali.
Dari semangkuk sardin yang lupa disyukuri, bisa menjadi pelajaran dalam kehidupan. Bahwa kekuatan kata terima kasih ternyata dapat membolak-balik hati manusia.
[Doddy Rakhmat]
01.06.2015
01.06.2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar