Rabu, 15 Juli 2015

Nak, Ibu Kangen

[Nak, Ibu Kangen]

Semua media kini berlomba-lomba memberitakan mudik. Ya, acara tahunan yang begitu viral. Dilakoni hampir semua perantau di bumi pertiwi. Terutama bagi orang-orang yang punya kampung halaman. Bagi yang tidak, mereka hanya menjadi penonton setia. Parade orang-orang yang berdesak-desakan dalam kapal, lalu lalang di jalan raya atau kerumunan di bandar udara.

"Alah buat apa aku mudik, toh aku belum bisa bawa istri." Ujar Haryo dengan santainya, mulutnya penuh dengan takjil.

"Ingat, kamu masih punya ibumu." Sahut Edim pelan, menusuk.

"Pesan ibuku, aku diijinkan pulang kalau sudah bawa istri." Sejujurnya kalimat terakhir adalah alasan yang dikarang-karang Haryo. Ia merasa dirinya belum pantas untuk pulang. Bergidik saat membayangkan teman-temannya yang sukses berkumpul di suatu acara. Sedang dirinya, makan tiga kali sehari pun dianggap sebagai sebuah kemewahan. Tapi, apalah arti kesuksesan sesungguhnya? Apakah harus kaya? Atau bahagia? Poin pertama sepertinya yang menggelut di pikiran Haryo. Kaya. Untuk urusan bahagia, tidak ada tolok ukur yang pas. Setiap orang mendefinisikannya berbeda-beda.

"Kamu sendiri, kenapa tak pulang Dim?" Balas Haryo.

"Eh, aku pulang kok. Cuma belum beli tiket saja."

Haryo berdecak, "Halah Dim, pake beli tiket segala. Wong rumahmu cuma seperlemparan batu dari sini kok."

Edim terkekeh, merapikan rambutnya yang diacak-acak Haryo. Mereka bergegas menyelesaikan acara berbuka puasa terakhir. Sebelum kembali ke dok kapal, mengurusi kargo-kargo yang minta disusun.

Sebuah telepon di malam takbiran kala itu, meramaikan ponsel Haryo. Sepertinya dari seseorang nun jauh di belahan indonesia sebelah barat. Melihat kode wilayah nomor ponsel yang menghubunginya itu.

"Nak, Ibu kangen." Tiga potong kalimat yang terngiang di telinga Haryo. Bercampur dengan kumandang takbir. Menurutnya hal tersebut ialah sesuatu yang menyedihkan, ia bertanya-tanya siapa gerangan yang menelponnya dengan nada suara memelas itu. Sudah belasan tahun Haryo yatim piatu.  Mungkin ada seorang ibu di luar sana yang berharap anaknya pulang, namun tidak menemukan nomor ponsel yang tepat, pikir Haryo.

"Pulanglah sejauh apapun kita melangkah, masih ada tempat kembali yang disebut Rumah. Bukankah berkumpul dengan sanak keluarga adalah sesuatu hal indah?"

~doddy rakhmat
15.07.2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar