Senin, 24 Agustus 2015

Puisi Yang Membunuh

Semalam suntuk aku merapal doa perihal menghapus dosa-dosa lama. Entahlah, apakah aku dapat kembali menjadi manusia setengah suci. Seseorang telah membunuh gadis yang kucintai dengan deretan puisi yang dituliskannya. Mungkin itu aku. Kematian semacam musik yang diaransemen ulang oleh pujangga merana.
Tak sengaja telingaku mendapati tertawa setan yang ikut mendengar di setiap lirih aku meminta.
"Wahai pendosa, aku akan mengabulkan doa-doamu."
"Siapa itu?"
"Aku seorang teman lama."
"Kau setan, apakah bisa disebut sebagai teman?"
"Ayolah, tanpa meminta sekalipun kalian sudah berteman denganku sejak dahulu kala. Sudah terlalu banyak pujangga sepertimu yang terlahir di dunia ini, satu demi satu waktu akan menghabisinya. Mungkin kau salah satunya?"
"Aku?"
"Pujangga sepertimu hanya memerdekakan diri sendiri, membunuh dengan keji setiap perasaan di dalam puisimu. Tak pernahkah kau berpikir apa yang dilakukan gadis-gadis itu saat mulai tenggelam dalam sajakmu tanpa tepi, tanpa arti. Mereka kehilangan."
"Kehilangan apa? Kehilangan rasa percayanya lagi pada setiap cinta yang hendak ditanam dalam hatinya, dalam hatimu."
Ruangan dijejali awan abu-abu. Bukan asap, hanya uap air, yang diam-diam membuatku berkeringat. Panas.
"Bagaimana caranya untuk menebus rasa bersalah itu. Bagaimana aku tahu siapa saja yang telah kubunuh dengan puisi-puisiku?"
"Berdoalah kepadaku." perintah Setan.
"Tidak, ini semua hanya tipu muslihatmu."
"Oh benarkah? Toh banyak dari kaum kalian yang merasa dirinya merdeka saat mendatangi paranormal, memanggil aku dan kawan-kawan. Meminta kami untuk membunuh, mencuri, memikat. Sungguh lebih nista perbuatan kalian daripada kami. Bebas dari segala masalah."
"Mereka hanya memerdekakan hawa nafsu semu. Aku bukan orang seperti itu."
Setan itu mengusap dua tanduknya yang menjulang di sisi kanan kiri kepalanya. "Oh ya? Lalu bagaimana masa lalu mu? Tidak kah ingin kau lepaskan segala paras wajah cantiknya, dan betapa molek tubuhnya dalam ingatanmu. Dihantui jasad-jasad yang kau habisi dengan puisimu."
"Melupakan adalah urusanku, bukan urusan siapapun. Dan lagipula aku menulis puisi bukan untuk membunuh, aku hanya membuat mereka berpikir, merenungi, sedikit meminta puji, agar aku menjadi manusia yang diakui ada. Lebih dari cukup."
"Manusia lahir dengan alasan, tumbuh dan besar dengan alasan. Ya, ya, ya. Lantas doa apa yang hendak kau munajatkan terakhir kalinya sebelum aku menuliskan puisi untuk membunuhmu."
"Tuhan, merdekakan aku dari belenggu setan."
Belum selesai sang setan menuliskan bait pertama puisinya, tangannya membeku, perlahan menjalar ke sekujur tubuhnya.
Dan sang pujangga menutup doanya dengan kata Aamiin yang panjang.
~doddy rakhmat

3 komentar:

  1. wah, menarik euy.. di akhirnya mati maksudnya yah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca. Silahkan beri masukan di tulisan lainnya

      Hapus