Sabtu, 23 Januari 2016

Ada Cinta di Pentas Rendra

"Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang"
- Rumpun Alang-Alang, W.S. Rendra 
Arum memegangi selembar tiket pertunjukan puisi penyair termahsyur negeri. Ia menerimanya dari pria yang diam-diam jatuh hati padanya. Izal.

Izal teramat cinta kepada dunia sastra. Sajak-sajak pujangga yang paling diminatinya adalah karya-karya si Burung Merak, Rendra.

"Bukannya saya sudah bilang pada anda, Tuan. Saya tidak pantas menerima tawaran berkencan anda." ucap Arum saat menerima tiket dari Izal.

"Rum, kamu tak perlu menganggap tawaran ini sebagai kencan. Anggap saja ini hasil dari jerih payahmu mengabdi pada keluarga kami."

Tangan Arum basah keringat. Ia belum pernah berdiri dan menatap tuannya sedekat itu. Ia masih menggeleng, tak bisa.

"Apa mungkin kamu sudah punya pria idaman lain?
 Deg. Arum membenarkan posisi duduk simpuhnya. Ia tak nyaman dengan pertanyaan terakhir. Baginya tidak ada pria idaman lain. Hanya ada satu nama yang bersemayam dalam hatinya. Nama tuannya sendiri. Izal.

"Tidak ada tuan." jawabnya gugup tak memandang si penanya.

"Kau harus jujur. Kau tak usah takut."

Sekali lagi Arum menggeleng. Rambut sebahunya terombang-ambing. Izal berdiri dari kursinya.

"Baiklah, tapi kuharap kau tetap hadir di pertunjukkan nanti malam." ujarnya seraya berlalu.

Arum tak bergeming. Sampai tuannya menghilang di ujung lorong rumah. Dan dia mulai berpikir, pakaian apa yang pantas ia kenakan nanti. Untuk memikat sang pujaan hati. Pipinya menyemu merah.

"Heh, Rum. Jangan ngelamun. Ntar kesambet. Senyam senyum lagi. Dapet tambahan gaji?" Mbok Yem menegurnya, teman satu profesinya. Sesama pembokat. Arum melemparnya dengan kain lap.

Aku harus tampil sempurna, gumamnya.

******
Pertunjukkan puisi-puisi Rendra berlangsung di Balai Kota. Arum tampak hati-hati berjalan. Kursi-kursi sudah terisi penuh dengan orang-orang berpakaian rapi. Sebagian bangsawan. Sebagian rakyat biasa. Arum merasa canggung. Di langkah menuju undakan kursi penonton, ia hampir terjatuh.
Namun Izal berhasil menangkapnya. Dunia berhenti sejenak. Beberapa pasang mata melihat mereka, yang lainnya tak peduli.

Izal melepaskan tangannya. Ia melihat wajah Arum tampak risih.

"Maaf, lain kali kau harus hati-hati."

Arum hanya mengangguk malu-malu. Izal mengikuti Arum. Menuju kursi mereka. Lampu-lampu ruangan dimatikan. Hanya ada satu lampu sorot menyala di atas panggung. Sebuah dudukan mikrofon berdiri tegak. Beberapa waktu kemudian. Seseorang pria berambut ikal sebahu dengan selendang yang dikalungkannya ke leher berdiri di tengah panggung. Mengucap salam lalu mulai menyuarakan lantang syair-syairnya.

Izal antusias. Matanya berbinar-binar menikmati setiap bait yang dikumandangkan oleh penyair yang dikaguminya. Lain pula halnya dengan Arum. Sedari tadi hatinya bergemuruh. Tangannya sempurna digenggam Izal. Salah tingkah. Keringat menitik dahi. Bedaknya mulai luntur. Tapi wajahnya tetap ayu.

Di pertengahan acara, Arum menepuk pundaknya. Izal menoleh.

"Tuan, bukankah di sudut sebelah sana itu Nyonya?"

Izal memanjangkan lehernya, mencari-cari di tengah kerumunan orang duduk. Benar adanya, istrinya sedang bersandar di bahu seorang pria. Kemudian Arum menepuk pundaknya lagi.

"Bukankah itu Tuan besar. Lihatlah dia sedang bersama gadis muda. Kemana Nyonya Besar?"
Di sudut lain, Ayahnya sedang bermesraan dengan wanita jauh lebih muda.

"Gila, mereka semua gila. Tidak tahu diuntung." Izal mengumpat.

"Tuan juga gila." ujar Arum.

Izal tampak tak terima. Ia menggenggam tangan Arum keras. Arum meringis.

"Sudahlah Tuan. Lebih baik kita sama-sama gila. Toh semua mereka sudah gila, kan? Untuk apa lagi kita bersikap normal."

Izal tersenyum, matanya memberi kode pada Arum. Mereka berdua keluar ruangan. Rendra masih berapi-api di atas pentas. Menyuarakan cintanya. Menyuarakan kegilaan-kegilaan manusia. Menyelingkuhi kebenaran.

~Doddy R
23.01.2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar