Sabtu, 11 Juli 2015

Sepotong Pulang Yang Lebih Baik Pergi

Senja sore ini, pikiranku tak bisa diam. Teringat kampung halaman yang sudah beratus-ratus halaman ditinggalkan.
Ratusan kisah yang ingin kuceritakan dari awal. Semacam itulah siklus kehidupan para perantau, kembali ke halaman pertama. Ke kampung halamannya sendiri. Muara segala mimpi berawal. Menyemai dan menumbuh benih ide-ide brilian yang mengubah dunia.

Tapi, di senja kali ini ada sesuatu yang menelisik hati kecilku. Sebuah kegelisahan yang akhirnya muncul jua, "Apakah aku betul-betul dirindukan untuk pulang?"

Tiga tahun bukan waktu yang singkat, seribu hari lebih kami tak bersua. Ya, bersua mempertemukan rindu-rindu yang telah membeku. Apakah aku betul-betul dirindukan? Setidaknya pertanyaan itu muncul lagi entah sampai ke berapa kali.

"Buat apa kamu pulang?" Sebuah tanya yang kuterima saat menjejakkan kaki di pelataran rumah. Seseorang yang kuanggap saudara itu menatapku dingin.

"Aku hanya memastikan apakah ayahanda dan ibunda terurus disini." Jawabku menimpali pertanyaan yang cukup menampar hati.

Lalu orang yang kuanggap saudara itu menggerutu. Mengeluhkan kekurangan uang bulanan yang kukirim dan segala macam hal.

"Kemana Ayahanda dan ibunda?" Aku bertanya karena sedari tadi rumah lengang, belum bisa aku mengendus kerinduan mereka.

"Mereka kukirim ke panti lansia." Jawabnya singkat namun menohok.

"Kau gila. Jadi untuk apa selama ini aku kirimkan uang bulanan, untuk bisnis-bisnis haram mu itu?" Aku menyala, gemuruh bercampur api berkobar dari dada. Kepala terasa mendidih. Kutinggalkan orang yang kuanggap saudara itu bersama kegilaannya.

Bergegas pergi ke satu-satunya panti lansia di kota ini. Tempat para anak yang tidak mau mengurusi orang tua mereka. Tenpat dimana ladang amal bakti berkumpul. Kini aku harus menemui Ayahanda dan Ibunda.

Dari teras panti lansia yang sederhana itu aku mendapati Ayahanda dan ibunda, mereka juga memandang ke arahku seksama.

"Ayah, Ibu……"

Mereka hanya tersenyum, kemudian melanjutkan pembicaraan. Mereka telah dimakan usia. Pikun. Aku betul-betul terlambat hadir kembali dalam kehidupan mereka. Yang tersisa kini hanya sepotong memori yang tak pernah kembali. Ya, itu aku. Dilupakan oleh orang tuanya sendiri.

Kehadiran kita begitu banyak memberikan arti penting dalam kehidupan seseorang. Sehingga kita tidak dengan mudah menjadi memori yang terlupakan.

Ya, kalau begini lebih baik aku pergi daripada pulang. Karena aku sudah kehilangan kampung halaman. Entah ke halaman mana aku akan mendirikan sebuah kampung.

[DR]
11.07.2015

7 komentar: