Minggu, 20 Desember 2015

My Lady, My Anti Fan

Akhir pekan lalu, penerbit bukuku yang terbaru mengadakan acara launching di tempat yang spesial. Mereka mengadakannya di pantai, mengusung konsep pesta bahari, segala makanannya dari hasil kekayaan laut.

Aku berdiri seraya menikmati udang goreng yang diberi saus mayones. Telponku tak berdering sedikitpun. Mungkin dia lupa, seperti biasanya.

Deburan ombak menghantam tepian pantai, karang-karang berdiri kokoh. Anggap saja kehadirannya seperti ombak, dan aku sebagai karang. Aku tak pernah letih menghadapinya. Kalau yang lain sibuk berfoto dengan buku, meminta tanda tangan, ia sungguh berbeda. Saat dalam sebuah talkshow aku pernah dikirim olehnya sebuah gambar. Bukuku dalam kondisi terbakar. Dengan tulisan pengantar, "Selamat buku barunya sudah terbit". Lucunya aku tidak marah dan membalasnya dengan ucapan terima kasih. Mengapa aku mencintai dirinya? Karena aku pikir dia membuatku mawas diri. Ketika yang lain sibuk memuji, dia sibuk mencaci. Seimbang. Dia melengkapi.

Semakin ia membenciku, maka semakin sukar melepaskannya. Entahlah, itu mungkin logika yang aneh dari seorang penulis.

Bagiku terlalu mudah rasanya bila jatuh cinta kepada orang yang jatuh cinta pula kepada kita, aku ingin tantangan. Kehadirannya sudah membuat hidup cukup berwarna.

Kling.

Teleponku bergetar, sebaris kalimat notifikasi muncul di layar. Pesan singkat darinya.

"Temui aku di tepi pantai."

Aku membalas, "Aku sedang menatapmu dari kejauhan."

"Bagaimana bisa?"

"Aku sedang di acara launching buku."

"Di pantai?"

"Ya."

Ia menoleh ke belakang bersamaan dengan lelaki di sampingnya, ia terlihat kikuk. Sang pria melambai seraya tersenyum.

Dia tidak pernah cerita kalau ada pria lain dalam hidupnya. Tapi aku sudah terlanjur menganggapnya kekasih, karena dia berbeda dari yang lain. Tapi aku tidak pernah tahu, apakah dia memiliki rasa yang sama padaku?

Mungkin benci adalah kata lain dari cinta, kurasa.

~Doddy Rakhmat

4 komentar: