Kamis, 17 Desember 2015

Mantel Terakhir

Angin-angin tepian danau menyapu para pengunjung. Hari beranjak malam, aku menyusuri danau seorang diri. Istriku sedang beristirahat di hotel. Ia terlalu lelah selepas berkeliling kota seharian penuh. Beberapa meter dariku seorang gadis kecil berambut keriting terbaring lemas. Beberapa orang hanya lalu lalang, tanpa menanyai keadaannya. Mungkin mereka terlalu sibuk, bisa jadi. Atau sudah mengalami kegagalan empati.

Aku mendekatinya, ia tak bergeming. Hanya menatap nanar kepadaku. Tanganku memegang dahinya. Astaga, panas. Dia pasti demam.

"Kemana orang tuamu, gadis kecil?"

Ia diam. Mulutnya hendak menjawab namun segera mengatup, seolah ada yang menahannya untuk berbicara.

"Badanmu panas. Biarkan aku membawamu pulang ke rumah."

Ia masih diam, kepalanya menggeleng. Perlahan ia berbicara.

"Aku menjual mantel terakhir peninggalan dari nenek. Semenjak itu Mama marah besar dan mengusirku dari rumah.

"Mengapa kamu menjualnya? Bukankah itu begitu berharga?"

"Mantel itu biasa saja. Yang membuatnya istimewa adalah warisan satu-satunya yang ditinggalkan oleh leluhur kami. Aku menjualnya untuk membeli obat untuk mama. Ia bersikeras untuk tidak meminum obat apapun. Selama Mama sakit kami tak memiliki uang. Ayah sudah pergi ditelan rimba. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan adalah mantel pemberian nenek."

Mendengar hal demikian, aku bergegas membawanya ke klinik terdekat. Membelikan obat untuknya sekaligus sang mama. Ia tidak banyak bertanya.

Di perjalanan menuju klinik, ia bercerita. Sang mama marah bukan karena ia menjual mantel pemberian sang nenek. Namun karena sang mama khawatir sudah masuk musim dingin, mantel itu lebih berharga untuk si gadis daripada obat-obatannya.

Setelah berobat, ia mengucapkan terima kasih. Gadis itu cukup manis bila tersenyum. Walau bibirnya masih kering, akibat menahan dingin.

"Akan selalu ada pengorbanan demi kebahagiaan seseorang, walaupun ia harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri."

~Doddy R
14.12.2015

2 komentar: