Sabtu, 22 Agustus 2015

2400 Jam

Menunggu ialah pertemuan-pertemuan yang memilih jalannya sendiri.  Hidup tak lebih sekedar dari sebuah penantian. Orang-orang menunggu satu demi satu takdir yang telah digariskan oleh Tuhan ditunjukkan kepada mereka.

Aku berandai-andai bagaimana bila saat 2400 jam yang lalu, aku tak melewatkan penerbangan menuju rumah. Tentunya dirimu tidak akan pernah muncul dalam deretan takdir yang harus kutunggu.

Tidak mungkin kulupakan rupamu pertama kali saat kita bertemu tak sengaja di mesin pembuat kopi bandara saat kau mengajarkanku bagaimana membuat segelas latte yang menyegarkan. Matamu sembab, entahlah senyum mu terlalu manis dibanding kopi yang sedang kusesap. Aku tidak yakin kau habis menangis. Kau terus berkata tidak apa-apa saat aku bertanya tentang keadaanmu. Padahal dari caramu melihat, membuang wajah, aku tahu kamu berbohong. Selalu ada apa-apa dengan kemurungan di wajah seseorang. Seberkas senyum tak menutupi kegundahan selangit. Dan dirimu akhirnya terlalu letih diserang betapa 'perhatian' nya seorang Ramon. Mengalah, dan mulai memasukkan perlahan dirimu ke dalan takdir ku.

"Namaku, Anida."

"Anda?"

"Bukan, bukan Anda, tapi Anida."

"Oh, Anida, aku Ramon." Setengah berteriak menyaingi hiruk pikuk manusia yang diburu pertemuan-pertemuan. Bandara tak pernah sepi, seakan kota yang tak pernah mati. Terlalu banyak orang-orang sibuk di dalamnya.

Tak ada jabat tangan. Aku terlalu takut mengulurkan tangan, lagipula kamu seperti tipe wanita yang tak mau bersalaman dengan sembarang orang. Dan aku tak terlalu menyukai basa-basi.

"Mau pergi kemana Nid?" Aku memberanikan diri menyebut namamu, dan juga, berbasa-basi.

Matamu memandangi sekitar, seolah obrolan kita sedang direkam oleh pihak kepolisian. Atau jangan-jangan kau seorang buronan paling dicari.

Kutepis awan khayalan yang menggantung di atas kepalaku. Astaga, terlalu buruk kah aku berprasangka terhadap orang yang kukenal. Oh, bisa saja. Semua bisa saja terjadi. Dewasa kini penampilan tak selamanya menggambarkan kepribadian ototentik seseorang. Kadangkala, memasang seribu topeng untuk seribu alasan pembenaran atas apa yang dilakukan.

"Halo, halo.."

"Ah, maaf Ram. Hehehe. " Kau terkekeh bersikap seakan aku adalah pengagum rahasiamu. Ada benarnya, Sedikit.

"By the way, terima kasih telah mengajariku membuat latte yang enak."

Kau mengangguk, matamu tak bisa diam berkeliling. Aku bersumpah, kalau ada sesuatu yang terjadi. Entah itu tragedi bom atau penangkapan buron aku tak mau ikut campur.

"Aku ingin pergi ke Paris, Ram."

Saat dirimu menyebutkan Paris, iris mataku membesar. Kota impian, kota idaman setiap pemuja cinta. Bertahun lamanya aku berkhayal menjejakkan kaki ke tanah eropa. Terutama Perancis. Aku terlalu membanggakan kecadelanku, tentu saja aku menyebutnya dengan Rhotacism, terkesan lebih medis dan keren, menurutku. Sangat membantu saat aku mulai belajar bahasa Perancis, aksen 'cadel' ku membuatnya terdengar lebih natural.

"Wow, Paris. Jauh juga ya."

"Hmm.. Dan kamu mau pergi kemana?"

"Rumah."

Kau menyesap latte yang mendingin. Ada pertanyaan yang sepertinya masih tertahan di tenggorokanmu. Pandanganku beralih pada sebuah liontin berbentuk hati yang kau kenakan menghias leher.

"Rumah? Semua orang pasti kembali ke rumah bukan?"

"Ah kata siapa? Mungkin aku salah satu diantara orang yang menganggap tujuan wisata adalah rumah. Aku senang melancong. Kau lihat, paspor yang penuh stempel ini?"

Dirimu mendekat melihat seksama buku paspor yang lusuh. Aroma parfum menyerbak menghentikan akal sehat sejenak. Astaga, aku bagai anjing tak tahu malu. Malu-malu mengendus seorang gadis.

"Kapan kau akan berangkat ke 'Rumah'?"

Aku menggeleng, "Entahlah aku melewatkan penerbanganku 2400 jam yang lalu."

Matamu berkerut aneh, menelaah apa yang baru saja kuucapkan. "Maaf, 2400 jam? Bagaimana bisa?"

"Selalu bisa. Mungkin Tuhan menakdirkan cerita berbeda. Seharusnya aku pulang 100 hari yang lalu. Tapi aku memilih tinggal disini, di kota yang katanya dapat mengabulkan segala mimpi. "

Kau memandangi papan informasi digital keberangkatan. Masih ada dua jam lagi. Dan aku sepertinya tak tahu kapan akan pulang. Aku pelancong tuna wisma. Kemanapun aku akan pergi dan menganggap tempat itu sebagai rumah. Bisa saja hatimu salah satunya. Selalu bisa.

******
Kamu sepertinya hendak pergi ke suatu tempat. Sudah masuk jam makan malam. Perutku pun sontak menyanyikan lagu kebangsaannya.

"Bagaimana kalau kita makan malam bersama. Eh, tapi tunggu sebentar. Kau masih single kan?"

Astaga ajakan macam apa itu. Lancang sekali mulut Ramon menganggapnya sebagai gadis yang belum laku.

"Eh iya, boleh. Dan aku juga sedang sendiri, saat ini."

Deg. Saat ini? Apakah di lain tempat iya double? Maksudku, apa dia telah memiliki pasangan. Ah peduli amat, toh di jarinya belum tersemat cincin pengikat.

Mungkin sudah hampir 10 menit aku dan kamu berputar di lounge bandara. Memilih menu yang tepat. Yap, akhirnya kita berhenti di negeri sakura dalam restoran. Memesan sushi dan sake, berlagak sebagai ekspatriat di tanah sendiri.

"Bolehkah aku jatuh cinta kepadamu?"

Sebuah pertanyaan bodoh mengandung pernyataan konyol yang pernah diucapkan seorang Ramon.

"Mari bersepakat untuk tidak jatuh cinta." Katamu sambil menelan sushi.

"Kenapa?"

"Jatuh cinta hanya menjerumuskan orang ke dimensi yang tak membenarkan rasionalitas. Kadang betapa hebatnya ia bisa meluruhkan segala rasa sakit, namun di sisi lain cinta menjadi pedang berkarat senantiasa menusuk dan mengoyak hati yang dikhianti olehnya. Terutama kepada orang asing yang baru kukenal. Astaga cinta memang rumit, memilah dan memilih yang terbaik, bukan asal comot di sebuah lotre."

"Begitukah?"

"Ya, orang jatuh cinta menjadi irrasional."

Aku bergegas berlari keluar menuju satu tempat untuk membuktikan apa yang dikatakan olehmu benar adanya.

******

"Penumpang pesawat JeTaime Airlines tujuan Paris kami mohon maaf telah terjadi penundaan keberangkatan disebabkan hal teknis. Untuk waktu keberangkatan akan kami informasikan segera."

Langit malam begitu indah, deru mesin pesawat, awan-awan menyelimut bulan. Lampu-lampu menyilaukan mata dan saat itu aku berhadapan dengan pihak keamanan bandara.

"Untuk apa kau berbaring di landasan pesawat Tuan?"

Aku mencari alasan di langit-langit ruangan. Plafon rapuh, kurasa lama tak diperbaiki. Tunggu dulu, aku harus menemukan jawaban masuk akal. Semoga.

"Aku sedang jatuh cinta."

"Alamak, cinta ternyata buat berbahaya orang.juga." Gerutu petugas keamanan yang kalau tidak salah namanya, Girsang.

Setelah menjalani pemeriksaan, aku memutuskan untuk pergi bersamamu ke Paris. Kau memarahiku atas tindakan konyol yang kuperbuat. Tapi kau senang, setidaknya perkataanmu benar. Dan akulah orang yang memenangkannya.  Semoga aku boleh jatuh cinta.

****
Berjam-jam di atas langit, tidur di lapisan stratosfer. Akhirnya kami tiba di Paris. Menara Eiffel menjulang tinggi di tengah kota. Bukan lagi gantungan kunci yang selalu kubawa kemana-mana. Tapi ia bisa menjadi kunci menuju rumah yang kusebut hati, milikmu. Seorang pria bule melambaikan tangan ke arah kita berdua, aku curiga. Jangan-jangan…

"Hei Ramon, perkenalkan dia tunanganku Pierre. Dan Pierre ini Ramon."

Tunggu dulu, tunggu. Kenapa tiba-tiba aku melihat Eiffel bergetar, kenapa aku mendengar jantungku berhenti berdetak. Kenapa aku tak melihat cincin di jari manis Anida.

"Sayang, kemana cincin tunangan kita?" tanya pria perancis itu.

"Aku tak sengaja menjatuhkannya di wastafel bandara. Dan menurutku tak perlu simbol bukan untuk mencintai seseorang. Dan aku minta maaf Pierre."

"Oh tak masalah darling, I glad to hear your reason. Nanti aku belikan lagi."

Saat itu, aku ingin berlari sekencangnya bagai kilat. Memanjat Eiffel Tower berteriak pada dunia bahwa sekali lagi aku harus menunggu. Karena kamu bukan rumah yang harus kusinggahi.

Menunggu.

~doddy rakhmat
18.08.2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar