Jakarta dibunuh sepi. Lengang. Lalu lalang angin leluasa tak dibatasi oleh manusia-manusia penghuni jalan. Kendaraan sesekali melintas di jalan protokol. Gang-gang ramai. Orang berduyun-duyun dengan baju rapi berlabel baru menuju masjid. Kumandang takbir semalam suntuk tak menerabas masuk apartemen lantai 16 tempat aku menghabiskan masa mudaku di ibukota. Aku dan seorang perempuan bernama Daisy menghabiskan malam bersama, bergumul hingga lupa dunia. Dosa seolah bukan hal yang ditakuti lagi. Hidup dirasa hanya perkara satu hari, kemudian besok terulang kembali. Begitulah siklus hedonisme masa kini.
Perempuan itu bangun lebih dahulu dariku, menyiapkan sarapan ala kadarnya dari kulkas di dapur. Roti selai dan kopi hitam. Begitupun menu yang dibuat untuknya, tidak begitu banyak pilihan melihat aku yang jarang mengisi kulkas itu.
"Archi, kenapa kau tak pulang berlebaran di kampung halamanmu. Merayakan hari kemenangan, misalnya?" Tanya Perempuan berparas oriental dihadapanku, menyeruput kopi dari gelas sedikit demi sedikit. Tanpa ditiup ia menenggak kopi panas dan pahit. Mungkin hidupnya lebih getir daripada apa yang ia minum.
"Hari kemenangan? Apa yang aku menangkan? Seingatku tadi malam, yang kumenangkan adalah dirimu. Untung saja taruhan tadi malam aku tak kalah. Setidaknya kau akan mendapat bayaran ekstra." Aku menjawab dari atas kasur, setengah badanku tenggelam dalam selimut. Ia menyuguhkan nampan sarapan. Perlahan aku mengambil segelas kopi hitam yang diseduhnya. Semoga pas rasanya.
"Ya, ya, ya. Setidaknya kau bisa merayakan hari ini dengan alasanmu itu Archi."
Perempuan itu membawa dirinya berbenah, merapikan barang-barang yang dibawa. Bersiap pergi entah kemana. Sang fajar sudah semakin meninggi.
"Kau mau pergi kemana?"
"Mungkin ke meja peruntungan berikutnya. Entahlah, harga diriku bergantung pemenang pertaruhan."
"Hidupmu seperti itukah? Sejak berapa lama? Kapan kau akan berhenti?"
Perempuan itu memasang anting hitam di telinganya, lehernya menoleh ke arahku, "Berhenti? Selama manusia-manusia seperti kalian mencari kami, apa kami harus melewatkan kesempatan?"
Lipstik merah delima menghias bibir tipisnya. Rok mini dan jaket yang menurutku ia pilih sengaja ukuran kecil agar mencetak tubuh. Menarik mata-mata yang haus dosa dunia.
Aku terdiam. Ada benarnya yang ia ucapkan. Sarapan sudah kandas. Kembali kuhempaskan badan ke atas kasur. Sebelum pergi ia mengecup manja keningku, terakhir aku melihatnya menghilang di depan pintu apartemen. Kata kata perpisahan klasik terdengar, 'Selamat tinggal'.
Ponselku berbunyi di atas meja, tanganku berusaha meraih.
Sebuah pesan singkat masuk, dari seseorang jauh disana. Namun rekat di raga, melekat di setiap darah yang tiap detik dipompa. Mama. Bayangan orang bersujud terbingkai di jendela apartemenku. Pesan itu tak panjang, namun mengulir batin hingga terasa sakit. Bahkan di saat sujud terakhirnya, aku tidak berada di sampingnya, satu shaf bersama. Ayah.
Awan-awan berkumpul jauh di depan jendela apartemenku, menggumpal, membentuk siluet manusia yang bersujud. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala. Berharap semuanya hanya mimpi semu, saat bangun semua masalah hilang. Ternyata tidak. Ini nyata. Aku kehilangan. Kesempatan untuk kembali. Yah, apakah aku berdosa? Apakah aku masih bisa kembali? Apakah ayah bisa kembali?
Perlahan kumandang takbir menyusup masuk melalui jendela apartemen. Jelas, tapi semua terlambat. Suara yang familiar, suara ayah beberapa tahun silam. Aku kembali. Dan ayah juga.
~doddy rakhmat
19.07.2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar